Jika mengingat kondisi sebelumnya, ini seperti mukjizat. Rasanya sudah seperti berabad-abad silam aku terlelap. Bangkitnya aku menjadi kabar baik bagi semua penghuni rumah ini. Ada angin segar seolah memenuhi ruangan ini untuk sesaat.
Matahari sudah menukik ke atas saat langkah kakiku mengayun berirama 3/4 dan belum pernah tubuhku seringan kapas. Langkahku berhenti tepat di depan cermin, merefleksikan tubuh mungil gadis yang kini menatap aku lekat, bibirnya tak henti tertarik ke sisi seakan ada bandul yang memberatkan. Wajahnya cerah bak pualam tertimpa cahaya mentari. Tubuhnya berbalut hitam putih dengan dasi berwarna senada. Seragam yang harus dia kenakan untuk pembukaan pelatihan nanti.
"Vi, kau sudah siap, Nak?" Terdengar suara ibu dari arah dapur.
"Ya, bentar lagi, Bu!" setengah terkesiap, aku segera menyelesaikan mematut diri. Merapikan rambut sebahuku dan mengibas-ngibaskan kemeja putih sebentar yang lipatannya tak simetris di pinggang.
Sudah tak sempat waktu meninggalkan jejak senyum di cermin, langkahku bergegas menuju ruang tengah, menyiapkan tas punggung yang menjadi perdananya dipamerkan setelah satu bulan hanya mendekam di rak--dari pertama kali kubeli dengan tawar-menawar cukup alot waktu itu. Aku tak paham betul apa yang harus kubawa di hari pertama, seala kadarnya : satu buku kosong lengkap dengan pena--yang mampu kupastikan akan berguna untuk mencatat apa pun bila dibutuhkan. Terakhir, kumasukkan ponsel untuk menyempurnakan isi di dalamnya.
"Bu, aku nggak sempat sarapan ya, Bu." ujarku sembari sigap bergerak mengambil sepatu datar bertali di dalam rak.
"Kamu tuh ya selalu begitu!" Aku tahu setelah ini ibu akan berkhotbah habis-habisan, entah peduli aku mendengar atau tidak--ibu tak pernah berhenti menawarkan petuahnya. Ibu percaya nasehat apa pun yang terucap--sedikitnya pasti akan terekam di dalam alam bawah sadarku yang akan menjadi bekal "peringatan" di masa depan. "Besok-besok begini lagi ya? Kan yang susah kamu sendiri, Vi? Gimana mau menerima pelajaran kalo perut kriuk-kriuk begitu?"
Ini bukan waktuku berdebat dan tak alasan buatku menyangkal kesalahan. "Iya... iya ibu, besok aku bakal bangun lebih pagi." Kuakhiri wacana ini dengan memilih jalan "aman".
Kurambet punggung tangan ibu dan berharap dapat melebur perasaan sebalnya padaku. Bertahun-tahun tinggal bersama ibu membuatku hapal betul titik kelemahannya. Naluri keibuannya tak bisa berlama-lama untuk marah pada anak gadisnya yang manis ini. Ibu, rumah ternyaman yang pernah aku singgahi ketika aku tak bisa menemukan titik keluar dari perdebatan dengan ayah. Tanyaku yang tak terjawab, kulesap saja dalam pelukan ibu yang ampuh memberi serotonin di saat terguncang. Tapi tak selamanya, ibu menjadi tempatku pulang. Adakalanya sesuatu tak mampu dibicarakan pada siapa pun.
Kulihat ibu menoreh senyum sesaat kupungut sebelah tongkat yang bersandar di badan lemari dan bergegas keluar. Ayah sudah menungguku di luar halaman, menyiapkan motorku yang tampak cangggih sebab bentuknya yang berlainan sendiri. Roda tiga inilah, menjadi pembuka kebebasanku menghirup aroma dunia. Bentuk kebebasanku--yang kutandai jauh-jauh hari, mempersipakan segala sesuatunya secara sempurna. Tak ketinggalan helm retro berwarna pink sebagai partner-ku menjelajahi lekuk dunia.
