SEOLAH ada martir yang menghantam kepala Alvaro hingga pecah dan menimbulkan gelombang nyeri yang luar biasa. Kantuk yang semula masih begitu kuat menjeratnya, kini lenyap oleh keterkejutan akan sosok yang dilihatnya begitu membuka mata. Emilia.
“Ya-yang?”
Napas Alvaro bagai direnggut paksa dan jantungnya seolah baru saja terjatuh tepat di bawah kakinya saat Emilia berbalik dan berlari pergi.
“Yang!”
Alvaro melompat turun dari tempat tidur. Ia mengabaikan Casi, Toni, bahkan Raka yang menatapnya tajam, juga nyeri di kepala dan ngilu di punggungnya. Ia menyusul Emilia dengan panik. Jarak mereka memendek sebelum cewek itu berhasil menggapai tangga. Alvaro membuang napas kasar dan merasakan dadanya mengentak keras saat tangannya menggapai tangan Emilia.
“Yang, tunggu!”
“Lepasin...” Emilia tidak memandang Alvaro barang sedetik. Ia berupaya melepaskan diri.
“Dia bukan siapa-siapa aku.” Pengakuan itu meluncur begitu saja. Isi kepala Alvaro terlampau kusut. Namun, jika hal itu bisa membuat Emilia agak tenang, Alvaro akan melakukannya. “Dia teman lesku. Kami ke kelab semalam.” Alvaro menyugar rambutnya frustrasi. Ia sungguh tidak tahu apa yang mesti diucapkannya.
“Kelab?”
Emilia mendongak, menatap Alvaro tepat di mata. Ada amarah dan kekecewaan di sorot mata itu, yang membuat napas Alvaro kian tercekat.
“Kamu...minum, Yang?”
Alvaro menelan ludah. Ia menunduk, tanpa sadar menggenggam tangan Emilia kuat-kuat. Beberapa detik berlangsung hening. Saat Alvaro mengangkat wajahnya kembali dan menatap Emilia, ada kepedihan yang datang secara tiba-tiba, muncul begitu bayangan dirinya akan kehilangan Emilia hadir di benak.
“Maaf, Yang. Aku ke kelab semalam. Ya, aku minum-minum. Maaf, Yang. Maaf...” Suara Alvaro parau dan bergetar. “Cuma, otakku kusut banget, Yang... Aku berantem sama Papa... Aku nggak pulang... Aku tidur di sini beberapa hari ini... Dan tadi malam kami kumpul. Casi ikut.”
“Casi...?”
Alvaro membuang napas sesak. “Cewek itu. Casi. Dia teman lesku. Aku keburu mabuk malam tadi. Tapi aku aku nggak ngapa-ngapain sama dia, Yang.”
Alvaro tertegun saat mendapati iris hitam Emilia basah. Genggamannya bergetar begitu air mata Emilia jatuh.
“Yang...” Alvaro membelai wajah Emilia dan memeluknya. “Maafin aku, Yang... Please...”
Emilia tidak berucap apa pun. Di dekapannya, tubuh itu berguncang dikawani isak tangis tertahan. Ada rembesan air mata ke kaus Alvaro, tapi ia tidak mempermasalahkannya. Sungguh, bayangan ini sempat menghantui Alvaro jika Emilia tahu kelakuannya beberapa hari ini atau hubungannya dengan Casi. Bukan berarti Alvaro tidak peduli. Hanya saja, malam yang ia habiskan di rumah Toni saat melarikan diri setelah dipukuli ayahnya, adalah malam ketika ia melihat Toni dan kawan-kawannya tengah berpesta. Asap rokok berbaur bersama aroma bir yang menguar seisi ruangan. Ada penerimaan yang Alvaro butuhkan begitu tiba di sana. Toni yang beraroma alkohol, menyuruh temannya membawakan kotak P3K tanpa Alvaro harus beritahu kejadian yang menimpanya. Sahabatnya itu sudah bisa membaca hanya dari melihat lebam di wajah Alvaro, yang sudah pasti memenuhi punggungnya juga. Bara dan Gagah turut membantu. Dari sanalah Alvaro tahu Bara senasib dengannya. Mereka dekat seketika, yang membuat Alvaro kian betah. Alvaro tak memungkiri keresahannya saat pertama kali menyanggupi ajakan mereka ke kelab. Namun, hanya mereka yang Alvaro punya dan memahaminya. Saat botol bir diangsurkan padanya, ada desakan tak terbantah dalam diri Alvaro untuk meneguknya. Itulah saat Alvaro merasa cairan itu menyatu dalam darahnya, mengirimkan sinyal kedamaian ke otak yang membuat kekakuan dalam tubuhnya mengendur.
