Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kesempatan
MENU
About Us  

RAKA MANGGALA

Lo mending cepat kontak Emi.

Soal Casi, dia urusan lo.

Tapi gue nggak jamin bisa lama bohongi Emi.

Pintu rumah gue selalu terbuka buat lo.

Jauh lebih mending daripada ke rumah cewek.

 

Alvaro membaca WA Raka. Ia melirik waktu. Pukul lima lebih dua puluh menit. Alvaro mengalihkan pandangannya dari ponsel, menatap ke arah jendela. Hari sudah beranjak petang. Mendung sempat menyapa siang tadi, tapi hanya kunjungan, karena hingga sekarang, hujan tak datang. Lampu penerang jalan satu-persatu dinyalakan. Dari posisinya, Alvaro bisa melihat arah jalan raya dengan cukup leluasa. Kafe Alatta kian ramai sejak Alvaro tiba tadi.

Kursi di hadapan Alvaro kosong. Casi pamit tidak lama setelah Alvaro bicara dengan Raka. Casi mengaku sang pacar ingin bertemu. Alvaro melepas Casi dengan emosi tertahan. Ia tidak ingin Casi menemui lelaki lain. Ia ingin Casi bersamanya, menemaninya seperti malam tadi. Karena ditinggal sendiri seperti ini, Alvaro hanya menghabiskan waktu dengan merenung, mengutak-atik ponsel hingga benda itu bergetar karena WA dari Raka.

Tatapan Alvaro beralih ke paper bag di meja, lalu pada dua piring santapan yang telah dihabiskannya. Ia belum menikmati bekal dari Emilia karena rupanya Casi sudah memesankan mereka makanan. Setelah cewek itu pergi tanpa melahap pesanannya, Alvaro yang bertugas menghabiskan. Kini perutnya penuh total.

Alvaro berpaling pada ponselnya lagi. Layarnya telah padam. Alvaro mengirim balasan singkat.

 

Alvaro Wistara

Thanks, Bro.

 

Meski Raka tak bisa menyembunyikan kekesalannya terhadap kelakuan Alvaro, tapi cowok itu masih mau menerima kehadiran Alvaro. Ungkapannya perihal pintu rumah membuktikan, bahwa Raka peduli padanya. Alvaro tahu Raka ingin ia berbagi. Sejak saling mengenal saat MOS, mereka memang sangat dekat. Dalam penilaian Alvaro, Raka adalah pendengar yang baik, meski di beberapa kesempatan Raka tak segan mengkritik pedas. Barangkali itulah sebabnya Alvaro meyakini bahwa Raka adalah sahabat terbaiknya, karena wataknya lebih sehat dari Alvaro.

Alvaro mengutak-atik layar ponsel lagi.

 

Alvaro Wistara

Yang, makasih bekalnya.

Maaf baru ngabarin.

 

Setelah WA itu dikirim ke Emilia, ia mengamankan ponselnya di saku jaket. Alvaro memasukkan paper bag ke dalam tas dan bersiap pergi.

Begitu motornya berbaur bersama kendaraan lain dan ikut terjebak kemacetan, Alvaro merenung. Gue mau ke mana? Hasratnya untuk pulang belum cukup. Wajah Casi membayang, membuatnya ingin menemui cewek itu. Tapi, begitu ingat Casi sedang bersama pacarnya, Alvaro mendesah. Ke rumah Raka? Alvaro tak ingin dipandangi aneh oleh orangtua dan adik juga kakak cowok itu karena kondisi wajahnya. Bagaimana dengan Emilia? Tidak. Cewek itu akan panik jika melihat lebam di muka Alvaro. Lantas, ke mana? Gue harus ke mana?

Saat itulah nama Toni mendarat di kepala. Ketika kemacetan mulai terurai, Alvaro menepi, menghubungi Toni.

“Ton, di mana?” sahut Alvaro begitu panggilannya diterima.

“Rumah.”

“Gue terlantar.”

Gelak tawa Toni membahana. “Sini lo.”

Panggilan itu berakhir dengan segera. Alvaro mengarahkan motornya ke rumah Toni. Dulu ia kerap berkunjung ke sana. Toni adalah putra ketiga dari tiga bersaudara. Kakak pertamanya sudah menikah dan tinggal di kota lain, sementara kakak keduanya tengah berkuliah di Inggris. Kedua orangtua Toni sibuk bekerja. Situasinya serupa Casi, sehingga rumah mereka lebih mirip bangunan tanpa penghuni. Keadaan yang Alvaro butuhkan saat ini. Ia tidak ingin bertemu terlalu banyak wajah.

