Rika mengernyit, diikuti Ame, Anti, dan Yusuf. "I never know that."
"Ya ..., Mas nggak pernah kasih tahu kamu sih."
"Nggak, Zi ..., lu juga nggak pernah kasih tahu kita," sergah Anti.
"Emm ....," Zian menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Jadi, nanti supaya partner gua bisa hidup ratusan tahun, biar bisa nerusin takhta jadi Ratu—dan gua jadi Raja, orangtua gua yang nantinya bikin dia jadi vampir, disertai merah dan hitam di atas putih."
Melihat para pendengarnya tak kunjung mengerti, Zian menghela napas. "Ya, perjanjiannya disah, diteken, dan dimaterai 6000. Disah dan diteken pake darah kedua belah pihak. Ribet? Yeah. That's why gua nggak suka jadi anak Raja."
"Nggak suka jadi pangeran," ralat Yusuf.
"Ya, ya, pangeran," ulang Zian jengkel, menekankan kata-kata 'pangeran'.
Rika menopang dagunya. "Ribet amat jadi setan."
Keempat makhluk itu mengangguk setuju.
"Perasaan juga, materai 6000 harganya bukan enam ribu. Tujuh ribu. Gitu kok namanya materai enam ribu."
"Kalo harganya enam ribu ntar yang jual nggak dapet untung Rik."
Rika menata Zian dengan tatapan "serius-mau-ngomongin-begituan?".
Zian tertawa. "Bawaan lahir."
"Jadi ... soal sekolahku, bagusnya gimana ya ....?" Rika kembali ke topik masalah, sambil menggigiti kukunya.
"Kan udah Mas bilang, cerita aja sama Mbakmu."
"Rik, kamu males sekolah ya? Takut trauma?" Yusuf angkat suara.
Rika terhenyak, lalu mengangguk. "Iya, lebih nyeremin daripada ketemu kecoak. Aku nggak mau ngeribetin Mbak Lexa lebih dari ini dengan merengek minta pindah sekolah. Aku udah gede, nggak seharusnya aku ngebebanin satu-satunya keluargaku dengan hal sepele yang masih bisa ditanggung sendiri."
Yusuf mengacak-acak rambut Rika. "Ih adek gua udah gede!"
Rika tertawa.
Ame mengelus kepala Rika lembut. "Dek, kalo emang itu keputusan kamu, Mbak dukung. Jadi kamu jalanin dulu aja yang ada sekarang. Soal temen-temenmu, atau bahkan sekolahmu yang rese, kita yang bakal coba bantuin."
"Hah? Bantu apa?" Rika, Anti, Yusuf, dan Zian bertanya serempak.
"Walah, masa ndak tahu? Begini-begini kita setan lho," kata Ame, mengedipkan sebelah matanya.
Mereka berpikir sejenak, mencerna kata-kata Ame.
"The hell? Maksud lu kita haunt gitu sekolahnya? For real?" Yusuf bertanya setengah histeris.
Ame hanya tersenyum. "Ya nggak juga. Kita bisa nakut-nakutin mereka ... sedikit? Atau mungkin sekedar kasih perlindungan ke Rika? Atau juga boleh mojokkin orang yang ngapa-ngapain dia?"
"Dasar setan," gumam Anti.
Ame tersenyum. "Anti, Anti. Kalo ngomong suka ndak ngaca."
"Iyalah, soalnya kacanya keseringan ditawarin ke yang lain, jadi dia sendiri nggak bisa ngaca."
Anti melotot pada Zian yang barusan bicara. Zian hanya meringis.
"Udah, udah. Intinya aku tetep sekolah sampe lulus, 'kan?"
Semua mengangguk.
