NAMA baik Alvaro sudah tercoreng secara sempurna di sekolah. Rasanya tidak satu pun siswa yang Raka temui tak membicarakan keburukan Alvaro, terlebih dengan bertambahnya rekaman mengenai cowok itu. Meski kali ini tokoh utama video tidak hanya Alvaro, tapi juga Raka. Berbeda dengan Alvaro yang menerima banyak hujatan, Raka justru mendapat sederet sanjungan tentang kesediaannya ‘mengurusi’ Alvaro yang terlihat jelas di video. Raka tidak memedulikannya. Ia justru mencemaskan perbincangannya dengan wali kelas perihal Alvaro, yang memungkinkannya mendapat Surat Peringatan ketiga selepas tindakannya tadi malam.
Resolusi mengembalikan Alvaro seperti sedia kala memang terasa sukar digapai, tapi Raka enggan menyerah. Berkaca pada persahabatannya dengan cowok itu selama ini, Raka tahu Alvaro sedang tersesat dan terjebak pada situasi yang memaksanya menghancurkan diri. Raka tidak bisa membiarkannya. Ia harus membantu Alvaro. Bukankah itu tugas sahabat?
Maka, setelah sekolah usai, Raka bergegas pulang. Ia tahu Alvaro masih berada di rumahnya karena ibunya sempat memberi kabar. Raka menemukan Alvaro di pekarangan belakang, tengah menyekop tanah. Bulir keringat menghias wajahnya, dan napas memburu menandakan ia sudah mulai lelah.
Raka menyeringai. “Ganti profesi jadi tukang kebun?”
Alvaro menanggapinya dengan tendangan singkat di kaki yang berhasil Raka hindari. Ia lalu berganti pakaian dan membantu Alvaro. Semula mereka tidak bicara selama bekerja, menata tanaman milik ibu Raka. Beliau memang gemar bercocok tanam. Begitu ibunya muncul membawa kudapan, kedua remaja itu pun beristirahat dengan duduk di teras bersisian, menikmati angin sore dan keelokan senja yang akan menjadi romantis jika dilalui bersama pasangan. Namun, dengan Alvaro sebagai sahabatnya, Raka merasakan sensasi hangat yang menyenangkan. Karena rasanya sudah lama sekali mereka seperti ini.
“Motor gue di mana?” Alvaro yang memulai pembicaraan setelah menyeruput minumannya sedikit.
“Kelab.” Raka melipat kaki dan menumpukan kedua lengannya di lutut. Semalam, ia memang membiarkan motor Alvaro di sana setelah cowok itu tak sadarkan diri. Raka bersyukur ia datang menggunakan mobil ayahnya, sehingga memudahkannya membawa Alvaro ke rumah.
“Lo tahu dari mana gue di sana?” Alvaro kembali bertanya. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding dan sedikit meringis, yang membuat Raka menoleh padanya.
“Gue tanya-tanya sama Toni kelab yang suka lo datangin.” Alvaro hanya menggumam. Tatapannya tertuju ke area taman yang mereka tangani tadi. Raka turut menatap ke depan. Semula ia ragu. Namun, Raka menarik napas dan berkata, “Al, punggung lo...” Raka menggantungkan kalimatnya sebentar, merasakan aura ketegangan di sisi tubuhnya. “Gue nggak sengaja lihat waktu bawa lo ke mobil.”
Suasana kembali hening. Lalu terdengar suara kakak Raka dari dalam rumah, diikuti adiknya yang pulang bersama. Mereka sempat menyapa Raka dan Alvaro, sebelum meninggalkan keduanya.
Alvaro menggaruk dahinya. Ia terkekeh hambar. Hal itu membuat Raka memberanikan diri untuk bertanya lebih jauh.
“Bekasnya banyak banget, Al. Bokap lo...yang ngelakuin?”
Alvaro bungkam.
“Emi...tahu soal ini?”
Saat Alvaro menggeleng, Raka kembali diam. Ia masih ingat sensasi ngilu dan nyeri ketika ia melihat kondisi punggung Alvaro. Sekujur tubuh Raka membeku detik itu, karena ada banyak sekali bekas cambukan di sana. Ia tidak pernah tahu Alvaro menyimpan luka sedemikian hebat. Cowok itu tidak pernah bercerita demikian. Di satu kesempatan, Alvaro hanya berkata bahwa ayahnya orang yang tegas dan tidak suka jika putra-putrinya payah dalam pelajaran. Raka kira bekas pukulan di wajah Alvaro adalah tindakan paling berani yang bisa ayah cowok itu lakukan. Nyatanya, perlakuannya jauh lebih parah. Seorang ayah mencambuk putranya sendiri? Raka tidak bisa membayangkannya.
“Gue beli tes masuk Bina Pekerti.”