Alvaro tak akan berbohong. Ia menyukainya, dan membutuhkannya. Bayangan wajah kecewa Emilia di benaknya, tak bisa menahan itu.
Pandangan Alvaro bergerak naik pada Raka yang berdiri di koridor, menatapnya tajam. Bahkan tanpa bicara pun, Alvaro bisa merasakan kemarahan sahabatnya itu. Alvaro membuang napas pelan dan melepas pelukannya.
“Yang, tunggu di sini. Aku ambil kunci motor dulu. Tunggu, ya.”
Alvaro bergegas kembali ke kamar. Ia mendelik pada Toni yang menyeringai di ambang pintu dengan gestur santainya. Saat masuk, ia melihat Casi baru mengakhiri panggilan entah dengan siapa. Di mana kunci motor gue? Alvaro mencari-cari. Tidak ada di nakas.
“Beb, mamiku barusan nelepon, katanya udah di rumah. Anterin aku pulang, ya.”
“Aku nganterin Emi dulu, ya. Aku balik lagi ke sini nanti.” Alvaro kali ini menyingkap selimut dan bantal. Dapat! Kuncinya ada di tempat tidur. Ia berbalik demi meraih jaketnya di sofa.
“Nggak lama, kan?”
Setelah mengenakan jaket sambil menahan sisa-sisa nyeri di punggung, Alvaro menoleh ke arah Casi. Casi memberengut. Di situasi berbeda, Alvaro akan terkekeh dan merasa gemas luar biasa, lalu mencumbu cewek itu. Namun, kali ini ia tidak bisa membuang-buang waktu melakukan itu. Alvaro meraih dompet dan ponsel yang mati total di nakas.
“I won’t.”
Setelah pamit, Alvaro bergegas pergi. Ia tidak menemukan Emilia di tempat tadi. Ia menuruni tangga dengan gegas, melewati ruang tengah yang sedang dirapikan Ibu Wahyu, lalu berderap keluar. Alvaro bernapas lega karena Emilia ada di teras.
“Emi balik sama gue, Ka.”
Tanpa menunggu reaksi Raka, Alvaro menggiring Emilia ke arah motornya. Mereka pergi segera. Sepanjang jalan, tak ada yang bicara. Alvaro tahu Emilia masih marah dan kecewa padanya. Cewek itu bahkan tidak berpegangan ke jaket Alvaro seperti yang selalu dilakukannya.
Di tempat pemberhentian, Alvaro menoleh ke belakang. Wajah Emilia ditekuk. Diraihnya sebelah tangan Emilia yang membuat kekasihnya itu tersentak. Alvaro menarik tangan itu ke arah perutnya, menggenggamnya erat.
Alvaro tidak segera mengarahkan motornya ke rumah Emilia. Ia menepi di taman kompleks. Hari mulai terik dan ia bersyukur taman tidak dihuni banyak orang. Ada satu-dua anak yang tengah bermain, dan seorang wanita yang Alvaro duga adalah pengasuh salah satu anak itu. Mereka duduk di bangku panjang samping pohon. Alvaro tahu setidaknya ia harus menjelaskan duduk perkara yang terjadi pada Alvaro dan ayahnya.
“Aku kelepasan ngaku soal beli tes masuk ke sekolah, Yang,” aku Alvaro enggan, yang membuat Emilia menoleh padanya dengan mata bulat. Alvaro mengusap jemari lentik Emilia. Ia tersenyum samar. “Papa marah besar. Terus...” Alvaro mengusap ujung alisnya.
“Kamu dipukulin.” Suara Emilia lirih, terdengar tak tega. Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. Seolah Emilia sudah tahu orang yang membuat wajah Alvaro membiru.
Alvaro tersenyum pahit. “Papa marah banget. Terus aku kabur. Bingung sih mau ke mana.” Alvaro diam sejenak, lalu memutuskan untuk menyembunyikan fakta tentang dirinya yang menghabiskan malam di rumah Casi. “Aku tidur di luar waktu itu. Sempat pulang. Papa langsung ngasih hukuman. Ya, aku sendiri yang cari masalah sih, Yang. Papa nggak suka dikecewain. Aku kabur lagi. Nggak tahu harus ke mana. Cuma kepikiran Toni. Dia lagi pesta sama teman-temannya. Mereka sempat ngajakin ngerokok sama minum-minum. Tapi aku nolak. Terus, waktu diajak ke kelab, aku ikut. Di sana aku nyoba bir. Nggak tahu kenapa susah buat nolak. Dan Casi...dia ada juga di sana. Tapi nggak ngapa-ngapain sama dia, Yang. Tadi malam aku tidur sendiri. Tiba-tiba Casi udah di kamar. Mungkin aku udah mabuk banget sampai nggak nyadar itu.” Alvaro mengintip roman Emilia. Wajah cewek itu menunduk. Bibirnya terkatup rapat dan bergetar. Alvaro mengeratkan genggamannya. “Maaf, Yang.”
