DEGUP Emilia masih bertalu-talu sejak menerima WA dari Alvaro. Menuruti masukan Raka dan Kamila, Emilia menunggu hingga Alvaro menghubunginya. Selepas maghrib, cowok itu mengirim WA. Isinya hanya dua baris. Ucapan terima kasih dan permintaan maaf karena baru mengabari Emilia. Emilia memegang ponsel dengan kedua tangan saat WA itu masuk, dan berulang kali mengembuskan napas lega. Satu-satunya yang ia syukuri adalah Alvaro memberinya kabar.
Meski Emilia teramat ingin segera mengetahui masalah yang tengah Alvaro hadapi, tapi ia menahan diri untuk tak mendesak kekasihnya itu. Alhasil, balasan Emilia tak menyerempet ke arah penyebab sang pacar hilang kabar. Emilia hanya mengirim sebuah pesan, bahwa Alvaro tidak sendiri dan bisa bercerita kapan pun ia mau. Namun, setelah setengah jam WA Emilia terbaca, Alvaro belum kunjung membalas.
“Emi, sini makan.”
Suara ibu Emilia menyentaknya. Ia beranjak dari kursi dan buku-buku di meja belajar yang semula ditekuninya, lantas keluar dari kamar. Emilia ke meja makan berbekal ponsel yang ia letakkan di hadapannya. Malam ini, hanya ia dan ibu di sana. Ayah sedang lembur.
“Nungguin telepon Alvaro?”
“Ya?” Emilia mengerjap.
Ibu Emilia terkekeh. Dengan dagunya ia menunjuk ponsel Emilia di hadapan mereka. “Tuh, kamu dari tadi ngelihatin HP terus. Nungguin telepon pacar, kan?”
Emilia memasang senyum kaku. Di situasi biasa, ia akan merona dengan hati berdebar karena ucapan ibunya. Kali ini, hatinya didekap resah dan ia tidak bisa tersenyum selebar biasanya karena mulai berpikir Alvaro akan menghilang lagi. Apa tadi ia salah bicara begitu? Apa seharusnya ia tidak mengungkitnya terlebih dahulu? Emilia memandangi nasi bercampur sayur sop di hadapannya. Sulit sekali jika sekadar menunggu. Meski sudah menasihati diri untuk bersabar, jika menyangkut Alvaro, Emilia sulit tenang.
Pemikiran itu mengantar Emilia pada ibunya. Ia menatap beliau masih anteng menikmati makan malam, yang sesekali diselingi tegukan air minum. Saat menyadari sang putri tengah memandang, wanita itu tersenyum.
“Kenapa, Emi?”
Emilia bergegas menggeleng. Ia menunduk, mengambil suapan, lalu kembali mengangkat wajah. Setelah menelan kunyahannya, Emilia berdeham dan membasahi bibirnya. Tangannya masih memegangi sendok, sementara tatapannya sempat mampir ke ponsel. Layar benda itu masih padam, dan tidak terdengar denting pemberitahuan apa pun.
“Cara Mama...sabar sering papa tinggal lembur atau tugas ke luar kota, gimana?”
Begitu kalimat itu terlontar, ibu Emilia mengerjap, lalu mengernyit. Bibir Emilia tersungging canggung.
“Kadang kalau papa pergi suka nggak ada sinyal, kan? Pasti susah ngehubungi. Gimana caranya Mama bisa sabar nungguin?”
Pandangan ibu Emilia melembut. Ia tersenyum.
“Karena nggak ada lagi yang bisa Mama lakukan selain itu.”
Pernyataan itu membuat Emilia tertegun. Pandangan mereka bertemu beberapa saat, sebelum akhirnya senyum ibu Emilia kian lebar.
“Situasi kayak begitu gampang banget bikin Mama panik karena cemas, sebenarnya. Tapi, kalau ngeladenin perasaan itu, Mama jadi makin nggak tenang. Satu-satunya yang Mama perlu lakuin ya nungguin dengan sabar. Begitu kabar datang, Mama cuma harus fokus sama satu hal. Tetap jadi istri yang papa inginkan dengan memberi papa perhatian dan kasih sayang Mama. Ngejalanin hari jadi nggak akan berat lagi.”
Memberi perhatian dan kasih sayang. Emilia meresapi pernyataan itu dalam-dalam. Mereka adalah dua orang berbeda generasi dengan kehidupan berlainan. Namun, keduanya sama-sama perempuan yang menyayangi masing-masing pasangan. Ucapan ibunya membuat Emilia dihinggapi sebuah keyakinan. Saat Alvaro didera masalah, yang perlu Emilia lakukan adalah tetap memberinya perhatian dan kasih sayang. Karena dengan begitu ia tetap bisa tenang menunggu kabar. Raka benar. Alvaro akan menghubunginya, karena itulah yang terjadi. Jika saat ini Alvaro kembali memberi jarak, cowok itu kemungkinan sedang berpikir.
Emilia menghela napas panjang, mengangguk pada dirinya sendiri. Ia tidak perlu mendesak Alvaro. Emilia sewajarnya memberi Alvaro waktu. Ia akan menunggu, tanpa melepas perhatian dan wujud perasaannya pada cowok itu. Resolusi itu menenangkan gelombang kegelisahan yang semula memenuhi dada Emilia.
Sebelum melanjutkan makan, Emilia meraih ponselnya demi mengetik WA. Setelah mengirimnya, perasaan Emilia lebih membaik. Ia meletakkan ponsel kembali dan melempar senyum pada ibunya yang memandanginya saksama. Mereka saling melempar tawa pelan. Emilia pun melanjutkan makan.
Ya, ia hanya harus tetap tenang selama menunggu Alvaro. Ia yakin Alvaro akan kembali padanya. Emilia percaya pada cowok itu. Sepenuhnya.