Read More >>"> Hati Yang Terpatahkan (Perkenalan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hati Yang Terpatahkan
MENU
About Us  

Di ruang tamu, duduk lesehan menghadap meja berkaki pendek, terhampar buku-buku tulis di atasnya, dan aku masih berkutat memindahkan ukuran-ukuran dengan skala dari buku Gia ke bukuku. Akan memakan banyak waktu mengartikan penjelasan-penjelasan yang tertera dari setiap garis, jadi aku hanya mempersingkatnya, dengan langsung kujiplak dari sang ahlinya--mengukurnya lebih akurat dari titik A ke titik B atau ke titik lainnya.

Di detik berikutnya, tak bisa kutampung penat lebih lama lagi, kusingkirkan buku-buku, merambet susu yang nyaris kehilangan panasnya. Kuseruput sedikit demi sedikit. Bak lepas dari sumbatan botol, suara tv di sisi baru menguar di telinga. Selalu sama setiap malam : acara dangdut--favorit ayah. Pun, berakhir selalu sama pada kondisinya : ayah terlelap lebih dulu. Melihat ayah tergelepar begitu, rasanya urat jahilku keluar, tapi urung, tanganku lebih gatal kalau tak menyentuh ponsel. Jadilah, kedua tanganku penuh. Satu secangkir susu, yang lainnya memegang ponsel.

Di layar ponsel, tanganku cukup piawai menari-nari, paham betul aplikasi mana yang hendak kutuju, naik-turun gerakan tanganku di layar datar itu, mengamati penuh intai status-status di beranda, sembari sesekali meneguk susu.

Dari facebook menuju instagram--media sosial wajib yang harus dimiliki. Tak cuma jadi tukang kepo--menikmati potret kehidupan orang lain, media sosial menjanjikan dan menyajikan beragam informasi dan ide kreatif penting lainnya yang bikin betah berlama-lama. Tempat berbagi video tutorial dan inspirasi apa saja. Aku masih menunggu garis memutar lenyap di ponsel untuk sesi akhir tutorial hijab segi empat, sesaat muncul notifikasi dari WA.

Assalamualaikum

Aku beralih chat. Nomor asing, hanya tertera nomor, itu artinya bukan berasal dari daftar kontakku.

Waalaikumsaalaam. Maaf, siapa?  Balasku cepat.

Pura-pura lupa

Ponselku kembali berbunyi. Aku mengernyit dahi, kalimatnya mengisyaratkan aku kenal orang ini atau dia yang kenal aku? Rasa penasaranku makin menjadi-jadi, kutekan foto profil, tak ada hal yang dapat kujadikan petunjuk--hanya gambar karikatur pria berjenggot, bukan sesuatu yang berarti. Satu-satunya petunjuk tertera nama Aldy di sisi foto, namun, beribu kemungkinan di luar sana banyak memiliki nama yang sama.

Tak mau lagi dilanda rasa penasaran terlalu lama. Kutuduh saja, cepat.

Aldy? BLKI?

Iya. Kamu cukup pandai dari yang kukira!

Ini bukan suatu prestasi yang membanggakan. Namamu tertera di sisi foto profil, kok.

Aneh tapi nyata, justru aku yang sepertinya malah berantusias dengan perkenalan ini--seakan setiap kalimatnya mengundang rasa penasaran ke penasaran berikutnya.

Tahu dari siapa nomor WA-ku? Aku tak sembarang memberikannya ke orang asing!

Temanmu, Citra

Mulutku langsung membentuk huruf "O" bulat penuh, melayang pikiranku pada percakapan bersama Citra di masjid tadi, dan ini mungkin maksud dari kata-katanya itu. Hanya sekian detik memasang wajah tertegun, hingga air mukaku berganti cepat, refleks bibir ini menyungging senyum. Entah apa yang tengah kupikirkan, aku belum ingin menyimpulkan perasaan semacam apa ini. Terlalu cepat.

Kamu sedang apa?  Tanyanya kembali.

Abis menyelesaikan bikin pola di buku. Pola baju anak-anak.

Gimana di kelas jahit? Seru dong bisa bisa bikin baju? Nanti buatkan aku ya, satu. Hehehe...

Di akhiri emoticon berwajah tertawa sambil menangis. Refleks aku terkikih, buru-buru aku melirik ayah, kalau-kalau aku membangunkannya. Jangan sampai penghuni rumah ini menyadari adanya ketidakberesan dariku, senyum-senyum sendiri layaknya fantasi orang gila. Tapi kurasa ini lebih baik, ketimbang mereka harus melihatku kembali meluruhkan air mata berhari-hari.

