Read More >>"> Kesempatan (Rahasia) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kesempatan
MENU
About Us  

YANG...

Alvaro tersentak bangun. Matanya membuka total dan melihat langit-langit ruangan yang asing baginya. Ia mengernyit, merasakan nyeri di sebelah wajah dan punggung saat berupaya bangun. Dilihatnya sekitar. Ranjang empuk dengan seprai warna biru aqua. Poster penyanyi internasional di dinding sisinya. Lemari tiga pintu yang berdiri kaku. Meja belajar berbahan kayu jati yang elegan, tapi juga memberi kesan manis. Manis? Alvaro mengernyit saat melihat sofa tepat di pinggir jendela besar, bernuansa pink dengan bantal-bantal kecil dan boneka berhias di pinggirnya. Saat ingat lokasi keberadaannya sekarang, Alvaro langsung mendesah. Ia di kamar Casi.

Alvaro mengayunkan kedua kakinya turun dari ranjang. Ia melirik jam tangan. Pukul sepuluh pagi. Tak ada sosok Casi di sana dan keheningan kamar cewek itu memeluk Alvaro sepenuhnya. Alvaro ingat Casi pamit pergi pagi tadi, berkata bahwa pacarnya datang menjemput. Kesadaran Alvaro belum sepenuhnya pulih, tapi ia berkata bahwa ia akan tidur lebih lama lagi, tak berniat sekolah.

Tas Alvaro teronggok di sisi meja belajar. Kemeja seragam dan jaketnya tertanggal di sandaran kursi. Alvaro merenung, menyadari ini kali pertama ia bermalam di rumah perempuan. Pengalaman yang tidak akan ia cap sebagai tidak menyenangkan. Naluri lelakinya sanggup berkelakar, bahwa tidur di rumah Casi, tepat di ranjang yang sama dengan cewek itu, membuatnya berdebar kencang dan berbunga-bunga. Sialnya, situasi Alvaro tak sesantai itu. Penyebab dirinya kabur ke rumah Casi-lah yang membuat pening di kepalanya menjadi. Kira-kira akan semurka apa orangtuanya jika tahu hal ini? Entah apa yang akan dipikirkan—

“Emi...”

Alvaro membisikkan lirih nama itu saat ia teringat Emilia. Alvaro bangkit dan berjalan dengan membungkuk karena nyeri di punggungnya masih terasa. Diraihnya ponsel di saku jaketnya. Ada sederet panjang notifikasi panggilan dan WA. Alvaro tidak mengindakan satu pun selain dari Emilia.

 

Emilia S

Yang, udah tidur? Maaf aku ketiduran, baru baca WA.

Yang, mau jemput? Aku baru bangun. Hehe. Kalau pakai angkot pasti telat.

 

Alvaro menelan ludah. Mulutnya terasa kelu. Ia bersiap mengetik sesuatu, namun pikirannya semrawut hingga ia tidak tahu harus mengirim balasan apa. Saat itulah layar ponselnya berganti. Tak lagi menampilkan WA, tapi sebuah nomor tak dikenal. Alvaro mengernyit. Semula tak ingin ia hiraukan panggilan itu. Tapi, ia tetap menerimanya.

“Bang!”

Ah, suara Kevan.

“Pakai HP teman, Van?” Alvaro menyahut serak dan pelan. Kevan dan Mariana dilarang orangtua mereka membawa ponsel ke sekolah. Peraturan yang juga berlaku pada Alvaro hingga ia SMP. Baru setelah memasuki SMA, ia diperbolehkan membawa benda itu.

Alvaro duduk di tepi ranjang.

“Iya, Bang.” Suara Kevan di ujung sana agak tergesa dan sarat kekhawatiran. “Abang di mana? Abang tidur di mana? Abang baik-baik aja, kan? Bekas pukulannya gimana?”

