Kak Ian mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial. Pikirannya dipenuhi hal-hal filosofis. Kak Wijaya mahasiswa Fakultas Ilmu Alam. Kepalanya berisi hal-hal teoritis. Aku bertemu dengan keduanya secara terpisah pada semester pertama. Meski mereka berdua sama-sama mahasiswa semester akhir, aku melihat mereka seperti dua kutub sel yang berbeda. Jauh, berseberangan, dan kontras.
“Menurutmu kehidupan setelah kematian itu apa?” Kak Ian bertanya padaku suatu ketika.
Di waktu dan tempat yang terpisah, Kak Wijaya berkata, “Individu yang telah mati kehilangan kemampuan fisiologinya. Mereka tidak lagi eksis, karena kehidupan pada dasarnya adalah hasil dari kinerja simultan seluruh isi sistem organ.”
“Mengapa kita diciptakan di dunia ini?” Kak Ian bertanya padaku di lain kesempatan.
Di waktu dan tempat terpisah juga, Kak Wijaya berujar, “Kita ini diciptakan untuk mengisi relung ekologi dalam ekosistem!”
Banyak pertanyaan filosofis yang diberikan Kak Ian –yang kerapkali hanya kurespon dengan tawa canggung tanda tak bisa menjawabnya– yang kemudian secara kebetulan disahut oleh Kak Wijaya di sebuah sesi obrolan yang lain yang sebenarnya tidak berhubungan sama sekali.
Kak Ian adalah pria misterius yang kutemui di meja wawancara calon penerima beasiswa. Suaranya dingin, dan matanya sehitam obsidian, tanpa ekspresi atau emosi. Aku membencinya dalam lima detik sejak kontak mata pertama. Tetapi etika wawancara –yang kupelajari saat masih SMK– mengatakan kita harus tetap tersenyum dan bersikap baik, seperti apapun situasi yang dihadapi. Tapi aku masih membencinya.
Dia punya semacam aura mengintimidasi, mengingatkanku pada tokoh-tokoh antagonis dalam anime laga. Jadi setelah sesi wawancara usai, aku berpisah dengannya dengan damai. Sebulan berlalu, kemudian aku mendapatkan beasiswa itu. Di beberapa kesempatan, terutama pada acara-acara yang dikhususkan bagi para penerima beasiswa, kami berjumpa. Kemudian kami berteman. Sesekali kukunjungi kontrakan tempat dia tinggal, dan dia merekomendasikanku buku-buku tentang kehidupan. Aku dan dia pun banyak berdiskusi. Topik kami adalah hal-hal seperti kehidupan, kematian, dan perasaan. Aku melihat sisi lain di balik manik mata obsidiannya yang dingin. Dia terbiasa melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang halus.
Jauh dari titik dimana aku bertemu Kak Ian, aku bertemu pria yang lain. Namanya Wijaya. Ikon mahasiswa teladan abad ini. Dia menjadi koordinator asisten praktikum Anatomi untuk mahasiswa jurusan Biologi, dan aku menjadi praktikannya. Dia ceria. Gestur penuh percaya diri saat menerangkan Sistema Musculoskeletal unggas, dan segala teori rumit yang keluar dari mulutnya adalah tanda bahwa kita tidak perlu banyak bertanya tentang kapasitas akademisnya. Bahkan hingga kini dia berada di hierarki senoritas tertinggi, IPK nya tetap bertahan di atas angka 3,9.
Tugas Akhir suci yang tengah digarapnya membahas mengenai anti-aging pada rodensia. Bahasan ilmiah mengenai fisiologi mamalia ini menarik kami berdua dalam sebuah meja diskusi, membuat kami berteman. Hampir tidak terlihat batas antara senior dan junior di antara aku dan Kak Wijaya. Setiap hari kami duduk di bangku yang sama, dan saling bercerita tentang teori-teori biologi.
Kak Wijaya lulus terlebih dahulu daripada Kak Ian. Aku datang menyaksikannya menyandang selempang berbordir cumlaude. Wajahnya nampak bahagia saat dia menerima sebuah boneka bertoga yang khusus kupesan untuknya. Setelah itu, kami berpisah. Kak Wijaya mendapatkan beasiswa melanjutkan studi S2 di luar kota.
Aku baru menginjak semester enam ketika Kak Ian diwisuda. Aku tidak bisa datang atau sekedar memberikan boneka bertoga. Tiba-tiba saja aku menerima kabar bahwa dia sudah pulang ke kampung halaman. Kamar kontrakan tempatku bergurau dengannya hanya tinggal ruang kosong yang sudah dicat ulang. Rasanya tidak berlebihan jika aku mengatakan, kami berpisah tanpa kata.