Pengakuan itu mengejutkan Raka. Ia menoleh cepat pada Alvaro. Melihat reaksi Raka, Alvaro terkekeh.
“Gue anak walikota sama dosen. Lo bayangin kecewanya bonyok gue karena gue cuma masuk Bina Pekerti. Curang pula.”
“Tapi itu bukan alasan bokap lo ngelakuin kekerasan, Al.” Ada nada protes di suara Raka yang tidak bisa ia sembunyikan.
Alvaro menyisir rambutnya asal. “Itu bukan kekerasan, Ka. Itu cara bokap ngedidik gue.” Alvaro berujar pelan. “Ada harga diri keluarga yang harus dijaga. Kehormatan bokap udah langsung jatuh karena anak sulungnya nggak bisa masuk SMA terbaik.” Lalu Alvaro tertawa kering. “Dan sekarang gue udah benar-benar ngancurin reputasi mereka.”
Raka membuka mulutnya untuk bicara, tapi ia bahkan tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Alhasil, bibirnya kembali rapat dan ia menatap rumput dengan kening berkerut, seolah tanaman itu sudah melakukan kesalahan besar padanya. Ia tidak pernah tahu walikota yang dikagumi banyak orang bisa melakukan tindakan kejam. Apa kata Alvaro tadi? Mendidik?
“Lo tahu, kenapa gue nggak datang ke rumah lo waktu kabur?” Alvaro kembali bicara dengan nada melamun. Raka masih bungkam. “Karena keluarga lo, Ka. Lo punya keluarga yang sayang banget sama lo. Kalau gue main ke sini, udah kerasa rame dan hangatnya kalian. Sikap nyokap lo kayak tadi aja nyadarin gue, kalau lo punya nyokap yang hebat. Nggak ngehakimin. Nggak nuntut. Benar-benar keibuan. Lo bisa bilang kalau gue iri sama lo. Asli gue iri. Gue nggak siap ngelihat itu pas gue kabur dari keluarga gue sendiri. Sama kayak...” Alvaro menelan ludah. “Keluarga Emi. Mungkin gue nggak mau lihat kebahagiaan kalian di saat gue nggak punya itu. Dengki banget emang gue. Tapi gue beneran nggak siap. Gue rasa karena itu gue datang ke rumah Casi sama Toni. Gue bisa ngerasain rasa sepi mereka. Gue ngerasa punya teman yang sama. Yang senasib. Makanya gue nggak bisa ngelarang Casi nyari pelarian ke kosan cowoknya. Nginep berhari-hari di sana. Gue nggak berani ngebatasin Toni ngedrugs. Gue juga bingung dan kesel waktu gue tahu Toni make. Asli gue sempat nggak mau kumpul lagi. Tapi gue mau lari ke mana lagi? Dan kalau itu cara Toni nyari ketenangan, gue bisa apa?”
Saat cahaya matahari mulai meredup dan tenggelam, Raka berharap rasa sakit Alvaro turut hilang.
“Gue mungkin nggak bakal ngerti rasa sakit lo, Al.” Raka bersuara, memecah keheningan yang sempat mengikat mereka. “Orang patah hati aja kalau curhat, belum tentu orang yang dicurhatin ngerti gimana rasanya patah hati kalau dia nggak ngalamin sendiri. Tapi setidaknya curhat itu udah ngasih kesempatan. Orang yang curhat ngasih dirinya kesempatan buat berbagi, dan yang dicurhatin dapat kesempatan buat berempati. Gue nggak pernah ngerasa kalau kita curhat ke orang itu sepele atau malu-maluin. Gue tahu buat curhat itu susah. Ada kepercayaan yang udah dikasih dan harus dipegang. Makanya gue senang, Al, waktu lo cerita sama gue soal ketegasan bokap lo atau orangtua lo yang kecewa karena nilai-nilai lo anjlok. Pas kejadiannya sebaliknya, gue ngerasa lo belum sepenuhnya percaya sama gue. Waktu lo bilang bahwa gue nggak bakal paham, gue marah karena lo bahkan nggak ngasih gue kesempatan buat tahu.”
Perkataan panjang lebar itu membuat Alvaro menatap Raka dengan mulut menganga. Raka tidak bisa mengartikan sorot mata Alvaro karena manik hitamnya yang berkilat bergerak cepat saat pandangannya diakhiri paksa. Alvaro mengurut pelipisnya, menggaruk kening dan mengusap tengkuk leher beberapa kali sebelum bibirnya menyunggingkan senyum sendu yang tidak diperlihatkan langsung karena Alvaro menunduk.
“Sori.”
