Sebuah mobil berhenti tak jauh dari jalan dekat gerbang kediaman Quinn. Tak lama seorang pemuda keluar dari dalam mobil itu dan berjalan menyusuri jalan menuju gerbang. Setelah sampai di dekat kotak surat, ia mengeluarkan sesuatu dari saku bagian dalam jaket yang dikenakannya. Sebuah surat dengan amplop coklat yang isinya terlihat tebal. Meski begitu surat tebal itu dapat masuk dengan mudah melalui lubang. Si pemuda melihat dan memperhatikan sekeliling halaman yang terlalu luas dan rumah yang besar di depannya. Hingga matanya melihat seorang gadis berdiri di dekat jendela besar di lantai dua rumah itu dan tampak seperti memperhatikan si pemuda. Dari arah lain seorang wanita keluar dari halaman samping sembari berjalan menuju gerbang dengan santai.
Di sebelah kotak surat ada sebuah kotak lain yang telah diisi dengan koran. Mungkin wanita dengan pakaian pelayan itu ingin mengambil koran pagi dan beberapa surat yang telah sampai.
Dengan tenang si pemuda berjalan kembali menuju mobil yang masih menunggunya. Si pemuda masuk dan duduk di kursi pengemudi. Lalu memutar tubuh sembari menghela napas.
“Sepertinya aku baru saja melihat anak yang kau maksud, dan dia tampak mengamatiku. Begini, ya, kalau kau tidak ingin bertemu dengannya kenapa malah ikut pergi denganku? Selain itu, sekarang beritahu padaku apa yang kau rencanakan.” tanya si pemuda pada seseorang yang duduk tenang di kursi penumpang.
###
Menjelang siang itu, jam yang nyaman untuk sekedar bersantai. Gadis itu, Yuua sedang duduk di beranda dengan sepupunya yang datang berkunjung sejak beberapa hari lalu.
“Kau mau melakukannya, kan?!”
“Kalau menurut Shin aku harus melakukannya sepertinya memang harus. Lagipula apapun yang Shin katakan selalu untuk kebaikanku, bukan?! Aku selalu mempercayai Shin. Tapi...” kata-katanya terputus dengan raut wajah cemas.
Apa aku bisa melakukannya sendiri? Bagaimana jika aku melakukan kesalahan? pasti Shin akan mendapat hukuman... batin Yuua ragu.
“Kalau kau ingin melakukannya demi diriku atau orang lain, maka jangan lakukan.” ucap Shin dengan tangan yang masih terus sibuk dengan ponsel di tangan. Yuua hanya terdiam, berpikir jika sepupunya selalu dapat menebak apa yang ia pikirkan. “tanpa kau tahu, secara tidak langsung, Fuu sudah melindungiku. Jadi aku akan baik-baik saja. Jangan khawatir.”
Benarkah?
“Tapi aku takut.”
Shin mengulurkan sebuah apel padanya, “Aku yakin kau bisa. Tidak apa-apa. Kau akan baik-baik saja, Fuu. Jangan takut, aku selalu tepat di belakangmu, kau tau?!” katanya menaruh sebelah tangannya pada pundak gadis itu. Meyakinkannya dengan tatapan serta senyum lembut.
“Tentu aku tau, Shin selalu ada untukku.” Yuua tampak senang. Dilihatnya apel itu, “kali ini bukan untuk kesenanganmu atau salah satu kejahilanmu, kan, Shin?”
“Kau pikir aku akan bermain-main dengan sesuatu yang sangat serius?! Dasar bodoh.”
“Itu karena Shin bisa membuatku menceburkan diri ke dalam sungai hanya untuk sesuatu yang sepele seperti sebelumnya. Padahal kau tau kalau aku tidak suka sungai. Kau selalu membuatku melakukan semua yang tidak kusuka.” kini wajahnya mulai sedikit cemberut.
“Dua hal ini kan berbeda. Dan juga, kau masih marah karena hal itu?” Shin sangat mengenal sepupunya dengan baik, dia tau kalau Yuua sudah memanggilnya dengan sebutan “kau” itu artinya gadis itu marah. Walaupun pada wajahnya tak tampak ekspresi apapun selain sedikit kerutan didahi dengan wajah polos seperti tak terjadi apa-apa. “Aku ingin tau, seberapa buruk diriku ini.” gumam Shin berpikir dengan wajah yang agak jahil namun serius.