Pertemuanku dengan Kak Ian dan Kak Wijaya menjadi momen-momen paling berharga yang pernah menemani babak hidupku di Universitas. Setelah itu, waktu berlalu seperti anak panah yang melesat menembus kerapatan udara. Tak pernah ada kabar lagi dari si otak filosofis dan teoritis itu. Aku membayangkan mereka telah menjalani hidup masing-masing, misalnya menikah, bekerja, atau menjalani pendidikan doktoral.
Suatu hari, aku tengah menyeduh kopi di dapur untuk suami saat tiba-tiba ponsel di meja bergetar. Sebaris nomor tanpa nama tertera di layar. Aku lekas menekan tombol terima.
“Fara,” panggil seseorang di seberang sana. Kuapit ponsel di pundak sementara tanganku masih mengaduk kopi.
“Ya, siapa?” sambutku ramah.
Suara di seberang sana terdengar ceria. “Ini aku. Kebetulan liburan ini aku lagi jalan-jalan dan lewat kotamu. Aku boleh mampir tempatmu nggak?”
Denting sendok dan gelas kopi terhenti, menyadari sesuatu.
“Kak Wijaya?” tanyaku kaget, menyadari bahwa aku kenal sekali dengan nada ceria ini!
“Maaf ya mendadak, Far. Aku denger kamu udah nikah dan tinggal di alamat baru,” katanya.
“Iya, Kak. Saya ikut suami,” jawabku berdebar, masih tidak percaya bahwa kawan lamaku menelfon, “Boleh banget Kak kalau mau mampir! Nanti saya kirim alamat lengkapnya ya!”
“Makasih ya Far. Mungkin aku sampai sana besok Minggu. Aku bareng anak istri juga kok. Salam buat suamimu ya.”
Sambungan diputus. Aku bersorak tanpa bisa kutahan, mendadak terbayang setumpuk jurnal penelitian dari ilmuwan-ilmuwan kelas dunia yang biasa kudiskusikan dengan Kak Wijaya. Jadi sekarang dia telah berkeluarga? Aku bertanya-tanya, wanita beruntung mana yang berhasil mengambil hati sang maniak biologi. Suamiku yang baru masuk dapur bertanya heran, apa yang membuatku mendadak bersorak.
“Mas!” kataku girang, “Ingat nggak sama Kak Wijaya yang dulu aku pernah cerita? Dia bakal mampir sama keluarganya!” lalu aku bersorak lagi.
Sejak telfon itu datang, aku menjadi lebih bersemangat. Aku tidak ragu mengulang seluruh cerita tentang Kak Wijaya pada suamiku. Dia hanya menggeleng-geleng, dan menyindir halus, “Dasar penggemar. Sampai sudah punya suami pun, tetep mengidolakan suami orang.” Aku tertawa, menanggapinya sebagai candaan. Tapi suamiku tidak marah. Dia mengizinkan kedatangan Kak Wijaya, bahkan membantuku menyiapkan segalanya.
Waktu menunjukkan pukul setengah sebelas siang saat bel pintu utama berdering. Aku buru-buru ke ruang tamu untuk membukakan pintu, mendahului suamiku. Entah kenapa aku ingin menjadi orang pertama yang menyambut kedatangan si Master Teoritis itu. Aku tersenyum lebar, bersiap melihat Kak Wijaya.
Tapi, yang berdiri di depan pintu utama rumah bukan dia.
Aku terlonjak, mendapati Kak Ian berdiri dengan wajah tanpa dosa di hadapanku. “Fara!” panggilnya sambil tersenyum. Mata obsidiannya menyipit ceria. Badanku terkunci seketika. Pandangan mataku tidak sedang berkhianat. Aku sedang berhadapan dengan Kak Ian!
“Jadi...” aku mendadak bingung, “Jadi yang nelfon saya itu bukan Kak Wijaya?”
“Kapan aku bilang kalau aku ini Wijaya?” Kak Ian tertawa. Tawanya masih sama dengan yang dulu.
“Tapi!” seruku kemudian, “Kenapa Kakak nggak bilang kalau...”
“Wijaya ada di sana!” tiba-tiba Kak Ian menyela, sambil menunjuk ke arah belakang. Aku terperanjat, melihat mobil terparkir di depan pagar. Kak Wijaya, memandangku geli dari balik jendela kaca mobil.
Aku seperti didorong paksa ke kolam renang umum jam dua malam. Tubuhku dingin dan mendadak kaku, menyaksikan sesuatu yang dulu kuanggap mustahil. Kak Ian dan Kak Wijaya saling mengenal! Mereka kini berada di depanku persis! Seperti dua potong puzzle yang kukira tak akan pernah berjumpa. Dua manusia yang dulu kuanggap berada di kutub yang berbeda.