Hehehe.... Terlihat mudah bagimu, Di. Tapi nyatanya pekerjaan menjahit tak semudah yang semua orang bayangkan. Perlu perhitungan akurat, macam menghitung uang. Salah sedikit, baju jadi yang kita kenakan tidak akan pas. Masih terlalu jauh untuk memikirkan aku dapat membuat satu pakaian saja.

Owh ya? Tapi, tak ada salahnya dong untuk bermimpi. Mimpi itu memacu kamu agar bisa lebih baik ke depannya. Yakin, kamu pasti bisa bikinin aku baju. Hahaha....

Sontak aku tertegun, sebelum aku kembali terkikih dan geleng-geleng kepala lantaran gaya tengilnya, hingga membangkitkan refleks-ku menutup mulut agar meredam geli. Untung saja, ditingkahi suara musik dangdut di TV--membuat kikihanku menjadi tenggelam. Bukan ayah yang kutakutkan terganggu, mengingat  aku paham betul bagaimana ayah kalau sudah tidur, layaknya masa hibernasi panjang. Bom Nagashaki dan Hiroshima pun sepertinya lewat. Tapi ibu, dia seringkali datang dan muncul dengan tiba-tiba, mirip jelangkung. Dan tertangkap basah itu rasanya tidak enak lho, lagipula aku belum ingin mengenalkan siapa-siapa dulu saat ini di kehidupan baruku ini.

Meski rasanya pengenalan kami sudah tak kaku lagi, tapi rasanya, masih ada ruang yang membatasiku. Jadi, kuurungkan menekan tombol dan memilih meletakkan ponsel di meja sembari terus mengamati lampu di ponsel yang berkedap-kedip--satu-satunya cara mengetahui ada notifikasi masuk setelah kupilih mode silent.

Oh ya, waktu itu kulihat motormu mati mendadak, ya? Aldi kembali mengirimkan pesan chat.

Iya. Aku juga nggak tau kenapa tiba-tiba mati. Mana tadi aku mencium bau aroma terbakar gitu, makanya aku buru-buru turun dari motor.

Biasakan Vi, kalau mau menghidupkan motor, panaskan dulu sebelum menjalankannya. Itu juga bisa membuat motor kita jadi lebih awet lho! Tertegun aku pada kalimatnya, nyatanya perhatian juga ini anak, batinku bicara.

Selain tengil, aku rasa kamu juga orang yang berbakat dalam memotivasi orang. Tiba-tiba, aku ingat seseorang....

Hehehe... kamu bisa aja Vi. Emangnya aku mengingatkan siapa?

Kena kau, batinku berteriak. Kali ini, aku sudah bisa mengatur diri untuk tidak mengubar tawa berlebihan, biar semua pecah di perut. Tanpa ada yang tahu, genderang perang sedang kulayangkan. Kudiamkan sejenak, sengaja tak membalas.  

Siapa?  Tanyanya lagi. Benar dugaanku, rasa penasarannya, kini sudah di ubun-ubun.

Mario tergugu. Balasku singkat dengan diakhiri emoticon tertawa sambil menangis.

Satu sama, seimbang. Kemarin, kamu bilang Ivan Gunadi. Balasku lagi.

Hahaha... bisa aja kamu, Vi. Ternyata kamu juga punya bakat ngelawak.

Tak ada kata-kata, kukirim saja balasan dengan emoticon berkacamata hitam, isyarat aku tengah dilanda jumawa. Setelah berjeda beberapa jenak, tiba-tiba aku mengingat sesuatu, mendorongku melanjutkan kembali obrolan.

Oh iya, kali ini aku serius. Bisakah kamu membantuku, Di?

Bantuan apa dulu neh? Akan sulit rasanya kalo kamu minta bantuin aku jahitin baju. Hehehe...

Bukan. Tapi ini motorku....

Oke, apa? Aku akan usahakan sebisaku membantumu.

Agak ragu, tapi keterlanjuranku, membuatku tak bisa lagi mengurungkan kalimat.

Selain sebelum kejadian mendadak tadi, ada masalah di motorku sepertinya. Aku risih mendengar suara mesin di dalam "kletak-kletek"--persis begitu bunyinya setiap kali aku mengendarai. Aku tak tahu masalahnya apa. Kira-kira, apa kamu tahu masalahnya, Di?

Tanganku menjentik di meja,  menunggu balasan yang datang cukup lama. Tak lama, ponselku berkedap-kedip, aku gelagapan.

Entahlah aku tak tahu, Vi. Gini aja, aku mungkin tak bisa membantu secara teknis, secara aku di sini juga baru belajar, Vi. Tapi aku bisa menyambungkan dirimu ke ahlinya, pengajar kami, Pak Yoyon. Kalau bisa akan kuhubungi kamu besok, bawa saja nanti motormu ke bengkel kami. Semoga bisa membantumu.