Desainnya unik, lebih tepatnya mengusung azas manfaat seakan memang khas dibuat untukku. Sebetulnya ini cuma motor matic biasa yang dibuat sedemikian rupa agar masih terlihat menarik, meski di tengah modifikasi yang membuat bodinya agak membengkak. Di salah satu sisi badan motor disiapkan untuk tempat meletakkan tongkat dengan plat perekat di dua sisi agar posisi tongkat tak berlari-lari di ruas jalan yang rusak. Ada pijakan tambahan yang dibuat dengan desain yang dapat dilipat masuk sebagai alas kaki yang tak kuasa menyembul keluar.
Sembari menekan tombol starter yang langsung disambar deru suara motor, aku berpamitan, "Aku pergi, Yah!" Kusisipkan senyum simpul dalam wajah gelap tertimpa kaca helm setelah menerima anggukan cepat dari ayah. Aku melaju.
***
Masa berkabung itu telah lewat. Namun, masih saja menyisakan kenangan tentang dirinya yang tak lenyap. Yah, dia yang tak habis-habisnya aku ceritakan. Satu-satunya--dia yang kupunya--tempat menumpahkan segala resah, terpaksa takluk pada hal yang tak bisa dihindarinya. Penyakit yang sama mempertemukan kami dan dari penyakit itu pula kami dipisahkan. Di hari terakhirnya, aku tak pergi ke pemakamannya. Bukannya aku takut, tapi tak rela mengakui kebenarannya.
Berbulan-bulan aku tenggelam pada dusta. Kupikir aku takkan mampu menjadi orang yang berbeda, tanpa dirinya. Dengan tidak mengingatkan akan kondisiku saat ini, hari-hari rasanya sudah terasa sulit. Nyatanya mencoba lebih jujur pada diri memberi lebih banyak hal-hal hebat terjadi di dalam hidup. Terlepas dari apa pun hasil dari kejujuran itu, penerimaan hanyalah sebuah bonus. Apa yang kudapatkan sebetulnya adalah kebebasan. Kelegaan untuk memperlihatkan diriku seadanya ini, tanpa perlu menutupi yang bukan aku. Aku berani bertaruh, di tempatnya berdiri saat ini, dia akan merasa lebih tenang pergi meninggalkanku dengan keadaan hidup-hidup. Dan hari ini, aku percaya, aku terlahir baru.
Jalanan cukup lengang saat aku menyusuri jalan, kusisihkan motor ke tepi dan membiarkan beberapa kendaraan melewatiku. Terlalu fokus pada jalanan di depan, baru kusadari di tengah jalan, refleksi spion membentuk tubuh seseorang yang tak asing bagiku. Kupicingkan mata, mencoba mengenali dia yang sama. Berperawakan tambun, mengenakan kaos bergaris-garis dan wajah khasnya yang sulit untuk menyamainya, sudah tak diragukan : ayah, detektif paling handal. Segaris senyum membentuk di wajahku.
Watak ayah memang keras, tapi aku tak pernah lupa bahwa dialah pria pertama yang menghapus air mataku di saat aku tak kuasa menerima kepergiannya : Arif. Rasa-rasanya, ayah adalah tipikal ayah yang diinginkan semua anak perempuan manapun. Semua orang takkan pernah mengira kalau dia mampu menjadi teman paling baik untuk bertukar pikiran. Dia humoris, tapi di saat-saat tertentu ayah memilih untuk tegas padaku.
Seakan memberi jarak padaku, ayah memilih mengendarai lebih pelan setelah merasa terlalu dekat dengan lokasi, dan makin tertinggal dari pantauan mataku yang tak lagi fokus padanya. Balai pelatihan yang letaknya di seberang jalan membuat mataku harus lebih awas dengan jalanan yang cukup padat. Seorang satpam yang berdiri di depan pagar mengganti sepenuhnya perhatianku. Terlebih, plang besar bertuliskan "BLKI" di depan jalan masuk menambah kesan gagah tempat ini. Pandanganku langsung dihadapkan dengan deretan motor yang terpajang rapi di bahu jalan, tak kalah rapi dengan deretan orang-orang di depan sana yang telah membentuk barisan.
