Seorang pria berjalan dengan wajah masam menuju seseorang yang duduk pada salah satu bangku taman sekolah. Dari ujung kepala sampai ujung kaki serta seluruh pakaiannya basah, padahal hari itu sangat cerah. Tapi bukan cuaca masalahnya, mereka berdua tahu itu. Jadi dia pun duduk pada ujung sisi bangku yang lain seakan tidak ingin orang disebelahnya ikut kebasahan.
Pria itu memalingkan wajah, “aku tahu, jadi berhenti senyum-senyum begitu. Menyebalkan, kalau mau tertawa lakukan saja.”
Mereka terdiam sesaat. Lalu sama-sama memandangi salah satu bangunan sekolah di mana kolam renang berada. Sekolah memang telah selesai melakukan kegiatan belajar mengajar sekitar dua jam lalu, tetapi suara beberapa siswa yang belum pulang dan masih aktif melakukan kegiatan-kegiatan klub terdengar, hingga tidak bisa disebut senyap meskipun kedua orang itu tak ada yang bersuara.
“Apa menurutmu ini akan baik-baik saja?” tetapi jawaban dari orang yang duduk di bagian sisi lain bangku yang di dudukinya malah mengedikkan bahu dan kembali tersenyum. Namun kali ini senyumnya lain dari senyum sebelumnya yang tampak jahil. “kita hentikan saja. Ini bukan permainan. Atau kau memang ingin terluka seperti sebelumnya.” Dan itu bukanlah sebuah sindiran, melainkan sebuah permintaan.
“Aku akan menjadi apapun. Jadi jangan libatkan dirimu.... hei, tunggu, jangan sekarang! Hahh, lagi-lagi.” Bukannya kesal karena tak digubris, dia cuma bisa melihat lawan bicaranya yang sudah menunduk dan tertidur sembari duduk itu dengan pasrah.
###
Di lapangan luar gedung sekolah, para siswa anggota klub atletik berlatih di tengah teriknya sinar matahari musim panas. Bahkan tanpa mengendurkan semangat klub sepak bola sedang berlatih menendang dan beberapa mengelilingi lapangan. Di sisi lain lapangan klub lari sedang berlatih sprint. Semangat mereka tak banyak berbeda dengan klub-klub atletik lain, dan bahkan klub selain atletik seperti klub paduan suara, atau bahkan klub musik seperti orkestra yang suaranya terdengar jelas.
Hanya dari jendela kelas Kanou dapat melihat kegiatan sebagian siswa sekolah itu, kecuali dirinya yang cuma duduk dengan bosan sebelum akhirnya memutuskan keluar dari kelas untuk pulang. Sampai keluar gedung ia berpapasan dengan beberapa siswa laki-laki berseragam baseball.
“Lihat, genius memang tidak perlu berlatih dengan keras. Tapi sekarang dia bukan genius lagi, sih.”
“Apa selama ini senyumanmu itu hanya untuk mengejek kami?”
“Aku tidak menyangka kalau di tim kita pernah ada anggota yang terlihat seperti domba tetapi berhati serigala.”
“Penyesalanmu tidak cukup untuk membuat keadaan kapten lebih baik.”
“Klub tidak butuh anggota sepertimu!”
Mendengar kalimat-kalimat itu langkahnya terhenti. Tangannya mengepal. Tetapi memangnya apa yang bisa ia lakukan? Menghajar mereka dan berkelahi seperti sebelumnya, yang pada akhirnya malah dia sendiri yang terlihat lebih babak belur sampai mendapat peringatan dari sekolah? Atau mengacuhkannya tetapi terlihat lemah dan menyedihkan bagai pecundang, seperti yang mereka katakan? Apa dirinya benar-benar tidak bisa dimaafkan? Apakah dirinya memang sepenuhnya bersalah? Atau mungkin karena dia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.
Sebagian dirinya merasa kalau dia juga korban dan tidak ingin disalahkan. Egois memang, tapi menurutnya mereka tak tahu apapun mengenai masalahnya. Dan dia juga tak ingin mengatakan atau memberitahu masalah pribadinya untuk diketahui orang lain. Karena selama ini dia dapat menyelesaikan permasalahannya sendiri, bahkan masalah milik teman-temannya. Di sini dia terlalu sombong dan keras kepala.
“Tolong minggirlah, kalian menghalangi jalan.”
“Yang sebenarnya menghalangi itu bukan kami, tapi kau. Masih belum paham?” kata salah seorang dari mereka menarik kerah baju Kanou.
