Nishida menemukan kunci yang dicarinya dari salah satu laci dalam kamar yang selalu Shin pakai jika datang dan menginap. Ia mengingat-ingat pesan dari sepupu tuannya ketika akhirnya telah berdiri di depan kamar Yuua. Katanya dia harus berhati-hati ketika melangkah, bersikap biasa dan sewajarnya, jangan mengatakan hal bodoh. Sedikit tak paham, tapi kalimat singkat itu terasa begitu dapat ia percaya ketika anak itu yang mengatakannya, entah kenapa.
Nishida mengatur napas, mengetuk beberapa kali sebagai sikap yang “biasa dan sewajarnya”, kemudian memasukkan kunci dalam lubang dan dengan hati-hati membuka pintu. Pelayan yang lain merasa gugup dan cemas di belakangnya. Mereka juga hawatir dengan keadaan gadis itu. Pasalnya sejak nona mereka masuk ke dalam kamar dan Nishida memanggilnya untuk makan malam gadis itu tak merespon sedikitpun. Sudah beberapa kali para pelayan bergantian membujuk dan mengetuk pintu, tak ada jawaban dari dalam. Mereka takut sesuatu yang buruk terjadi lagi seperti sebelumnya. Sampai akhirnya saat itu Nishida harus menjemput sepupu tuannya hingga keluar kota untuk dapat menenangkan Yuua. Entah keberuntungan atau bukan, Nyonya Evelyn dan ayah Shin selalu tidak ada di rumah ketika hal itu terjadi. Kalau tidak pasti situasi akan lebih buruk, mengingat pribadi Nyonya Evelyn yang dinilai protektif dan cukup keras dengan cucunya. Bahkan sering kali meributkan hal-hal yang menyangkut mereka, sekalipun sepele.
Ruang kamar Yuua sangat gelap. Ketika Nishida melangkah dia hampir terjatuh karena sesuatu. Matanya menyipit, berusaha melihat keadaan sekeliling ruangan. Untuk mencari gadis itu dia harus melakukan sesuatu tanpa mengubah apapun yang ada dalam ruangan. Biasa dan sewajarnya, ingatnya. Tapi bagaimana mungkin di saat seperti ini? Bahkan ia merasa kamar itu sangat berantakan tidak seperti biasanya.
“Yuua-sama boleh saya nyalakan lampunya?” tanya Nishida.
“Shin tidak menelepon ku hari ini. Shin... baik-baik saja, kan?” Katanya singkat tanpa ingin menjawab. Nada suaranya terdengar polos seperti biasa. Dan dari hal itu dirinya dapat mengetahui di mana gadis itu berada melalui asal suara. Seperti yang dilakukan Shin pada Yuua sebelumnya. Tapi anak itu bahkan terlalu “sewajarnya” waktu itu. Dengan mengatakan, “Aku lapar sekali. Fuu, mau temani aku makan?” dengan nada terlampau santai, tentu yang seperti itu Nishida tak dapat melakukannya, kan?! Benar saja, Yuua kembali tenang dan dengan patuh menemani cucu nyonya Evelyn makan, diiringi ekspresi para pelayan yang campur aduk. “Apa ini deja vu? Bisa-bisanya!” Celetuk seorang pelayan dengan heran dan takjub saat itu. Meski tak begitu terlihat, tetapi menurut kepala pelayan Shin-sama hanyalah meniru seseorang. Nishida hanya dapat menduga-duga pendapat itu. Meniru, ya... batinnya.
Gadis itu berada di dalam salah satu lemari pakaian. Pintunya baru saja dibuka perlahan. Dan Nishida menghampiri tuannya. Dia berjongkok lalu memegang kedua tangan tuannya dengan hangat, kemudian dijawabnya dengan lembut, “saya yakin Shin-sama akan selalu baik-baik saja selama Anda berada di sisinya.”
