“... EMI... Emi, hei!”
Emilia terperangah saat tepukan keras mendarat di bahunya, disusul sosok seseorang yang berdiri agak membungkuk di hadapannya. Kamila. Melihat Kamila, mengingatkan Emilia keberadaannya sekarang. Ruang klub mading. Mereka memang berada di ekskul yang sama.
“Nggak pulang?” tanya Kamila. Di ruangan itu masih tersisa beberapa anggota yang bertahan setelah rapat membahas tema yang akan digulirkan dua minggu ke depan. Kamila menggeret kursi dan duduk di depan Emilia yang sedari tadi berkutat dengan laptop, menjadi notulen rapat. Ia belum menutup benda itu sampai sekarang.
Pulang? Emilia melihat Kamila sudah memasang tasnya di punggung. “Oh, i-iya.” Emilia berdeham. Ia mematikan laptop cepat-cepat.
“Lagi cari inspirasi, Mi?” tanya Kamila lagi saat Emilia mulai menyiapkan tasnya.
“Inspirasi?” Emilia menimpali dengan bingung.
“Buat sayembara.” Kamila menegaskan.
Detik itu Emilia mengerjap. Ia sama sekali lupa dengan lomba cerpen. Akhir-akhir ini ia sibuk memikirkan Alvaro. Teringat cowok itu menimbulkan kegelisahan di dada Emilia kembali. Alvaro belum memberi kabar, padahal ia sudah membaca isi WA dari Emilia. Juga tidak ada kabar dari Raka. Apa cowok itu berhasil menghubungi Alvaro? Emilia mengurut kening. Kenapa Alvaro belum mengabari apa pun padanya?
“A-aku lupa,” aku Emilia. Ia menutup laptopnya dan memasukkannya ke dalam tas.
Kamila mengernyit.
“Emi, Mil, pulang bareng?” Puspa muncul, menyahut dari ambang pintu. “Halo, Kak,” sapanya pada senior di klub mading. Mereka melakukan hal serupa. Puspa mengikuti ekskul karate.
“Ke kantin bentar, ya. Pengin ngemil.” Kamila mengelus perutnya sambil menghampiri Puspa.
“Bukannya lagi diet?” tanya Puspa sangsi.
“Hari ini pengecualian.” Kamila menyengir yang ditanggapi tawa Puspa.
Setelah membereskan barang-barangnya, Emilia pamit pada anggota klub, begitu pula Kamila dan Puspa. Mereka berjalan ke kantin. Waktu sudah menunjuk pukul lima. Sebagian besar kedai sudah tutup. Meski begitu, masih ada yang buka demi memenuhi lapar dan dahaga siswa yang masih sibuk ekskul di sana. Suasananya lengang. Emilia kira setelah membeli sebungkus biskuit dan snack berukuran besar, mereka akan melanjutkan niat pulang. Ternyata, Kamila mengajak Emilia dan Puspa duduk di salah satu bangku, di bagian luar kantin.
“Nggak langsung pulang, Mil?” tanya Puspa.
Kamila menggeleng, lalu merangkul Emilia. Setelah mereka duduk, ia meletakkan beliannya di meja.
“Oke, ayo cerita.” Kamila berkata lugas sambil membuka bungkusan biskuit, membuat Emilia dan Puspa mengernyit. “Ada yang lagi kamu pikirin kan, Mi? Cerita aja.”
Puspa menoleh pada Emilia yang duduk di sisinya. “Ada apa, Mi? Kamu lagi ada masalah?”
“Eh? Aku...” Emilia mengedip cepat.
Emilia menatap Kamila dan Puspa bergiliran. Ia tertunduk. Mereka berdua adalah teman terdekatnya di sekolah. Hanya pada mereka Emilia bisa bercerita. Meski ia lebih banyak memendam, tak ingin berbagi karena tak ingin merepotkan.
Ia ingat saat mulai menyukai Alvaro, dua sahabatnya itulah yang pertama menyadari meski semula Emilia tak berterus-terang. Tanpa Emilia sadari, Puspa dan Kamila mencuri banyak kesempatan agar Emilia dan Alvaro bisa berbincang. Lantas, Puspa mengaku ia dan Kamila sengaja melakukannya karena mengetahui perasaan Emilia. Menurut Puspa, roman Emilia setiap kali bertemu Alvaro gamblang terlihat. Barangkali hal itu pula yang membuat Kamila kini menyadari ada sesuatu yang mengusik pikiran Emilia.
Emilia diam sejenak. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Kamila mulai mencopot dua potong biskuit.
“Al nggak ada kabar.” Emilia mulai bicara. “Dia lagi ada masalah. Kemarin, dia nge-WA aku. Tapi aku ketiduran. Dia belum ngabarin lagi sejak WA terakhir itu.”
“Dia bilang apa?” tanya Puspa, menumpu seluruh perhatiannya pada Emilia.