Oke. Terima kasih.

Sama-sama.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan obrolan kami terhenti begitu saja. Bergegas, kubereskan buku-buku yang berserak di atas meja--berkompetisi dengan rasa kantuk berat yang menjalar cepat di mataku. Setelah beres, kubanting pintu tanpa peduli apa-apa lagi.

***

Kamu boleh kemari, Vi bawa motormu.

Chat WA masuk di sela jam pelajaran mencatat pola rok anak-anak. Aldi, seakan ingin memberi kesan di setiap pertemuan, dibuatnya aku selalu tertegun dengan cara-cara kemunculannya yang tak terduga.

Oke. Balasku singkat. Tak ada hal yang dapat kulakukan, selain mengikuti skenarionya. Ini kesempatan baik, akan sulit mengharapkan kesempatan kedua datang dan kalau pun ada, entah kapan itu terjadi. Aku tak perlu membuang kocek dan menghemat waktu, setelah menghabiskan banyak biaya untuk mendandani motor ini yang tak kunjung beres. Menerima bantuan teman, tak ada salahnya.

Dengan alasan izin ke kamar kecil, aku menyelinap keluar. Suara Ibu Siti dan Ibu Ros bergantian terdengar nyaring menembus pintu--sampai di seperempat koridor berubah samar hingga perlahan-lahan lenyap. Berjalan sendirian menuju tempat parkir membuat jaraknya lebih panjang, bagai mengelilingi stadion Jakabaring, butuh ekstra perjuangan, meski posisi motorku sudah paling dekat--tembak lurus dari pintu utama gedung ini, tetap saja terasa menyulitkan bagiku yang kehilangan fungsi sebelah kaki. Kalau saja aku mendapat tiket emas akan kupergunakan keberuntungan itu dengan menspesialkan lahan parkir, tepat di depan pintu utama.

Tempat bengkel kalian di mana?

Cecarku lagi setelah duduk di atas jok ditingkahi suara deru motor. Jujur saja, meski sudah seminggu berada di tempat ini aku belum juga menjelajahi semua lokasi. Posisi ruang jahit yang berada di gedung depan bikin penjelajahanku mentok di titik itu. Kawasan BLKI terbilang cukup luas yang terdiri bangunan-bangunan tua yang terpisah-pisah. Cuma bangunan "3 in 1" atau bagian informasi yang terlihat tampak anyar. Kelas jahit menempel dengan bangunan utama dan beberapa kelas lainnya. Sementara kelas lainnya, yang memerlukan cukup ruang yang lebih luas lagi berada di belakang. Sama sekali tak bisa kubayangkan model belakang itu seperti apa. Bangunan terpisah-pisah macam kepulauan Indonesia atau menyatu. Selain di seberang dekat masjid, di belakang juga ada kantin, sayangnya tawaran teman yang mengajakku makan waktu itu kutolak, hingga penyesalan datang karena kesempatanku untuk tak "buta" telah lenyap.

Chat balasan yang kuharap sedari tadi, datang terlambat.

Di belakang. Balas Aldi singkat.

Belakang mana, Di? Sumpah, aku belum pernah ke belakang. 

Daripada aku sok tahu dan tersesat di tengah jalan, hingga pada akhirnya membuat malu, mending aku malu duluan mengakui ketidaktahuanku. Setidaknya, aku takkan di cap "sok tahu".

Jalan saja ke belakang, aku akan menunggu di luar kelas. Padat dan jelas, kesan dingin terbangun pada sosoknya.

Oke. Balasku tak kalah singkat.

Makin lama grafik keberanianku makin turun. Dengan separuh keberanian, kulajukan motor ke jalan belakang. Beberapa elemen pendukung membuat kawasan ini terlihat makin tua dan keriput. Jalanan rusak parah, hujan menyempurnakan tanah liat dan pasir  membentuk bekas lekukan ban yang dalam, genangan lumpur, air keruh berwarna orange dari ceruk yang dibentuk dari ban kendaraan. Beberapa potongan pohon-pohon besar tergeletak di sisi-sisi jalan--yang usianya menyusul tua. Beroda tiga membuat rutenya makin alot dan berat. Tertatih-tatih motorku menderu, tak begitu jauh hingga kutemukan wajah Aldi di depan sana. Tepat, berada di belakang gedung utama. Aldi melambai, seakan mendefinisikan aku terkena rabun jauh sampai tak dapat melihat tubuh dan wajahnya yang segede tiang listrik. Tepat di depan kelasnya, aku berhenti.