Lirih, tapi Raka masih bisa mendengarnya. Ia menepuk pundak Alvaro. “Sehancur apa pun hidup lo, masih bisa diperbaiki. Apa pun yang lo butuh, kasih tahu. Asal lo kasih kesempatan itu ke gue buat bantu, dan ke diri lo sendiri buat nata lagi.”
Tubuh Alvaro gemetar. Raka bisa merasakan itu. Ia melihat Alvaro mengepalkan tangannya kuat-kuat hingga uratnya terlihat. Cowok itu tidak lagi bicara, dan Raka hanya berharap pesan yang ia sampaikan pada Alvaro, sampai pada dirinya.
“Mandi,”
“Hm?”
“Gue butuh lo mandi! Bau busuk asli!”
Raka tergelak. Detik itu ia tahu, Alvaro telah kembali.
***
Alvaro memarkirkan motornya di carport dan bergerak turun. Ia melepas helm dan meletakkannya di jok, lantas arah pandangnya tertuju pada bangunan berlantai dua. Kediamannya yang besar dan megah. Secara praktis ia membandingkannya dengan rumah Raka. Ukuran kedua tempat itu jelas teramat berbeda, tapi jika bisa memilih, Alvaro lebih ingin menempati tempat tinggal Raka. Bahkan kalau bisa jadi bagian dari keluarga. Mungkin saudara kembar Raka? Alvaro terkekeh. Lalu, tawanya meredup perlahan. Ada harap yang terlampau tak masuk akal hingga membayangkannya saja menyakitkan.
“Alvaro!”
Alvaro berdiri di hadapan ibunya begitu masuk ke rumah. Ia menatap sosok itu lamat-lamat. Akhir-akhir ini ia memang memilih menghindari tatap lekat karena amarah yang merundungnya. Namun, hari ini ia memindai ekspresi sang ibu, dan bagaimana tubuh itu terlihat berbeda. Seharusnya ibu Alvaro menyuguhkan kesan kuat, tapi ada keletihan yang kentara di sorot mata, roman wajah tanpa riasan, dan tangan yang gemetar.
“Mama ngehubungin kamu berulang kali, nggak satu pun kamu angkat! Kabur-kaburan dan bikin keonaran! Kamu tahu kelakuan kamu malam tadi udah masuk berita?!”
Aku tahu...
“Sekarang Papamu repot nanganin media! Kenapa kamu jadi kayak gini, Al?!”
Menurut Mama kenapa...
“Sampai kapan kamu mau kayak gini?!”
“Sehancur apa pun hidup lo, masih bisa diperbaiki. Apa pun yang lo butuh, kasih tahu. Asal lo kasih kesempatan itu ke gue buat bantu, dan ke diri lo sendiri buat menata lagi.”
Alih-alih berfokus pada teguran ibunya, Alvaro justru terngiang ucapan Raka. Kesempatan? Apa gue masih punya kesempatan, Ka?
“Kamu—“
Telunjuk ibunya yang semula terarah pada Alvaro, melayang ke sisi lain saat tubuh wanita itu tiba-tiba terhuyung. Alvaro membeliak. Ia gesit menahan tubuh ibunya yang nyaris jatuh mengenai ubin.
“Ma? Mama?”
“Den?”
“Bawa kunci mobil Mama, Bu!”
Alvaro membopong ibunya keluar. Saat itulah ia sadar betapa ringkih dan ringannya tubuh ibunya, hingga dalam sekejap Alvaro sudah berhasil membaringkannya di jok. Alvaro melajukan mobilnya menuju rumah sakit terdekat.
Setelah diperiksa, dokter berkata bahwa ibu Alvaro mengalami anemia akibat kelelahan dan stres. Penyebab yang membuat Alvaro bersyukur dan menyesal di saat bersamaan. Ia lega karena tidak ada masalah serius dengan kesehatan ibunya, tapi juga kelu memikirkan kemungkinan dirinyalah yang membuat ibunya pingsan.
Alvaro menolak meninggalkan sisi ibunya, bahkan ketika ayahnya tiba. Ketajaman tatap beliau barangkali sudah mengalahkan ujung belati atau aura membunuh serigala. Jika mereka tidak berada di tempat umum, Alvaro yakin ayahnya sudah melayangkan berbagai pukulan dan cambukan. Oh, sepertinya Alvaro akan mendapatkannya begitu pulang nanti.
“Pak,” panggil supir ayah Alvaro, muncul di balik tirai yang ia singkap. “Di depan banyak wartawan.”
Ayah Alvaro mendengus, lalu berbalik pergi tanpa bicara.
Saat itulah Alvaro mengembuskan napas tertahan. Ia melirik waktu. Pukul sembilan malam. Ponselnya berdering. Panggilan dari Kevan. Adiknya sudah pulang les, dan segera menanyakan kondisi ibu mereka. Alvaro memberi informasi ala kadarnya, dan meminta Kevan juga Mariana untuk menunggu di rumah.