Begitu Alvaro tiba di rumah Toni yang langsung disambut sang pemilik di depan pintu, mata Toni menatap Alvaro dengan tampang menyelidik. Sudut bibirnya membentuk senyum miring beberapa saat kemudian.

“Akhirnya bokap lo beraksi lagi.”

Alvaro mendengus, ikut menyeringai, meski tak lama karena ia belum sanggup menggerakkan otot wajahnya leluasa. Alvaro berjalan masuk. Ruangan luas dengan furnitur berkelas memenuhi indera penglihatannya. Alvaro meletakkan tas di sofa. Ia masih berdiri sambil melepas jaketnya dengan gerakan terbata. Toni yang baru menutup pintu, menyadarinya. 

“Masih punggung yang jadi lokasi favorit bokap lo?”

Alvaro melepas jaket di bagian lengan tanpa menatap Toni. Ia hanya tersenyum samar.

Di sebelahnya, Toni berdecak. “Pakai kamar atas aja. Yang bawah mau dipakai.”

Alvaro meletakkan jaketnya di sandaran sofa. Toni memang mengenalnya terlalu baik, hingga bisa menyimpulkan maksud kedatangan Alvaro kemari. Meski Alvaro belum sepenuhnya yakin ia akan menginap di sana. Alvaro hanya sedang membutuhkan tempat istirahat.

“Mau ada tamu?”

“Teman-teman gue. Biasalah, kumpul-kumpul.”

Alvaro mengangguk-angguk. Saat Toni berbicara dengan seseorang di telepon, Alvaro beranjak ke dapur demi mengambil minum. Ia lantas beringsut ke area belakang, berdiri memandangi pekarangan. Rumah ini terlalu sepi. Alvaro menoleh saat Toni selesai bicara.

“Bu Wahyu ke mana?” Ibu Wahyu adalah ART Toni.

“Gue suruh pulang. Kehadirannya ngeganggu kalau pas gue lagi kumpul.” Toni bersandar di kusen pintu kaca. “Masalah apaan lo dibikin ancur begitu?” sahutnya seraya menunjuk wajah Alvaro dengan dagu.

Ada sebuah kursi taman di teras di samping Alvaro. Ia duduk di sandaran tangannya.

“Gue keceplosan ngomong soal beli tes masuk Bina Pekerti.”

“Hah?” Toni melongo, lalu terbahak-bahak. “Shit, Al. Mending lo minggat dari rumah selamanya. Habis lo sama bokap kalau lo pulang!” kelakarnya, masih dibarengi tawa.

Alvaro ikut terkekeh. Hambar. Toni tahu soal kecurangan itu, karena dialah yang menawarkannya pada Alvaro.

“Terus, gue ngegembel gitu?”

“Gue siap nampung lo. Pilih aja kamar yang lo mau di sini. Banyak nggak kepakai juga.”

“Bonyok lo masih jarang pulang?”

Wajah Toni tiba-tiba disapu mendung. Hanya sekejap, hingga Alvaro kira ia salah tangkap. Namun, sudut bibir Toni yang terangkat membentuk seringai canggung membuktikan bahwa pandangan Alvaro tidak keliru, terlebih pengakuan yang meluncur dari mulut Toni.

“Kapan lagi mereka mau pulang, Al? Udah pisah mereka.”

Alvaro menganga. Setelah komunikasi mereka terjalin lagi sejak sama-sama jadi siswa SMA, tidak pernah sekali pun Toni mengungkap hal ini. Alvaro praktis menegap.

“Sejak kapan?”

“Dua bulan setelah SMA mulai.” Toni terkekeh, mengangkat bahu. “Selama itu ternyata nyokap gue selingkuh. Nggak tanggung-tanggung, Al. Nyokap punya dua cowok. Berondong! Canggih nggak tuh?” Tawa Toni mengembang, mengencang, tapi Alvaro bisa merasakan pahit terkandung di gelaknya. “Nyokap tinggal di US sekarang. Lo tahu bokap emang jarang pulang dari dulu, dan sekarang lagi dekat sama cewek, orang Singapura. Yah, mending nggak pulang juga. Sumpek gue ketemu dia. Bikin pusing. Jadi ya, rumah ini gue yang kuasai.”

“Sori, Ton, gue nggak tahu.”

“Jijik banget lo pasang muka kayak gitu.” Toni tertawa lagi. “Omong-omong, tadi malam lo tidur di mana?”

“Casi.” Alvaro menjawab cepat, memperbaiki ekspresi mukanya. Ia tidak ingin Toni tersinggung.

Mendengar jawaban Alvaro, seringai nakal Toni muncul.

“Sayang punggung lo babak belur. Kalau nggak, udah nggak tahu bakal berapa ronde, tuh!”