Aldi telah menunggu, dengan wajah yang tak seinci pun bergeser mengintai gerakku. Kutarik kunci setelah memutar ke off, merambet tongkat, dan berjalan menujunya. Kurasa ada yang tak beres dengan diriku setelah satu per satu menjejaki ke arahnya. Detak jantungku terasa lebih cepat, aku tak pandai mengenakan topeng, tak bisa kututup-tutupi perasaan panik yang naik ke air muka. Keberanian yang separuh, kini di tengah ambang sekarat.

Bukan wajahnya yang pertama kulihat, tapi sepatu converse-nya yang terlihat tampak anyar. Pelan-pelan kudongakkan kepala, tepat matanya segera menyambar wajahku. Nyaris gelagapan, kalau saja aku tak berpaling ke arah lain. Kuharap aku tak mengacaukan situasinya.

"Kamu kenapa Vi?" Aku menggeleng. Ini aneh, tapi nyata, aku harap Tuhan mencairkan tubuhku atau lenyapkan saja aku seperti berada dalam kotak pesulap yang dengan sejentikkan jari, mendadak raib. Tuhan, keberanianku kini benar-benar luntur.

"Apa kalian yakin bisa membantuku?" kataku setelah diam cukup lama, mengubah pembicaraan adalah awal melenyapkan rasa canggung, pun menaikkan setingkat keberanian. Kuharap.

"Apa kamu tak yakin, Vi, akan kemampuan kami, kamu meremehkan pangajar kami Pak Yoyon lho, Vi, kalo gitu?" Aldi mengerlingkan mata. Wajahnya tak bisa kulukiskan, tidak sedang tersinggung, apalagi marah, tapi ke arah tengah mengujiku. Bodohnya, keragu-raguan datang di saat sudah tak ada lagi alasan untuk mundur.

"Bukan begitu...." Di situasi seperti ini sulit untuk mencari pembenaran, tak ada kata-kata yang pantas untuk kuutarakan. Pada akhirnya, tak ada potongan kalimat selanjutnya, benar-benar menguap di udara. Ah, aku mulai mengutuki diriku, bagaimana bisa aku terpikirkan meminta bantuannya malam itu, dan menerima tawarannya tanpa berpikir lagi.

"Yakin saja," katanya pada akhirnya seakan membaca pikiranku.

"Oke!" jawabku singkat dengan wajah separuh cemas.

"Kalian sedang tak belajar?" Mendadak tanyaku muncul, saat mendapati suara berbisik-bisik dari belakang tubuhku, beberapa teman Aldi yang lain tengah mengintip di balik pintu kelas. Deretan kepala itu tersusun rapi dari bawah sampai ke atas, persis penari bertangan seribu. Bedanya, ini kepala--membentuk vertikal sempurna.

"Kebetulan Pak Yoyon lagi keluar sebentar, dan lagian kami memang menunggu motormu untuk dibedah." Dari sudut mataku kulihat Aldi menyeringai, entah apa maksud dari ekspresinya itu.

"Owh, oke." ujarku bernada lemah.

"Kamu tak keberatan kan, Vi?" tanyanya selidik. "Lagian kami cuma mau membantumu, kok?"

"Iya. Oke!" Kuberi senyum datar, agar tak lagi ada cecar atau curiga yang diam-diam menyembul di benaknya.

"Iya... iya mulu neh." celetuk Aldi tiba-tiba disertai kikihannya.

Tawaku terlihat makin aneh, wajah dan tawa tak menggambarkan ekspresi yang sinkron. Hanya terlihat berupaya ikut tertawa--menghargainya, tanpa alasan yang jelas.

"Owh ya Di, aku nggak bisa lama-lama neh." seruku setelah tak sengaja melihat jarum jam di tanganku yang telah berlalu lima belas menit dari aku keluar. "Tadi, aku bilang sama Ibu Siti dan Ibu Ros cuma permisi ke WC, aku takut mereka curiga apa yang tengah dilakukan anak didiknya berlama-lama di WC?" lanjutku sembari menyodorkan kunci motorku ke tangannya. "Oh ya, aku lupa, kok aku nggak liat Citra, Citra di mana, Di?" tambahku, menoleh ke arah pintu yang kini sudah senyap dari kepala-kepala sang pengintip.

"Owh, Citra dia nggak masuk hari ini, Vi, katanya sakit." ujar Aldi bernada lemah.

"Kuharap cepat membaik." balasku tak kalah bersimpati. "Oke, aku balik dulu ya, Bye."  Kuakhiri dengan senyum kecut.

Baru menapaki dua langkah, ketika suara Aldi jatuh kembali ke udara. "Tunggu, aku akan mengantarmu." Terdengar langkah kaki Aldi menyusulku. Bersisian di satu titik, mata kami saling berbenturan dan mematung beberapa detik,  hingga kesadaranku kembali pulih.