Alvaro memandangi ibunya yang terbaring dengan wajah pucat. Di balik tirai terdengar samar perbincangan orang tentang istri walikota yang dilarikan ke rumah sakit. Asumsi pun menyeruak. Salah satunya adalah penyebab turunnya kesehatan ibu Alvaro, yang disebabkan ulah putranya. Lalu desisan untuk diam menyusul, dan bisikan-bisikan itu lenyap.
“Lo pikir gimana perasaan gue sama Emi ngeliat lo kayak gini? Lo pikir kami bisa hidup tenang?!”
Alvaro mengusap wajahnya lelah. Ia menelan ludah, tertohok oleh ucapan Raka. Ia tidak bisa memikirkannya dengan baik saat Raka mengatakannya, tapi kini di saat Alvaro mencoba bercermin pada semua tindakannya akhir-akhir ini, Alvaro bagai disadarkan bahwa ia tidak hanya membuat Raka atau Emilia gelisah, tapi juga ibunya.
Lantas, kenapa Alvaro berulah? Karena kemarahannya pada ayah dan ibunya? Karena kekecewaannya pada mereka? Apa Alvaro keliru mencari pelarian di luar? Apa semestinya ia bertahan? Ya, mungkin seharusnya ia tidak melakukan apa pun atau membangkang apa pun saat orangtuanya mencoba mengoreksi Alvaro. Mereka hanya menginginkan yang terbaik untuknya, bukan? Mereka hanya menunjukkan rasa kecewa mereka pada kepayahan Alvaro pada pelajaran, bukan? Lalu, salahkah Alvaro turut menumpahkan rasa sakit hatinya yang begitu besar hingga ia rasanya ingin menghilang? Karena saat itu, Alvaro sungguh tidak bisa bertahan. Seluruh anggota tubuhnya bagai sepakat untuk pergi melenggang. Alvaro hanya ingin mendapatkan sedikit ketenangan. Kini, yang datang hanya sebuh penyesalan.
“Maaf, Ma...” Alvaro merunduk. Ia meraih tangan ibunya dan mengusapinya pelan. “Maaf aku nggak pintar kayak Kevan sama Ana...” Suara Alvaro gamang. “Maaf aku udah ngecewain Mama karena curang...karna cuma masuk Bina Pekerti... Maaf aku nggak bisa bikin Mama bangga...” Dada Alvaro bagai dicengkeram kuat oleh tangan tak kasat mata, karena rasanya sakit dan sesak sekali. “Maaf aku udah jadi kayak gini... Aku cuma...” Alvaro mengerjap demi menghalau genangan di matanya. “Aku cuma pengin Mama ngerti kalau aku bukan Kevan atau Ana... Aku nggak pintar kayak mereka... Aku nggak bercita-cita jadi dosen atau pejabat... Aku pengin jadi sutradara, Ma... Mama tahu itu, kan? Aku udah lepasin itu demi Mama sama Papa... Tapi ternyata aku masih payah di sekolah... Aku nggak tahu harus gimana, Ma...”
Alvaro menunduk kian dalam. Genggamannya di tangan ibu menguat perlahan. Ia mengusap sudut matanya yang basah.
“Aku nggak bisa jadi yang Mama atau Papa pengin... Aku nggak bisa jadi anak berprestasi di pelajaran... Aku cuma pengin Mama sama Papa tahu kalau aku udah benar-benar berusaha, tapi aku tetap nggak bisa kayak Kevan sama Ana... Maaf, Ma... Aku minta maaf...”
Senyap mengunci ruang. Alvaro tidak peduli pada suster atau sanak keluarga pasien di luar. Ia bahkan tidak peduli apa pun lagi. Alvaro hanya ingin menumpahkan isi hatinya, karena barangkali ini yang pertama dan terakhir. Tidak masalah ibunya tidak tahu itu. Namun, tiba-tiba tangan Alvaro balas digenggam. Ia tersentak dan mendongak. Matanya yang basah melihat ibunya telah terjaga, duduk dengan susah payah.
Alvaro tertegun saat mata hitam ibunya menatapnya tajam, seolah sorotnya bisa melubangi seluruh hati. Lalu, binarnya berubah sendu. Bibir ibu Alvaro terbuka, bersamaan dengan tangan beliau yang lain berada di punggung tangan Alvaro.
“Mama pengin kamu jadi dosen. Orang terpandang. Terpelajar.”
Alvaro menahan napas. Ibunya masih tidak mengerti. Diri Alvaro yang sebelumnya, akan kembali memberontak dan memilih pergi. Namun, kali ini ia tahu harus bertahan. Tetap berdiri tegap demi seorang wanita yang menghabiskan belasan tahun mengurusnya. Pengorbanan itu tidak ada apa-apanya sebagai balasan, bukan?