Alvaro menendang kaki Toni, membuat cowok itu mengaduh.

“Sinting! Gue nggak bakal ngapa-ngapain sama Casi walau badan gue sehat.”

“Cupu lo!” Toni tergelak.

Alvaro bangkit. “Gue minjam baju lo. Ikut mandi. Baju kemarin ini.”

“Pantes ada aroma busuk di rumah gue.”

“Kampret!”

Toni tergelak keras.

Alvaro beranjak ke salah satu kamar di lantai dua, mandi dengan teramat hati-hati. Toni memberinya sepasang pakaian. Setelah mengenakannya, Alvaro termenung, teringat kejadian semalam. Ia memang tidak melakukan hal lain dengan Casi setelah cewek itu mengobati lukanya, selain berbaring. Semula, Alvaro tidur di sofa ruang tamu. Namun, Casi tiba-tiba mengajaknya ke kamar, berkata bahwa ranjang jauh lebih baik daripada sofa. Alvaro menurut. Yang terjadi berikutnya adalah apa yang Alvaro inginkan. Ia menarik Casi dalam dekapan, dan meminta cewek itu menemaninya. Kehangatan dan kelembutan Casi adalah yang paling Alvaro butuhkan. Meski ada bisik di benak yang memberitahunya bahwa ia tidak sepatutnya berlaku demikian. Hanya saja, tubuh dan pikirannya teramat letih, sehingga yang ia inginkan hanya beristirahat sambil memeluk cewek itu. Dan Alvaro bersumpah, momen itu adalah saat-saat terlekat dirinya dengan seseorang. Ia bahkan tidak pernah melakukannya dengan cewek lain. Ikatan yang terjalin antara dirinya dengan Casi terasa begitu kuat. Setelah peristiwa semalam, Alvaro merasa tak bisa melepas Casi.

Alvaro menyeka wajahnya hati-hati dan menarik napas panjang. Ia memasukkan pakaiannya sendiri ke dalam tas. Melihat paper bag bekal, ia meraih jaket demi mengambil ponselnya. Alvaro mendesah lega. Emilia mengirim balasan.

 

Emilia S

Enak nggak?

 

Alvaro meringis. Ia belum memakan bekal Emilia sama sekali. Tapi, tidak mungkin ia berterus-terang.

Alvaro Wistara

Banget, Yang. Pintar banget masak sih kamu.

Emilia S

Kotak yang satu lagi habisin aja, Yang.

Sayang kalau nggak dimakan.

Alvaro Wistara

Jangan takut, Yang. Masakan kamu pasti kuabisin.

 

Read. Alvaro melihat pesannya sudah dibaca Emilia, tapi cewek itu belum mengirim balasan. Status typing semula hadir, lantas kembali hilang. Perhatian Alvaro teralihkan saat Toni membuka pintu rumahnya. Tiga lelaki masuk ke dalam. Toni memperkenalkan mereka sebagai teman satu sekolah.

“Muka lo kayaknya nggak asing,” sahut salah satu dari mereka yang mengaku bernama Bara.

“Lo anak walikota, kan?” timpal yang lain. Namanya Gagah. “Terus itu muka lo ulah siapa?” imbuhnya penuh ketertarikan.

“Teman senasib Bara dia.” Toni yang menjawab, yang ditanggapi anggukan pemahaman Bara, Gagah dan Darka. 

Bara menepuk pundak Alvaro, lalu mereka bertiga menggiring bawaan ke ruang tengah. Alvaro menahan Toni saat cowok itu hendak menyusul teman-temannya.

“Ton, gue nggak salah lihat, kan?”

“Apanya, Al?”

“Mereka bawa bir?” cekat Alvaro.

Alvaro tidak pernah minum-minuman keras. Tapi ia tahu wujud botol berukuran besar yang ada di kantung plastik yang dijinjing salah satu teman Toni.

Toni terkekeh. “Lo ikut juga, Al.”

“Sejak kapan lo minum-minum?” Alvaro mendapati mulutnya mendadak kelu. Segumpal bulu bagai menyumbat paru-paru. Ia tahu Toni agak liar sejak SMP. Tapi, sampai hati mengonsumsi alkohol? Alvaro tidak pernah tahu. 

“Sejak gue lihat nyokap main sama selingkuhannya di sini.” Toni menjawab santai seraya merentangkan kedua tangannya, bagai menunjuk seluruh rumah. “Gue nemu bir bokap, terus gue minum. Pikiran gue langsung pyuuuh, bersih, Al. Percaya sama gue. Alkohol obat paling manjur nenangin pikiran.”

