SESUAI janji, Raka datang ke rumah Emilia untuk menjemputnya. Emilia memberitahukan alamat Toni pada Raka. Sepanjang jalan, tak ada yang bicara. Emilia mengusapi bagian lengan jaketnya. Di kepalanya, wajah Alvaro tak kunjung hilang. Sedari semalam ia menguntai harap keberadaan Alvaro di rumah Toni. Terhitung memasuki hari keempat cowok itu menghilang. WA dan ponselnya masih belum aktif. Kecemasan Emilia membumbung kian tinggi, membuatnya sulit terlelap.
Mereka tiba di Perumahan Mahawarna setengah jam kemudian. Detak jantung Emilia mengencang. Motor yang mereka kendarai diberhentikan tepat di depan pos satpam. Emilia sudah menduga hal ini, mengingat kompleks yang mereka datangi adalah perumahan elit yang bersistem keamanan tinggi. Hal itu membuatnya kian gugup. Namun, secara tenang Raka menangani pertanyaan satpam tentang rumah yang hendak mereka kunjungi. Raka menyebut nama Toni tanpa kesulitan, dan bersandiwara bahwa mereka adalah teman Toni yang memiliki janji kumpul hari ini.
Satpam meloloskan mereka. Emilia mengembuskan napas lega, sementara Raka berterima kasih masih dengan ketenangan yang sama. Cowok itu pun melajukan motornya kembali. Mereka segera menuju blok Himalaya. Tanpa perlu mencari, rumah yang hendak dituju sudah berada di pandangan begitu berbelok ke blok itu. Tempat tinggal berlantai tiga yang megah dengan pagar tinggi warna hitam pekat. Raka memberhentikan motornya di pintu tunggal yang berada di samping gerbang. Emilia menuruni kendaraan itu. Ia mendongak. Napasnya tercekat. Gugup karena semakin berharap bertemu Alvaro, juga karena keberadaannya sekarang. Toni sudah dipastikan putra konglomerat.
Emilia tersentak saat Raka menyalakan bel. Mereka berdiri berdampingan, saling melirik, lalu melempar senyum singkat dan menunggu. Tak ada jawaban. Raka mencoba lagi. Kian lama Emilia berdiri di sana, bangunan itu terasa kian mengintimidasi. Ia menelan ludah dan menarik napas panjang. Lalu...
Seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahunan muncul di balik pintu. Keningnya berkerut. Emilia menduga wanita itu adalah ART.
“Toni ada?” Raka lekas bertanya.
“Ada. Kalian...” Wanita itu menatap dua remaja di hadapannya bergantian.
“Raka.” Raka menjawab lugas. “Dan Emi. Kami pengin ketemu Toni.”
Wanita itu semula tampak ragu, meski akhirnya mempersilakan Emilia dan Raka masuk. Begitu memasuki area carport, mata Emilia membulat kagum. Ada empat mobil mewah terparkir di sana, juga beberapa motor besar berjajar. Tatapannya lantas jatuh pada salah satu motor itu, berada di ujung paling kanan. Ia spontan menepuk lengan Raka.
“Ka, itu motor Al.” Emilia menunjuk motor yang teramat dikenalinya.
Raka ikut menyimak. “Berarti Al emang di sini, Mi.”
Bibir Emilia serta-merta merekah lega. Alvaro-nya ada di sana. Ia bisa segera bertemu. Pemikiran itu membuat debar dadanya kian kencang. Keduanya pun menaiki anak tangga menuju teras. Baru tiba di sana, pintu rumah yang telah terbuka lebar memunculkan sosok seseorang. Cowok sepantaran Raka yang mengenakan kaus oblong dan celana pendek. Ia mengucek matanya yang menyipit, tampak hendak mengenali sosok Emilia dan Raka.
Apa dia Toni? Emilia bertanya-tanya.
“Toni?” sahut Raka.
Cowok itu mengusap wajahnya, memperhatikan Emilia dan Raka, lalu mengangguk.
“Gue Raka. Dia—“
“Emi.” Toni menyela. Sebelah sudut bibirnya terangkat. “Cewek Al. Gue tahu. Gue pernah lihat mukanya di HP Al,” imbuhnya.
Emilia agak lega, karena berarti Toni tidak akan mencurigainya macam-macam datang kemari.
“Al ada?” tanya Raka lagi.
Toni memasukkan kedua tangannya di saku celana yang ia kenakan. Ia mengangguk-angguk.
“Ada, ada,” katanya sambil terkekeh, sesuatu yang tidak Emilia pahami alasannya.
Saat itulah Emilia mengidu aroma aneh dari mulut Toni. Sesuatu yang tak tercium olehnya karena semula Toni berbicara dengan gerak bibir seadanya. Apa ini? Bau itu terasa asing dan agak menyengat, juga mengganggu pernapasan. Emilia spontan merunduk.
“Kalian datang ke sini buat nyari Al? Tahu rumah gue dari mana?”
“Sori sebelumnya.” Raka kembali bicara. “Iya, kami nyari Al ke sini, dan Kevan yang ngasih tahu alamat rumah lo.”
Toni menggumam panjang sambil manggut-manggut.
“Oke. Masuk aja. Al di dalam.”
Toni memunggungi Emilia dan Raka yang saling tatap. Mereka lantas mengikuti langkah Toni memasuki rumah. Saat keduanya hendak duduk di sofa ruang tamu, Toni berbalik. Ada seringai aneh di wajahnya, yang membuat bulu kuduk Emilia meremang. Entah kenapa, ia tidak menyukai aura yang menguar dari Toni. Cowok itu terasa janggal.
