10
HARI PAHLAWAN
Kejadian yang terjadi setelah itu hanyalah aksi marah-marah Ayah dan Ibu Linta. Namun setelah Linta menjelaskan bahwa dia menginap di rumah Dokter Henri, Ibu dan Ayah Linta berubah senang lagi. Kemudian mereka berubah seketika marah lagi karena Linta tak memberitahu bahwa dia berpacaran dengan anak Dokter Henri.
Rumah Linta bertambah lengang sekarang. Linta tidur di lantai dua sendirian dan garasi hanya berisi dua mobil sekarang. Karena Levin telah pindah ke rumah barunya.
Keadaan ini membuat Vega dan Afo sering ke rumah Linta. Ini tak mengganggu Linta. Yang mengganggu Linta adalah pertanyaan Afo yang terus-menerus diulang: ‘Elo tidur sama dia?’. Ini benar-benar mengganggu dan Linta tak berusaha menjawab, hanya tersenyum menggoda setiap ditanya, membuat Afo gemas. Dan dia baru menjawabnya saat Vega yang bertanya.
“Iya, dia hebat banget!” seru Linta.
Vega dan Afo langsung menatapnya, tampak takut dan jijik. Ini juga membuat takut Linta, bahwa Nokva pasti akan membunuhnya. Atau malah melakukannya sungguh-sungguh? Menjijikan.
Mengenai Nokva, dia menyenangkan sekarang. Tak jarang Linta dan Nokva pergi keluar atau di sekolah bersama. Anehnya, ini mengganggu Afo. Dia akan menyingkir dengan sadis setiap kali mobil merah masuk ke halaman Linta. Linta tahu betul alasannya. Cita-cita Afo sejak dulu adalah membuat Linta kesepian di SMA jika Afo telah lulus. Dan nyatanya itu tidak terjadi.
“Elo pergi nggak hari ini?” tanya Afo ketus di ambang pintu kamar Linta. Ini adalah sarapan Linta saat minggu pagi. Di tambah makian Afo saat pergi ketika Linta menjawab ‘ya’.
Minggu pagi ini, dia menyapa Linta masih sama. Dan ketika Linta menggeleng tanpa minat, Afo langsung sumringah dan menyerbu masuk kamar Linta.
“Kalau gitu, keluar sama gue sama Vega, yuk!” serunya.
“Kenapa?”
“Kok malah kenapa? Harusnya elo tanya kemana, kan?”
“Terserah gue mau tanya apa!”
Memang itu perlu ditanyakan. Tak biasanya Afo seperti ini kepadanya, pasti ada apa-apanya, apalagi sama Vega. Apalagi di saat waktu yang rawan untuk balas dendam seperti ini.
“Ampun, Li! Lo curigaan amat! Kita nonton!” kata Afo, melihat ekspresi Linta
“Elo yakin? Elo sama Vega nggak mau ngerjain gue?”
“Elo kayaknya kok ngebet banget gue kerjain! Nggak bakal, Li! Kalau mau ngerjain elo ngapain jauh-jauh, eh? Mau, ya?”
“Emang kemana?”
“Nonton! Ya?”
Linta masih memicingkan mata dengan curiga, “kenapa elo ajak gue?”
“Soalnya kalau kita beli tiga karcis, bakal didiskon tiga puluh persen!”
“Oh, elo ajak gue cuma biar dapet diskonan?”
“Enggak gitu juga! Ayolah, Li! Kita udah lama nggak ke luar bareng, lho!”
Linta masih belum yakin, “emang ada acara apaan? Kok ada promo gituan?”
“Inikan Hari Pahlawan.”
Hari Pahlawan. Oh, iya benar juga. Hari ini libur karena Hari Pahlawan. Jika sekarang Hari pahlawan, berarti tanggal sepuluh November. Jadi besok sebelas November. Sebelas November…
Linta tersentak.
“Oke, gue ikut. Tapi, elo anterin gue beli roti ntar!” ujar Linta.
“Kurang kerjaan banget!”
“Oh, ya udah! Gue bisa pergi sendiri.”
Linta segera bergegas, tak ingin mendengar ocehan Afo lebih lanjut.
“Hei! Gue bisa dikira homo kalau cuma berduaan sama Vega!”
*
Banyak sekali kue-kuenya, namun semuanya mahal. Linta memang sudah suka dengan semua baju-baju yang dia beli, tapi terkadang dia juga sebal jika ingin sesuatu tak punya uang seperti ini. Vega dan Afo memandangnya galak, karena sudah terlalu lama menunggu.
“Cepet, Li!” seru Vega.