Pelayan pribadi Yuua hampir mengatakan sesuatu yang lain sebelum ponsel miliknya bergetar. Apa nanti Shin-sama akan kembali memberi peringatan? Aku dalam masalah! pikirnya. Pasalnya ia sudah mengabaikan larangan Shin untuk tidak menghubunginya. Tapi menurutnya yang ia lakukan jauh lebih baik, mengingat terakhir kali hal yang sama berakhir buruk hingga sepupu Yuua dinilai tak bertanggung jawab dan mengabaikan gadis itu. Dan perang dinginpun terjadi selama hampir dua minggu antara Nyonya Evelyn dan cucunya. Beruntung, Yuua yang kondisinya telah membaik dapat mencairkan mereka.
Nishida kembali mengingat hari itu, bagaimana wajah bangun tidur dan lelah Shin berubah serius, hingga tatapan tajamnya seakan memberi peringatan keras padanya. Bahkan sampai sekarang kadang Shin masih menyinggung masalah itu.
Setelah beberapa saat, Nishida memberikan ponsel miliknya pada Yuua. Tak ada keluhan atau peringatan, atau mungkin belum dari Shin. Tidak dalam situasi seperti ini. Firasatnya mengatakan seperti “tenang sebelum badai”.
“Maaf, Fuu, hari ini aku sangat lelah. Kali ini saja, bisa kau nyanyikan lagu pengantar tidur untukku?” kata Shin dari seberang telepon.
“Ada apa? Kamu baik-baik saja?” Yuua melupakan apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Dia merasa ada sesuatu yang menimpa sepupunya, dan mungkin ini lebih buruk dari pada masalahnya sendiri. Apa mungkin perasaannya saja? Tiba-tiba dia mengingat sesuatu, “Kouya...” celetuknya tanpa sadar. Di seberang telepon Shin terdiam, jadi pasti dia mendengarnya. Yuua segera menutup mulutnya, “....maaf, tidak akan kuulangi lagi. Lagu mana yang ingin kamu dengar?”
Nishida tersenyum dan kembali keluar ruangan setelah menyalakan lampu di samping tempat tidur tuannya. Sedangkan Yuua masih tetap duduk di dalam lemari, tapi kali ini kedua kaki yang terus didekapnya dengan kencang telah di luruskannya dengan rileks sampai menjulur keluar pintu. Dan nyanyian pengantar tidur untuk sepupunya terdengar hingga lorong depan pintu kamarnya.
Berkat Shin para pelayan yang masih menunggu di depan pintu dapat mendengar bagaimana suara Yuua ketika bernyanyi meski sebentar. Ini kemajuan yang sangat baik, karena merupakan sesuatu yang sulit dan mustahil dilakukan gadis itu, menurut mereka. Memang bukan suara yang merdu, tapi nyaman untuk didengar.
Setelah Nishida keluar mereka kembali pada tugas masing-masing dengan perasaan lega. Kepala pelayan yang baru saja datang dan segera paham situasinya hanya memberi Nishida sebuah senyuman.
“Dalam situasi seperti ini, bukankah tuan putri sangat cantik?” kata kepala pelayan sembari berjalan.
“Iya. Saya rasa lebih cocok disebut ‘ratu’, ya...” ungkap Nishida jujur.
“Selama ini tuan putri memang Quinn, bukan?!” pria tua itu tertawa kecil. Kadang selera humornya memang tak bisa diprediksi.
###
Cahaya bulan purnama menghilang di balik awan. Membuat bayangan semakin samar dan bahkan tak terlihat. Waktu yang baik untuk berjalan di luar tanpa ingin dilihat orang lain. Dengan langkah santai seseorang melangkah melalui pintu kaca, lalu halaman yang hanya diterangi lampu jalan. Setelah berhenti di depan gerbang, sesaat dilihatnya sebuah bangunan besar hitam di belakangnya. Berbagai macam rumor menyeramkan yang ada di sana bahkan tak mengusiknya. Tidak ada rasa takut. Baginya sebuah rumor hanyalah cerita yang dibuat seseorang tanpa bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Yang seperti itu tidak dapat dipercaya. Begitulah yakinnya dalam hati.