Alvaro terkekeh, yang langsung membuatnya meringis. Meski Casi sudah memberinya perawatan, wajah dan tubuhnya tetap saja kaku dan linu. “Satu-satu nanyanya, Van,” ujarnya pelan. “Abang baik-baik aja. Ini di rumah...,” Alvaro melirik foto Casi di meja, “teman,” imbuhnya.

Hening sejenak. “Mama neleponin teman-teman Abang, nanyain apa Abang tidur di rumah mereka.” Kevan mendesah berat. “Termasuk Kak Emi,” tambahnya agak ragu.

Mendengar nama Emilia disebut, Alvaro langsung melongo. Ia menegap yang disesalinya sedetik kemudian. Tubuhnya masih luar biasa nyeri. “Mama nelepon Emi?” paraunya.

“Iya, Bang. Tadi subuh.”

“Sebentar.” Alvaro mengurut pelipisnya. “Mama dapat nomor Emi dari mana?”

“Itu...,” Kevan diam sejenak. Dengan suara takut-takut ia berkata, “...aku, Bang. Mama nanya tadi...terus aku... Maaf, Bang...”

Alvaro membuang napas berat. Sejak mengenalkan Emilia pada Kevan dan Mariana, kedua adiknya itu memang memiliki kontak Emilia. Alasan utamanya karena mereka menganggap Emilia bisa dijadikan tutor di soal-soal yang tidak mereka pahami. Emilia memang sepandai itu, sungguh berbeda dengan Alvaro.

“Bang? Jangan marah. Abang tahu Mama kayak gimana kalau udah maksa.” Suara Kevan terdengar lagi.

“Nggak apa-apa, Van.” Alvaro mengusap tengkuk lehernya. Ia merunduk dalam seraya memejam. Sekarang Emilia tahu Alvaro tidak tidur di rumahnya. Skenario macam apa yang harus ia buat untuk membohongi Emilia jika ia bertanya nanti?

“Bang, Abang beneran...nggak apa-apa?”

Alvaro membuka matanya. “Kamu sama Ana nggak diapa-apain, kan?” timpalnya alih-alih menjawab.

“Secara fisik, nggak. Secara verbal...” Kevan mendesah.

Alvaro tak bicara lagi. Ia sudah mengenal watak orangtuanya, terutama sang ayah. Jika pria itu marah pada salah satu anak, maka dua lainnya akan terkena imbasnya. Alvaro bisa membayangkan kalimat seperti apa yang ayahnya katakan pada Kevan dan Mariana. Memikirkan kedua adiknya dihujani berbagai peringatan yang tak layak mereka terima, membuat Alvaro menggigil oleh amarah. Ia mengepal tangannya kuat-kuat, hingga membuat cengkeramannya di ponsel mengerat.

“Bang, udah bel,” ujar Kevan. “Abang hari ini pulang, kan?”

Mendengar nada cemas di suara Kevan, Alvaro dibuat merasa bersalah. Ia tahu ia harus pulang. Jika tidak, Kevan dan Mariana akan kian getol diceramahi ayahnya. Namun, melihat wajah pria itu bukan pilihan terbaik Alvaro.

“Abang pulang,” kata Alvaro akhirnya, meski ia tidak sepenuhnya yakin.

Setelah itu panggilan berakhir. Alvaro meletakkan ponselnya di meja dan termenung. Peristiwa tadi malam menghujani ingatan. Kemarahan ayahnya. Ucapan beliau. Perlawanan Alvaro. Pukulan penuh geram. Alvaro menyentuh sudut bibirnya, mendengus jeri. Ini bukan kali pertama tangan ayahnya melayang di bagian tubuh Alvaro. Dulu saat SD, Alvaro pernah mendapat hantaman di kepala saat ia tak sengaja menjatuhkan Mariana yang masih balita. Kedua orangtuanya panik setengah mati, begitu pula Alvaro. Rasa bersalah membuatnya bungkam. Ia sempat dilarang mendekati adik mungilnya itu oleh sang ayah. Sampai akhirnya Mariana mulai merangkak dan kerap menghampiri Alvaro. Secara diam-diam Alvaro akan mencium Mariana di kening dan pipi, memeluknya, atau menggendongnya dengan hati-hati. Saat terdengar deru mesin mobil ayahnya mendarat di depan rumah, Alvaro lekas melepas Mariana.

