7
KUE YANG GAGAL
Cuaca akhir-akhir ini sangat tidak menentu. Kemarin pagi sangat cerah, saat siang pun masih panas. Tapi tiba-tiba malam harinya turun hujan dengan deras. Dinginnya masih terasa hingga pagi hari ini. Pasti sangat nyaman jika bergelung di kasur. Apa lagi ini hari Minggu.
Lain ceritanya dengan Linta. Pagi ini dia sudah di kamar Nokva, padahal belum genap jam tujuh. Padahal yang didatanginya juga belum bangun. Sudah lama Linta tak ke rumahnya, karena salama berminggu-minggu ini mereka hanya belajar sepulang sekolah.
Linta merapatkan sweaternya dan mendekati Nokva yang terbaring tak keruan.
“Nok…” Linta mengguncang tubuhnya perlahan. “Nokva? Nokva!”
Nokva bergerak, dan matanya membuka perlahan. Dia langsung terperanjat melihat Linta di atas wajahnya.
“Ngapain elo kesini?” Nokva terengah-engah, seakan takut Linta itu hantu atau apa.
“Belajar!” Linta tersenyum lebar.
Seakan kata ‘belajar’ yang diucapkan Linta membuktikan Linta benar-benar Linta, Nokva berubah drastis. Dia melenguh keras dan membanting tubuhnya kembali ke ranjang, menarik selimut.
“Hei!” Linta menarik-narik selimut Nokva.
“Elo kalau masuk rumah orang bisa ketuk pintu nggak, sih?”
“Belnya kan rusak! Gue nggak suka harus gedor-gedor pintu buat bangunin elo!”
Nokva bangkit, membuat Linta kaget, “Terus elo ngapain di sini? Gue udah bilang hari ini nggak usah belajar dulu!” raungnya.
“Besok kita, kan, udah ujian.”
“Maka dari itu kita nggak usah belajar dulu Lintah! Biar enggak capek!” teriak Nokva lambat-lambat agar Linta mengerti.
Linta hanya merepet dan mengerjap.
“Lo pakai apa, sih?” teriak Nokva lagi, ngeri.
Nokva menatap tak percaya training hitam besar yang dikenakan Linta. Training itu dilapisi kaos kaki sepanjang lutut yang berwanarna kuning pudar. Dan dia mengenakan sweater kuning sangat melar.
Nokva mengambil napas keras-keras, “Gue pernah bilang sama elo, kan? Gue nggak suka penampilan elo!”
“Emang kenapa?” tanya Linta.
“Elo nggak tahu kenapa?’
Linta menggeleng.
“Oke, hari ini kita enggak belajar. Kita bakal re-fresh-ing!”
*
Di dalam butik cukup ramai. Dengan mudah Nokva melewati orang-orang itu. Lain dengan Linta. Dia terpontang-panting mengikuti Nokva, karena kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi. Masing-masing tangannya membawa dua hangar baju.
Kini Nokva sudah berada di depan sepatu. Linta masih terjebak di antara tante-tante yang ribut memilih baju. Ketika Linta telah berhasil menyusul Nokva, dia langsung menaruh higheel yang telah dipilihnya di kaki Linta. Linta hanya memandang Nokva, tak percaya.
“Dicoba! Nanti kita cari ukuran elo!” kata Nokva.
Linta hanya mencibir.
Lalu Linta mengangkat tangan-tanganya lebih tinggi. Dan dia nyaris jatuh saat memakaai higheel sembarangan.
“Sini!” Nokva mengambil empat baju dari tangan Linta. “Elo duduk dulu, baru pakai!” katanya tak habis pikir.
Linta bergumam sebal, namun menurut. Kemudian dia berdiri ketika Nokva menyuruhnya. Dia menggunakan bahu Nokva untuk berdiri, karena akan jatuh lagi.
Setelah dimaki Nokva, mereka mencari ukuran Linta dan Nokva memilihkan dua sepatu untunya.
Linta mengikuti Nokva dengan lebih-lebih kesusahan lagi. Satu tangannya untuk membawa empat baju, sedangkan tangan yang lain untuk membawa dua sepatu. Dia benar-benar seperti pembantu Nokva. Padahal berulang kali pelayan butik akan membantu, tetapi Nokva menolaknya. Jika tangan Linta ada yang kosong, dia akan memukul Nokva.
