Tak percaya bahwa ini adalah yang terakhir
Kata – kata yang kita ucapkan tak bisa terlupakan
Jika kita saling mengenal dengan baik
Mungkin bisa lebih baik, entahlah~
Karena berapa kalipun kusebut, tetap tak akan kembali
Jika dulu berhenti
Mungkin bisa lebih baik, apakah kau ingat?
*****
My Walkways
Di luar hujan masih turun, guntur menggelegar, membuat alam sempurna dengan lelakonnya. Seorang pemuda sedang mengganti pakaiannya yang basah. Ia dan teman – temannya baru saja mendaftarkan diri untuk mengikuti lomba panjat tebing di akhir pekan. Ia membuka almari, memilih – milih pakaian. Ia mendengus kesal. Ini hari ulang tahunnya, tapi tidak ada yang ingat atau memberi kejutan. Tunggu, kecuali gadis itu. Ia yakin gadis itu yang memberikan ini padanya. Setoples penuh origami berbentuk bintang berisi harapan.
“Niatnya benar – benar kuat. Bagaimana ia bisa membuat bintang sebanyak ini?” gumamnya, sambil memandangi hadiahnya. Si pemuda mengingat bagaimana benda ini sampai ke tangannya, pukul 4 sore tadi.
Pukul 4 sore. Lorong sekolah.
“Ini untukmu,” kata teman perempuannya sambil menyerahkan benda itu.
“Apa ini? Siapa yang memberinya? Dan, ini untukku?” rentetan pertanyaan dari mulutnya meluncur begitu saja.
“Iya, terimalah.” lanjut temannya cepat. Tapi ia mengelak.
“Tunggu, katakan kepadaku siapa yang yang memberikannya!” ujarnya mendesak. Teman prianya menanggapi dengan santai.
“Ah, aku tahu, ini pasti dari gadis itu.”
“Siapa?” tanyanya bingung.
“Gadis itu, siapa lagi? Selamat, Boy!” kata temannya sambil tertawa.
Ia masih kekeuh dengan pendiriannya, sampai akhirnya teman perempuannya langsung memasukkan benda itu ke dalam tasnya.
“Buka saat tiba di rumah!” tegas temannya.
Tapi rasa ingin tahunya sangat tinggi. Setelah teman perempuannya pergi, ia lalu membuka kado itu. Di dalamnya ada 3 wish pertama. Ia membuka satu.
I belive I will be over you.
Sangat manis. Bahkan tulisan tangannya indah. Tapi bahasa Inggris? Ini masalahnya.
“Aku bahkan tidak mengerti satupun dari susunan kalimat ini!” ujarnya sambil tertawa. Teman perempuannya yang belum jauh melangkah mendengar apa yang diucapkannya, lantas segera berbalik arah.
“Kau pikir ini menggelikan? Tutup! Buka di rumah!” gertaknya.
Si pemuda menurut, menutup kembali toplesnya lalu memasukkannya ke dalam tas.
Sekarang, toples itu terpajang manis di atas meja belajarnya.
“Mau kuapakan benda ini?” gumamnya sambil tersenyum. Ia kemudian melanjutkan belajar. Tapi, tidak bisa. Ia kembali lagi ke benda itu. Toples bening itu penuh dengan bintang – bintang, di sela – selanya ada kartu harapan yang digulung rapi. Tersisa 2 wish pertama. Sebelum membaca ‘harapan’ yang lain, ia membuka ‘dua’ yang pertama itu. Harapan itu digulung rapi, terletak paling atas. Sehingga, ketika kau membuka toplesnya kau bisa langsung melihatnya. Si pemuda membuka satu. Syukurlah, yang satu ini berbahasa Indonesia.
Usia 17 tahun, masih terlalu dini untuk mewujudkan impianmu, tapi itu adalah saat yang bagus untuk memulai impianmu. Sakit memang saat kamu gagal, tapi itu adalah saat yang tepat untuk belajar supaya kau dapat bangkit lagi. Pada masa itu, kamu akan terluka dan mengalami masa sulit. Meski begitu, seiring berjalannya waktu, saat itu bisa dikatakan sebagai masa paling membahagiakan. Tidak apa – apa, kalau kamu terluka. Karena kamu masih 17 tahun.
Si pemuda terdiam, gadis itu, ia seluruhnya benar. Ia seharusnya tidak terjebak dalam permasalahan ini, situasi sulit yang diciptakan oleh salah seorang teman baiknya. Entahlah. Perasaan ini muncul lagi. Dan kepalanya berdenyut – denyut.