Perbuatan itu tidak selalu datang. Hanya saat Alvaro dianggap mengecewakan. Namun, ketika terjadi, serangannya bisa sangat memuakkan. Selalu kepala, punggung dan kakinya yang jadi korban. Malam tadi, wajahnya turut ditumbalkan. Padahal area itu yang paling mudah mendapat perhatian.

“Aku ini Papamu! Seharusnya kamu tahu diri! Hidupmu Papa yang jamin! Punya apa kamu tanpa Papa, hah?! Bakal jadi gelandangan kamu tanpa uang Papa! Berani kamu mengotori nama Papamu sendiri!”

Alvaro membuang napas kuat-kuat. Sekujur tubuhnya gemetar oleh amarah. Ia menyugar rambutnya penuh emosi. Rasanya ia ingin menghantam sesuatu, menghancurkan apa pun. Namun, yang sanggup Alvaro lakukan hanya mengepal erat. Serendah itukah ia di mata ayahnya?

Alvaro meraih ponsel.

 

Alvaro Wistara

Beb.

 

Pesan WA itu ia kirim untuk Casi. Alvaro diam kembali, menunggu. Tak lama, ponselnya bergetar.

 

Casi Fortuna

Kenapa, Beb?

 

Alvaro memandangi balasan itu cukup lama. ‘Kenapa’? Ia tidak tahu. Yang ia tahu, ia ingin bertemu Casi, menerima kehangatan dan kelembutan cewek itu lagi seperti semalam. Ia membutuhkannya.

 

Alvaro Wistara

Aku jemput kamu nanti pulang.

Casi Fortuna

Jam tiga, ya. Ada kumpul ekskul bentar.

 

Alvaro tak membalasnya lagi. Ia membiarkan cahaya di layar ponselnya padam, dan mengunci otomatis. Alvaro mengempaskan benda itu secara asal di ranjang. Ia butuh istirahat. Tubuh dan pikirannya luar biasa lelah.

 

 

Pukul tiga sore Alvaro menunggu di SMA Kencana Mulia, menjemput Casi sesuai rencananya. Saat Casi memeluknya dari jok belakang, Alvaro praktis meringis.

“Sori, Beb. Masih sakit banget, ya?” Casi lekas mengendurkan pelukannya, meski kedua tangannya masih berada di perut Alvaro.

Alvaro menoleh ke belakang seraya memasang senyum. “Sedikit,” ujarnya sambil memegang tangan Casi.

Casi berdecak dan mengomel tentang tak masuk akalnya perbuatan ayah Alvaro hingga punggung cowok itu penuh bekas cambukan yang parah. Alvaro terdiam dan bersiap menyalakan mesin saat ponselnya bergetar panjang. Sebuah panggilan masuk. Ia merogoh saku jaketnya, mengernyit melihat nama Raka terpampang di layar.

“Yo, Ka?”

“Di mana lo?”

“Kenapa?” Kendaraan hilir mudik di dekat Alvaro. Angkutan umum memarkir di pinggir jalan, menunggu penumpang. Bunyi klakson dan deru mesin membaur di udara. Tapi Alvaro tak perlu menambah volume ponselnya, karena suara Raka di ujung sana masih sanggup ia dengar.

“Gue mau ketemu. Lo di mana?”

Alvaro tak segera menjawab. Bukan hal aneh jika Raka menghubungi untuk bertemu. Mereka memang terbiasa menghabiskan waktu bersama sejak kelas 1, meski sekadar bermain game atau basket. Masalahnya, ada Casi dengan Alvaro sekarang. Ia melirik Casi yang duduk di belakangnya. Lantas Alvaro sadar, Raka tak punya urusan apa-apa dengan kebersamaan Alvaro dan Casi.

