8
HADIAH BESAR
Pertengahan Juli, rumah Linta sudah sumpek dengan berbagai persiapan pernikahan. Kerabat-kerabat dari jauh sudah ada yang datang, termasuk Vega. Pernikahan akan dilaksanakan satu minggu lagi. Linta tak tahu apakah Nokva akan menepati janjinya atau tidak. Yang penting, dia belum bertemu dengannya selama liburan.
“Ada yang sendirian, nih,” kata Vega, seraya duduk di samping Linta, di sofa ruang menonton televisi.
“Sekarang udah enggak,” kata Linta, tersenyum. “Afo mana?”
“Nganter nyokap lo, nggak tahu kemana.”
Linta hanya termangu-mangu. Mereka terdiam cukup lama.
Sedang banyak orang sibuk akhir-akhir ini. Sekarang, orang-orang silih berganti naik-turun untuk membawa barang. Loren dan ibunya sibuk belanja, dan Linta tak boleh mengganggu, takut malah merusak segalanya. Rasanya, hanya Linta saja yang bisa duduk menonton televisi di siang hari yang sibuk ini. Oh, iya, Vega juga.
Linta mengerling Vega. Vega sedang menonton acara televisi dengan serius. Mereka sering melakukan hal seperti ini dulu, dan yang pasti dilakukan Linta adalah mencari perhatian Vega dengan cara usil yang ekstrim. Namun sekarang, menatap Vega pun Linta tak sanggup, rasanya berdebar-debar.
“Lo kok nggak liburan, Li?” tanya Vega, memecah keheningan.
“Rumah lagi ribet gini,” kata Linta. “Besok tambah ribet, ya? Lo, kan, pindah kesini!”
Vega hanya tertawa dan menoyor Linta.
“Terus Meira gimana?” tanya Linta.
“Emang dia kenapa?”
“Yah.. elo, kan, pindah kesini, terus dia gimana?”
Vega menatapnya, “Ya, dia disana.”
Mereka terdiam lagi. Vega masih menatap Linta.
“Ati-ati, lho! Jarak bikin segalanya berubah,” gumam Linta.
Linta menyesal mengatakanya, karena Vega terlihat terganggu. Sebenarnya Linta juga merasa terganggu. Dia tak ingin mengingat-ingat kebenciannya terhadap Vega, ingin melupakan segalanya yang telah berlalu.
“Kita udah putus kok,” kata Vega, membuat Linta terkejut. “Jadi kita… eh, maksudnya lo sama gue…”
Kata-kata Vega terpotong oleh kemunculan Afo secara tiba-tiba, membuat degup menyakitkan di jantung Linta terhenti. Sepertinya Afo tak suka melihat Linta dan Vega berduaan seperti ini. Linta tak pernah mengerti pikiran Afo, dia sangat membenci Vega, namun masih bisa akrab dengannya. Dasar cowok.
Afo menghampiri mereka dan duduk di antara mereka.
“Lo dari mana sama nyokap?” tanya Linta, menutupi rasa kecewa karena kemunculan Afo yang tak tepat waktu.
“Pesen kue! Lo bohong lagi, kan? Sok-sokan mau buat!”
Hati Linta mencelos.
*
Ini pertama kalinya Linta mematut di depan kaca lama sekali. Dia merasa tak pantas mengenakan gaun berwarna lila. Tapi dia juga merasa cantik memakai gaun itu. Nokva memang pintar memilihnya. Sekarang Linta sedang mencoba memakai gelang tambahan dengan bunga yang berwarna senada.
“Sayang, cepetan turun!” teriak ibunya dari lantai bawah.
“Iya, Ma!” Linta balas berteriak.
Buru-buru Linta memakai gelang itu. Karena sangat kebesaran, dia menggelung dan memasukkan ke tangannya dua kali. Kemudian Linta memakai higheel yang dulu dipilihkan oleh Nokva juga, warnanya serasi, lila.
Sedikit terhuyung namun tak jatuh lagi, Linta segera keluar. Sudah beberapa hari ini dia mencoba berlatih memakainya. Dia berkali-kali keseleo, bahkan pernah sekali jatuh di tangga.
Di bawah, semua orang telah menunggunya. Afo dan Vega dan Loren menatapnya tak percaya.
“Wow!” seru Loren.
“Gue kira lo bakal pakai sarung doang!” bisik Afo di telinga Linta.
Linta mencoba memukul Afo, namun dia terhuyung lagi. Dia belum sepenuhnya menguasai sepatu berujung paku itu.
“Kamu naik mobil Afo ya, Li!” kata ibunya.
Kemudian setelah ibunya menyuruh dan memimpin keluar, mereka berduyun-duyun keluar dan masuk ke mobil masing-masing yang telah ditentukan. Linta satu mobil dengan Afo dan Vega, dan dia duduk di jok belakang. Di sana terdapat rangkaian bunga sangat besar, membuat Linta terdesak dan duduk mepet sekali.
Linta berpikir konyol sekali menikah dengan menyewa sebuah gedung, selain boros, pasti tampak lebih indah jika dilakukan di rumah sendiri. Apalagi mobil yang digunakan ke sana dipenuhi oleh hantaran-hantaran seperti ini.
“Lo bisa napas, kan, Li?” suara Afo terdengar dari depan.
Linta tak menyahut.
“Lo duduk sini aja, deh!” kata Afo lagi.
Linta mendengus. Dia pasti akan lebih menderita duduk di depan. Afo pasti yang menyetir dan dia akan disuruh duduk dengan Vega.
Bunga-bunga yang mencuat di depan Linta berayun-ayun karena mobil yang bergerak. Selain bulu kucing, serbuk bunga juga membuat Linta bersin. Bunga-bunga itu mengayun di depan hidung Linta, Linta bersin tak henti-hentinya.