“Apa yang sedang kalian lakukan di sini? Sudah selesai pemanasannya? Kalau aku kembali dan tidak melihat kalian sedang berada di lapangan untuk berlatih...” ucap seseorang yang datang tiba-tiba. Belum selesai berbicara, mereka pun dengan patuh pergi. Karena tanpa dikatakan pun mereka tahu konsekuensinya, bisa-bisa mereka harus latihan sampai berkali lipat bahkan hingga muntah darah. Ketua klub memang harus lumayan kejam.
“Terimakasih.”
“Jangan berterimakasih padaku. Yang mereka katakan tidak sepenuhnya salah. Apa kau tidak merasa kalau kau itu sebenarnya sangat lemah? Menurutku saat ini kau memang seorang pecundang. Mengecewakan. Lakukanlah sesuatu untuk menebus kesalahanmu. Atau, tetaplah seperti itu. Kalau seorang ace sepertimu.... ah, menjengkelkan!” Bahkan kata-katanya terasa lebih menusuk dari para siswa sebelumnya yang merupakan angota satu klubnya. “pikirkanlah sendiri. Jangan kembali ke dalam klub kalau kau tetap seperti ini.”
Dia mengerti kenapa teman dekatnya itu juga mulai mengatainya lemah, mengecewakan, dan pecundang. Tidak salah sebenarnya, mereka semua tidak salah dengan apa yang mereka katakan. Dia tahu itu dengan baik. Akan tetapi perasaan membenci diri sendiri sudah terus bertambah menguasai dirinya. Hal itu terlalu sulit untuk dilenyapkan. Dan semuanya bertambah rumit sejak hari itu, hanya sekitar seminggu yang lalu.
Hari itu setelah berkelahi dengan seorang teman satu klubnya, dia dan temannya mendapat hukuman untuk membersihkan kolam renang setelah jam sekolah berakhir. Walaupun memasuki sore hari tapi matahari musim panas sungguh terasa terik. Dan membuat air kolam terlihat berkilauan karena pantulan cahayanya. Tetapi langit biru sangat cerah, hingga bayangannya dapat dilihat dari permukaan air kolam renang.
Langit yang ia lihat dari permukaan air tampak seperti deja vu. Samar-samar ia mengingatnya. Dia ingat pernah pergi bersama ketiga temannya ke suatu tempat yang terasa sangat tenang dan damai. Kira-kira itu di mana, ya? Dia hanya bisa mengingat perasaan ketika berada di tempat itu tanpa mengingat tempatnya.
Tiba-tiba saja tubuhnya limbung dan tercebur ke dalam kolam renang. Dirinya ingat tak bisa berenang. Jadi ia berusaha menggerakkan kedua tangan dan kakinya, tapi rasanya percuma. Lalu pikiran itu pun muncul... sepertinya tidak masalah. Karena paling ia hanya akan kehabisan napas. Akhirnya dia mulai berhenti menggerakkah tubuhnya. Hingga tubuhnya perlahan tenggelam. Rasanya tenang walau mulai terasa sesak.
Dari dalam air dapat dilihatnya langit biru cerah dan juga matahari yang bergoyang karena gerakan air. Serta gelembung-gelembung udara yang seakan terbang ke langit. Entah kenapa semuanya terlihat menakjubkan.
Ah, benar, langitnya ada di dalam air. Bahkan mataharinya juga. Jadi, ini tempatnya. Rasanya sedikit sepi, tapi menenangkan dan nyaman. Bukan aku menyukai perasaan ini, aku cuma tidak membencinya. Sepertinya sudah kutemukan, suatu tempat dimana orang lain tak dapat menemukanku.
Samar-samar terdengar seseorang memanggil namanya tetapi rasanya ia ingin berada di dalam air lebih lama, tenggelam lebih dalam.
Kalau langsung ketahuan namanya bukan lagi tampat persembunyian. Lalu di mana sebaiknya aku bersembunyi?
Bayangan matahari yang dilihatnya mulai menghilang, digantikan dengan sosok seseorang yang tampak terbang-bukan, berenang ke arahnya. Tangannya yang terlihat panjang terulur padanya, lalu menarik tubuhnya keluar dari dalam air.
Setelah mendapat pertolongan dan sadar, beberapa orang yang ia kenal dan seseorang yang tak dikenal mengelilinginya. Ada dua siswa dan seorang siswi, seorang guru, dan seorang pria muda dengan seluruh pakaian serta rambut yang basah. Selain pria muda yang duduk santai di sampingnya, ketiga orang lain yang mengelilinginya memasang ekspresi yang tak jauh berbeda. Khawatir, cemas, dan lega.