“Ketemu di kafe biasa. Gue ke sana sekarang.”

“Oke.”

Panggilan berakhir. “Beb, temanku mau sekalian ketemu.” Alvaro menyalakan mesinnya.

Casi menggumam pelan. Motor Alvaro melaju tidak lama kemudian. Kafe yang ia maksud, kerap didatanginya dengan Raka dan teman-teman mereka yang lain jika sedang ingin menongkrong. Kafe Alatta yang berada di Jalan Sudirman, tidak jauh dari SMA Bina Pekerti dan SMA Kencana Mulia. Bisa dibilang letaknya strategis tepat di tengah kedua sekolah itu.

Mereka tiba pukul setengah empat. Alvaro dan Casi duduk di kursi dekat jendela. Suasana Kafe Alatta cukup ramai. Setengah pengunjungnya adalah siswa SMA, mahasiswa, juga keluarga. Alvaro membiarkan Casi memesan makanan, sementara dirinya hanya segelas soda susu. Saat minumannya tiba dan Alvaro baru menyeruput hingga dua kali tegukan, sosok Raka datang.

“Al.”

“Yo.” Alvaro melihat Raka memicing menatapnya.

“Kenapa muka lo?”

Alvaro mengibaskan tangan. “Bukan masalah gede,” ujarnya. “Kenalin, dia Casi.” Alvaro menunjuk Casi dengan dagunya. “Beb, dia Raka.”

Saat mendengar ‘Beb’, Raka memelotot pada Alvaro, tapi Alvaro mengabaikannya. Raka pun tampak tak ingin mencari gara-gara. Ia memperkenalkan diri pada Casi secara singkat, lalu berpaling pada Alvaro.

“Gue mau ngomong di luar.”

Raka berkata demikian dengan tegas, dan beranjak pergi tanpa menunggu jawaban Alvaro. Kening Alvaro berkerut samar melihat tingkah Raka. Suasana hati cowok itu sepertinya sedang buruk. Entah karena satu hal, atau keberadaan Casi di sana. Alvaro mendorong kursi dengan terpaksa dan pamit sebentar pada Casi. Ia menyusul Raka yang sudah berdiri di area luar kafe.

“Lo jadian sama Casi?” tembak Raka tanpa basa-basi.

Alvaro menenggelamkan kedua tangannya ke saku jaket. Ia mendesah pelan dan mengangkat bahu.

“Dia tahu lo udah punya cewek?”

“Dia juga udah punya cowok.”

Pengakuan itu menyentak Raka. Ia menggeleng tak habis pikir. “Bisa-bisanya lo selingkuh, sementara cewek lo panik nyariin lo.” Raka menyerahkan paper bag pada Alvaro. Titipan Emi.”

Emi? Alvaro mengintip ke dalam paper bag. Kotak makan. Emilia kembali membuatkannya makanan. Ada haru yang menyelusup, juga rasa bersalah karena hingga kini ia belum menghubungi kekasihnya.

“Bekal itu nggak cukup jadi bukti perasaan Emi ke lo, Al? Lo masih sanggup selingkuh dari dia?” Raka menunjuk paper bag dengan jarinya, lantas menyugar rambut jengah.

Alvaro mendengus. “Lo minta ketemu mau ngasihin ini doang?”

“’Doang’?” Raka berdecak. “Emi nyariin lo dari sebelum masuk sekolah. Dia datang lagi pas istirahat. Lo tahu kecewanya dia kayak gimana? Nggak tega gue lihatnya! Gue langsung nawarin diri mau nyariin lo, biar dia nitipin ini ke gue. Bikin bekal itu pakai usaha, Al. Lo nggak peduli?”