Sekarang Linta sadar mengapa Nokva tak suka penampilannya. Sedari tadi banyak yang meliriknya, bahkan ada yang mentapnya terang-terangan. Untung Linta sudah melepaskan kaos kaki panjangnya.
Linta langsung meletakkan barang-barang jahanam itu ke meja kasir setelah sampai. Penjaga itu tersenyum ramah, dan mulai mengemasi barang-barang yang diletakkan Linta.
Penjaga kasir telah selesai menghitung dan memasukkan barang, kemudian memberitahukan total yang harus dibayar.
“Buruan,” kata Nokva.
“Apa?”
“Cepet bayar!”
“Bayar?” mata Linta membulat. “Gue?”
“Iyalah! Elo, kan, yang beli!”
“Tapi…”
“Gue tinggal, nih!” ancam Nokva.
“Berapa?” tanya Linta kepada penjaga kasir.
Penjaga wanita itu menatap layar komputer di hadapannya seraya tersenyum, “Tujuh juta empat ratus sembilan puluh tujuh ribu.”
Linta menatap ngeri dari penjaga kasir ke arah nokva. Nokva hanya berdiri tenang. Linta mengambil dompetnya dan mencabut kartu kreditnya.
“Kata nyokap gue, ini cuma boleh dipakai pas keadaan darurat.” kata Linta, hampir menangis.
“Nah, ini keadaan darurat itu!” seru Nokva dan menyambar kartu kredit Linta.
Nokva segera memberikannya kepada penjaga kasir, dan menyuruh Linta membawa kantong-kantong belanjaan.
*
Nokva membuka pintu depan.
“Mana mobil elo?” tanyanya, karena tak melihat mobil Linta seperti biasa.
“Nanti kan kita ujian, jadi sekarang ayo olahraga,” kata Linta enteng.
“Jadi jalan?” kata Nokva tak percaya, sangat ingin mencekik Linta.
“Jalan!” seru Linta. “Ayo!”
Linta menarik tangan Nokva. Nokva terus-menerus mengeluh. Sebenarnya dia masih sangat mengantuk. Karena semalam dia belajar. Iya, belajar.
“Dulu gue suka jalan berkilo-kilo sama Vega,” kata linta.
Nokva tak menanggapi. Dia sudah capek mendengarkan keanehan Linta dan mantannya. Bagaimana bisa seorang yang sudah aneh mendapat pasangan yang aneh pula? Benar-benar pasangan yang serasi. Pantas Linta belum bisa melupakannya.
“Lo udah sarapan?” tanya Linta.
“Belum,” Nokva menguap.
Linta mendongak menatap Nokva, “Sebenernya…”
Mereka sudah sampai jalan raya yang ramai.
“Sebenernya?” Nokva memandang Linta, dan Linta berpaling.
“Gue… tapi elo jangan marah, ya?”
Nokva hanya mengangkat alisnya.
“Gue, kan, udah traktir elo selama tiga bulanan,” Linta mulai. “Kita bagi, ya, biar adil?”
“Biar adil?” ulang Nokva. Dia senang akhirnya Linta menyadari kepura-puraan ini berakibat buruk.
“Jadi, gue traktir elo hari Senin, Rabu, sama Jum’at. Dan elo traktir gue hari Selasa, Kamis, Sabtu. Dan gue plus hari Minggu.”
“Nggak ada untungnya buat gue.” Kata Nokva.
“Ayolah, NokNok!” Linta memohon. “please!”
Nokva tertawa, “emang kenapa?”
“Nyokap marah, tagihan kartu kredit turun kemarin.”
“Marah? Gue kira dia bakal seneng.”
“Iya, awalnya dia marah. Tapi pas gue jujur semuanya buat belanja baju,” Linta berhenti sebentar. “Gue kira dia pingsan, ternyata dia sujud syukur.”
“Sujud syukur?”
“Iya, dari dulu nyokap kepengin banget gue jadi cewek normal.”
Nokva tertawa, dia sudah yakin hal seperi ini yang akan terjadi. “Nah, elo harus bersyukur punya gue!”
“Punya gue?” ulang Linta
Nokva berhenti tertawa, dia tak sadar mengatakannya. Lalu, Nokva berdeham keras. “Hhm! Soal yang tadi iya, deh, dibagi. Tapi kalau gue masuk IPA, ya?”