Gerbang sekolah itu tinggi menjulang. Tetapi bahkan tak dapat menyaingi tinggi dari pepohonan yang seakan hampir menutupi bangunan-bangunan dibalik gerbang besi hitam itu. Seolah sebuah tempat dengan lapisan pelindung sihir dalam dunia fantasy, Sekai Gakuen lenyap ditelan rimbun pepohonan dan gelap malam.
“Selanjutnya akan seperti apa?” ucapnya melangkah melalui jalan memutar meninggalkan bangunan yang tetap diam dan dingin di belakang sana.
Angin pun menyapu awan hingga langit purnama terlihat lebih cerah dari sebelumnya. Cahayanya membuat bayangan semakin kuat. Sementara langkahnya menghilang diantara rerimbunan rhododendron.
###
Moonlight Sonata dari Beethoven masih mengalun dari sebuah alat perekam. Tepat sebelum musik berhenti....
Gadis itu duduk di sudut kamarnya yang gelap. Cahaya bulan menembus tirai jendela yang sedikit terbuka. Membuat garis panjang dari pantulan cahaya yang seakan menjadi batas dirinya dan sesuatu yang ada di sisi lain garis cahaya di depannya. Tak lama, pintu kamar itu terdorong ke dalam, seorang pria dan wanita masuk. Tetapi gadis itu tetap tak bergerak atau terganggu dengan kedatangan keduanya.
Mereka mendekati si gadis perlahan lalu melepas handsfree yang masih terpakai. Ketika si pria memindahkannya ke tempat tidur, sesuatu terjatuh dari pangkuan gadis itu. Si wanita mengambil bingkai foto yang terjatuh dan menaruhnya di atas meja. Dengan bantuan cahaya bulan yang tak banyak dalam ruangan, foto itu terlihat tak begitu jelas. Tetapi, tetap menjadi lebih jelas dalam ingatan kedua orang itu. Di dalamnya terlihat seorang anak laki-laki dan seorang gadis kecil tersenyum ceria di tengah ladang bunga matahari, pada siang yang cerah di musim panas.
Bergantian kedua orang dewasa itu melihat pada jendela yang masih tertutup. Si pria memeriksa jendela kaca lebar di depannya. Terkunci. Mereka saling bertukar pandang dalam keremangan. Lalu merasakan sedikit kelegaan yang sama. Wanita itu hampir merapatkan tirai sebelum si pria berbicara lirih padanya.
“Apa dia sedang mencoba untuk memainkannya?” tanya si pria terdengar terkejut dan heran.
“Hm?”
Si pria menunjuk pada lantai tempat gadis itu duduk sebelumnya. Tepatnya pada sebuah papan shogi lipat yang terbuka tanpa bidak.
“Mungkin dia ingin melakukannya dengan cara yang lain. Tapi kalau begini, dia membutuhkan seseorang supaya dapat bermain, bukan?”
“Kupikir dia bukanlah tipe anak yang menyukai atau mau bermain board game,”
“Memang bukan. Saya rasa dengan papan itu.... dia hanya menuggu dan melampiaskan.” Ucap seorang anak laki-laki yang telah berdiri diambang pintu, tangannya mengelus dengan lembut seekor kucing dalam dekapan. “akan lebih baik kalau kami tidak bertemu terlebih dulu. Tolong jangan katakan padanya kalau saya datang.” Dia menatap gadis yang tertidur itu, “sampai jumpa, Jill.” katanya pergi.
Tak lama keduanya pun keluar dari ruangan itu dalam diam. Sebelum akhirnya menatap si gadis yang tertidur, kemudian pada jendela yang terkunci. Perlahan pintu itu tertutup, menarik dan membawa pergi cahaya lain dari luar.
Moonlight Sonata kembali terdengar dalam sebuah ruangan, di tempat yang berbeda.
--------