Yuua berjalan sembari membawa sepucuk surat di tangan dengan, “untuk Kazato Quinn Yuua-san” pada amplopnya. Jarang sekali dirinya mendapatkan sebuah surat pribadi seperti ini. Jadi dia agak gugup. Menurutnya, karena surat itu sedikit beraroma apel dan mint, siapa orang baik yang mengirimkannya? Apa mungkin seorang penggemar? Tapi dia tak memilikinya, atau tak tahu kalau selama ini memang ada. Barangkali teman? Sangat tidak mungkin untuk seorang Yuua. Selain itu dia juga tidak mengenal orang lain lagi dalam hidupnya, selain keluarga Quinn. Pertanyaan itu berputar dalam kepalanya selama terus berjalan dari ruang santai hingga ke kamarnya.
Seharusnya dia menunjukkan surat itu pada sepupunya, tapi dia baru saja tahu telah mendapatkan surat itu setelah si sepupu pulang ke tempat ibunya pagi ini bahkan sebelum sarapan. Kalau mengingatnya dia merasa sedikit kecewa karena tak bisa sarapan di hari terakhir bersama si sepupu. Mungkin hal itu akan terjadi selang beberapa minggu lagi. Yah, gadis itu akan bersabar hingga hari libur sekolah berikutnya. Lagipula dia bisa menghubunginya kalau sekedar ingin bercerita.
Sebelum membuka surat yang berhasil membuatnya penasaran, dia harus menahan diri sampai sore ini, yaitu setelah pelajaran untuk persiapan ujian masuk sekolah barunya selesai. Setelah Nishida, pelayan pribadi serta guru privat Yuua selesai memberi pelajaran terakhir dan keluar ruangan, gadis itu meminta siapapun untuk tidak menganggunya sampai makan malam.
Dia pergi ke kamar dan mengunci pintu. Lalu mengambil surat yang masih tergeletak di atas meja. Membuka penyegelnya sembari menerka isi suratnya, karena amplop itu terlihat lebih tebal dari jenis surat yang dia tahu ketika melihat paman atau granny-nya mendapat surat setiap pagi.
Sekelebat sesuatu terlintas dalam kepala ketika ia mulai menarik isinya. Sebuah ruangan yang cukup luas dengan dinding putih dan tirai biru pucat yang tertiup angin. Jendela kacanya terbuka sebagian, di sisinya ada sebuah vas kaca berisi bunga segar. Dibagian lain ruangan itu berjajar rak buku, lemari, tempat tidur, dan juga meja beserta sofa lengkap.
Sebuah pena dan kertas berada di atas meja. Angin dari jendela semakin kencang, membuat kertas itu terbang ke dekat sebuah pintu. Seketika pintu itu terbuka, dan seseorang mengambil kertas kosong di lantai.
“Apa kau mau aku membantumu untuk mengisi kertas yang masih kosong ini?” ucap seorang pria. Suaranya terdengar sangat pengertian.
Yuua kembali tersadar dan memandang benda di tangannya. Hanya ada sebuah buku catatan yang berisi selembar halaman. Sepucuk memo dan satu kartu bridge terjatuh dari dalam buku. Memo itu cuma bertuliskan “First time...” dan ditulis dengan agak buruk, menurut Yuua. Kemudian dibukanya buku catatan itu, dan dibacanya halaman buku yang hanya ada satu lembar.
Tidak akan kosong. Kamu akan penuh dengan tulisan.
Satu-satunya halaman buku ini adalah kertas yang terjatuh di lantai. Yuua tersadar hal itu.
Hello, Kazato Quinn Yuua-san. Aku tahu kamu gadis yang jujur. Jadi, untuk saat ini tolong kontrol dirimu untuk tidak mengintip sedikitpun apa yang kulakukan. Aku tidak suka kecurangan.
Hari ini cerah, ya. Pasti bulan purnama akan terlihat indah malam ini. Karena seseorang telah menarik tanganmu untuk keluar dari hutan, apakah sekarang kamu bisa berjalan sendiri dengan melepas tangan dari orang itu, lalu keluar dari dalam hutan? Sendiri, Kazato-san?
Ngomong-ngomong Keima, sepupumu, seperti sebuah kartu yang sangat berharga, ya. Kalau begitu bagaimana? Apa kamu akan tetap terus menggunakan kartu ini, menyimpan, atau malah membuangnya?
Kalau tak segera membuat keputusan akan ada kemungkinan yang lain. Adalah dia akan meninggalkanmu suatu saat nanti. Aku menantikan saat-saat terbaik itu di sekolah baru mu. See you in my next letters, miss Kazato.
Selesai membaca dengan cepat Yuua menutup sampul buku di tangan, dan dalam kepalanya terdengar tawa seorang perempuan. Dari suaranya perempuan itu seperti merasa senang akan sesuatu. Dilihatnya kartu bridge di tangan hingga gadis itu teringat sesuatu.
“Hei, Fuu, buka jendelanya.” Kata seorang anak yang berada di atas salah satu batang cabang pohon dekat jendela lantai dua rumah itu.
Gadis kecil hanya memandanginya di antara sela tirai dari dalam ruangan. Pikirnya apa yang dilakukan anak laki-laki itu di atas sana? Dengan takut-takut ia berjalan mendekati jendela. Sudah kesekian kali anak itu terlihat memanjat pohon tersebut. Tetapi kali ini untuk pertama kalinya, anak itu berbicara sambil memandang ke arah jendela tempat dia bersembunyi. Siapa yang dipanggilnya? Di sini tak ada yang bernama “Fuu”. Tapi dalam ruangan hanya ada dirinya, jadi apa mungkin dia sedang bicara padanya? Gadis kecil tetap berdiri di tempatnya, masih menutup diri di belakang tirai jendela.