“Cuma ‘Yang’. Dia nggak bilang apa-apa lagi. Tapi aku tahu dia ada masalah.” Emilia menelan ludah. Tatapannya berpindah dari Puspa dan Kamila, ke meja bercat putih di hadapannya. “Ibunya nelepon, nanyain apa Al ada di rumahku atau nggak. Al nggak pulang semalam. Aku nggak tahu dia tidur di mana. Dan hari ini dia nggak sekolah. Belum ada kabar dari Al sampai sekarang.” Setelah mengucapkannya, Emilia menautkan jemari yang berada di pangkuan. Apa persoalan yang tengah ia hadapi terlalu sepele untuk diceritakan? Belum dua hari Alvaro tanpa kabar. Setidaknya, baru 24 jam. Tapi, bagi Emilia, kekhawatirannya sudah mencapai batas kewajaran hingga ia tidak berkonsentrasi melakukan apa pun. Ia takut terjadi sesuatu yang buruk pada cowok itu. Setidaknya, jika Alvaro memberi kabar atau menemuinya, Emilia bisa sedikit lega, dan melakukan sesuatu untuk membantu Alvaro. Namun, Alvaro tak menampakkan diri meski lewat WhatsApp.
“Pantas kamu tadi pas istirahat balik ke kelas, muka kamu pucat.” Puspa berkata pelan.
“Nggak kamu cari tahu ada apa sama Emi?” Kamila menatap Puspa galak.
Puspa terkekeh. “Aku lagi ngelihat video pertandingan karate tadi. Seru banget.” Puspa lalu merangkul lengan Emilia. “Mi, sori banget ya, aku nyuekin kamu tadi.”
“Nggak apa-apa, Pa.”
“Dasar kamu ini. Selalu lupa sekitar kalau udah nyangkut karate.” Kamila menggeleng, lantas mengambil potongan biskuit lain. “Kamu udah tanya Raka, Mi? Dia kan dekat banget sama Alvaro.”
“Raka juga nggak tahu apa-apa. Al nggak ngabarin. Tadi pas istirahat dia bilang mau nemuin Al. Tapi, Raka belum ngasih kabar.”
“Mungkin mereka lagi ngobrol sekarang?” sahut Puspa. “Tapi, kayaknya baru kali ini aku dengar Alvaro nggak sekolah. Nggak ada kabar pula.”
“Bisa jadi masalah yang lagi dia hadapi lebih serius dari biasanya.” Kamila menambahi. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan. “Kamu udah coba telepon dia, Mi?”
Emilia mengangguk lesu. “Al nggak ngangkat.”
“Coba telepon lagi, Mi. Coba sekarang. Siapa tahu dia ngangkat,” gagas Puspa.
“Sebentar.” Kamila mengangkat sebelah telapaknya ke udara, lalu menurunkan tangannya kembali. “Bukannya cowok kalau lagi ada masalah serius, suka sendirian, ya? Kayak ngasih jarak gitu sama orang-orang. Jadi, mungkin baiknya kamu diemin dia dulu aja, Mi. Nanti pasti dia hubungin kamu, kok kalau udah mulai tenang.”
Puspa menggeleng. “Mil, kalau orang lagi ngadepin masalah serius, baiknya kita pepet terus biar dia cerita. Berabe lho kalau sampai dia mikir nggak ada yang peduli.”
“Emi udah nyoba telepon aja udah bukti dia peduli. Alvaro pasti sadar itu.”
Saat itulah ponsel Emilia berdenting, membuatnya tak lagi menyimak perdebatan Puspa dan Kamila. Emilia mengambil ponselnya tergesa, mengharap Alvaro yang menghubunginya. Saat melihat nama di layar, bahu Emilia terkulai lagi.
“Alvaro?” sahut Kamila.
Emilia menggeleng. “Raka,” katanya, seraya melihat isi pesan Raka.
Raka Manggala
Mi, aku udah ketemu Al.
Bekalnya udah kukasihin juga.
Emilia S
Dia baik-baik aja, Ka? Al di mana?
Balasan Raka tak segera datang, membuat Emilia menunggu dengan gusar. Ia tidak menutup kolom chat, sehingga Emilia bisa melihat typing dan online bergantian secara signifikan, seolah Raka mengetik sesuatu, tapi menghapusnya lagi. Emilia bisa saja menduga jaringan yang bermasalah membuat pesan Raka terlambat tiba. Namun, setelah bermenit-menit, masih tak ada balasan dari Raka.
Raka Manggala
Kasih Al waktu dulu ya, Mi.
Dia pasti hubungi kamu.
Sesak di dada Emilia tidak lantas membaik mendapat balasan itu. Raka pasti tahu sesuatu, tapi ia berat untuk bercerita. Entah karena Alvaro yang melarangnya, atau Raka yang memilih demikian. Semula, Emilia sempat tergiur ucapan Puspa untuk kembali menelepon Alvaro. Namun, setelah membaca pesan Raka, niat Emilia mengempis begitu saja. Barangkali Kamila dan Raka benar. Emilia sebaiknya menunggu.