"Oke." Jawabku pasrah, melepaskan pandanganku dari matanya.

Kami berjalan bersisian, Aldi ada benarnya mengantarku, sebab dia bisa menjadi peta yang sangat berguna bagi aku yang buta jalan ini. Demi mempersingkat waktu, Aldi menunjukkan jalan pintas, melewati dari sisi sebaliknya. Melewati parkir di halaman tengah khusus untuk transportasi umum BLKI. Tiba-tiba segala hal mengenai kepribadian Aldi menjadi menarik untuk ditelusuri, dia pria tengil nan rupawan yang mengingatkanku dengan Don Juan kelas teri karena berkat kepiawaiannya menarik simpati--membikin banyak perempuan manapun patah hati.

Diam-diam aku memperhatikannya, bulu matanya lentik persis siluet mata perempuan, alisnya hitam legam macam kerumunan semut hitam lagi arisan, kulitnya bersih untuk ukuran pria, dan satu-satunya yang membuatku menaruh perhatian lebih ke arahnya karena jenggot tipis yang mewarnai dagunya. Obsesiku pada jenggot sepertinya belum berakhir. Rambutnya sedikit ikal, lebat dan agak panjang--kira-kira bisa menyisipkan satu kunciran kecil di tengah rambut. Karena merasa ada yang seakan mengawasinya, Aldi menoleh ke arahku yang cepat-cepat membuatku refleks menunduk. Dari ekor mataku, aku bisa merasakan kini Aldi yang memandangiku. Aku berani bersumpah, bagai tengah menanti hasil kelulusan, panas dingin tubuhku dibuatnya. Jangan-jangan, Aldi tengah menertawakan diam-diam ukuran tubuhku yang tak lebih dari kaleng biskuit--pendek dan bantet. Berada di sisinya, aku seukuran seketiaknya--posisi serba salah yang membuatku terlihat cukup mengenaskan, bukan?

Beberapa detik berlalu dengan sunyi, Aku akhirnya membuka obrolan. Berharap suasana yang menegangkan ini dapat dicairkan. "Aku harap kalian serius membantuku." Kalimatku segera membuat matanya membelalak ke arahku. "Bukan, maksudku...," Aku segera membenarkan kalimatku yang ambigu. "Karena motorku itu berbeda dengan kebanyakan, didesain khusus dengan roda tiga, beberapa bagian mesin mungkin telah mengalami perubahan, aku hanya tak ingin...."

"Owh, maksudmu kamu takut kalau kami akan merusak bagian motormu yang bagus." potongnya. "Vi, kami bukan ingin merusak motormu jadi buat apa memperbaiki sesuatu yang nggak rusak. Kami memperbaiki yang rusak saja. Kamu nggak percaya....."

"Bukan... Bukan itu...." Tampaknya kali ini aku membuat Aldi tersinggung. Aku gelagapan saling berebut untuk mengutarakan argumen, mulutnya tengah menganga, saat sudah kutemukan kalimat terbaik yang pantas kujadikan alasan. "Maksudku... Ayolah, pahami ketakutanku," kataku menyerah tapi tak pasrah. Tampak terlihat nada penyesalan, di balik bahasa tubuhku dengan berkata hal-hal bodoh semacam itu. "Cuma satu-satu kendaraan itu yang bisa kupergunakan, kecemasanku sangat beralasan. Mohon jangan ambil hati omonganku, Di, karena aku percaya...."

"Jadi hanya karena perasaan mengganjal ini dari tadi aku lihat kamu bersikap aneh alias seperti orang yang ketakutan, Vi?" Aldi menarik alisnya, menahan matanya lebih lama ke arahku seakan meminta jawabanku, sekarang juga.

"Nggak juga, Di." jawabku singkat.

"Lalu...." Tak seinci pun matanya bergeser dari menatap mataku, saking penasaran jawabanku selanjutnya, Aldi tahan menahan pegal--memiringkan kepala seselama beberapa detik, hanya untuk memperhatikan wajahku lebih rinci.

"Aku... aku... cuma canggung dan tak terbiasa saja." Bak pencuri sendal masjid yang tertangkap basah, aku terdesak, dan mau tak mau aku terpaksa mengakui kebenarannya. "Jujur, ini kali pertama aku ngobrol dengan pria lain setelah bertahun-tahun tak mengobrol. Reaksi tubuhku yang aneh ini keluar dengan sendirinya."

Aldi segera tersambar dengan cepat, kikihannya membangunkan rasa maluku yang baru saja terlelap. Benar-benar pria berhati batu, tak sedikit pun dia merasa bersimpati dengan keadaanku seperti ini. Kupuaskan saja dirinya dengan menertawakanku, tanpa berniat menahannya. Sampai menuju koridor terdekat dengan kelasku, akhirnya dia menyadari kekeliruannya, diam dengan kesadaran sendiri.