“Mending kalian samperin Al langsung,” kata Toni. “Dia minum banyak banget malam tadi. Gue nggak yakin dia bisa langsung bangun. Tapi kalau lihat muka kalian, terutama lo—“ Toni menunjuk Emilia. Kekehannya melebar. “Dia pasti langsung melek.”
Emilia tercekat. Minum? Minum apa? Apa maksudnya? Tubuh Emilia menegang. Mulutnya mendadak kelu. Ia merasakan denyut sesak di dadanya, yang membuatnya menoleh menatap Raka. Cowok itu pun memasang roman serupa. Warna di wajah Raka bahkan sudah pias sempurna.
“Ka...”
Raka memasang senyum yang dipaksakan, hingga membuatnya begitu kaku. “Mi, aku aja yang samperin Al, ya. Kamu tunggu di sini.”
“Mending lo ikut juga.” Toni bicara lagi, menyeret perhatian Emilia dan Raka. Seringai cowok itu belum hilang. “Lo pasti penasaran apa yang Al lakuin selama ini, kan? Lo bisa langsung tahu.” Toni menunjuk area dalam rumah dengan dagunya.
Mulut Emilia mengatup. Ia menelan ludah. Kenapa ucapan Toni terdengar seolah Alvaro telah melakukan hal-hal buruk? Nggak. Toni pasti sedang bercanda. Al nggak mungkin minum... Toni bercanda.
“Gue aja yang samperin.” Raka bergerak maju. “Di mana?”
“A-aku ikut, Ka.”
Raka menggeleng. “Kamu tunggu di sini aja, Mi.”
Emilia membuka mulutnya untuk kembali bicara, tapi niatnya tertahan saat Toni tergelak. Suara tawanya begitu kering dan sumbang. Cowok itu tiba-tiba memegang tangan Emilia.
“Ribet banget, ya. Udah, lo lihat sendiri aja.”
“Mi—”
Raka hendak meraih tangan Emilia untuk membantunya melepaskan diri dari genggaman Toni, tapi cowok itu sudah lebih dulu menarik Emilia meninggalkan ruang tamu, memasuki area rumah yang lengang dan luas.
Begitu memasuki ruang tengah, Emilia membeliak. Ada beberapa orang terbaring acak di ruangan luas itu. Tidak hanya lelaki, tapi juga perempuan. Dua pasang tidur dalam posisi berpelukan. Pemandangan itu menghentikan langkah Emilia, terlebih saat ia melihat ART membersihkan kekacauan di meja dan lantai yang dipenuhi kaleng-kaleng minuman beralkohol. Emilia tahu wujud barang itu. Ia sering melihatnya di supermarket, acara televisi, hingga foto yang terpampang di koran. Kini, Emilia tahu dari mana asal aroma mulut Toni.
Napas Emilia putus-putus. Ia mengerjap, merasakan peluh mulai mengaliri tubuhnya. Kengerian mewujud nyata di wajahnya. Di sisinya, tubuh Raka sama tegangnya. Mereka tak sempat berkata apa pun karena Toni kembali menarik Emilia, menyentaknya.
“Kamar Al di atas.”
Toni berbicara sambil terus membawa Emilia menaiki anak-anak tangga, melewati lorong rumah yang panjang dan lebar, berhias furnitur berkelas dan lukisan juga guci-guci besar yang tampak mahal. Namun, Emilia tak punya daya untuk mengagumi isi rumah Toni karena ketakutan yang menyerangnya.
“Nah, di sini.” Toni melepas tangan Emilia begitu mereka tiba di salah satu pintu bercat hitam. “Buka aja.” Toni berkata lagi.
Namun, alih-alih mengamini ucapan Toni, Emilia memandangi pintu di hadapannya dengan dada mengentak kencang. Ia meremas celana longgar yang dikenakannya. Bulir keringat telah membasahi kening dan pelipisnya. Tak ada daya baginya untuk sekadar membuka mulut, terlebih mengarahkan tangan membuka pintu itu. Ada kekhawatiran begitu besar yang menahan Emilia.
“Mi...”
Suara Raka menyentak Emilia, membuatnya berpaling pada cowok itu. Raka mengernyit, membuang napas pelan. Ia sudah dipastikan melihat ketakutan di wajah Emilia.
“Kita pulang aja, Mi. Nanti aku ke sini—“
“Ck, tinggal buka aja apa susahnya, sih?”
Toni menyela Raka. Tangan kekar cowok itu menggapai kenop pintu. Tanpa aba-aba atau peringatan, ia mendorongnya membuka. Aroma serupa yang bersumber dari alkohol, menyeruak ke hidung Emilia. Ia terpaku. Matanya membeliak, pada pemandangan di depannya. Tepat di tempat tidur berukuran besar, terbaring sosok Alvaro dengan lebam di wajah, dan rangkulan tangannya pada pinggang seorang perempuan.
Emilia limbung. Kedua tangannya membekap mulut. Matanya berkaca-kaca, memburamkan pandangan. Sekujur tubuhnya panas-dingin. Jantungnya bagai tak lagi berfungsi. Al...nggak mungkin!
Toni berjalan masuk dengan santai.
“Woi, Al, bangun! Ada cewek lo, nih!” sahutnya lantang. Alvaro tak berkutik. Toni berdecak, lalu menarik lengan Alvaro hingga mata cowok itu membuka, yang praktis mengusik tidur cewek di sisinya.
“Sial, Ton, apa-apaan lo—“
Semula, tatapan Alvaro tampak tak fokus. Namun, begitu Toni bergeser dan memperlihatkan area pintu, Alvaro terbelalak. Mulutnya tercekat tanpa suara.
“Ya-yang?”