Si anak bertopi newsboy itu melompat ke arah jendela, tetapi tangannya tak sampai dan mungkin terjatuh, terjun ke tanah. Si gadis kecil sedikit membuka jendela untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan anak itu. Ternyata, tangannya telah memegang sebuah bekas pipa pada dinding bawah jendela, dengan kaki yang bertumpu pada akar tanaman ivy yang menjalari seluruh dinding.
Anak itu tersenyum pada si gadis kecil. Lalu dengan cepat meraih bibir jendela. Si gadis kecil segera menutup kembali jendelanya, tetapi ia tak sempat menguncinya lagi. Ia terlalu takut hingga terburu-buru mencari tempat untuk bersembunyi. Dia masuk ke dalam sebuah lemari kayu yang besar dalam ruangan.
Gadis kecil lebih ketakutan ketika mendengar suara langkah kaki anak tadi yang sedang mendekati tempat persembunyiannya. Dia memeluk kedua lututnya dengan erat, membenamkan kepala, memejamkan mata dengan kuat, dan berharap anak itu segera pergi menjauhinya.
Pintu lemari terbuka dan gadis kecil terkejut. Dengan terpaksa dirinya mengintip siapa anak itu dari sela rambut yang menutupi wajah.
“Ketemu!” kata anak laki-laki berwajah cantik itu tersenyum, “Fuu, kau tega sekali. Kenapa tidak membantuku naik?” tanyanya lalu berjongkok di depan lemari yang terbuka. “apa? Memangnya aku menakutkan?” tanya anak itu tanpa menaikkan nada suara. Lalu kembali disambungnya sembari mengulurkan sebuah apel segar dari dalam saku jaketnya, “kau mau? Setelah makan ajak aku jalan-jalan, ya.” tanpa sungkan.
Gadis kecil itu hanya diam membisu ditempatnya. Tubuhnya gemetar ketakutan. Kepalanya pusing. Ia tak bisa mendengar apa yang si anak laki-laki katakan. Tapi dengan sedikit cahaya dari luar jendela yang kini telah terbuka dapat dilihatnya sebelah mata anak itu. Mata berwarna light brown itu memiliki sedikit warna hijau ketika terkena cahaya. Rasanya menenangkan dan ada rasa aman di dalamnya. Dan tanpa terasa dirinya telah kembali tenang. Entah mengapa perasaan takut dan buruk yang dirasakan dalam dirinya sedikit demi sedikit mencair. Bibir anak laki-laki itu terangkat, tampak terlihat dengan cukup jelas olehnya. Anak itu sedang tersenyum padanya, senyumnya tulus dan hangat tapi terasa sedikit menyakitkan. Kenapa? Apa kamu baik-baik saja? batin gadis kecil.
Si gadis kecil dengan perlahan mengulurkan tangan menerima buah apel itu.
“Rambutmu aneh, tapi sangat cantik!” matanya berbinar mengisyaratkan ketertarikan.
“Kamu... tidak takut.... padaku?” tanya gadis kecil dengan lirih dan takut-takut.
“Hm? Kau sedang menantangi ku? Tidak akan!” lagi-lagi matanya benar-benar mengatakan apa yang keluar dari bibir kecilnya. Tanpa keraguan.
Anak ini aneh. Pikir gadis kecil heran.
“Aku ingin tahu.... hei, apa menyenangkan terus berada di ruangan pengap begini?” kata anak bersneaker melihat sekeliling ruangan yang masih sangat gelap menurutnya, “hei, hei, kau tidak dengar apa yang ku katakan? Jangan bengong, Fuu!”
“Fuu??”
“Namamu, kan, Kazato dari kanji angin. Jadi apa bedanya kalau aku memanggilmu ‘Fuu’? Oh, kau boleh memanggilku Shin, di tulis dengan kanji ‘hati’. Mulai sekarang sepupu jauhmu ini yang akan menjagamu. Salam kenal, ya.” kata Shin kembali tersenyum cerah dan hangat seperti cahaya matahari pagi itu.
“Benarkah? Terimakasih.” si gadis kecil tak dapat mengeluarkan kata yang lain, entah kenapa. Yang dia tahu, dia senang dan bahagia, selain itu dirinya merasa tak lagi sendirian dan aman. Meskipun dia terlalu kecil untuk memikirkan entah sampai kapan perasaan itu tidak akan menghianatinya. Kemungkinan itu belum pernah terlintas sedikitpun.
Jadi si gadis kecil hanya bisa menangis, walaupun dirinya sendiri masih belum mengerti kenapa dia sangat ingin melakukannya. Sementara itu, si sepupu terus mengelus kepalanya dengan lembut sampai ia berhenti menangis, untuk menenangkannya. Bagi Yuua itu adalah kenangan terpenting, yang tidak bisa tergantikan.
Ia masih terus menatap pada sebuah kartu bridge yang ada di tangan. Sekelebat bayangan kembali muncul. Ada seseorang berdiri tepat di depannya. Bibirnya tersenyum simpul dengan jari telunjuk yang mengetuk dua kali bibir itu. Sebuah isyarat untuk “diam”. Bersamaan dengan rasa takut yang datang dan menjalar dalam dirinya, seketika dilemparkannya kartu itu. Di atas lantai yang dingin dibiarkannya tergeletak. Queen Hati.
###
-------
kanji untuk kaze dari kazato juga dapat dibaca fuu, yang berarti angin.
keima: salah satu bidak dalam shogi (catur jepang), knight.
----
Hello, ini Rizuki. Maaf baru menyapa. Semoga teman-teman menikmati cerita mereka. Mohon beri kritik dan saran, ya... makasih banyak. Chapter selanjutnya memasuki musim semi! sampai jumpa di tahun ajaran baru....