"Maaf. Tak bisa kutahan geli ini." ujarnya berbisik. Tak kugubris kalimatnya, aku melangkah makin cepat, tinggal lima langkah lagi sampai di kelas, rasanya tak sabar kutuntaskan perjalanan yang berat ini.

"Terima kasih atas bantuannya," kataku pada akhirnya tanpa menoleh, tepat di ambang pintu.

Sama sepertiku, tak ada balasan yang kudengar dari mulutnya. Sampai kubuka pintu, dan perlahan kembali menutupnya. Per sekian detik, di detik-detik pintu merapat kembali, mata kami saling berbenturan, tak ada raut senyum atau air muka sedih, cuma ekspresi datar, di sela waktu yang sempit itu, kudengar samar dia berucap, "misterius!"

Entah kalimatnya ditujukan untuk siapa, bisa jadi untukku atau tak ditujukan kepada siapa-siapa. Tapi anehnya, kalimatnya itu terus terngiang di kepalaku sepanjang jam pelajaran.

***

Di bawah pohon area parkir, aku menunggu Aldi. Tersisa beberapa gelintir motor yang terparkir, beberapa lainnya tengah siap melaju, sisanya kulihat di kantin seberang, dan sedikit yang memilih ke masjid setelah suara panggilan sholat itu berkumandang.

Gia--tepatnya, Dek Gia karena terpaut cukup jauh lebih muda dariku yang baru saja kutahu dari obrolan singkat, melambai dari kejauahan. Sembari tersenyum, dia berteriak, "Nungguin siapa, Kak?"

"Motor." balasku singkat. Dia mengangguk, mulutnya membentuk hutuf vokal "O", dan gerakan tangan menunjuk ke depan sebagai isyarat--pamit duluan. Beserta beberapa rombongan yang terdengar cekakak-cekikik mengobrolkan sesuatu yang pantas ditertawakan.

Beberapa hari di sini, tak cukup membuatku pandai bergaul. Aku tipikal pendiam, mungkin kelewat dingin, tak banyak bicara, kalau bicara seperlunya saja yang mungkin membuat orang lain tak betah berlama-lama dekat denganku. Hanya orang-orang tertentu yang mampu kuajak bicara, itu sebabnya, teman bagiku cuma semacam orang yang kebetulan di pertemukan dalam satu tempat, tak ada kedekatan personal, mengakrabi seseorang menjadi amat sulit bagiku yang tertutup ini.

Tak lama, dari kejauhan kulihat Aldi muncul di ujung jalan, mengendarai motorku layaknya orang yang baru belajar naik motor, bergerak ke sana kemari tak pernah mantap. Aku baru ingat sesuatu dan lupa memperingatkan Aldi bahwa menaiki motor roda tiga takkan sama dengan mengendarai motor biasa. Luka di kaki ayah masih terasa hangat setelah mencoba mengendarai motorku, yang ternyata tak semudah yang terbayangkan. Dadaku naik-turun melihat cara Aldi mengendarai seperti itu--yang setiap waktunya dapat mengancam nyawanya sendiri, kupikir aku harus mengusaikan perjalanannya tapi nyatanya,  Aldi tetap sampai tepat di depanku.

"Gila!" teriaknya setelah turun dari motor. "Motor kamu kok gitu Vi, susah banget dikendarainya kayak oleng gitu, rasanya aku pengen jatuh terus, stangnya mo ke kiri terus gitu. Ternyata nggak semudah yang aku pikirin naeknya." Aldi menyerocos panjang lebar, seolah kali ini benar-benar pengalaman paling hebat di hidupnya sembari geleng-geleng kepala.

Aku hanya tersenyum geli. "Maaf ya, aku tadi hanya terlalu sibuk dengan kecemasan-kecemasanku yang tak beralasan saja, sampe lupa bilangin kalo motor ini emang susah buat dikendarai, Di. Seharusnya tadi, aku langsung ambil saja ke bengkel."

"Nggak kok Vi, ini jadi pengalaman hebat bagiku. Tapi ini bukan karena motormu punya masalah baru, kan?"

"Nggak kok Di, motornya emang begini kata Bapak Catur--si pembuatnya. Ini memang akan sulit dikendarai oleh orang normal, tapi bagi kami yang belum pernah merasakan mengendarai motor, akan mudah-mudah saja."

"Oke, kapan-kapan ajari aku lagi ya naek motor macam ini! Seru ternyata. Hehehe...." Aldi menyenggol bahuku, yang kurespon dengan wajah terkesiap. Motor--membuatnya hilang kendali dan mengakrabiku seolah teman lama yang kembali bersua. Menyisakan aku yang hanya cengar-cengir salah tingkah. Dan entah, rasa yang aneh saat kali pertama bertemu--kembali hadir.

