6
IBU GENDUT
DAN
LELAKI BERNAMA MIRIP
Pintu rumah terbuka. Dari luar, ia bisa melihat dua sosok sedang mengobrol di ruang tamu. Linta sedikit bimbang akan masuk atau tidak, takut mengganggu. Linta hanya berdiri di depan pintu dan meremas ponselnya dengan gelisah. Lebih baik mengirim pesan dan pergi.
Namun, itu tak perlu.
“Ngapain lo?” Nokva melongok dari dalam.
“Ini kan hari Minggu,” Linta nyengir.
Nokva berdecak tak sabar.
Gadis di depan Nokva ikut menoleh, “Siapa, Va?”
“Eh…” Nokva bangkit dan menghampiri Linta yang masih di ambang pintu. “anak tukang cuciku.”
Dengan gerakan mendesak, Nokva menariknya masuk ke dalam, melewati ruang tegah dan masuk ke dalam kamarnya. Dia mengangkat keranjang besar berisi pakaian kotornya.
“Gue tahu,” sambar Nokva, ketika Linta akan membuka mulut untuk memprotes. “nggak usah elo cuci. Tapi tolong bawa aja ke atas.”
Nokva mendorong kerajangnya ke pelukan Linta, lalu mendorong Linta ke arah tangga, sebelum Linta sempat bicara.
“Lo naik!” kata Nokva.
“Gue nggak mau nyuci baju elo!” sewot Linta.
“Nggak usah dicuci! Gue cuma bilang bawa ke atas aja!”
“Terus gue ngapain?” tanya Linta bingung. Sampai sekarang dia tak mengerti jalan pikiran Nokva.
“Terserah elo! Mau nerbangin layang-layang, mau loncat, atau masuk mesin cuci juga boleh! Yang penting elo di atas dan jangan ganggu gue!”
Linta tersenyum penuh arti. “Mau kencan, ya?” godanya.
“Apaan sih lo! Nggak, bego!”
“Tapi masa’ di rumah?”
“Ini bukan kencan!” bentak Nokva geram. “Siniin kunci mobil lo!”
“Kenapa?”
“Gue nggak mau lo kabur, kan? Ntar lo nyuri mesin cuci gue terus dibawa loncat lagi!”
Linta menurut, dia menaruhkan kunci mobil Loren ke tangan Nokva. Setelah itu, Nokva kembali ke ruang tamu. Linta menaiki tangga, masih memeluk keranjang besar pakaian kotor Nokva.
Linta naik ke atas baru dua kali ini. Hanya sebuah balkon luas. Sebagian ditutupi atap, di bagian kamar mandi kecil dan mesin cuci berada. Bagian yang tak ditutupi adalah tempat menjemur pakaian. Tampak beberapa burung bertengger di kawat jemurannya.
Pertama kalinya Linta kesini adalah untuk mencucikan baju Nokva. Sekarang dia bingung harus melakukan apa. Lalu dia memutuskan untuk mencucikan baju Nokva lagi. Linta menduga bahwa Nokva disuruh ibunya untuk mencuci. Namun Nokva malah sibuk berkencan dengan gadis cantik itu.
Gadis itu, rasanya Linta pernah melihatnya.
Hampir satu jam Linta mencuci. Dia hanya jongkok di depan mesin cuci untuk menunggu, mendengarkan putaran air. Terkadang berdiri untuk menyalakan air, mematikannya, atau membuangnya. Hingga akhirnya, Linta telah mengeringkan cucian dan menjemurnya. Hari ini agak mendung, tak pantas untuk menjemur.
Linta meletakkan keranjangnya. Dia naik ke atas pengering dan duduk di sana, memeluk kaki. Dia merasa bosan, ingin sekali turun, namun takut menganggu.
Aneh, jika Nokva tak ingin diganggu Linta, seharusnya dia menyuruh Linta pulang. Bukan malah menyuruh Linta ke atas dengan membawa pakaian kotor yang tak akan dicucinya. Namun Linta tak memikirkannya, Nokva memang bodoh.
“Dia bilang ‘aku’ tadi, berarti Nokva suka cewek itu.” gumam Linta. Kemudian Linta menopangkan kepalanya di atas lutut, sedih. Tak ada yang pernah seperti itu padanya. Bahkan Vega pun tidak. Vega teramat jahat kepada. Mengelus rambutnya pun tak pernah, apalagi menggunakan aku-kamu. Linta merasa tak pernah ada yang benar-benar menyukainya.
Langit bertambah mendung, sebuah bayangan gelap menyelubungi Linta. Sebuah bayangan gelap.