***
Terpaksalah, sekarang Rika masuk ke sekolah. Sebenarnya, ia malas sekali, ditambah sekarang hari Senin, jadwalnya upacara. Berdiri berjam-jam sambil diganggu oleh ‘sesuatu’ jelas membuatnya tak nyaman. Aura sekolahnya jahat, terlebih penghuninya. Tapi, ia tak bisa protes pada Lexa yang telah menyekolahkannya, bukan? Pertanyaan ini begitu retoris, jadi ia sebenarnya malas mempermasalahkannya.
Hanya butuh waktu 8 menit bagi Rika untuk menuju sekolahnya. Ia berjalan pelan memasuki sekolahnya, seakan-akan itu adalah hari pertamanya sekolah.
Padahal, mungkin ini hari terakhirnya sekolah.
Kelasnya tak begitu jauh dari gerbang sekolah, jadi ia berjalan santai saja meski sudah jam 7 kurang.
"Eh, hai Rika!"
Rika menoleh, mendapati Siska, teman kelasnya, melambaikan tangannya padanya.
"Ah …, hai." Rika tersenyum canggung, ikut melambaikan tangan.
"Tuh kan Sis, ngapain disapa, jawabannya cuma begitu doang." Teman di sebelahnya berbisik. Yang jelas, Rika tak bisa mengkategorikannya sebagai berbisik, karena ia bisa mendengarnya.
"Ya …, masalahnya apa? Kan cuma nyapa." Siska beralasan.
Rika tak lagi ingin mendengar percakapan Siska dan temannya meski ia agak tertarik Siska tak berpandangan jahat padanya.
"Well, I’m sorry for being plain," batinnya. Sepatunya ia lepas, lalu ditaruh di rak. Kemudian ia masuk ke kelas yang ramai seperti biasa.
Kursinya terletak di belakang, pojok kelas. Tempat di mana ia bisa mendengarkan lagu diam-diam, mencoret-coret meja lalu menghapusnya lagi, dan berbagai hal yang bisa dilakukan sendirian tanpa ada yang tahu.
Bel sekolah berbunyi. Pelajaran pertama hari ini, Bahasa Inggris.
Bu Ema memasuki ruang kelas XI IPA 3 yang gaduh. Ada yang sedang main gim daring—Mobile Legend, ada yang sedang siaran live di Instagram, ada yang sedang pacaran di pojokan kelas, ada yang sedang berkumpul dan membicarakan artis, ada yang main Play Station, ada juga yang tidur.
Rika hanya diam saja di tempatnya, memojok dan mendengarkan lagu.
Seisi kelas langsung diam di tempatnya kala guru Inggris itu mengetukkan spidol di papan tulis.
"Good morning everybody. PR-nya sudah dikerjakan?"
Mampus, batin Rika ketus pada dirinya sendiri.
"Emang ada PR, Bu?" Damian, si ketua kelas, menyeletuk.
"Enggak sih, hahaha …." Perkataan Bu Ema terpotong karena tertawa. "Nah, berhubung tidak ada PR, sekarang kita tes lisan aja ya? Dialog berpasangan, materinya tentang giving opinion, yang kemarin dibahas."
"Yaahhh …, kenapa harus lisan, Bu???" Seisi kelas kompak protes.
"Mau ujian tulisan?” tanya Bu Ema dengan nada mengancam. "Kalian tinggal baca tulisan kalian, kok. Nggak harus dihafal. Pasangannya yang duduk di sebelah kalian, ya."
"Tapi kan kelas kita ganjil, Bu." Damian kembali angkat bicara.
"Emm …, Dam, Fanny sakit sih. Jadi sekarang kelas kita isinya genap," sahut Alfina sang sekretaris.
"Oh oke, bagus. Sekarang cari pasangan kalian dang langsung buat dialog. Sampai jam 7.30, ya," kata Bu Ema, sambil melirik jam dinding yang menunjukkan angka 7.10.
"Nit, gua sama elu dong!" Febri yang duduk di sebelah Rika langsung beranjak dari kursinya dan menghampiri Nita yang duduk di paling depan.