“Kalau kau ingin mati dan bunuh diri maka kau tidak menghargai usaha orang-orang yang ingin hidup. Setidaknya jangan bunuh diri di tempat yang kemungkinan bisa dilewati orang lain. Itu akan sia-sia.” Kata pria muda yang tak dikenal tiba-tiba. Entah sedang memberi nasehat untuk tidak melakukan bunuh diri yang ia maksud, atau malah memberi saran tentang bagaimana cara yang baik dan benar melakukannya. Wajahnya memperlihatkan kesan kalau dia serius, walaupun memperlihatkan senyuman yang seakan mengajak bercanda. Tetapi bagi Kanou yang baru saja ditolongnya dan telah sadar itu, malah terdengar sok tahu dan agak menyebalkan.
Tolong jangan seenaknya menyimpulkan sesuatu! Batinnya.
Semua yang ada di sana terkejut dengan apa yang mereka dengar. Pria muda itu hanya menanggapi dengan wajah yang malah terlihat seperti, “apa aku mengatakan hal aneh?” dan karena kata-katanya itu membuat mereka yang menjadi saksi cukup percaya setelah melihat apa yang terjadi.
Sebelum dia membuka mulut untuk bertanya dan memprotes si pria muda kembali memberi nasehat yang dirasa tidak diperlukannya, “kalau ingin mati hiduplah terlebih dulu selama mungkin.” Kata si pria yang sekarang malah menguap lebar.
“Ano...” ucapnya ingin diberi kesempatan untuk berbicara.
“Oh, maaf sudah menggagalkan usaha bunuh dirimu. Kebetulan aku sedang lewat, dan tidak bisa membiarkan begitu saja. Karena... lihat, teman-temanmu terlihat sangat menghawatirkanmu.” Bicaranya terdengar terlalu enteng di telinga orang-orang yang mendengarnya. Sepertinya pria muda ini kurang memiliki kepekaan dengan mulutnya.
“Yang sebelumnya Anda katakan itu,”
“Hm? Oh, maksudmu yang itu, ya... tapi bukankah kematian itu ada setelah hidup? Kematian hanya datang pada mereka yang hidup.” Kali ini wajahnya benar-benar tampak lain dari sebelumnya. Matanya menatap tajam. Nadanya seperti ancaman atau peringatan, tetapi di dalamnya seakan ada sesuatu yang lain. Tidak tahu kenapa setiap kalimat yang pria muda itu katakan terasa menusuk, dalam, dan menyesakkan. Kanou merasa bersalah dengan apa yang ia pikirkan sebelumnya.
Sebenarnya ketika berada di dalam air, diapun berpikir tidak apa kalau mungkin dirinya akan mati saat itu juga. Dan ada ataupun tidak ada dirinya, pasti tidak akan berbeda. Bukankah kebanyakan manusia akan tetap terus melanjutkan hidupnya bahkan jika anggota keluarga atau seorang teman meninggal? Pikirnya pendek. Dan di dalam dirinya, akhirnya mulai tumbuh perasaan menerima kematian begitu saja, dengan kata lain menyerah dan pasrah pada hidup. Toh, dia telah banyak kehilangan kepercayaan dari teman-temannya, membenci dirinya, dan juga hal yang membuatnya bahagia.
Mengingat hari itu Kanou hanya bisa membatin, “memangnya siapa yang mau bunuh diri!” tapi dalam hati dia juga menyalahkan diri sendiri karena terlalu pasrah dengan hidup dan mati ketika itu. Lalu apa bedanya?
Beberapa hari setelahnya sang guru yang juga menjadi saksi mengatakan betapa beruntungnya dia bisa diselamatkan oleh pria muda itu, yang ternyata merupakan calon guru pada musim semi berikutnya. Dan kata sang guru, itu seperti kesempatan kedua yang Tuhan berikan padanya, yang tidak boleh disia-siakan. Lalu pada akhirnya tidak pernah ia jelaskan alasan sebenarannya kenapa semua itu terjadi pada guru tersebut dan orang lain sampai saat ini.