Suamiku datang, menegurku kenapa aku tidak mempersilakan mereka masuk. Kak Ian menyalami suamiku dengan ramah, terang-terangan mengabaikan kekagetanku. Kak Wijaya keluar mobil, diikuti seorang wanita dan seorang anak laki-laki yang mungkin seusia anakku. Aku masih bingung, bahkan saat Kak Wijaya mendekat dengan senyum lebar dan menyalami kami.
Kak Ian duduk di kursi terujung dan memangku anak laki-laki tadi. “Kenalin, ini Rahma, istriku. Ini Dylan anakku.” Aku menyalami Rahma.
“Aku masih single,” Kak Wijaya tiba-tiba menyela, “Aku tahu nanti kamu bakal nanya, jadi aku jawab sekarang!”
Tapi kini aku lebih ingin mengetahui bagaimana takdir bisa menarik Kak Ian dan Kak Wijaya untuk bertemu, dariapa mengetahui status Kak Wijaya. Membayangkan mereka berdua saling berjumpa pun tidak pernah! Bagaimana bisa mereka bersama kini?
Aku pamit ke dapur, mengambilkan minum. Denting sendok dengan gelas sengaja kuminimalisir saat aku mendengar samar-samar suara Kak Ian. “Jadi, kami ini dulu seniornya Fara. Kebetulan kami ada urusan bisnis, terus mampir ke sini.”
Suamiku menjawab, “Fara girang banget dari kemarin, katanya Kak Wijaya-nya mau datang!”
Terdengar tawa. Kak Wijaya menjawab, “Wijaya itu saya. Tapi kemarin yang telfon itu Ian. Iya kami bisa paham kenapa Fara senang kemarin, tapi tadi bingung instan...”
“Memang kenapa?” suamiku bertanya.
“Takdir,” Kak Ian menyahut, dengan nada bicara dramatisnya yang kukenal baik.
Lalu mengalirlah sebuah cerita yang menjawab penasaranku. Tentang bagaimana kutub filosofis dan teoritis bersatu lewat dua senior yang pernah bersahabat denganku itu. Kak Ian dan Kak Wijaya sangat berbeda dalam segala aspek kehidupan mereka. Selulus kuliah, Kak Wijaya melanjutkan pendidikan pascasarjana. Di sela kesibukannya, dia pun menulis buku mengenai Primatologi dan evolusi manusia. Bukunya laris di kalangan akademis. Hingga suatu ketika, versi e-book terbaru dari Teori Evolusi (belum) Runtuh –yang berisi penemuan-penemuan molekuler dan fakta-fakta terbaru terkait evolusi Homo sapiens– sampai ke tangan Kak Ian.
Sebagai orang yang begitu tertarik pada filosofi kehidupan, kematian dan hakikat manusia, buku itu sangat mengusik. Di halaman penulis, Kak Ian menemukan fakta bahwa penulis buku ini pernah berada di almamater yang sama dengannya. Lewat jaringan global alumni, Kak Ian berhasil melakukan kontak dengan Kak Wijaya. Itu awal mula perjumpaan mereka.
“Kami ketemu di Bogor dan banyak diskusi soal tulisan dia,” kata Kak Ian.
“Kok kalian bisa nyambung?” aku spontan bersuara, “Kak Ian dan Kak Wijaya itu beda! Aku nggak pernah bayangin kalian bakal kenal, apalagi sampai ngobrol bareng.”
“Iya kita emang beda, Far. Ecological Niche kita beda, ingat kan kalau dalam ekosistem yang sama, satu relung identik nggak bisa ditempati dua individu yang berbeda?” Kak Wijaya bersuara. Aku tertawa, mendadak bernostalgia dengan otak-teorinya. Dia merapal mata kuliah ekologi di semester empat.
“Yang namanya kehidupan memang penuh kejutan. Kadang kita nggak tahu apa yang menanti kita di depan sana. Benang-benang merah antara kita dan orang lain sudah diikatkan Tuhan sejak zaman dahulu. Kita nggak sadar aja sampai kita menemukannya,” ujar Kak Ian. Aku tertawa kecil, mendadak kangen obrolan semacam ini.
Setelah mengedarkan minuman, aku ikut duduk di samping suami, dan mendengarkan sisa cerita mereka. Cerita yang aku sendiri pun hampir tidak percaya. Setelah berdiskusi mengenai evolusi, Kak Ian dan Kak Wijaya mempunyai selisih pendapat yang cukup besar. Tidak diduga, selisih dan adu argumen keduanya malah membawa mereka ke ranah obrolan yang lebih seru bahkan membuka pandangan baru.