“Shin tidak pernah melakukan hal buruk. Shin selalu melakukan kebaikan... dengan cara yang agak kejam.” tambahnya dengan lirih.
“Aku tidak sebaik itu. Dan ya, selalu membuat orang lain berada dalam masalah adalah keahlianku, itu yang kudengar.”
Yuua segera berdiri dan memandang lekat sepupunya, “Shin bukan orang yang seperti itu. Shin orang yang baik. Karena itu, Shin tidak boleh berpikiran buruk pada diri sendiri.” katanya sadar menarik kembali ucapannya. Berpikir buruk pada diri sendiri adalah keahlian gadis itu.
“Begitu, ya... aku memang tidak berpikir seperti itu, bagus kalau kau mengerti.” Shin tersenyum puas.
Yuua merasa kata-kata yang ia tunjukkan pada sepupunya terasa berbalik padanya. Saat ini di dalam pikirannya memang penuh dengan berbagai pemikiran negatif. Dan itulah yang selalu Shin lakukan padanya kalau gadis itu berada dalam perasaan yang buruk. Salah satu yang membuat Yuua sangat menyayangi Shin dengan sepenuh hati. Shin yang bisa membuatnya menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari pada dirinya dulu, sejak pertemuan pertama mereka.
“Akan kulakukan.” kata Yuua penuh keyakinan.
“Hehh... nada suaramu cukup meyakinkan. Pasti kau akan pulih dengan cepat. Sepenuhnya.” katanya mengambil salah satu cake di depannya dan memakannya sedikit demi sedikit, “itu yang kuharapkan.” imbuhnya dengan wajah serius, merasakan rasa manis dalam mulutnya. “hm?! Aku ingin tau, kenapa kebanyakan orang menyukai sesuatu yang manis, padahal tidak semua yang manis baik, bukan?”
Yuua hanya terdiam memandang sepupunya. Tak tau apa maksud ucapannya. Karena ia tahu jika sepupunya selalu memiliki dunianya sendiri, yang tidak dapat Yuua mengerti dan tidak boleh ia masuki.
###
Rencana itu dimulai dua hari yang lalu di dalam ruang kerja Nyonya Evelyn. Sebuah rencana yang telah berubah dari apa yang Tuan Osamu pikirkan sebelumnya. Nyonya Evelyn benar, tidak mudah membujuk cucunya itu. Apalagi ternyata akar masalahnya kembali pada Nyonya Evelyn sendiri.
“Saya tidak ingin mencampuri urusan orang lain. Lagi pula saat ini saya sedang menghindari untuk mencari atau malah membuat masalah. Kalau saya melakukannya mungkin rencana yang sudah berjalan baik bisa saja berubah dan tak lagi menguntungkan. Maksud saya nenek.” kata cucu Nyonya Evelyn beralasan. Matanya bergerak melirik ke bawah pintu masuk ruangan.
Anak itu baru saja menolak untuk menjadi salah satu siswa di Sekai Gakuen, apalagi melakukan “penyelidikan” tentang masalah yang Sekai Gakuen hadapi. Tapi dirinya memberikan sebuah saran pada Tuan Osamu untuk tetap membawa masuk sepupunya ke dalam sekolah itu sebelum mengatakan alasannya. Yang menurut Tuan Osamu pasti bukan hanya karena alasan itu cucu teman baiknya melakukan penolakan. Karena menurut penilaiannya, dilihat bagaimanapun, anak itu tak terlihat seperti anak nakal yang selalu dikatakan Nyonya Evelyn padanya. Mungkin keadaan dan alasan tertentu bisa membuatnya terlihat seperti “anak nakal” pikirnya.
“Sebuah rencana besar, kah? Sepertinya kamu dan nenekmu memiliki masalah pribadi. Dan kamu terlalu berambisi untuk menang dari temanku.”
“Saya tidak terlalu peduli dengan kemenangan, tetapi juga tidak suka dengan kekalahan. Tapi setidaknya kekalahan bisa dimanfaatkan. Karena itu, saya tidak terlalu menolak permintaan kakek. Mungkin membantu sedikit tidak masalah, bukan?” dari senyumannya anak itu tampak memiliki suatu rencana di dalam otaknya, “ini akan sangat merepotkan, tetapi menarik.” imbuhnya dengan sedikit seringaian.
Walaupun kepala sekolah sekaligus teman dari nenek anak muda itu memang sangat menantikan sepupu yang telah direkomendasikan, masih ada sedikit kekecewaan dalam hatinya.