Dan saat ini seorang siswi datang, membuat keduanya menghentikan situasi tak mengenakkan itu. Dia adalah seorang siswi yang ada pada kejadian di kolam renang. Wajah si gadis tampak sedih memandang kedua siswa di depannya. Tapi dia juga tidak bisa melakukan apapun untuk mereka. Rasanya seakan serba salah. Saat ini dia terlihat tidak ingin memihak pada siapapun. Tetapi jika terus dibiarkan pasti sesuatu yang lebih buruk akan terjadi.
“Sakura, ayo, pergi.” Gadis itu menurut dan hanya bisa berjalan menunduk meninggalkan salah satu dari mereka. Ketika anak lelaki yang ditinggalkan itu juga memanggilnya, gadis itu hanya bisa memandangnya sesaat dan kembali berjalan. Dalam hati gadis itupun merasa bersalah.
“Maaf, tapi aku tidak akan kembali. Aku... tidak bisa kembali.” Gumam Kanou masih berdiri di tempat.
Kalau seperti ini bagaimana dia memperbaiki dan menebus semua kesalahan yang telah terjadi?
###
Restoran tak terlalu ramai seperti jam sebelumnya. Hanya ada beberapa pelanggan sebelum jam tutup restoran. Dan beberapa pelayan yang selesai melayani sibuk merapikan serta membersihkan meja yang telah kosong.
Di meja bagian sudut ruangan seorang pelayan tak sengaja menumpahkan sesuatu pada pakaian dan barang milik seorang pelanggan. Ia tampak meminta maaf berkali-kali, tetapi si pelanggan hanya melihatnya dengan tatapan datar namun terasa mengintimidasi.
Manager restoran datang dan ikut meminta maaf. Tetapi setelah beberapa detik mengamati wajah pelanggannya yang masih muda atau lebih bisa dikatakan remaja itu, sang manager terkejut.
“K-Kou... Kouda-kun. Okyakusan*, mohon maaf atas pelayanan kami yang tidak memuaskan serta tidak menyenangkan ini. Dia masih baru di sini.” Kata sang Manager meralat panggilannya dengan gugup. Tetapi setelah melihat pelanggannya-yang sepertinya lebih dihormati lebih dari yang terlihat-memasang ekspresi yang menurutnya telah dikenalinya, sang manager menambahkan, “sebenarnya anak ini adalah ponakan saya dan hanya membantu dikarenakan kami kekurangan pekerja. Karena belum mendapat pekerja yang baru anak ini menawarkan diri untuk membantu dan saya menerimanya begitu saja. Saya benar-benar minta maaf. Salah saya karena kurang bijak dalam membuat keputusan.” Sang manager bahkan agak bingung memperlakukan pelanggan kali ini. Apa posisinya?
Melihat pelanggan spesialnya tak bergeming kegelisahan mulai menjalari tubuh sang manager. Mungkin saja, jika salah langkah akan terjadi sesuatu dengan restoran miliknya. Pikir pria itu. Berbeda dengan Kanou yang merasa jika pamannya terlalu berlebihan pada anak yang sepertinya lebih muda darinya, dan duduk dengan mata tak berkedip di depannya. Memangnya seberapa penting anak ini di mata pamannya? Kanou tahu telah melakukan kesalahan, tetapi ia tak menyukai cara pamannya meminta maaf. Walau pada seorang pelanggan sekalipun. Jadi dia merasa sedikit kesal.
“Apa yang Anda takutkan? Apa saya tampak mengundang bahaya? Atau membawa suatu peringatan untuk Fujisaki-san? Sejujurnya, saya pun tidak peduli, karena menurut saya pekerjaan Anda tidak ada sangkut-pautnya dengan saya.” ucap Kouda si pelanggan dengan wajah yang terlalu santai, padahal yang mendengarnya terlihat tegang. “Ah, mungkin kali ini berbeda karena saat ini aku seorang pelanggan, hahh...” gumamnya pada diri sendiri, tapi tetap saja hal itu cukup dapat terdengar samar di telinga mereka.
“Eh? Saya benar-benar minta maaf. Eishi-kun, kau juga, cepat, minta maaf lah yang benar.” Sang manager yang selalu terlihat tegas, cukup kaku, namun kadang galak di hadapan para karyawan, terlihat lebih ramah dibanding pada pelanggan lainnya. Bahkan karyawan yang lain menghentikan pekerjaan untuk melihat hal yang tak biasa itu.