Tak ada waktu menemukan tubuh ayah kembali, kuterabas jalanan di depan sana, menemukan tempat parkir terdekat, dan bersama beberapa yang lain, aku mengendap-endap masuk barisan asal-asalan, ditingkahi suara pengajar yang tengah memberi arahan pada pesetta. Belumlah aku menarik napas yang tersengal-sengal, aku dikagetkan dengan teriakan-teriakan membahana dari speaker, disusul dengan teriakan anak-anak yang lain, "Semangat... Semangat... Semangat...!" "Semangat... Semangat... Semangat...!" sahut mereka.
Setelah yel-yel basa-basi itu, dilanjutkan arahan mendalam, "Perhatian semuanya, saya harap kalian masuk ke dalam aula dengan rapi, sebelum masuk kalian silakan mengabsen nama kalian pada teman-teman kalian yang sudah dipilih sebagai ketua kelas. Oke, silakan melakukan absen, tanpa penghormatan bubar jalan."
Aku masih terpaku ketika mereka memencar ke banyak titik. Ada banyak pilihan kelas dan memilih titik mana yang harus kukunjungi tanpa tanda yang berarti--seperti memberi tambahan pekerjaan, bagiku. Mendadak dunia seakan membesar dan tubuhku mengecil seibu jari, gerakan-gerakan mereka tertangkap jelas di mataku, dan suara-suara mereka muncul bagai dengung tak jelas di telinga. Keberanian yang sudah di ujung tanduk, pada akhirnya harus pupus. Bak kehilangan bentuk, tak satu pun dari mereka yang memperhatikanku yang masih mematung di tengah lapangan ini. Beberapa yang lain, pelan-pelan beringsut masuk. Sementara mulutku masih saja terkunci. Ada perekat yang menempel di kakiku, tertulis "lem super", ampuh menjegal satu langkah pun. Di sela dahiku, anak-anak keringat mulai membentuk peta. Nyaris saja aku kehilangan kesadaran kalau saja dari arah belakang bahuku tak ditepuk pelan.
"Hei, kamu kenapa masih ada di sini?" Seorang pria bermuka tegas mendekatkan wajahnya ke arahku, penuh heran.
"Aaaku... Aku... nggak tahu harus ke mana?" Terbata-bata aku membalas pertanyaannya. Seakan ada biji cempedak tersangkut di ujung kerongkongan, kata-kataku dan napasku sama-sama tersengal.
Mendadak pria ini tersenyum, entah lucunya di mana letak wajahku itu, setengah mati aku menjaga diri untuk tidak tersinggung bahasa tubuhnya yang bikin ritme perasaanku naik-turun. Diafragma kembang kempis.
"Rileks, dibikin santai aja nggak ada yang bakal gigit kamu kok," dia melanjutkan kikihannya. "Kenalin aku Aldi. Anak jurusan motor. Terserah mau panggil apa, boleh Al atau juga Didi." tambahnya dengan wajah lebih ramah sembari mengulurkan tangannya ke udara.
Sempat ragu sekian detik, kusambut juga tangannya, "Aku Via, anak jurusan jahit."
"Wah... Mau jadi desainer euuuuy! Kayak Ivan Gunadi, dong?" Dia kembali terkikih, macam kuda yang meringkik. Tiga kali dia meringkik, aku yang akan menghadiahinya gelas cantik untuknya, beserta sabun pencuci mulut biar bersih semulut-mulutnya. "Ada yang salah?" tanyanya mendelik, mungkin melihat perubahan wajahku yang drastis. Aku menggeleng mantap, menahan jerit di dadaku.
"Oke, tunggu bentar ya," belum selesai aku menjelajah raut wajahnya dan mengurai jengkel dalam batinku, pria itu kemudian beringsut ke titik kerumunan di depan, dari titik kerumunan ke titik kerumunan yang lain. Entah apa yang dilakukannya, mulutnya berkomat-kamit, tanya sini tanya situ, hingga langkahnya terhenti di satu titik, di dekat pintu masuk aula.