“Tapi...,” Ibu Alvaro kembali bicara. Tangannya mengusap wajah Alvaro, mengejutkannya. “Kalau kamu emang nggak bisa, nggak usah dipaksain lagi.”
Alvaro pasti salah dengar. “Ma?”
“Selama ini Mama nggak peduli apa pun yang harus dilakukan, asalkan kamu jadi seperti yang Mama mau. Kalau memang kamu berakhir seperti Papa, Mama bisa mengalah. Setidaknya kamu jadi apa yang kami cita-citakan. Tapi, kamu mulai pergi dari rumah. Hilang dari kehidupan Mama. Melakukan apa yang nggak pernah Mama ajarkan. Pulang dalam keadaan buruk. Melihat Mama seperti musuh. Al, sungguh, Mama sakit hati...”
Alvaro mengerjap. Pipinya seketika basah. “Ma,...maaf...”
Ibu Alvaro membelai pipi putranya. “Mama sakit hati kamu jadi begini. Membangkang. Jadi anak berandalan. Mama berpikir apa yang salah dari didikan Mama. Rasanya nggak ada. Mama sama Papa mendidik kamu, Kevan dan Ana seperti cara kami dididik dulu. Lalu apa yang salah? Mama berpikir keras. Berpikir dan terus berpikir. Sampai Mama sadar, kami mungkin sudah merenggut hal penting dari hidup kamu, Al... Kebahagiaanmu dengan film. Kebebasanmu memilih. Suaramu yang kami abaikan. Mama mendapatkan pembalasan paling setimpal. Kehilanganmu.”
Alvaro menguatkan genggamannya dan merundukkan kepala, tak lagi bisa menahan tangis. Ia merasakan kepalanya dibelai. Kehangatan ini rasanya lama sekali tidak ia cicipi. Kelembutan yang berasal dari seorang ibu yang Alvaro kenali teramat keras pendirian. Malam ini, Tuhan bagai memelintir egonya dan menghaluskan hati yang sebelumnya membatu. Hal serupa terjadi padanya.
“Sekarang Mama nggak peduli kamu jadi sutradara, aktor, penulis, apa pun yang kamu mau. Asal kamu tetap jadi Alvaro, anak Mama.”
Alvaro menggigit bibirnya kuat-kuat demi menahan isak, meski usaha itu percuma. Ia mengecup punggung tangan ibunya dan berbisik, “Maaf, Ma... Maafin aku... Maafin aku...”
Permintaan maaf itu berulang kali keluar dari mulut Alvaro, seolah ia tak rela berhenti bicara demikian. Karena perlakuan ibunya telah menambal luka hati Alvaro, dan satu-satunya yang bisa Alvaro lakukan saat ini hanya meminta maaf, berharap ia masih memiliki kesempatan untuk menjadi anak yang ibunya harapkan.
Tak lagi ada yang bicara di antara mereka bahkan hingga keduanya pulang. Mereka mengendarai mobil yang berbeda dengan ayah Alvaro. Mariana menghambur ke pelukan ibunya saat mereka masuk ke rumah, begitu pula Kevan yang menampakkan roman cemas.
“Kamu ikut Papa, Al.”
Perintah itu memecah haru di tengah mereka. Alvaro mengepal tanpa melihat ayahnya. Matanya terus tertuju pada ibunya, menyerap seluruh kelembutan yang beliau berikan tadi untuk menjadi kekuatannya. Alvaro tahu ia tidak akan lepas semudah itu. Tidak akan pernah. Terlebih, video kelakuannya bertambah parah. Sebuah keajaiban jika ia masih bertahan hidup esok hari.
Ayah Alvaro berjalan lebih dulu. Alvaro hendak menyusul saat Kevan tiba-tiba berdiri memunggunginya, menghadap ayah dan berkata, “Berhenti nyiksa Abang, Pa.”
Ketegangan menguar tanpa bisa dicegah. ART yang semula berada di tengah mereka, menyudutkan diri dengan ketakutan kentara, begitu pula supir yang berdiri di dekat pintu rumah.
Ayah Alvaro berbalik. Matanya nyalang tertuju pada Kevan.
“Sikap macam apa itu, Kevan? Kamu mulai membangkang seperti kakakmu?”
Satu hal yang paling Alvaro khawatirkan adalah kedua adiknya turut menjadi korban. Mereka baik-baik saja hingga detik ini karena kecerdasan Mariana dan Kevan selalu mampu memuaskan dahaga ayah mereka akan prestasi. Tapi, jika Kevan sampai berani menghadang ayahnya seperti ini, itu sama saja cari perkara.