"Coba kamu kendarai deh, Vi." seru Aldi yang tak menyadari telah merusak mekanisme fungsi tubuhku. "Yang kamu rasain gimana, penyakit motor kamu udah ilang belum? Yang kupake tadi sih udah nggak kedengeran suara kletak-kletok yang kamu masalahin itu."

Dengan cepat suara motorku menderu, meninggalkan Aldi yang masih terpaku di titik ini. Kupilih menjajal jalan raya, mengitari kawasan BLKI hanya akan membuatku terlalu fokus menghindari jalanan rusak, ketimbang memperhatikan perbaikan fungsi motor. Di luar diriku, kau takkan mampu menyadari kalau aku tipe pemberontak di jalan raya. Jika hujan tempat terbaikmu menyamarkan duka, angin memberiku kebebasan--satu hal yang tak pernah kurasakan saat menjadi diri sendiri. Semakin kuat angin menarik tubuhku, semakin jelas sensasi kebebasan yang kurasa, duka melayang, air mata yang tiba-tiba lenyap terbawa angin kering. Bahkan, ayah memperingatkan hal ini berkali-kali padaku, "Kayak dikejar-kejar anjing, Vi. Jangan ngebut-ngebut, nak!" Aku--cuma garuk-garuk kepala merasa tak enak.

Tak cukup lama, aku sudah kembali menuju Aldi. Turun dari motor dengan wajah yang berbinar-binar.

"Gimana Vi? Masih ada suara-suara yang kamu dengar itu?" Mata Aldi membelalak seakan tengah menunggu nama-nama pemenang lotere, begitu antusias.

"Makasih ya, aku bingung mo ngomong apa? Aku sekarang benar-benar malu pernah meragukan kalian. Sampaikan ini kepada pengajar kalian, Pak Yo...."

"Pak Yoyon." potong Aldi.

"Ya, Pak Yoyon dan tentunya, kamu Di. Tawaranmu benar-benar efektif menyelamatkan hidupku." Aku sumringah, menyadari kalimatku sudah melantur.

Tiba-tiba saja, Aldi mengingatkanku pada iklan pasta gigi. Sedikit saja aku bangga-banggakan, pria ini langsung besar kepala, sederetan geliginya yang putih langsung dipamer-pamerkan, macam lagi unjuk rasa. Sementara aku, lebih suka jadi penonton paling bijak, terus bertepuk tangan, dan memuji-muji pemain di atasnya.

Aldi mendadak berjongkok, mengamati roda depanku seperti seorang peneliti tengah mengamati meja preparat. "Kamu tahu nggak Vi, masalahnya apa? Bunyi yang kamu keluh-keluhkan itu?" Aku menggeleng mantap.

"Dari sini sumbernya," serunya mendongak ke arahku sembari menunjuk tepat di tengah roda. "Namanya laher, alat ini memang rentan sekali rusak, apalagi kalo kamu kerap lewat jalanan rusak. Bentuknya seperti cincin." Mendengar penjelasan Aldi yang runut dan serius membuat aku melongo bodoh. Mengangguk-angguk dengan tatapan kosong seperti tengah terhipnotis bandul. "Kalo ngerasa stang agak goyang, itu juga tanda-tanda laher rusak. Sebaiknya segera ganti, Vi, jangan membuat kerusakannya makin fatal." Aku kembali mengangguk, patuh. Hingga kusadari, Aldi terkikih, sontak membuatku jadi bingung.

"Vi... Vi... kamu itu benar-benar bikin aku gemes. Tak bisakah kamu memberi respon lebih baik dari hanya mengangguk-anggukkan kepala?" Aldi kemudian bangkit dengan tak seinci pun menggeser pandangannya ke arahku, menujuku. "Kamu selama ini berada di planet mana sih? Ketakutan begitu waktu ngobrol sama orang? Pantes aja, waktu kali pertama ketemu sama kamu, kamu sendiri yang mematung di tengah lapangan. Ehm... Tapi kamu benar-benar orang yang berbeda lho waktu di chat, lebih menarik. Lucu!" Aldi kembali terkikih disertai geleng-geleng kepala, seakan aku adalah orang yang "tak habis pikir" pernah ditemukannya .

Aku mendengus, tanganku bergerak cepat mengusap-usap hidungku yang tak gatal.

"Kamu kenapa, Vi?" tanyanya keheranan.

"Katamu aku lucu? Aku takut ada tanda merah di hidungku seperti badut."