Di mata para karyawan, sepertinya pelanggan kali ini begitu istimewa di mata manager, padahal sang manager tak pernah membedakan seorang pelangganpun. Bahkan suaranya terdengar lebih halus dari sebelumnya. Kanou hampir memperotes, tetapi sang Manager menghentikan dengan gerakan tangan. Pada akhirnya Kanou Eishi hanya bisa mengikuti arahan manager yang merupakan pamannya seperti anak ayam. Dia tak begitu tega membuat pamannya yang selalu baik padanya terlihat lebih kesusahan.
Kouda merasa sang manager seenaknya saja mengartikan kata-katanya barusan, padahal maksudnya bukan seperti apa yang sang manager pikirkan. “Tidak apa-apa, tolong berhenti menunduk dan meminta maaf. Bagi saya rasanya memalukan.” Kata Kouda si pelanggan dengan senyuman yang terasa ganjil dimata Kanou.
Pakaian formal yang terlihat sangat mahal itu terkena noda saus di bagian kemeja putih bersihnya yang seputih salju dan juga rompi yang dikenakannya. Jam tangan yang terlihat mewah dan mahal yang sekarang ditaruh di atas meja terkena sup kental. Jadi menurut Kanou pasti akan sangat sulit menghilangkan noda keduanya. Mungkin juga jam tangan itu bisa rusak karenanya. Dia berpikir berapa kira-kira harga baju dan jam tangan itu serta semua yang anak lelaki di depannya pakai. Bahkan dari ujung kaki hingga kepala semuanya terlihat baru-tidak, satu itu tak dapat dihitung, karena dia memakai topi yang terlihat murah, biasa, dan agak tua tetapi bersih. Kenapa pakaian formal yang elegan itu dipadukan dengan newsboy cap setengah usang? Perpaduan yang aneh pikir Kanou. Tapi itu tidak penting, yang terpenting sekarang berapa uang yang harus ia keluarkan untuk menggantinya sebagai permintaan maaf. Pasti tidak akan semudah itu untuk menyelesaikan masalah noda saus dan sup pada pakaian dan jam tangan mahal yang dimiliki anak yang sepertinya dari keluarga elite itu. Sudah jelas permintaan maaf saja tidak bisa menyelesaikan masalah, menurut perkiraannya.
“Okyakusan, saya benar-benar minta maaf. Kira-kira berapa saya harus menggantinya?” tanya Kanou berinisiatif.
“Tidak usah, aku bisa membuangnya kalau mau.” Katanya enteng. “aku berhutang ini padamu.” Sambungnya dengan senyum. Kali ini terlihat ramah.
“Eh, berhutang? Saya tidak mengerti maksudnya, tapi...membuangnya? itu...” sebenarnya Kanou merasa cukup tersinggung. Kenapa mudah sekali Kouda mengatakan hal itu? Apa karena ia seorang tuan muda dari keluarga kaya? Dan pasti dia belum pernah merasakan bagaimana sulitnya menghasilkan uang dengan tangan juga keringatnya sendiri. Yang sebenarnya juga baru disadarinya setelah ikut bekerja pada pamannya. Sombong sekali!
“Okyakusan,” kata sang manager. “bagaimana jika...”
Tidak ingin ada kesalahpahaman yang lain ketika menanggapi manager restoran itu, jadi ia dengan cepat memotong kata-kata orang yang lebih tua dengan menyesal, “ano, Pak manager, boleh saya meminta waktu untuk berbicara dengan karyawan Anda sebentar? Maksud saya ponakan Anda, Fujisaki-san.” pinta Kouda sopan.
Kouda mulai berbicara setelah dilihatnya para karyawan dan manager menjauh. Dengan tenang Kouda mempersilakan Kanou untuk duduk dan meminum apa yang sudah ia pesan sebelumnya. Dan dirinya menambahkan kalau sebagian makanan dan minuman yang dipesan itu sebenarnya dipersiapkan untuk Kanou, bukan untuknya.
“Bayarannya akan lebih baik dari pada kau bekerja di sini atau di tempat lain.” Kata Kouda tiba-tiba.
“Eh? Ano, maksudnya apa?” tanya Kanou benar-benar tidak mengerti.
“Aku sedang menawarimu sebuah pekerjaan, kau tidak mengerti?” nada bicaranya santai tetapi penuh dengan kesabaran, karena terdengar ada sedikit kekecewaan di sana.
Apa yang bisa seorang bocah sepertinya tawarkan padaku sebagai sebuah pekerjaan?
“Pekerjaan?!”
Kouda mengangguk, “Pekerjaannya cukup mudah, kok. Kau tetap sebagai seorang pelayan, dengan tugas yang berbeda dari julukannya. Ah, bukan, sebaiknya aku mengganti kata-kataku. Sebagai seorang teman.”