“Hah! Kelamaan! Kita juga hampir bubar, dong!” protes Linta. “Tapi iya, deh! Elo datang ke pernikahan kakak gue aja, itu udah cukup.”
“Pokoknya tergantung gue masuk IPA atau enggak!”
“Harus, dong!” seru Linta. “Tapi sampai sekarang, gue masih bingung harus ngasih kakak gue apa.”
Nokva berpikir.
“Gue bakal kasih hadiah kalau gue masuk IPA. Yaitu solusi buat hadiah itu,” kata Nokva.
Linta menganguk senang.
Mereka berjalan sepanjang trotoar yang ditumbuhi pohon-pohon rindang tanpa bicara lagi.
*
Shock, tak percaya, dan kaget sekali. Itu yang dirasakan Linta. Mungkin semua orang yang melihatnya juga merasakan apa yang dirasakan Linta. Baru saja Nokva berlari ke arahnya dan memeluknya.
“Gue masuk IPA!” seru Nokva senang sekali, Linta belum pernah mendengarnya sesenang ini.
Wajah Linta berubah menjadi senyum lebar.
“Berarti elo harus tepatin janji elo! Apa hadiahnya?”
Nokva melepaskan pelukannya. Yang mengherankan sekali membuat Linta kecewa.
“Kita yang bakal buat kue pernikahan kakak elo!”
“Ha?” Linta menganga sempurna.
“Gue jemput elo ntar jam satu!”
“Itu berarti pulang sekolah, bego!”
Benar saja, jam satu siangnya, mereka pergi.
Sikap Nokva akhir-akhir ini menyenangkan. Meski kata-katanya masih menyakitkan, dia bicara lebih lembut, tak pernah berteriak-teriak lagi. Dan dia sudah bisa mengalah sekarang.
“Elo belanja bahannya sendiri, ya?” kata Nokva. “Gue mau ke Bang Ota bentar. Sama tokonya nggak jauh kok.”
“Gue nggak tahu bahan-bahannya.”
“Udah gue catetin,” kata Nokva.
Kemudian, Nokva mengarahkan jalan dari toko bahan-bahan kue menuju galeri Bang Ota. Linta hanya menganguk, sambil mengingat setiap belokannya.
*
“Jam tiga, jangan kelamaan!” kata Nokva.
Linta menganguk sambil melepas sabuk pengamannya. Lalu dia turun keluar. Nokva bertahan di dalam mobil, mengawasi Linta menyeberangi jalan dan masuk ke dalam toko.
Setelah itu, Nokva melajukan mobilnya lagi. Melewati jalan yang ramai untuk ke galeri Ota.
“Jauh juga.” gumam Nokva saat sudah berbelok dua kali.
Nokva sedikit khawatir Linta akan tersesat. Namun rasanya itu malah akan menyenangkan. Lagi pula sepertinya Linta lebih suka berjalan. Nokva tak perlu kasihan kepada Linta jika dia kecapekan.
Setelah berbelok ke jalan yang lebih kecil dan berjalan sekitar dua puluh meter, Nokva menghentikan mobilnya di pinggir jalan yang kecil dan penuh itu. Dia segera masuk ke gedung yang sangat dikenalnya namun sudah tak lama ia kunjungi itu. Sebenarnya di dalamnya hanya berupa ruangan-ruangan luas, dengan banyak wallpaper yang terus diganti. Tempat untuk mengajar pemotretan milik Ota.
Nokva langsung disambut oleh Ota sedetik setelah dia masuk. Nokva sangat terkejut dan senang, karena Ota sedang bercakap dengan seseorang.
“Halo, Va!” sapa Melani seraya tersenyum.
“Lama nggak kesini, Va?” tanya Ota.
“Sori, Bang!” kata Nokva.
“Iya, nih! Kamu lama nggak ke sini.” timpal Melani. “Lama nggak ke kampusku juga.”
Nokva tersenyum, “Kamu kok di sini?”
“Nggak ada pemotretan, lagian nggak ada kelas di kampus.”
“Gue yang kasih tahu Melani lo bakal ke sini,” kata Ota. “Eh, tiba-tiba dia juga ke sini.”
Melani tertawa kecil.
“Lo ngapain aja, sih? Kok lama banget nggak ke sini?” tanya Ota.
“Gue belajar, biar bokap seneng kalau gue masuk IPA.”