Lalu Linta memutuskan membeli cupcake rasa coklat. Harganya tak terlalu mahal, dia juga kasihan kepada Vega dan Afo yang menunggu lama.
Di dalam mobil, Linta terus memikirkan kue itu. Dia agak menyesal membelinya. Ini adalah pengucapan pertama Linta pada Nokva di hari ualng tahunnya, tapi Linta hanya membeli cupcake untuknya. Sebenarnya Linta ingin sekali meminjam uang Afo, namun Afo pasti menghinanya.
Ternyata Afo memperhatikannya dari spion tengah.
“Elo kenapa sih, Li? Pendiem amat?” katanya.
Vega ikut menoleh dan mengamati wajah Linta yang resah sekali.
“Iya, kenapa sih lo?” timpal Vega.
“Enggak kok,” jawab Linta.
Linta menunduk memandang bungkusan cupcake di pangkuannya. Dia bodoh, tindakannya itu malah membongkar keresahannya.
“Rotinya kenapa?” tanya Vega.
Afo berdecak tak senang, “udah gue tebak! Elo bakal nyesel beli itu kalau kelamaan milihnya!”
“Enggak. Bukannya gitu,” desah Linta. “Rasanya nggak pantes aja kalau cowoknya ulang tahun cuma dikasih ini aja.”
Kedua orang di depan Linta langsung terdiam. Bahkan Vega menghadap ke depan lagi, kelihatan tak suka. Atau mungkin cemburu. Atau mungkin karena peristiwa ulang tahun Linta kemarin. Vega tak jadi datang saat tahu bahwa Linta malah pergi berkencan.
Afo mengerling Linta sebentar dari spion tengah.
“Kalau gue, sih, nggak apa-apa,” kata Afo pengertian. “Yang penting penuh kejutan atau orang pertama yang ngucapin.”
Orang pertama yang mengucapkan? Penuh kejutan? Linta punya ide.
*
Ada kilatan cahaya di luar, di luar jendela yang tertutup gorden. Kemudian di dalam kegelapan kamar, ponsel bergetar menyala, Nokva tak menghiraukannya. Dia masih menatap penasaran pada jendelanya. Meski hanya sekilas, tapi Nokva benar-benar yakin dia melihatnya.
Mencoba percaya itu hanyalah kunang-kunang yang lewat, Nokva meraih ponselnya. Nomor tanpa nama. Dia menjawab panggilan itu, mendekatkan ponsel ke telinganya tanpa bicara.
“Ini gue,” kata suara di ujung telepon.
Nokva sudah tahu. Tak akan ada yang menelponnya selarut ini selain anak ini.
“Buka jendela lo! Gue di luar!” katanya lagi.
“Apa?” tanya Nokva, merasa salah mendengarkan.
“Gue di luar jendela elo.”
Nokva menaruh ponselnya dan menatap jendela lagi, tercengang. Kemudian dia berjalan ke arahnya dan membuka gordennya, membuat lampu di jalan masuk ke kamarnya yang gelap. Dan benar, Linta di luar. Dia memandang Nokva dengan tersenyum. Sebuah kue dengan lilin kecil di atasnya dipegangnya.
“Happy bornday!” serunya, saat Nokva membuka jendela.
Nokva tak habis pikir, tapi dia nyengir dan menyingkir, agar Linta bisa masuk ke kamarnya. Dengan mudah, Linta dapat masuk. Bakat mencuri.
Kue di depannya diangkat tinggi-tinggi, sehingga cahaya lilin menyinari wajahnya. Dia tepat di depan Nokva, dan segera menyanyi keras-keras, “Tiup lilinnya… tiup lilinnya… tiup lilin?”
Nokva membungkam mulut Linta, menghentikan nyanyian tak keruan Linta. Kemudian Nokva menunduk. Sebelum meniup lilinnya, Nokva tersenyum kepada Linta. Cahaya lilin padam dan rambut Linta berkibar, karena Nokva juga meniup keras wajahnya.
Tinggal lampu jalanan yang memetak jendela yang menyinari ruangan itu.
“Elo kok inget ulang tahun gue?” tanya Nokva. “Ulang tahun lo sendiri aja lo nggak inget.”
“Gara-gara pahlawan!” seru Linta. “Elo harus bener-bener berterimakasih sama mereka. Soalnya gara-gara mereka gue jad-jadi inget… ulang… tah…”
Kalimat Linta semakin lambat dan putus di jalan. Nokva telah menurunkan tangan Linta yang memegangi kue yang menghalangi wajah mereka. Sepertinya dia membuat Linta speechless, karena Nokva mendekatkan wajahnya ke wajah Linta. Dan bibir Nokva mendapatkan bibir Linta.
wew
Comment on chapter Pesta Kedua