Tidak peduli? Bagaimana mungkin Alvaro tidak memedulikan Emilia? Cewek itu kekasihnya. Namun, apa yang terjadi semalam membuatnya mau tak mau menyisihkan Emilia. Bagaimana tidak. Di saat Alvaro membutuhkan seseorang, Casi-lah yang ada untuknya.

“Lo tidur di mana?” tanya Raka lagi.

Alvaro mengangkat wajah demi mengalihkan pandangan pada Raka. “Nyokap gue nelepon lo juga?” tanyanya, teringat ucapan Kevan.

"Dan teman-teman kita yang lain,” aku Raka. “Lo ada masalah apa sih, Al? Nggak biasanya lo kabur-kaburan kayak gini. Lo bahkan nggak ngehubungin gue. Ada hubungannya sama lebam di muka lo?” Suara Raka memelan. Nada bicaranya mengandung kekhawatiran.

Alvaro terkekeh. Meski mereka baru saling mengenal sejak masuk SMA, tapi ia bisa mengaku bahwa Raka adalah salah satu sahabatnya. Mereka kerap bercerita banyak hal, termasuk soal perempuan dan masalah yang mereka hadapi. Malam tadi, isi kepala Alvaro sedemikian kusut hingga ia tidak tahu ke mana ia mesti pergi. Tangannya bagai punya kehendak sendiri saat mengarahkan kemudi motor ke perumahan Casi, yang membuat Alvaro merasa diterima dan dilindungi. Perhatian cewek itu cukup.

“Biasalah, masalah rumah.” Alvaro berkata sambil lalu.

“Bokap lo?” Saat Alvaro diam, Raka mengambil kesimpulan. “Bokap lo...mukul?”

“Santai, Ka. Nggak usah emosi gitu. Udah diurusin Casi kok gue.”

Raka terdiam, tampak mencerna. Saat sebuah pemahaman menyapu wajahnya, romannya berubah masai.

“Lo...tidur di rumah Casi?”

“Datang gitu aja gue.”

“Orangtuanya...“

Alvaro diam sejenak. Dengan gaya santai ia berkata, “Casi tinggal sendiri. Bonyoknya lagi di luar.”

Raka menegang. “Al—“

“Otak gue sumpek banget tadi malam, Ka. Gue datang gitu aja ke rumah dia. Udah, lo nggak usah panik gitu. Gue pulang hari ini, jadi nyokap gue nggak bakal nelepon lo lagi. Tapi beneran sori, nih, kalau lo sampai keganggu sama telepon nyokap.”  

Raka menggeleng, membuang napas. “Gue nggak permasalahin itu. Tapi, gue heran aja kenapa lo nggak coba ngontak gue. Lo bisa datang ke rumah gue, Al, nggak ke rumah Casi—Gimana perasaan Emi kalau dia sampai tahu ini?”

“Dia nggak bakalan tahu. Kita bakal mastiin itu.”

Ucapan Alvaro membuat Raka kaku. Alvaro seakan memperingatkannya untuk tidak membeberkan rahasia sahabatnya itu pada Emilia.

“Al, lo udah nggak sayang sama Emi?”

Entah kenapa Raka banyak membahas Emilia saat ini, dan hal itu menimbulkan kekesalan dalam diri Alvaro. Ia harus menyudahi pertemuan mereka sekarang juga.

Alvaro menepuk pundak Raka dua kali.

“Makasih buat titipannya. Gue balik.”