Akhirnya Linta tak tahan. Dia bangkit dan menyundul atap mobil dengan keras, membuat Vega dan Afo menoleh. Ternyata Vega yang menyetir. Linta menerima tawaran untuk duduk di depan. Karena tak ingin duduk sempit terhimpit-himpit lagi, Linta duduk di ujung jok di depan Afo. Meski tak bisa menyadar, ini lebih baik.
“Rambut lo, Li!” keluh Afo, terus-menerus menyibakkan rambut Linta.
Linta mengalah, dia meletakkan kepalanya di atas dashboard. Yang terjadi selanjutnya tidaklah menyenangkan, dia sepenuhnya menghadap ke arah Vega yang menyetir. Dia tak mungkin berpaling ke arah jendela, pasti Afo akan meledeknya.
“Cowok lo dateng, kan?”
Linta tersentak dan spontan bangkit dan membentur wajah Afo.
“Woi!” teriak Afo marah dan kesakitan.
“Gue lupa telepon Nokva!” seru Linta. “Ya ampun, gue nggak punya nomornya!”
“Nggak punya nomornya?” Vega mengerlingnya curiga.
Sepertinya Afo juga memandang curiga dari belakang.
“Maksudnya, gue nggak bawa handphone,” seru Linta gugup. “Ya ampun, gue lupa bawa handphone, gitu yang bener.”
Yang dilakukan Linta setelah sampai adalah menunggu dengan panik di depan pintu gedung yang ramai. Sudah banyak sekali tamu yang datang, namun Nokva belum muncul juga. Hingga beberapa saat kemudian, yang datang malah ayah dan ibu Nokva.
“Linta!” seru ibu Nokva, tersenyum senang.
Linta menghampiri mereka. Mengecup pipi ibu Nokva dan mencium tangan ayah Nokva. Kemudian mengantar mereka masuk.
“Nokva mana, Ma?”
“Dia belum datang?” Ibu Nokva bertanya balik. “Anak itu! Dia sudah pergi dari pagi tadi!”
Linta sadar, sudah saatnya berhenti berharap. Dia memisahkan diri dari Ibu dan Ayah Nokva yang sudah di sambut oleh ayahnya. Linta menghampiri tempat para sepupunya berada. Loren dan Angga juga berada di sana.
“Itu siapa?” tanya Afo, setelah Linta sampai. “Kok akrab banget? Lo selingkuhannya, ya?”
“Linta mendelik ke arahnya. “Itu nyokap-bokapnya Nokva!”
“Tapi itu, kan, dokter temennya bokap, Li! Yang punya kafe itu!” seru Loren.
“Eh, iya.”
“Jadi lo pacaran sama anak temennya bokap?”
Linta hanya menganguk.
Meski Linta yakin bahwa Nokva tak akan datang, dia tak henti-hentinya mengerling pintu masuk. Hingga akhirnya, sudah saatnya pasangan pengantin untuk masuk. Semua orang duduk. Yang tak mendapat kursi, berdiri menepi. Banyak gumam bergairah.
“DOR!”
Linta menjerit tertahan. Di tengah ingar-bingar, jeritannya hampir tak terdengar, karena dia juga yang langsung menekap mulutnya. Namun sepupu-sepupunya dan kakaknya yang duduk di dekatnya menoleh.
Linta menghadap belakang untuk mencari tahu siapa yang telah mengagetkannya dan membungkam mulutnya. Ternyata Nokva. Setengah tak percaya, Linta berdiri dan memegang kepalanya yang tinggi. Ternyata itu benar-benar Nokva.
Sedikit geli karena penampilan Nokva yang lain, Linta mengakui Nokva lebih tampan. Dia mengenakan jas dan celana putih bersih. Kemeja merah dan dasi abu-abu yang berkilau terlihat di dalam jasnya yang rapi. Dan dia mengenakan sepatu kulit yang mengkilap. Sebuah kotak besar berada di tangannya.
Ternyata yang duduk di dekat Linta masih menatap mereka. Linta hanya tersenyum puas. Dia menyuruh Nokva untuk duduk di sampingnya. Nokva menurut dan meletakkan hadiahnya di dekat kakinya.
“Itu apa?” tanya Linta.
“Lo gimana, sih! Ini, kan, hadiah yang kita beli buat kakak lo!”
Sedikit bingung, namun akhirnya mengerti, Linta menganguk.
“Mantan-maniak lo yang mana?” bisik Nokva.
“Yang duduk diantara Loren sama Afo,” Linta ikut berbisik.
Nokva menoleh sebentar dan berpaling.
Linta mendengar Afo bergumam tak jelas dan tak henti-hentinya. Dan Vega dan Loren tak melepas pandangan mereka dari Nokva. Seakan Nokva adalah hantu atau apa. Linta senang, tak aka nada yang meledeknya sekarang.
Akhirnya Loren mencondongkan tubuhnya di atas pangkuan Vega dan Afo. “Kayaknya, kita pernah ketemu, ya?” tanya Loren penasaaran.
Nokva menatap Loren. “Iya, waktu bukain pintu?” usulnya.
Loren hanya menganguk tak yakin dan menarik tubuhnya lagi.
Linta tersenyum terus ke arah Nokva. Berharap semua percaya bahwa mereka benar-benar pacaran. Nokva memandang takut ke arah Linta. Dia membuat gerakan seolah akan memegang tangan Linta. Ternyata tidak.
“Ini bukan dipakai di sini!” katanya seraya melepas apa yang tadi dikira Linta gelang. “Dipakai di leher.”
Nokva memasangkannya, sepertinya sengaja membuat Afo, Vega dan Loren melihatnya. Sepertinya Nokva akan turut berakting untuk meyakinkan.
wew
Comment on chapter Pesta Kedua