Aku yang sedari tadi memperhatikannya, agak salah tingkah saat matanya menancapkan panah ke mataku. Gadis di sebelahnya yang memegang absen kelas, matanya ikut menerorku. Seketika aku berpaling, meski sedikit-sedikit mencuri pandang ke arahnya. Tangannya terangguk-angguk padaku, mengisyaratkan agar aku lekas menujunya.
Bak peliharaan yang patuh, aku menurut. Efek patuh membuatku dungu dan memilih langkah yang salah, pijakan tongkatku menginjak bongkahan batu besar yang entah tiba-tiba ajaib tergeletak di tengah jalan, tubuhku mendadak oleng, keseimbanganku runtuh, adegan jatuh tersungkurku itu menjelma gerakan slow motion yang membuatnya makin dramatis.
Blubuuuk, bunyinya nyaris seperti itu.
Dalam sekejap, aku dilanda kecemasan akut. Posisiku persis betul macam maling kundang yang dikutuk jadi batu. Siku-ku tergencet tongkat, pasir-pasir sisa di atas dasar semen bergesek dengan kulitku yang membikin sensasi nyeri-nyeri semut. Itu tak sebanding apa-apa dengan malu tingkat dewa yang kupunya. Sepanjang kuedarkan pandangan, nyaris semua mata tertuju padaku.
"Kamu nggak pa-pa?" ucap Aldi yang tak sadar sudah berada di dekatku. Mendadak aku terperangah melihat wajah cemasnya, yang agak membuatku "spesial" dalam hitungan detik untuk kategori orang asing yang baru dikenal.
Aku tak ingin membuatnya besar kepala, tapi harus kuakui sebagai pria, dia cukup gentleman memperlakukan wanita. "Aku nggak pa-pa, kok." Aku beringsut duduk dalam posisi sempurna. Menyembunyikan ringis di balik senyum sekilas.
Aldi bergumam, "Sori, aku buat kamu jatuh ya." Di mata pria yang menertawakanku tadi, sekejap pandangannya mengulur simpati.
"Bukan kamu, kok. Akunya aja yang nggak liat jalan sampe batu aja ditubruk."
"Lagian segitunya terkesima sama orang ganteng di depan mata." Cling, seketika giginya terbuka malu-malu, mendongak anggun menyilaukan mataku. Selain pandai melawak, pria ini nyatanya punya kelebihan lain : tak tahu malu.
Perlahan-lahan Aldi mengangkat tubuhku, menyerahkan tongkat, dan membiarkan tubuhku mengumpulkan tenaga sejenak dalam posisi berdiri di tempat, sebelum menuntunku berjalan menuju rombongan kelas menjahit.
"Oke, kalau gitu aku tinggal ya, aku duluan masuk," serunya setelah menuntaskan tugasnya menggiringku ke rombongan satu kelas. Aku mengangguk cepat.
Belum semenit ditinggal, ada sesuatu yang menggelitik dadaku, spontan aku berteriak, "Tunggu!" Aldi menoleh cepat.
"Ya," serunya sembari lamat-lamat kembali berjalan ke arahku.
Aneh tapi nyata, ada ruang yang entah apa namanya ini tiba-tiba hadir asing di hatiku, menjalar lebih cepat menghangatkan sekujur tubuhku.
"Ada apa?" tanyanya sekali lagi.
Aku menggeleng, "Aku cuma mo bilang terima kasih, Di." Kusembunyikan ruang aneh ini dalam senyum tiga jari alias nyengir kuda.
Aldi hanya tersenyum sekilas, tak ada hal lagi yang dapat menghentikan langkahnya. Dia berbalik, punggungnya makin jauh tertelan tembok. Menyisakan diriku yang masih terbayang-bayang pada wajah teduhnya di pelupuk mata.
***
Aula ini sudah penuh dan sesak dengan para peserta dan celoteh tanpa juntrungannya. Pandanganku menyapu ke kanan-kiri di deretan kursi yang membelah, membentuk tengah jalan yang sempurna, wajah-wajah penuh harap akan lepas dari kutukan masa depan suram, beberapa lainnya saling pandang ke arahku, dan merasa cukup beruntung ada yang lebih merasa gelisah menatap masa depan lebih dari mereka. Mungkin betul, bisa jadi tidak. Masih terlalu jauh aku memikirkan ke depan, jangka pendek saja, macam mengatasi rasa gugupku saat ini di antara puluhan orang asing saja sudah menjadi prestasi yang cukup membanggakan, bagiku.