*****
Pukul 12 malam. Si pemuda terbangun dari tidurnya. Sementara hujan masih mengguyur di luar, dingin menggigit. Mendadak badannya terasa tidak enak. Ia bangkit untuk mengambil segelas air. Jam dirumahnya berdentang kencang. Membuat kepalanya semakin pening. Langkahnya terhenti saat ia mendengar sebuah suara memanggilnya. Ia menoleh, mencari asal suara, tidak ada siapapun di kamarnya. Suara itu sama sekali tidak mirip seperti suara milik ayah atau ibunya. Suara itu muncul lagi. Suara itu, dari dalam cermin. Di depannya, sosok pria tua berjubah putih berdiri di dalam cermin. Tubuh laki – laki tua itu bercahaya. Sinarnya terang menembus cermin.
“Senang bertemu denganmu, Nak. Bagaimana kabarmu?” sapanya ramah. Si pemuda tersentak. Rasa takut, terkejut, dan kini ia tak tahu harus berbuat apa. Spontan ia mundur, menjauh dari cermin.
“Siapa kau?” tanyanya gemetar.
“Kenapa, kau takut? Hei, ada apa denganmu? Aku ini ayahmu.” jelas sosok tua dalam cermin.
“Bagaimana kau bisa menjadi ayahku? Aku punya ayah sendiri!” sentaknya.
Sosok di dalam cermin terkejut mendengar ucapan si pemuda, lalu menyeringai.
“Aku lupa, ingatanmu telah dihapus. Tapi tenanglah, sebentar lagi kau akan mendapatkannya kembali.”
Apa ini? Si pemuda sama sekali tidak mengerti. Sosok di dalam cermin itu, apa dia roh atau semacamnya?
“Apa maksudmu?!” si pemuda mulai geram. Sementara sosok di dalam cermin masih bersikap tenang.
“Kau bahkan tumbuh dengan baik layaknya manusia. Lihat, kau tidak berubah sejak terakhir kali aku melihatmu, saat kau meninggalkanku. Tapi, waktumu sudah habis. Kau harus kembali! Satu lagi, apa badanmu terasa sakit? Tidak apa – apa, terimalah. Sebentar lagi kau akan kembali bersama kami.” jelas sosok tua yang kembali tersenyum. Amarah si pemuda mulai memuncak.
“Bicaralah dengan jelas! Aku tidak peduli kau ini orang tua. Kau bukan manusia, siapa kau sebenarnya?!” teriak si pemuda.
“Ah, jangan terburu – buru, Nak. Sifatmu ternyata masih sama. Sebentar, apa aku perlu mengembalikan ingatanmu sekarang? Ya... baiklah.” sosok tua itu kemudian mengarahkan tangannya ke depan. Seketika itu seluruh ruangan menjadi gelap dan cahaya putih keluar dari dalam cermin lalu berkumpul, bergumul di atas kepala si pemuda.
“Apa ini? Katakan!” si pemuda mulai panik. Tangannya mencoba menghalau cahaya yang terang itu. Tapi sosok tua di dalam cermin hanya diam mengamati apa yang sedang terjadi. Dan, sesaat kemudian terdengar bunyi ‘klik’, gagang pintu dibuka.
“Ibu sudah bilang, kau harus tidur! Besok hari pertama ujian, kan?” wanita tua itu tiba – tiba masuk dan memarahi si pemuda. Anehnya, seketika ruangan kembali seperti semula. Si pemuda yang terkejut spontan menutupi cermin dengan tubuhnya.
“Aku akan segera tidur, Ibu jangan khawatir.” sahut si pemuda gugup.
Ketika sang ibu keluar, ruangan kembali gelap, persis seperti saat sebelum sang ibu datang.
“Ini lagi?!” teriak si pemuda kesal. Ia kira ini sudah berakhir, tapi belum untuk saat ini. Sosok tua itu kembali muncul.
“Kenapa anak muda? Kau begitu takut tadi? Jika ibumu tahu? Tapi, sebentar, jadi wanita itu yang selama ini menjadi ibumu?” sosok tua itu tertawa keras. Dan cahaya putih kembali bergumul di atas kepala si pemuda. Tak lama, cahaya itu mulai pudar. Si pemuda terduduk, ia mulai menangis. Sosok tua di dalam cermin tersenyum.
*****
@Retha_Halim terima kasih :)
Comment on chapter My Walkways