“Van—“
“Papa nggak sadar yang Papa lakuin ke Abang itu kekerasan?” Kevan memutus ucap Alvaro, menyentak penghuni rumah, termasuk ayahnya yang membeliak sengit pada Kevan. “Papa mukul Abang sampai nyambuk itu kekerasan, Pa! Papa nggak lihat bekas cambukan Papa di punggung Abang? Lihat, Pa!”
Kevan memutar tubuhnya dengan cepat hingga Alvaro tidak punya waktu untuk membaca pergerakan adiknya. Ia tersentak ketika tangan Kevan menarik kaus Alvaro dan memperlihatkan setengah punggungnya.
“Van, ngapain kamu?” Alvaro menurunkan tangan Kevan dan menghindar.
Alih-alih menjawab Alvaro, Kevan kembali menghadap ayahnya. “Lihat, Pa? Punggung Abang bisa cacat seumur hidup dan ngerusak syaraf kalau Papa ngelakuin itu terus!”
“Kevan, kamu—“
“Atau perlu aku sebarin rekaman kekerasan Papa buat bikin Papa sadar?”
Tidak hanya Alvaro yang tertegun, orangtuanya dan Mariana juga. Ibu mereka yang kondisi tubuhnya belum sepenuhnya pulih, menatap Kevan dengan kening bergaris tebal.
“Rekaman apa, Van?”
Kevan menoleh pada ibunya. Ia lantas mengeluarkan ponsel dari saku celana pendek yang dikenakan dan mengutak-atik benda itu, sebelum ketegangan di sana menguat oleh suara rekaman ayah Alvaro yang tengah memarahi putranya, tangis Mariana, juga lenguhan Alvaro demi menahan nyeri.
Alvaro mengerjap. Tubuhnya meremang, Napasnya tersekat mendengar rekaman itu. Ia tidak tahu Kevan yang penurut dan tidak pernah bertingkah, berani melakukan hal itu.
Kevan mematikan rekaman dan kembali menghadap ayahnya.
“Aku rekam ini karena aku nggak tahan Papa nyiksa Abang terus, Pa. Aku udah pengin nyebarin rekaman ini. Nggak adil Abang terus yang disalahin. Tapi aku nggak bisa. Gimana kerjaan Papa kalau sampai orang tahu kelakuan Papa sama anak sendiri. Gimana karir Mama kalau orang tahu soal ini. Gimana nasib aku, Ana, Abang kalau rekaman ini kesebar. Aku benci tindakan Papa, tapi aku nggak mau Papa jatuh. Tapi kenapa Papa nggak sadar sih, Pa?”
“Papa mendidik Alvaro seperti Papa dididik!” Ayah Alvaro menunjuk putra dan dirinya sendiri dengan tegas. “Alvaro mengecewakan dan nggak bikin bangga, maka Papa beri didikan yang lebih keras! Begitu Papa dididik dulu! Dan itu sama sekali bukan kekerasan!”
“Papa walikota, nggak mungkin Papa nggak tahu soal itu!” Suara Kevan meninggi. Ia tidak pernah seperti ini. “Papa nggak tahu kenapa Abang sering di luar, ngerokok bahkan mabuk?”
Alvaro menelan ludah mendengar itu. Mulutnya terasa kelu. Rasa malu bagai menampar wajahnya.
“Gimana Abang bisa tahan di rumah kalau Papa nyiksa Abang terus, Pa?” Kevan kembali bicara. “Apa Papa pikir aku juga betah di rumah? Nggak, Pa! Aku udah pengin kabur! Aku bahkan sengaja nambah les biar pulang malam setiap hari karena aku nggak mau lama-lama ketemu Papa!”
“Kevan!”
Kevan menatap ibunya sejenak. Ia menunduk, menarik napas panjang dan kembali mengangkat wajah. “Nggak cuma aku sama Abang yang kesiksa, Pa. Ana juga. Papa sama Mama ngasih terlalu banyak tuntutan buat Ana. Kalian nggak tahu kan Ana sering mimisan? Setiap pulang les, Ana selalu langsung ketiduran di mobil dan ngeluh pusing. Dia capek! Tapi dia nggak pernah ngelihatin itu. Karena apa? Karena pengin bikin Mama sama Papa senang. Bangga. Padahal Ana nggak mau jadi dosen atau pejabat kayak Papa. Ana suka ngegambar. Mama sama Papa nggak tahu itu, kan?”
Orangtua Alvaro bungkam. Alvaro bahkan melihat roman ibunya kian masai. Kevan memang bukan pemberontak. Ia dan Mariana adalah anak penurut dan pendiam. Namun, tampaknya sikap Kevan kini berhasil mengguncang kesadaran orangtua mereka karena bahkan ayah Alvaro yang selalu menyela penuh bantahan dan tidak terima, berdiri kaku dengan mata menyalak merah. Reaksi itu berlainan dengan yang selalu beliau beri pada Alvaro karena tangan pria itu selalu bertindak lebih cepat.