Ota menatapnya tajam, Nokva sulit mencernanya.
“Terus, kamu bisa masuk IPA?” tanya Melani.
“Bisa, dong!” seru Nokva.
“Oh, bagus banget! Jadi, kamu harus traktir aku!”
Nokva mentap Ota, minta pendapat. Ota menganguk pelan. Dan Melani tersenyum cantik sekali saat Nokva juga menganguk ke arahnya.
*
Berulang kali Linta lebih merapatkan diri ke tembok trotoar yang sempit itu. Terkadang dia juga menunduk untuk mengangkat kresek-kresek belanjaannya ketika mobil ngebut-menyebalkan melesat lewat. Rok seragamnya sudah sepenuhnya basah, karena berkali-kali terciprat genangan air di pinggir jalan, yang tepat di hadapannya.
Tadi, saat Linta telah selesai belanja dan gerimis mulai turun, Linta memberanikan diri menerobos gerimis yang baru rintik-rintik. Dia takut Nokva akan marah jika dia terlambat. Hampir satu jam Linta baru menemukan mobil merah Nokva yang terparkir. Dia bersyukur Nokva belum meninggalkannya, kendati pun dia basah kuyub karena hujan menjadi deras saat dia masih berjalan.
Dan sekarang, Linta sudah bertahan dua jam lebih di tepi jalan dan hujan lebat. Tadi dia sudah akan masuk ke dalam, namun malu. Akan sangat konyol sekali masuk ke ruangan penuh model cantik dengan mengenakan seragam basah kuyub, rambut berantak, dan sepatu dan kaki yang berlumur lumpur.
Linta juga telah berulangkali menengok orang yang keluar dari gedung itu. Orang yang keluar juga akan balas memandangnya dengan menyebalkan, seakan Linta adalah gembel mengenaskan. Namun, itu benar juga.
Akhirnya, ada suara-suara yang akan keluar lagi. Linta yakin itu Nokva. Dan benar.
“Lo lama nunggunya?” tanya Nokva, sepertinya lupa akan Linta.
Meski kesal, Linta menganguk senang.
“Ya, ampun!” Nokva melepas jaket yang dikenakannya, dan mengambil belanjaan dari pelukan Linta, lalu memberikan jaket itu kepada Linta.
“Ini anak tukang cuci kamu, kan, Va?”
Hati Linta mencelos. Gadis yang pernah dilihatnya sekali di rumah Nokva, sekarang berdiri di belakang Nokva.
“Eh?” Nokva tampak bingung. “Bentar, ya?”
Kemudian Nokva menerjang lebatnya hujan, menuju mobilnya. Dia membuka bagasi mobilnya, menaruh belanjaan Linta di sana, dan mengambil payung dengan cepat sekali. Kemudian kembali lagi.
“Sori,” kata Nokva. “Gue ada urusan, lo pulang sendiri, ya?”
Belum sempat Linta menjawab, Nokva sudah menggandeng gadis itu dan berjalan kembali ke mobilnya di bawah payung. Linta terus memperhatikan mereka. Nokva membukakan pintu untuk gadis itu, memutari mobil dan akhirnya dia juga masuk setelah menangkupkan payung.
Linta terlalu sibuk memperhatikan mobil merah yang sudah berjalan, sehingga tak menyadari ada seseorang di belakangnya.
“Kamu pucat banget,” kata orang itu.
Linta menoleh, dan laki-laki yang pernah Linta lihat dua kali berada di belakangnya.
“Saya nggak apa-apa,” kata Linta parau.
“Kamu pasti kedinginan.”
Ketika orang itu mengatakannya, Linta baru menyadari bahwa dia benar-benar kedinginan. Linta memakai jaket besar hitam yang diberikan oleh Nokva.
“Saya antar pulang, ya?” kata orang itu lagi.
“Nggak usah, saya pulang sendiri saja. Saya nunggu hujannya reda.”
Linta berjongkok, memeluk kakinya. Air hujan yang jatuh ke bawah menciprati wajahnya. Linta tak peduli. Sepertinya kejadian ini pernah terjadi. Dia meringkuk kedinginan, berteduh dari hujan, menunggu seseorang yang tak perlu ditunggu.
Rasanya Linta mengerti, mengapa dia sangat membenci hujan.
wew
Comment on chapter Pesta Kedua