Setelah mengucapkannya, Toni beranjak pergi menuju teman-temannya. Alvaro tertegun. Ia tidak sempat menyusul karena tertahan getar ponsel.

 

Emilia S

Yang, kamu nggak sendiri.

 

Napas Alvaro tercekat. Ia tahu Emilia bukan orang yang mudah mendesak orang lain untuk menumpahkan masalahnya. Gerak-gerik Emilia selalu hati-hati dan penuh perhitungan. Balasan cewek itu pada WA Alvaro tadi pun basa-basi saja, agar Alvaro tidak langsung menghindar. Alvaro bisa segera menyadarinya.

Alvaro duduk di sofa sambil memandangi ponselnya. Pernyataan Emilia begitu sederhana, tapi mewakili seluruh apa yang Alvaro inginkan. Ia mencengkeram ponsel, teringat kejadian malam tadi. Batinnya membisikkan nama Emilia. Desakan untuk menemuinya tiba-tiba hadir. Alvaro pun berdiri. Namun, sebelum ia meraih jaket untuk mengenakannya, seseorang menghubunginya. Casi.

“Beb, sini dong. Dia tiba-tiba pulang. Ada urusan.”

“Kamu di mana?” tanya Alvaro.

“Rumah.”

“Aku ke sana.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Taarufku Berujung sakinah
6774      1765     1     
Romance
keikhlasan Aida untuk menerima perjodohan dengan laki-laki pilihan kedua orang tuanya membuat hidupnya berubah, kebahagiaan yang ia rasakan terus dan terus bertambah. hingga semua berubah ketika ia kembai dipertemukan dengan sahabat lamanya. bagaimanakah kisah perjuangan cinta Aida menuju sakinah dimata Allah, akankah ia kembali dengan sahabatnya atau bertahan degan laki-laki yang kini menjadi im...
Dear You, Skinny!
933      491     5     
Romance
Sebuah Musim Panas di Istanbul
377      270     1     
Romance
Meski tak ingin dan tak pernah mau, Rin harus berangkat ke Istanbul. Demi bertemu Reo dan menjemputnya pulang. Tapi, siapa sangka gadis itu harus berakhir dengan tinggal di sana dan diperistri oleh seorang pria pewaris kerajaan bisnis di Turki?
About Us
2501      990     2     
Romance
Cinta segitiga diantara mereka...
love like you
436      308     1     
Short Story
Mistress
2330      1217     1     
Romance
Pernahkah kau terpikir untuk menjadi seorang istri diusiamu yang baru menginjak 18 tahun? Terkadang memang sulit untuk dicerna, dua orang remaja yang sama-sama masih berseragam abu-abu harus terikat dalam hubungan tak semestinya, karena perjodohan yang tak masuk akal. Inilah kisah perjalanan Keyra Egy Pillanatra dan Mohamed Atlas AlFateh yang terpaksa harus hidup satu rumah sebagai sepasang su...
Dream Of Youth
737      477     0     
Short Story
Cerpen ini berisikan tentang cerita seorang Pria yang bernama Roy yang ingin membahagiakan kedua orangtuanya untuk mengejar mimpinya Roy tidak pernah menyerah untuk mengejar cita cita dan mimpinya walaupun mimpi yang diraih itu susah dan setiap Roy berbuat baik pasti ada banyak masalah yang dia lalui di kehidupannya tetapi dia tidak pernah menyerah,Dia juga mengalami masalah dengan chelsea didala...
AILEEN
5691      1241     4     
Romance
Tentang Fredella Aileen Calya Tentang Yizreel Navvaro Tentang kisah mereka di masa SMA
Jalan-jalan ke Majapahit
4357      1281     8     
Fantasy
Shinta berusaha belajar Sejarah Majapahit untuk ulangan minggu depan. Dia yang merasa dirinya pikun, berusaha melakukan berbagai macam cara untuk mempelajari buku sejarahnya, tapi hasilnya nihil. Hingga akhirnya dia menemukan sebuah website KUNJUNGAN KE MAJAPAHIT yang malah membawanya menyebrangi dimensi waktu ke masa awal mula berdirinya Kerajaan Majapahit. Apa yang akan terjadi pada Shinta? ...
Hello, Troublemaker!
1178      537     6     
Romance
Tentang Rega, seorang bandar kunci jawaban dari setiap ujian apapun di sekolah. Butuh bantuan Rega? mudah, siapkan saja uang maka kamu akan mendapatkan selembar kertas—sesuai dengan ujian apa yang diinginkan—lengkap dengan jawaban dari nomor satu hingga terakhir. Ini juga tentang Anya, gadis mungil dengan tingkahnya yang luar biasa. Memiliki ambisi seluas samudera, juga impian yang begitu...