Kak Ian yang selama ini tak pernah belajar biologi mulai mengetahui bagaimana ilmuwan memandang evolusi dari aspek ilmiah. Evolusi yang selama ini dianggap sebagai sumber perdebatan abadi IPA dan dogma, perlahan dia pahami. Kak Wijaya yang selama ini hanya mempelajari teori dari buku referensi pun mulai mengerti pentingnya keterlibatan dogma dalam ranah ilmu pengetahuan. Konsep campur-tangan Tuhan yang selama ini dia pertanyakan dan tidak dapat dibuktikan ilmuwan pun, mulai dia pikirkan kembali, dan pada akhirnya dia menyadari memang secerdas apapun manusia masih belum bisa menyentuh kuasa Tuhan terkait penciptaan kehidupan.
Kak Wijaya berujar, “Penciptaan makhluk hidup tidak hanya tentang evolusi jangka panjang Protobiont. Perjalanan kehidupan juga bukan hanya tentang kesintasan individu belaka.”
Aku seperti melihat dua potong puzzle dengan gambar yang berbeda. Aku tidak pernah membayangkan keduanya akan bertemu. Tetapi ketika keduanya dipertemukan, secara tidak terduga malah menjadi satu kesatuan yang cocok.
“Sampai sekarang kadang kita masih suka debat. Tapi debat kita konstruktif. Setengah tahun lalu, debat itu malah jadi rezeki,” Kak Ian berkata.
“Aku butuh penerjemah buat buku-bukuku. Kebetulan Ian ini bahasa Inggrisnya sudah expert, jadi kita kerja bareng,” sambung Kak Wijaya, “Hari ini juga. Kita baru ngurus penerbitan terbaru dari buku New Paleontology ku. Karena kebetulan Rahma dan Dylan lagi libur, mereka ikut.”
Aku memandang keduanya takjub, tapi kemudian aku menyadari sesuatu, “Bentar! Kok kalian bisa tahu kalau masing-masing kenal aku?”
Mereka berdua saling melirik, lalu tertawa kecil bersama, membuatku mendelik curiga. Kak Ian yang pertamakali menerangkan, “Aku tahu fakta itu beberapa bulan setelah aku kenal Wijaya. Aku nggak sengaja lihat wallpaper HP nya ada fotomu.”
“Foto lama kita waktu diskusi di kampus,” tambah Kak Wijaya cepat, “Awalnya aku juga kaget, kenapa Ian bisa kenal kamu. Ian cerita kalau dia sahabatan sama kamu, di periode yang sama waktu kita berdua sering nongkrong di kampus.”
“Benang merah,” ucapku melunak, mendadak merasa terharu karena merasakan kerinduan zaman kuliah, “Benang merah yang membuat orang-orang terhubung itu nyata ya...”
Aku mengusap sudut mata yang tahu-tahu basah, tidak menyangka bahwa dua orang yang sangat berbeda dan terpisah bisa bertemu dan sama-sama menjadi lebih baik. Mungkin setelah ini aku akan menyesali karena aku telah meremehkan sebuah kebetulan. Firasatku sejak zaman dahulu benar, bahwa tanpa aku tahu, Kak Ian dan Kak Wijaya ini sebetulnya terhubung. Hanya waktu yang berkuasa menunjukkan benang penghubung itu.
Seperti saat ini.
Terima kasih atas suguhan memikatnya. Saya menyukai cerpen ini. Penuh dengan sisi-sisi yang agak jarang sekali saya dapatkan di cerpen-cerpen remaja kebanyakan. Mungkin sedikit masukan untuk cerpen bermuatan berat seperti ini, mungkin cara pernyampaiannya kurang sederhana dan terlalu "teoritis". Pada awal cerpen saya begitut terkesima dengan bagaimana Anda menjelaskan tentang Wijaya-Ian yang sangat bertolak belakang. Saya menanti-nanti plot twist seperti apa yang Anda ingin berikanpada saya, saya pikir bakalan ada cinta segitiga atau saat orang yang muncul di depan pintu justru justru Ian dan Ian menunjuk "wijaya ada di sana". Saya sempat berpikir kalau Ian adalah "keluarga" yang Wijaya maksud. LOL. Pikiran liar saya tidak bisa dihentikan. Akhirnya di akhir cerita saya hanya baca skimming saja karena pembahasannya terlalu berat untuk otak lemah seperti saya. (digaplokk)
Namun, secara garis besar saya menikmati cerpen ini.