Aku terpaksa duduk di depan, karena ternyata kursi belakang jauh lebih menguntungkan mereka dengan resiko lebih rendah untuk diperhatikan. Aku jadi ingat temanku Aji yang selalu mencari tempat duduk di pojok belakang kelas, hanya karena tempat itu memberi ruang leluasa baginya yang memiliki hobi tidur.
Terbentang di depanku, saling berhadapan tanpa sekat, berderet meja-meja para kepala, pengajar, dan seragam hebat yang sedikitnya kukenal.
Sebetulnya, tak buruk-buruk sekali aku dapat duduk di depan, mengingat kakiku tak dapat ditekuk membuatku lebih nyaman menyelonjorkan kaki tanpa terhalang kursi di depan, tapi itu berarti aku harus meninggalkan kesan kurang etika di hati orang lain, yang tak paham kondisiku.
Sedari tadi terabaikan, gadis berwajah oriental di sebelahku akhirnya menyapa sesaat aku tengah mengatur posisi dudukku.
"Hai!" Gadis itu berseru ramah.
"Hai juga!" balasku tak kalah ramah.
"Kenalin aku Citra, anak motor." Diiringi tangannya mendarat ke udara.
Satu kata yang terlintas dalam benakku : W-O-W, wow. Mendadak terbayang akan perempuan tomboy dikelilingi pria-pria macho. Tapi anehnya, tak ada kesan tomboy yang kental menilik diri gadis di sebelahku. Lebih dari wanita, dia, gadis yang cukup manis.
"Aku Via," balasku cepat menyambar tangannya, setelah diam merajaiku sekejap.
"Kamu hebat Cit, jadi anak motor," lanjutku. "Selain kamu, emang siapa lagi cewe yang ikut jurusan motor?" tambahku, yang berada di titik rasa penasaran tertinggi.
"Nggak ada, cuma aku doang." Wajah Citra mendadak berganti penuh tekanan. "Hebat apanya Vi, aku itu nggak mau masuk jurusan motor, ya, berhubung semua kelas udah penuh, aku terpaksa pilih jurusan ini. Terpaksa, lho ya! Bukan kemauanku."
Seketika mulutku membentuk huruf "O" bulat penuh, mengganti kata 'oke, aku mengerti'--pada akhirnya.
Acara sepertinya segera dimulai, obrolan kami terhenti seketika ketika pria berpostur tentara telah berdiri di depan--yang segera menyedot sepenuhnya perhatian kami, mendadak suara pasar impres tadi lenyap disihir seketika, pria itu mengedarkan pandangan ke sekeliling sebelum mempersiapkan kami--para peserta dengan gerakan latihan baris-berbaris dasar gaya militer. Serempak kami berteriak "siap gerak" penuh semangat, sesudah hentakan sepatunya yang terdengar jelas berperedam. Tangannya lalu terangguk-angguk, isyarat kami boleh duduk kembali.
"Oh ya Cit, apa kamu kenal Aldi, anak motor juga?" tanyaku berbisik di sela kata sambutan dari kepala BLKI : Pak Tugiman--tertera tanda nama di dadanya.
"Aldi? tanyanya, menekankan sekali lagi pertanyaanku. "Belum tahu, sama sekali aku nggak kenal semua orang di sini. Kenapa emangnya? Kamu kenal Aldi?" tudingnya penuh selidik, bertumpang tindih dengan suara Pak Tugiman, yang tengah menggulirkan cerita nostalgia masa lalunya yang pahit ditinggal pacar. Disusul teriakan tawa membahana dari seluruh peserta.
"Itulah yah, anak-anakku kalo cowok belum jadi apa-apa, semut aja nyingkir liat kita apalagi cewek." lanjut Pak Tugiman. Terdengar lagi balasan tawa--seraya cerita tersebut mewakili banyak perasaan.