"Hahaha.... Vi... Vi... Vi...." Lagi-lagi tanpa direncanakan apa pun, aku membuat Aldi tertawa. Selucu itu kah aku di matanya? Sore itu, aku benar-benar menjelma badut.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
When I Was Young
8239      1654     11     
Fantasy
Dua karakter yang terpisah tidak seharusnya bertemu dan bersatu. Ini seperti membuka kotak pandora. Semakin banyak yang kau tahu, rasa sakit akan menghujanimu. ***** April baru saja melupakan cinta pertamanya ketika seorang sahabat membimbingnya pada Dana, teman barunya. Entah mengapa, setelah itu ia merasa pernah sangat mengenal Dana. ...
CATCH MY HEART
2451      907     2     
Humor
Warning! Cerita ini bisa menyebabkan kalian mesem-mesem bahkan ngakak so hard. Genre romance komedi yang bakal bikin kalian susah move on. Nikmati kekonyolan dan over percaya dirinya Cemcem. Jadilah bagian dari anggota cemcemisme! :v Cemcemisme semakin berjaya di ranah nusantara. Efek samping nyengir-nyengir dan susah move on dari cemcem, tanggung sendiri :v ---------------------------------...
Run Away
6667      1493     4     
Romance
Berawal dari Tara yang tidak sengaja melukai tetangga baru yang tinggal di seberang rumahnya, tepat beberapa jam setelah kedatangannya ke Indonesia. Seorang anak remaja laki-laki seusia dengannya. Wajah blesteran campuran Indonesia-Inggris yang membuatnya kaget dan kesal secara bersamaan. Tara dengan sifatnya yang terkesan cuek, berusaha menepis jauh-jauh Dave, si tetangga, yang menurutnya pen...
Flowers
359      247     1     
Inspirational
Zahra, remaja yang sering menggunakan waktu liburnya dengan bermalas-malasan di rumah, menggunakan satu minggu dari libur semesternya untuk mengunjungi tempat yang ingin dikunjungi mendiang Kakaknya. Bukan hanya demi melaksanakan keinginan terakhir Kakaknya, perjalanan ini juga menjadi jawaban atas semua pertanyaannya.
Coldest Husband
1305      675     1     
Romance
Saga mencintai Binar, Binar mencintai Aidan, dan Aidan mencintai eskrim. Selamat datang di kisah cinta antara Aidan dan Eskrim. Eh ralat, maksudnya, selamat datang di kisah cinta segitiga antata Saga, Binar, dan Aidan. Kisah cinta "trouble maker dan ice boy" dimulai saat Binar menjadi seorang rapunsel. Iya, rapunsel. Beberapa kejadian kecil hingga besar membuat magnet dalam hati...
Unthinkable
11409      1848     6     
Romance
Cinta yang tidak diketahui keberadaannya, namun selalu mengawasi di dekat kita
CAFE POJOK
3199      1077     1     
Mystery
Novel ini mengisahkan tentang seorang pembunuh yang tidak pernah ada yang mengira bahwa dialah sang pembunuh. Ketika di tanya oleh pihak berwajib, yang melatarbelakangi adalah ambisi mengejar dunia, sampai menghalalkan segala cara. Semua hanya untuk memenuhi nafsu belaka. Bagaimana kisahnya? Baca ya novelnya.
Toget(her)
1271      593     4     
Romance
Cinta memang "segalanya" dan segalanya adalah tentang cinta. Khanza yang ceria menjadi murung karena cinta. Namun terus berusaha memperbaiki diri dengan cinta untuk menemukan cinta baru yang benar-benar cinta dan memeluknya dengan penuh cinta. Karena cinta pula, kisah-kisah cinta Khanza terus mengalir dengan cinta-cinta. Selamat menyelami CINTA
Move on
63      42     0     
Romance
Satu kelas dengan mantan. Bahkan tetanggan. Aku tak pernah membayangkan hal itu dan realistisnya aku mengalami semuanya sekarang. Apalagi Kenan mantan pertamaku. Yang kata orang susah dilupakan. Sering bertemu membuat benteng pertahananku goyang. Bahkan kurasa hatiku kembali mengukir namanya. Tapi aku tetap harus tahu diri karena aku hanya mantannya dan pacar Kenan sekarang adalah sahabatku. ...
Glad to Meet You
249      190     0     
Fantasy
Rosser Glad Deman adalah seorang anak Yatim Piatu. Gadis berumur 18 tahun ini akan diambil alih oleh seorang Wanita bernama Stephanie Neil. Rosser akan memulai kehidupan barunya di London, Inggris. Rosser sebenarnya berharap untuk tidak diasuh oleh siapapun. Namun, dia juga punya harapan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Rosser merasakan hal-hal aneh saat dia tinggal bersama Stephanie...