Aku berlari di tengah hujan
Ketika mereka menyadarkanku
Aku harus pergi menemui takdirku
*****
Lov
(The Beginning)
Pukul 1 siang.
Mendung menyelimuti daerah kami. Aku baru saja keluar dari sekolah. Bersama beberapa anak lain yang turut berhamburan keluar dari kelasnya begitu mendengar bel pulang berbunyi.
Awan petir semakin mendekat. Kilatannya terlihat jelas walaupun hujan belum juga turun. Gelegar petir juga terdengar. Suasana berangsur sepi. Aku menghela napas. Merogoh headset yang kusimpan di tas bagian depan lalu memasangkannya di kedua telingaku. Setelah tersambung dengan teleponku maka segera kunyalakan musiknya. Laguku yang biasa. Lagu yang beberapa hari ini kudengarkan.
Pukul 13.15
Suasana sepi sekarang. Teman – temanku memang paling jago dalam hal mengosongkan sekolah. Dan aku masih termenung sendirian di halte sekolah. Beberapa kali aku melirik jam yang menempel di tangan kiriku. Menit – menit sudah berlalu, tapi bis yang biasa kutumpangi belum datang juga. Kutengok kanan kiri, lengang. Jalanan tidak begitu ramai. Bagaimana ini?
Bis terakhir pada siang ini harusnya sudah tiba 5 menit yang lalu. Biasanya tidak seperti ini. Dan mendung semakin hitam.
Pukul 13.25
Ini keterlaluan. Apa aku akan terus menunggu di sini? Tidak. Tapi, jalan kaki terlalu jauh. Aku masih memutuskan untuk terus menunggu. Mungkin bisnya sedang mogok jadi aku harus menunggu sebentar lagi. Bersabar sebentar lagi. Aku menunggu, dengan lagu yang sama, yang kuputar berulang – ulang di telingaku.
Aku mulai jenuh, menundukkan pandangan ke bawah ketika seorang pria setengah baya menghampiriku. Dia menepuk pundakku. Aku kaget, spontan mendongak dan melihat ke arahnya.
“Apa kau menunggu bis, Nak?” tanya orang tua sambil memperhatikan sekeliling.
“Iya, Pak. Saya sudah menunggu sejak tadi tapi bisnya bahkan belum datang juga.” jawabku jujur.
Pria itu menganggukkan kepalanya.
“Bisnya tidak beroperasi hari ini. Para sopir bis melakukan aksi mogok kerja karena gaji mereka yang dinilai terlalu rendah, jauh di bawah UMK kota ini, sementara mereka harus membayar uang setoran yang lumayan banyak jumlahnya. Mereka bahkan melakukan sweeping, memaksa sopir bis lain untuk turut serta dalam aksi mereka. Ah, sangat disayangkan. Seharusnya pemerintah lebih bijak menghadapi ini.” jelas pria itu panjang lebar sambil memandang ke arahku.
Kali ini giliran aku yang mengangguk. Pria itu tahu banyak sekali. Bahkan hal – hal yang mendetail sekalipun. Apa dia pengamat sosial atau semacamnya?
“Lebih baik kau segera pulang, Nak. Carilah tumpangan atau yang lainnya. Aku pergi dulu.” lanjutnya, lalu melangkahkan kaki, menghilang dari hadapanku.
Sekarang aku benar – benar termenung sendirian tanpa harapan. Bagaimana ini? Dugaanku benar, bisnya tidak akan lewat, bahkan jika aku menunggunya sampai petang. Bunyi guntur semakin keras menggelegar. Apa aku harus berjalan kaki? Benar – benar menyebalkan. Tapi tidak ada pilihan. Aku masih mendengarkan lagu itu. Kurapatkan jaket yang kupakai, lalu mulai melangkah menyusuri jalan yang kosong.
*****
Pukul 13.50
Entah sudah berapa menit aku berjalan, atau berlari tepatnya. Hujan benar – benar turun di tengah perjalananku menuju ke rumah. Sekarang, aku terpaksa harus berhenti untuk meneduh sembari menunggu hujan berhenti, paling tidak sampai hujan mereda sehingga aku bisa melanjutkan perjalanan.
Aku meneduh di emperan sebuah toko yang tutup. Kulihat sama seperti tadi, jalanan di sini juga begitu lengang. Hampir tidak ada orang yang keluar rumah sama sekali. Aku menarik napas panjang.
Tiba – tiba, di tengah keheningan ada sesuatu yang terlintas di pikiranku. Entah mengapa, sepertinya aku pernah berada dalam situasi seperti ini sebelumnya. Tidak. Ini tidaklah benar. Aku baru kali ini terjebak di tengah hujan. Aku belum pernah mengalami ini sebelumnya. Dan lintasan peristiwa terus memenuhi labirin kepalaku. Titik – titik air terus jatuh, bukan mereda, tapi menderas. Dan kata – kata juga beterbangan di berbagai sudut pikiranku.
Di tengah hujan, aku akan menenangkanmu.
Aku akan menemanimu menghirup aroma petrichor yang kau sukai.
Memandang titik – titik air yang jatuh, berdua.
Dan sekarang aku masih berteduh, di bawah rinai hujan, dalam kepalaku dibisikkan sebuah nama. Kepalaku berdenyut – denyut.
*****
Pukul 14.03
Masih gerimis, tapi kupaksakan untuk meneruskan perjalanan. Hujan sudah mereda dan rumahku tidak jauh lagi dari sini. Kalau aku berlari pasti tidak lama lagi akan sampai. Hawa dingin perlahan menyusup ke tubuhku.