Alvaro pergi tanpa memedulikan longoan Raka.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
May be Later
13752      2026     1     
Romance
Dalam hidup pasti ada pilihan, apa yang harus aku lakukan bila pilihan hidupku dan pilihan hidupmu berbeda, mungkin kita hanya perlu mundur sedikit mengalahkan ego, merelakan suatu hal demi masa depan yang lebih baik. Mungkin di lain hari kita bisa bersanding dan hidup bersama dengan pilihan hidup yang seharmoni.
The Maiden from Doomsday
9898      2131     600     
Fantasy
Hal yang seorang buruh kasar mendapati pesawat kertas yang terus mengikutinya. Setiap kali ia mengambil pesawat kertas itu isinya selalu sama. Sebuah tulisan entah dari siapa yang berisi kata-kata rindu padanya. Ia yakin itu hanya keisengan orang. Sampai ia menemukan tulisan tetangganya yang persis dengan yang ada di surat. Tetangganya, Milly, malah menyalahkan dirinya yang mengirimi surat cin...
Melihat Mimpi Awan Biru
3378      1147     3     
Romance
Saisa, akan selalu berusaha menggapai semua impiannya. Tuhan pasti akan membantu setiap perjalanan hidup Saisa. Itulah keyakinan yang selalu Saisa tanamkan dalam dirinya. Dengan usaha yang Saisa lakukan dan dengan doa dari orang yang dicintainya. Saisa akan tumbuh menjadi gadis cantik yang penuh semangat.
Sadness of the Harmony:Gloomy memories of Lolip
598      321     10     
Science Fiction
mengisahkan tentang kehidupan bangsa lolip yang berubah drastis.. setelah kedatangan bangsa lain yang mencampuri kehidupan mereka..
Lost In Auto
1215      440     1     
Romance
Vrinda Vanita, adalah seorang remaja putri yang bersekolah di SMK Loka Karya jurusan Mekanik Otomotif bersama sahabatnya Alexa. Di sekolah yang mayoritas muridnya laki-laki, mereka justru suka pada cowok yang sama.
Vandersil : Pembalasan Yang Tertunda
337      243     1     
Short Story
Ketika cinta telah membutakan seseorang hingga hatinya telah tertutup oleh kegelapan dan kebencian. Hanya karena ia tidak bisa mengikhlaskan seseorang yang amat ia sayangi, tetapi orang itu tidak membalas seperti yang diharapkannya, dan menganggapnya sebatas sahabat. Kehadiran orang baru di pertemanan mereka membuat dirinya berubah. Hingga mautlah yang memutuskan, akan seperti apa akhirnya. Ap...
Pulpen Cinta Adik Kelas
455      263     6     
Romance
Segaf tak tahu, pulpen yang ia pinjam menyimpan banyak rahasia. Di pertemuan pertama dengan pemilik pulpen itu, Segaf harus menanggung malu, jatuh di koridor sekolah karena ulah adik kelasnya. Sejak hari itu, Segaf harus dibuat tak tenang, karena pertemuannya dengan Clarisa, membawa ia kepada kenyataan bahwa Clarisa bukanlah gadis baik seperti yang ia kenal. --- Ikut campur tidak, ka...
The Journey is Love
621      427     1     
Romance
Cinta tak selalu berakhir indah, kadang kala tak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Mencintai tak mesti memiliki, begitulah banyak orang mengungkapkan nya. Tapi, tidak bagiku rasa cinta ini terus mengejolak dalam dada. Perasaan ini tak mendukung keadaan ku saat ini, keadaan dimana ku harus melepaskan cincin emas ke dasar lautan biru di ujung laut sana.
Seiko
359      258     1     
Romance
Jika tiba-tiba di dunia ini hanya tersisa Kak Tyas sebagai teman manusiaku yang menghuni bumi, aku akan lebih memilih untuk mati saat itu juga. Punya senior di kantor, harusnya bisa jadi teman sepekerjaan yang menyenangkan. Bisa berbagi keluh kesah, berbagi pengalaman, memberi wejangan, juga sekadar jadi teman yang asyik untuk bergosip ria—jika dia perempuan. Ya, harusnya memang begitu. ...
ALACE ; life is too bad for us
1003      603     5     
Short Story
Aku tak tahu mengapa semua ini bisa terjadi dan bagaimana bisa terjadi. Namun itu semua memang sudah terjadi