Rika memutar matanya pelan, menarik sudut bibirnya sedikit. Ia tersenyum sinis, dia memang sudah terbiasa begitu.
Rika tersenyum sinis.
Febri itu nggak bisa denger ya? Jelas-jelas diminta buat dialog sama temen sebangku.
Ia lalu mengelus dadanya pelan.
Sabar, Rika. Sabar.
"Rik …, udah ada pasangan?" Siska menepuk pundak Rika pelan.
Rika mendongak, mendapati Siska tersenyum ke arahnya. "Ah …, belom. Kenapa?"
"Sama aku yuk. Aku juga belom dapet pasangan."
Rika mengangguk setengah yakin. “Ya udah,” jawabnya pelan, lalu mengeluarkan buku Inggrisnya.
“Oh iya Rik, kamu kemaren nilai Inggrisnya 100 loh. Itu kemaren susah padahal, aku baru tahu kamu bisa bahasa Inggris.”
Rika terhenyak, kaget. “Oh …, iya? Ah, kamu penanggungjawabnya, ya.”
“Iya, Rik. Aku masih bingung soal tenses, tahu. Kok kamu bisa sih?”
Rika menggeleng pelan, “Cuma untung aja kok itu, aku juga nggak begitu ngerti tenses.”
Siska tersenyum. Setidaknya, Rika sudah mau diajak bicara sekarang. “Yuk, kerjain tugasnya.”
Rika mengangguk pelan.
***
Rika membanting pintu rumahnya pelan, lalu berdecak.
"Rik, kenapa?" tanya Ame lembut.
"Aku diisengin lagi. Tadi kan ada Bahasa Inggris, nah, disuruh bikin percakapan 2 orang. Kelasku kan ganjil, harusnya kalo semuanya masuk, aku sendirian pasti. Gurunya waktu dulu-dulu bukannya nggak tau, Mbak, dia mah bodo amat. Apa sih bedanya yang sixth sense sama enggak? Emang aku bikin mereka celaka? Enggak. Emang aku ngancem bakal nakut-nakutin mereka? Enggak. Jadi yang salah siapa?" Rika mengacak rambutnya frustrasi. “Makanya tadi aku agak aneh …, kok ada yang mau pasangan sama aku?”
Zian mengangkat sebelah alisnya, tertarik. "Oh ya? Siapa?"
"Siska ..., temen kelasku. Anaknya baik sih, masuk lima besar terus di kelas."
"Kamu yakin dia nggak niat jahat sama kamu?"
"Nggak, Mas." Rika menggeleng cepat. "Nggak tahu dan nggak peduli juga," lanjutnya sambil tertawa.
"Zi, kenapa jadi kayak interogasi gini?" Anti tersenyum iseng.
"Anjir, shut up." Zian menoyor kepala Anti pelan.
"Eh dasar vampir—"
"Udah, udah." Yusuf menengahi. Netranya ia alihkan pada Rika. "Dek, yang salah mereka karena nggak bisa nerima apa yang ada dalam diri kamu. Jadi kamu nggak salah, oke?" Yusuf mengelus kepala Rika.
"Mungkin gua bisa beneran nakutin, Rik?" tawar Anti. "Begini-begini, Mbak juara 1 lomba "Kuntilanak Paling Nyeremin" tahun ini loh, hihihi ....," ujar Anti, mengedipkan sebelah matanya.
Yusuf menggelengkan kepalanya. "Jangan mau, Rik. Tenaganya bisa ngancurin sekolah kamu."
Anti mendelik. Yusuf hanya tertawa.
Rika menaruh tasnya di kasur, lalu membaringkan tubuhnya, setelah menyalakan AC dan makan malam.
"Rika ..., nggak mandi dulu?"
"Nanti, Mbak Ame. Mau tidur dulu deh."
Ame, Zian, Anti, dan Yusuf mengehela napas. Memikirkan jalan keluar yang paling baik untuk Rika.
Dan hari itu Rika tidak mandi sore.