“Apakah tidak masalah membiarkannya sendiri? Nenekmu mengatakan kalau Kazato-chan selalu bergantung padamu.”
“Selama ini dia memang selalu sendirian. Saya berusaha supaya Fuu bisa melakukan segala sesuatunya sendiri. Dan, akan saya pastikan bukan hanya pada saya dia bisa bergantung. Saya cuma butuh satu orang yang dirasa cocok untuk urusan ini. Sayangnya pelayan tak diperbolehkan ikut menemaninya di sana. Jadi, kita akan mulai ‘berbisnis’ dengan seseorang yang lain di sekolah itu, kakek.” seringai liciknya kembali terlihat.
Selama beberapa menit Tuan Osamu masih terus berpikir. Sebenarnya orang tua ini akan bertambah senang kalau saja keduanya bisa masuk sekolah Sekai Gakuen. Tapi apa boleh buat, anak yang sekarang sedang memanggil “teman baik”nya yang berada di halaman melalui jendela itu tak tergoyahkan dengan pendiriannya. Bahkan anak itu menyarankan pada Tuan Osamu supaya bisa memanfaatkan sepupunya sendiri dengan baik. Benar-benar kemiripan yang tak terbantahkan, seperti Arthur, kakek anak itu.
“Fuu memang tidak terlalu memiliki rasa ingin tahu yang cukup besar. Tapi tanpa kita maupun orang lain tahu, dengan mudah dia sudah memiliki sesuatu dalam genggamannya. Sebuah rahasia. Jadi saya yakin Fuu mampu melakukannya. Tapi untuk saat ini, dia perlu bantuan kecil.” kata si cucu temannya dengan enteng. Dia masih berdiri di dekat jendela, menunggu teman baiknya yang sedang berjalan ke arahnya.
Walaupun tidak mengerti sebagian maksud dari kata-kata itu karena cucu temannya melarang Tuan Osamu untuk bertanya lebih, diam menjadi pilihan. Saat ini Tuan Osamu merasa dirinya tengah dikendalikan anak kecil di depannya. Tapi memang, orang tua ini tidak ingin memaksa pada anak kecil yang dimintai bantuan dengan masalah yang menurutnya rumit untuk seusia mereka.
“Jadi, bagaimana? Apa kakek Osamu setuju?” anak itu kembali duduk dengan santai. Saat ini di atas pangkuannya seekor kucing berbulu biru melingkar dengan nyaman.
“Boleh aku bertanya Kouda-kun?” tanya tuan Osamu yang mendapat anggukan dari Shin. “kenapa kamu memutuskan untuk mengirim sepupumu sendiri yang, maaf, memiliki masalah dengan...” belum selesai berbicara, Shin memotong.
“Sebenarnya bukan itu masalah yang benar-benar harus dikhawatirkan. Saya tidak terlalu mengkhawatirkan Fuu sama sekali untuk hal itu. Yang saya khawatirkan adalah kalian. Satu kesalahan saja.... kalian tidak dapat bersembunyi. Saran saya, sebaiknya jangan terlalu dekat dengan Fuu. Tolong jaga jarak kalian.” Anak itu mengakhirinya dengan tawa kecil di akhir kalimatnya.
Shin berjalan ke arah pintu sembari menggendong kucingnya yang masih tertidur. Ketika pintu didorongnya ke luar, seseorang telah berada di depan pintu dengan wajah terkejut.
“Aku, kan, sudah menyuruhmu untuk menunggu di ruangan lain,” kata Shin tanpa menaikkan nada suara, Yuua hanya mengangguk sembari menunduk. “maaf, Fuu. Apa kau merasa bosan? Ayo, masuk.” ajaknya.
Tuan Osamu tersenyum senang. Akhirnya dirinya bisa bertemu kembali dengan gadis unik yang ditunggunya. Dia masih terlihat seperti terakhir Tuan Osamu melihatnya. Hanya saja saat ini pakaiannya terlihat lebih bersih, rambutnya disisir dengan cukup rapi, dan kakinya memakai alas kaki.
“Hallo, grandpa.” Sapa Yuua memasuki ruangan.
“Hallo, Kazato-chan.”
“Nah, kakek sekarang bisa membicarakannya dengan sepupu saya. Jangan khawatir, Kouda akan membantu kalian. Sedikit.” tangannya mengelus lembut kucing berbulu biru di pangkuan yang bergerak menggeliat.
------