Aku semakin mempercepat langkah. Ibu pasti akan marah karena aku tidak pulang tepat waktu. Sedikit lagi. Itu dia, rumahku sudah terlihat dari sini. Tapi, ada sebuah sedan mewah terparkir di halaman rumah. Apakah ada tamu? Hujan – hujan begini? Apa beliau orang penting? Ibu akan malu jika melihatku basah kuyup begini, lebih baik aku lewat pintu belakang nanti.
Tanganku baru menyentuh gerbang rumah ketika suara ibu memanggilku. Aku mendekat. Ibu keluar dari dalam rumah sambil membawa payung.
“Ayo, masuklah. Ibu sudah menunggumu dari tadi.” ibu memegang pundakku, lalu mengajakku masuk ke dalam rumah.
Ibu lebih dulu masuk. Setelah aku melepas sepatu yang kukenakan, aku buru – buru menyusulnya ke dalam rumah. Ternyata, seseorang sudah menungguku.
Itu Direktur di perusahaan tempat ayah bekerja selama ini. Hanya itu yang kutahu. Sebelumnya, beliau tidak pernah berkunjung ke rumah kami. Hari ini, mendadak di hari yang hujan, beliau datang ke rumah kami.
Aku memberi salam kepadanya, mataku menyapu sekeliling. Tidak ada ayah. Lalu, apa yang dibutuhkan Pak Direktur mengunjungi rumah kami? Aku duduk, diam.
Kulihat Ibu yang juga diam. Dari sorot matanya aku tahu ada setitik kesedihan yang tersirat, terpancar pula dari raut wajahnya. Walaupun ibu berusaha untuk terus tersenyum, aku masih merasa ada yang aneh. Hingga Pak Direktur memulai pembicaraan.
“Lov, bagaimana kabarmu?” Pak Direktur menatap ke arahku sambil tersenyum.
“Baik, aku baik. Ibu dan Ayah juga baik.” jawabku cepat.
Beliau tertawa kecil.
“Ya, itu bagus. Kau tumbuh dengan baik. Kau sudah menjadi pemuda yang gagah sekarang. Oh, ya, Lov, kau tahu kapan terakhir kali aku berkunjung ke sini? Itu sudah lama sekali, waktu kau masih dalam gendongan ibumu.” jelas Pak Direktur sambil terus menatapku.
“Ah, ya? Aku tidak bisa mengingatnya, maaf.” aku bingung harus menjawab apa jadi kujawab sekenanya.
Suasana kembali hening. Ibu bahkan belum bicara sejak tadi.
“Lov, kau percaya Ibu, kan? Kau ingat dongeng masa kecil yang selalu ibu ceritakan padamu? Tentang malaikat penjaga?” Ibu membelai rambutku. Aku mengangguk.
“Iya, Ibu. Aku selalu mengingatnya.”
Ibu terdiam sejenak. Mencoba merangkai kata yang bisa kumengerti.
“Lov, cerita itu nyata. Kitalah malaikat penjaga itu.”
Deg.
Kalimat ibu mengguncangku. Membuat kepalaku terasa lebih berat, tapi aku masih terjaga. Ibu, apa Ibu tidak bercanda? Mendadak aku tertawa.
“Ibu, jangan bercanda. Kita hidup di dunia nyata.” jawabku sambil terus saja tertawa. Tanpa memperdulikan Pak Direktur yang menatap ke arahku.
“Ibu tidak bercanda. Dan Pak Direktur adalah pimpinan kita. Lov, hanya segelintir orang yang tahu akan fakta ini. Dan hanya mereka yang terpilihlah yang bisa menjalankan tugas sebagai malaikat penjaga. Menjemput takdir kita yang sesungguhnya. Sekarang adalah giliranmu. Kau sudah dipersiapkan sejak kecil. Sekarang, ada seseorang di dunia manusia yang membutuhkanmu. Tidak lama lagi, kau harus benar – benar pergi. Tapi berjanjilah pada ibu, kau pasti akan kembali setelah menyelesaikan tugasmu,” Ibu tidak menyelesaikan kalimatnya. Tapi setelah penjelasan panjang lebar dari Ibu, batinku tersentak menghadapi fakta ini.
Kupandang Ibu, sosoknya yang mengasuhku sejak kecil dengan penuh kasih sayang itu, air mata mulai menggenang di sudut matanya. Kutengok Pak Direktur di sampingku. Beliau hanya menganggukkan kepala. Itu berarti semua ini benar.
“Tapi, aku pasti akan kembali, kan, Bu? Tugas ini hanya sebentar, kan? Lalu kenapa Ibu menangis?” aku melayangkan pandang ke Pak Direktur yang terus bungkam. Hingga Ibu kembali berkata,
“Iya, kau pasti akan segera kembali. Tapi, Ibu hanya takut,” ibu menunduk, mencoba menyembunyikan air mata yang tak kuasa ditahannya mulai jatuh.
“Takut apa, Bu?” aku mengguncang lengan Ibu.
Ibu menarik napas panjang.
“Ibu takut kau tidak kembali.”
“Aku tidak akan mati secepat itu, Bu.” jawabku mantap sambil menggenggam tangan Ibu.
Ibu menggelengkan kepalanya.
“Bukan, Ibu tidak pernah mengkhawatirkan soal kematian. Ibu hanya takut, kau tidak akan kembali ke sini lagi. Banyak anggota kita yang tidak berhasil menjalankan misi ini. Mereka jatuh cinta, kepada manusia. Sehingga mereka juga memutuskan untuk bersama dengan kekasihnya, menjadi manusia seutuhnya.” Ibu akhirnya menyelesaikan kalimatnya secara utuh. Sekali lagi, aku tersentak.
*****
@Retha_Halim terima kasih :)
Comment on chapter My Walkways