“Kumohon, Pa, berhenti. Udah, berhenti nyiksa Abang. Berhenti nuntut banyak hal dari kami. Aku juga capek, Pa. Sekarang aku udah benar-benar capek. Kalau Papa dulu kayak Abang, Papa pasti tahu rasanya sakit, kan? Kenapa Papa ngelakuin hal yang sama ke Abang? Dan Ma,” Kevan beralih pada ibunya. “Setiap kali Papa nyiksa Abang, Mama selalu diem. Kalaupun Mama misahin, Mama selalu bilang soal media. Media nggak lebih penting dari Abang, Ma. Mama dosen. Mama pasti tahu Papa salah, kan? Atau kayak gitu Mama ngehukum mahasiswa Mama? Pakai pukulan?”
“Mama nggak seperti itu, Kevan!”
“Terus kenapa Mama biarin itu nimpa Abang?!” Kevan menunjuk Alvaro. Suaranya bergetar dan sarat akan keputusasaan, seakan seluruh energinya malam ini telah banyak terkuras untuk ungkapan panjang yang ia lontarkan sedari tadi.
Ibu Alvaro mengerjap. Sayu di mata itu dihiasi sendu saat menatap Alvaro. Ia lantas tertunduk dan memandang Mariana yang berada di sisinya. Wajah gadis kecil itu merah padam. Matanya basah dan berair.
“Kamu sering mimisan, Na?” tanya itu meluncur getir dari mulut ibu Alvaro.
Bahu Mariana berguncang. Ia mengusap wajahnya. “Ana...sehat kok, Ma... Sehat...”
Tubuh kurus Mariana ditarik dalam dekapan oleh ibunya. Alvaro menyelami pemandangan itu dengan hati terenyuh hingga ia tidak mampu menahan gelayut pilu di matanya.
“Salah?” Ayah Alvaro mengakhiri haru itu sekali lagi. Ia menggeleng tegas. “Kalian yang terlalu manja dibanding kami dulu! Kami dididik sekeras itu!”
“Pa, udah.”
“Sekarang kamu bilang Papa salah, Kevan? Di mana letak kesalahan Papa? Di mana?!”
“Udah!” Ibu Alvaro berteriak hingga membungkam mulut suaminya. “Udah, Pa. Udah. Cukup. Kevan benar. Pukulan itu keliru. Harus dihentikan. Tapi Mama terlalu menghormati Papa, membuat Mama diam. Sekarang sudah cukup, Pa. Mama pun sudah bicara dengan Al. Al nggak bakalan begitu kalau Papa nggak keras sama dia. Kalau Mama membelanya. Kalau kita nggak renggut kehidupannya.”
“Ma, ngomong apa Mama ini—“
“Cukup, Pa. Cukup.” Ibu Alvaro mengangkat tangan ke udara. Ia mengusap wajahnya. “Mama capek. Al, tolong antar Mama ke kamar.”
Alvaro yang sedari tadi berdiri kaku, memaksa kakinya untuk melangkah. Ia meraih tangan ibunya dan membawanya ke lantai atas. Mariana dan Kevan mengikuti jejak mereka. Di belakang keempatnya, sang kepala keluarga bersiap menahan, tapi ibu Alvaro melarang keras. Entah bagaimana, kekeraskepalaan ayah Alvaro dikalahkan ibunya malam ini.
“Kevan, jangan sebar rekaman itu,” pesan ibu Alvaro begitu mereka tiba di depan kamarnya. “Papa salah. Mama paham. Tapi kita keluarganya. Mama istrinya. Kalian anak-anaknya. Jaga nama baiknya. Mama hanya pinta itu.”
Alvaro melihat Kevan masih menahan amarah, meski adiknya itu bisa mengendalikan diri. Ia mengangguk kaku.
“Ana, besok kita ke rumah sakit. Kita periksakan kesehatanmu.”
“Ana nggak apa-apa, Ma.”
“Mama nggak mau ambil risiko.” Ibu Alvaro membelai wajah putrinya. “Dan Al,” ucapnya pada Alvaro. “Mama akan pastikan tubuhmu sembuh.” Ada kegetiran tak terelak di ucapan itu. “Tubuhmu. Hatimu. Mama pastikan sembuh.”
Alvaro menyunggingkan senyum samar. Ia membiarkan ibunya masuk ke kamar. Setelah meminta Mariana ke kamarnya, Alvaro berbicara dengan Kevan.
“Hapus rekaman itu, Van.”
“Bang—“
“Dengar kata Mama tadi, kan? Hapus rekamannya. Kasih kesempatan buat Papa berpikir.”