Di sudut lain restoran para karyawan segera menghampiri manager –yang sebenarnya sedang berjalan ke arah mereka, dengan wajah ingin tahu dan antusiasme tinggi. Tapi sang manager hanya menjelaskan sedikit, bahwa pelanggan mereka itu adalah penyelamat kehidupan mereka. Sang manager tak menjelaskan lebih, karena sepertinya itu adalah rahasia, atau cuma malas menjelaskan saja. Lalu mereka dikejutkan dengan suara tajam yang keras.
“Yang benar saja! Jangan bercanda!” itu adalah suara Kanou yang sudah berdiri dari kursinya. Dia tampak sangat kesal.
Wajah Kouda si pelanggan terlihat kaget, tentu karena ia manusia biasa. Memangnya siapa yang tidak akan terkejut kalau tiba-tiba saja lawan bicaramu berteriak dengan keras di depanmu, padahal menurutmu sama sekali tidak ada hal luar biasa yang terjadi. Pada akhirnya dia kembali santai seperti baru saja tak terjadi apapun hanya dalam satu detik.
“Wah, bikin kaget saja. Tolong jangan terlalu keras bicaranya, itu memalukan.”
“Maaf, saya menolak. Permisi.” Katanya segera pergi. Tetapi Kouda malah menyeringai seakan umpannya telah termakan seperti sudah diperkirakan.
“Hmm... aku ingin tahu, bagaimana kalau...” gumamnya, lalu dengan agak keras memanggil Kanou kembali, “hei, Kanou-kun...” ketika Kanou berhenti tanpa menoleh dan bertanya “apa” dengan suara yang terdengar kesal, seketika wajah Kouda telah berubah dengan serius. “apa kau tidak ingin kembali hidup? Atau melakukan sesuatu supaya dapat bangkit dari kematian? Menurutku kau sangat cocok dengan pekerjaan ini, zombie-kun.” Lanjutnya dengan seringai licik yang kembali menghiasi wajah shota*nya.
Ketika salju turun di musim dingin awal tahun itu, mobil yang telah membawa pelanggan terakhir pergi keluar dari area parkir melewati jalan-jalan yang dihiasi lampu berwarna-warni di setiap sisi jalan.
“Anda terlihat agak pucat, apakah Anda merasa kurang sehat? Perlukah saya menghubungi dokter atau membawa Anda ke rumah sakit?” tanya si supir pada Kouda dengan tetap melajukan mobil.
“Tidak perlu, mungkin karena ini musim dingin. Nishida-san, lusa tolong jangan menghubungi atau mengangguku. Dan katakan pada Takeuchi-san, besok aku ingin berangkat sebelum sarapan.”
“Baik, Shin-sama. Tetapi bagaimana jika terjadi sesuatu seperti sebelumnya?” tanya Nishida si supir dengan agak cemas.
“Tentunya Nishida-san akan menjadi penjaga dan pelindung untuk tuannya, bukan?! Sebagai pelayan pribadi sepupuku. Bukankah ini yang Nishida-san inginkan? Tapi sekarang malah bersamaku?!”
“Ini adalah perintah langsung dari Yuua-sama. Selain itu, bukankah saat ini Takeuchi-dono masih menjalankan tugas penting dari Anda, Shin-sama?”
Rambu jalan di depan yang berubah memaksa mobil itu untuk berhenti. Seakan mengingatkan Nishida pada dirinya yang pernah membatasi hidup dengan rambu yang sekarang telah dirusak kedua bocah itu. Dia merasa beruntung dapat ditemukan oleh anak ini, Tuannya, dan keluarga mereka. Pria muda berkacamata itu memutar tubuhnya. Tersenyum pada seorang anak remaja yang duduk di kursi penumpang. Dengan cuek anak itu cuma memandangnya sesaat dan mengedikkan bahu sebelum mengalihkan pandangannya keluar jendela. Dimatanya, tetap saja Shin-samanya hanyalah seorang bocah yang selalu kekanakan, agak egois, dan cukup merepotkan. Dan masih dengan senyumannya, Nishida kembali melajukan mobilnya. Berharap dapat kembali tepat waktu walaupun hanya untuk mengucapkan selamat malam pada bocah lainnya, Tuannya.
----------
Okyakusan: pelanggan
Shota: wajah yang cenderung imut seperti anak kecil yang dimiliki anak laki-laki (kebalikan dari Loli)