“Kenapa kamu nggak ke rumah aku? Atau ke rumah Raka.” Kalimat itu tidak terdengar seperti pertanyaan, lebih pada renungan Emilia sendiri.
“Aku nggak mungkin datang ke rumah kamu kayak gini, Yang. Gimana pendapat orangtua kamu nanti? Dan aku nggak enak sama keluarga Raka.” Di rumah Casi dan Toni, hanya mereka penghuninya. Kelengangan yang Alvaro butuhkan karena ia tidak perlu bersembunyi dari orangtua atau kakak-adik mereka. Selain itu, Toni sudah tahu tentang Alvaro dan keluarganya. Ia tidak perlu menjelaskan panjang lebar. Ia memang tidak menginginkannya. Alvaro hanya butuh datang, diterima dan ditampung. Ia yakin Emilia dan Raka tidak bisa memberi itu karena mereka akan banyak bertanya.
“Maaf...”
Alvaro tersentak. Ia praktis menghadapkan tubuhnya ke Emilia. “Minta maaf buat apa?” tanyanya serak.
“Aku nggak ada buat kamu pas kamu lagi terpuruk.”
Tubuh Alvaro membeku. Bola mata Emilia bergerak menatapnya. Cewek itu menyeka wajah.
“Kalau aku ada buat kamu, kamu nggak bakal kayak gini... Seharusnya aku nggak ketiduran waktu itu... Maaf...”
Alvaro mengurut keningnya. Ia seharusnya bisa menduga ini. Alih-alih memaki Alvaro karena tingkahnya, Emilia justru menyalahkan dirinya sendiri. Selain memiliki krisis percaya diri, cewek itu mudah sekali menimpakan kesalahan padanya.
“Jangan ngomong gitu, Yang. Bukan salah kamu.”
Emilia bergeming. Alvaro membersihkan jejak air mata di wajah Emilia. Ini kali pertama ia melihat cewek itu menangis. Sepengetahuan Alvaro, Emilia adalah orang yang tegar dan lebih banyak memendam perasaan. Detik ini, ia melihat ketidakberdayaan Emilia yang kian mennggelamkan Alvaro pada rasa bersalah. Alvaro merintihkan ucapan maaf berkali-kali. Isak Emilia memelan saat ia memeluk cewek itu, berupaya menenangkannya. Tangannya setia mengusapi punggung Emilia.
“Aku nggak bakal kayak gitu lagi, Yang. Aku janji. Aku bakal langsung ngabarin kamu kalau ada apa-apa. Aku bakal ke kamu.” Lidah Alvaro terasa pahit. Bukan karena efek bir yang diminumnya semalam, tapi karena ia tahu, ada keraguan besar dalam dirinya bisa menyanggupi ucapan itu. Namun, ia harus berkata demikian untuk menenangkan Emilia.
Alvaro mendaratkan kecupan di pangkal kepala Emilia saat cewek itu masih terisak. Baru beberapa saat kemudian tangis Emilia berhenti total. Meski suara tarikan ingus masih terdengar. Alvaro mengendurkan pelukannya. Dipandanginya wajah Emilia. Kelopak mata cewek itu berlipat ukurannya.
Emilia mendongak. Pandangannya terpusat pada Alvaro. Sebelah tangan cewek itu terangkat menyentuh lebam di wajah kekasihnya. Alvaro bisa melihat kekhawatiran itu. Ia memasang senyum.
“Udah nggak sakit. Beneran,” yakinnya. “Maaf ya udah bikin khawatir.”
Beberapa menit setelahnya berlangsung hening. Alvaro tidak melepas rangkulannya meski Emilia tak lagi menangis. Cewek itu menatap Alvaro gusar dan penuh pertimbangan. Alvaro yang menyadarinya, terusik rasa penasaran.
“Kenapa?” tanya Alvaro lembut seraya menyelipkan anak-anak rambut dari pipi Emilia ke balik telinga kekasihnya.
“Pulang, ya.”
Gerakan Alvaro terputus. Ia yakin yang Emilia maksudkan dengan kata ‘pulang’ bukanlah Emilia menuju rumahnya, tapi Alvaro ke kediamannya. Alvaro serta-merta menegang. Ia melerai rangkulannya perlahan.
“Yang, mama kamu khawatir. Beliau telepon aku. Pulang ya, omongin baik-baik sama om dan tante.”
Alvaro mengusap wajahnya dengan satu tangan. Arah pandangannya beralih ke jajaran pohon di tepi taman yang membuat lingkungan menjadi rindang. Tentu tak tepat menyamakan situasi itu dengan suasana hatinya. Kamu nggak tahu mama kayak gimana, Yang. Ngomong baik-baik? Papa nggak bakal nyambuk aku kalau bisa ngomong baik-baik!