Sembari menyimak, aku kembali berbisik, "Aaku nggak kenal Aldi" kataku terbata-bata. "Aku juga baru kenal dia kok, tadi nolongin aku waktu terjatuh."
"Oh iya," sambutnya cepat. "Tadi aku juga liat, sebetulnya aku mau nolongin kamu, Vi. Baru selangkah, aku urung, karena ada cowok yang lebih dulu nolongin kamu. Tapi kamu...."
"Nah," sergahku cepat. "Itu Aldi!" Tiba-tiba saja suaraku meninggi, refleks.
Sialnya, suara itu terdengar ke telinga Pak Tugiman, yang hanya terpaut sejengkal di sisiku, membuatnya spontan diam, menahan kata-kata, fokusnya kini berganti, matanya membelalak ke arahku. Dari matanya, aku tahu rasa keinginannya menelanku saat ini sangat besar. Rasa-rasanya, matanya nyaris lepas dari kelopaknya. Buru-buru, aku menunduk. kalau saja aku terus-terusan menantang matanya, aku tak tahu apa yang akan kemudian terjadi setelahnya.
"Kamu!" Aku tersentak. Mendadak Pak Tugiman menunjuk dengan telunjuk ke arahku. "Motivasi kamu berada di sini itu untuk apa?" lanjutnya, mendekatkan wajahnya ke telingaku. Terasa betul, pria paruh baya ini mengalihkan rasa kesalnya dengan mengajukan pertanyaan 'panas' padaku. Mungkin alasannya, hanya untuk mempermalukan.
Terlalu spontan, tak ada ide yang dapat kutangkap dengan jarak secepat ini. "Aku... aku...." Seolah terbata, padahal tepatnya, aku cuma mengulur waktu sampai dapat menemukan jawaban terbaik. "Aku... ingin ja... jadi pengusaha."
Pak Tugiman diam sejenak mengulum jawabanku, sembari menatapi satu per satu wajah kami. "Semua kalian di sini, pasti ingin jadi pengusaha, ya 'kan?" potongnya cepat seraya melempar pandangan ke ombak peserta. "Cuma masalahnya, kalian ingin jadi pengusaha apa? Kalau kalian ingin harapan kalian terwujud, harus pastikan secara konkrit apa yang kalian inginkan. Tanamkan. Lakukan." lanjutnya, mengubah atmosfir yang hangat kuku menjadi panas membara. "Jadi, kalo kamu mau jadi pengusaha apa?" tanyanya sekali lagi padaku, menatap aku kembali setelah puas mengembara ke segala arah.
"Pengusaha garmen," jawabku sekenanya, berharap jawabanku tepat dan mampu meredam rasa letupan di dadanya.
"Pengusaha garmen?" seraya meyakinkan, Pak Tugiman menarik alis sebelah. "Oke, idenya bagus sekali, menemukan usaha yang banyak diminati." Dia berhenti sejenak, menyapu pandangan ke sekeliling. Tak bosan menatap satu per satu di antara kami, seolah keuntungan menanamkan pengaruh besarnya pada kami jauh lebih besar. "Anak-anakku kalian harus memiliki jiwa enterpreneur di dalam diri kalian. Kalau bisa jadi pemimpin, kenapa harus bermimpi jadi pegawai? Di sinilah, saya berharap tempat ini dapat menjadi wadah bagi kalian untuk memulai usaha kalian. Saya jadi ingat dengan kata-kata Bob Sadino : bisnis yang bagus adalah yang dibuka, bukan ditanya terus...." Kalau sudah begini, ada alasan baiknya aku tadi tertangkap basah berceloteh--jika pada akhirnya bikin suasana makin terbakar bara semangat. Suara Pak Tugiman terus saja berkoar, tak ada istilah kehabisan bensin atau mogok di tengah jalan, suaranya tetap konstan, membahana.
"Vi, berapa nomor teleponmu?" Citra kembali menyuri waktu berbicara setelah menganggap posisinya telah aman dari penghalang berbahaya--Pak Tugiman, yang melangkah menjauh ke belakang.
"085211111216, miskol aku!" bisikku.