Kevan mengerang. “Abang nggak benci sama tindakan Papa? Abang udah maafin Papa? Gitu aja?”
“Benci. Benci banget, Van. Dan nggak. Abang belum bisa maafin Papa. Tapi seperti kata Mama. Kita anak-anak Papa. Kita jaga nama baik Papa. Mungkin dengan begitu Papa bisa lebih mencerna letak salahnya.”
“Bang, tindakan Papa udah masuk pidana.”
Alvaro mengangguk. “Abang tahu. Tapi kamu mau Papa dipenjara?”
Kevan tercekat. Alvaro menepuk pundak adiknya.
“Biar ini jadi urusan keluarga kita, Van. Kalau pada akhirnya orang lain tahu, pastikan bukan dari kita. Abang bikin banyak kesalahan sampai Mama drop dan pingsan. Nyesek lihat Mama kayak gitu, Van. Abang nggak mau bikin Mama gitu lagi.” Alvaro diam sejenak. Ia menarik napas panjang dan menambahkan, “Teman Abang bilang walau hidup Abang hancur, masih bisa diperbaiki asal Abang mau ngasih kesempatan. Mungkin kita juga perlu ngasih kesempatan buat diri kita sendiri, buat keluarga kita. Abang nggak berharap itu cepat berhasil. Tapi nggak ada salahnya nyoba.”
Mendengar ucapan itu, ketegangan Kevan mengendur. Alvaro tahu kerukunan keluarganya secara utuh masih terlalu muluk untuk diraih dalam tempo singkat. Namun, jika masih ada kesempatan untuk memperbaiki segalanya, ia akan mengambilnya sekecil apa pun peluang itu. Saat ini, yang ada di benaknya hanya ketenteraman batin ibu, Kevan dan Mariana. Hanya itu yang penting.
Alvaro membentuk kepalan tangan dan menepukkannya di dada Kevan yang disambut senyum miring penuh paksaan. Alvaro terkekeh. Ia lalu masuk ke kamarnya dan berbaring dengan posisi terentang. Punggungnya masih menyisakan pedih, tapi Alvaro tidak menggubrisnya. Malam ini terasa melelahkan sekaligus melegakan, meski kelegaan itu masih rendah kadarnya. Setidaknya, Alvaro bisa bernapas sedikit lapang karena ia merasa berada di ‘rumah’. Ia bahkan bisa tidur lelap setelah malam-malam yang dilaluinya dengan gelisah.
Keesokan harinya, Alvaro kembali ke sekolah. Begitu turun dari motor, puluhan pasang mata tertuju padanya. Tubuhnya agak terenyak ke depan saat Raka tiba-tiba muncul dan merangkulnya. Mereka melempar senyum miring dan berjalan beriringan menuju kelas.
Keduanya jadi pusat perhatian. Tidak sedikit siswa yang terang-terangan menatap Alvaro jengah. Alvaro tidak menghiraukannya. Karena ia tertegun oleh sebuah kesadaran. Sepanjang mereka berjalan, langkah Raka tidak lebih cepat atau lebih lambat darinya. Raka bahkan mengangkat kepala tanpa segan, tak terganggu meski ia sedang bersama murid bermasalah yang tengah dibenci orang-orang.
Bibir Alvaro perlahan terangkat membentuk senyuman. Barangkali, inilah definisi sahabat yang sebenarnya. Menyelamatkannya dari keterpurukan. Tetap berada di sisinya meski turut jadi bahan gunjingan.
Tangan Alvaro terangkat dan mendarat di bahu kanan Raka, merangkulnya erat. Raka menoleh padanya dengan tatapan bertanya.
“Sayang ya lo cowok. Kalau cewek, udah langsung gue seret ke KUA.”
Raka tergelak. “Sori ya, Mas Bro, kalau gue cewek, udah jelas tipe gue bukan cowok bermasalah kayak lo!”
“Sialan!”
Sebelum menaiki tangga menuju kelas mereka, langkah Alvaro tertunda oleh keberadaan seseorang di koridor. Emilia. Tangannya membawa berkas entah apa. Tatapan mereka bertemu beberapa saat, sebelum Emilia merunduk dan berbelok ke arah ruang guru. Hati Alvaro kebas detik itu. Matanya tak lepas dari sosok Emilia yang hanya memperlihatkan punggungnya. Kilasan perlakuan Alvaro pada cewek itu berkelebat tanpa henti, menyesakkan dada. Alvaro sadar, ia telah menyisihkan satu dari sedikit orang yang peduli dan menyayanginya dengan tulus. Demi seseorang yang rupanya mengkhianatinya, Alvaro menendang Emilia jauh dari hidupnya. Kenapa baru kali ini penyesalan itu tiba? Kenapa baru sekarang ia menyadari betapa tolol tindakannya?