Alvaro simpan rapat jeritan itu. Ia mengangguk kaku. Ia ingin urusan ini cepat selesai. Raga dan batinnya letih sekali.
Alvaro mengajak Emilia pulang setelahnya. Ia menitipkan salam pada orangtua cewek itu, dan pergi tanpa menemui mereka. Wajah Alvaro tidak memungkinkan untuk bertemu orangtua Emilia tanpa dihujani tanya.
Di dadanya, segala rasa bergumul. Di benaknya, seluruh pikiran menggelindan, membentuk gunungan amarah, kecewa dan luka yang kembali terbuka. Desakan emosi itu membuat Alvaro menambah kecepatan motornya, menyalip kendaraan demi kendaraan bak pembalap liar. Kekusutan di benak tak lantas terurai setelah bicara dengan Emilia. Kekasihnya tak memahaminya. Sungguh mudah bagi Emilia menyuruh Alvaro pulang, bicara pada keluarganya. Emilia tak mengerti bahwa niatan itu percuma. Alvaro butuh pergi, bukan datang kembali.
Sekembalinya ke rumah Toni, Casi langsung menghambur padanya. Alvaro permisi sebentar untuk bicara dengan Toni. Teman pestanya semalam masih berada di sana, sebagian besar sudah terjaga. Alvaro tidak menemukan Toni di mana pun. Ia berderap ke kamar cowok itu. Pintunya dikunci. Alvaro mengetuk tak sabar. Saat pintu dibuka, rupanya Toni tidak sendiri. Ada Bara dan Gagah. Alvaro mengernyit. Bara keluar dari kamar Toni sambil menyapa Alvaro yang mematung di depan pintu. Firasatnya berkata ada sesuatu yang tengah mereka lakukan secara rahasia, yang sempat dicurigainya di kelab tadi malam.
“Apaan, Al?” Toni berdiri di hadapan Alvaro dengan wajah kusut dan hidung merah. Ia menutup pintu.
“Lo habis ngapain?” Alvaro menimpali gusar.
“Apanya yang ngapain?” Toni mengusap ujung hidungnya.
“Lo nge-drugs?” desis Alvaro tanpa segan.
Alih-alih menjawab, Toni hanya mendengus. Ada seringai tipis yang menghias wajahnya. “Mana cewek lo? Lo diputusin? Kalau iya sih, lo tenang aja, Al. Masih ada Casi. Cewek yang merhatiin lo tadi malam di kelab juga banyak. Lo nggak bakal kekurangan stok.”
Alvaro menggeram. Amarahnya karena kelakuan Toni yang seenaknya membawa Emilia ke kamarnya tadi, menguap bersama kedongkolannya karena Toni mengabaikan tanya yang Alvaro anggap penting. Ia sudah menduga Toni, Bara dan Gagah bermain-main dengan narkoba saat mereka terlihat kasak-kusuk di meja lain bersama orang asing di kelab tadi malam. Namun, berada di bawah pengaruh alkohol membuat Alvaro kembali hanyut dengan dirinya sendiri, mengikuti entakan musik di lantai dansa bersama Casi. Kini, ia kian yakin firasatnya benar.
“Beb? Yuk!” Casi muncul dan menggandeng tangan Alvaro.
“Malam ini jangan lupa, Cas,” pesan Toni.
“Pasti!” Casi mengangkat jempolnya dan mengajak Alvaro.
Alvaro masih ingin bicara dengan Toni, tapi ia akhirnya membiarkan Casi menyeretnya pergi. Di perjalanan, Alvaro termenung memikirkan hal-hal yang ingin dikatakannya pada Toni. Nasihat? Umpatan? Alvaro tidak yakin. Ia tidak berada di posisi untuk itu. Bagaimana mungkin ia memberi Toni wejangan untuk tidak menggunakan narkoba, di saat ia sudah kadung mengikuti jejaknya mengonsumsi alkohol?
“Beb, sori ya aku nggak ngajak kamu ke rumah. Cowokku mau datang katanya,” aku Casi setelah turun dari motor begitu mereka tiba.
“Oke.” Alvaro mengangguk paham. Ia sedang tidak ingin banyak bicara.
“Tapi nanti malam aku bakal ke kelab, kok. Kamu tunggu aja, ya!”
Casi melambai dan masuk ke rumahnya, sementara Alvaro termenung masih di posisi yang sama.
“Aku nggak bakal kayak gitu lagi, Yang. Aku janji. Aku bakal langsung ngabarin kamu kalau ada apa-apa. Aku bakal ke kamu.”
Ingatan itu membuat Alvaro mengusap wajahnya jengah. Kondisi Toni turut terbayang. Sial!