“Siapa kamu?”
Linta terperanjat, hampir jatuh. Dia mendongak dan mendapati seorang ibu gendut yang berwajah ramah. Linta terperangah sekali lagi. Dia kaget karena ibu itu adalah ibu yang berada di toko kue yang sangat enak dan sangat Linta sukai.
“Ah, kamu!” seru ibu itu lagi senang, meskipun ditatap Linta seperti ini. Kelihatannya dia senang sekali bertemu Linta.
Linta segera turun dari atas mesin cuci dan menganguk pelan. Dia masih menatap ibu itu tak percaya.
“Nokva dimana?” tanyanya.
“D-di bawah?”
“Ah, anak itu! Menyuruhmu mencuci dan pergi sendiri,” katanya, menggeleng pelan. “Jangan diambil hati, dia seperti itu sama semua orang! Bahkan sama mamanya juga.”
“M-mama?”
“Iya,” ibu itu tersenyum lagi. “Tapi Mama nggak nyangka dia juga begitu sama pacarnya.”
“P-p-p-pacar?”
*
Kikikan yang begitu dikenal Nokva bergaung di telinganya. Nokva lelah karena macet, dan benci sekali tawa itu menguasai otaknya. Membuatnya lebih pusing.
Ketika Nokva memasuki rumah, tawa berat yang jarang didengarnya, namun juga sangat dikenalinya, juga terdengar di telinganya. Ternyata ini bukanlah halusinasi, namun sangat sulit dipercaya. Benar saja. Saat Nokva telah masuk ruang tengah, dilihatnya ayah, ibu, juga gadis tengik itu sedang makan di meja makan. Linta membuat humor dan dia terkikik. Ayahnya tertawa dan ibunya juga tersenyum geli.
Semua orang menatap Nokva, saat Nokva mendekat.
“Udah pulang, Sayang?” sapa ibunya.
“Sini! Kita makan sama-sama!” kata ayahnya.
Nokva duduk berhadapan dengan Linta. Linta tersenyum simpul ke arahnya, Nokva hanya berpaling dan mendengus kesal.
“Kamu dari mana?” tanya ayahnya. “Linta ke sini kamu malah pergi.”
“Maaf, Pa,” kata Nokva, kemudian mengambil makanan.
“Ini Linta yang masak, lho!”
“Enggak, Oom.” Bantah Linta. “Linta cuma lihatin Mama masak.”
“Mama?” Nokva terperangah dan mendelik ke arah Linta.
Ayahnya tertawa lagi, “Kamu panggil Mamanya Nokva gitu, kok panggil Papanya Oom gitu, sih? Harusnya panggil papa juga, dong!”
“Papa?” Nokva setengah berteriak sekarang.
“Kamu ini kenapa?” tanya ayahnya.
Nokva tak menjawab. Dia hanya menatap tajam gadis di hadapannya, penuh nafsu membunuh. Yang ditatapnya malah tersenyum menggoda.
“Telur masakan Mama enak banget.” kata Linta. “Oom… eh, Papa nggak nyoba?” kata Linta sambil menatap Nokva menantang.
Ayahnya tertawa lagi, padahal tak ada yang lucu. “Telur banyak kolesterolnya.”
“Linta tahu Papa dokter yang harus jaga kesehatan. Tapi, makan telur sekali-kali nggak masalah, kan? Nyesel, lho, nggak nyobain masakan Mama.”
Ayah dan ibu Nokva tertawa lagi. Nokva membanting sendoknya ke piring.
Ibunya memandangnya, “katanya kalian mau belajar? Kok kamu malah pergi?”
“Belajar?” ayahnya ikut memandangnya.
“Iya, Pa.” Linta yang menjawab. “Udah berbulan-bulan ini, biar nilai kenaikan kelas besok nilainya bagus.
“Hebat kalian!” seru ayahnya. “Kamu kok nggak bilang sama Papa, Nokva? Kamu punya pacar yang pintar, cantik, hebat, dan anak temen Papa, Dokter Riwan.”
Nokva tersentak sekali lagi.
“Cita-cita kamu menjadi dokter, Linta?” tanya ayahnya kepada Linta. “Nokva juga. Kalian pasti jadi pasangan yang serasi jika menikah nanti.”
Sekujur tubuh Nokva seakan tersetrum listrik. Dia mengerling ibunya yang masih tersenyum lembut sambil menatap makanannya. Namun, ibunya juga terlihat terusik dengan kalimat ayahnya. Nokva semakin gusar karena Linta menatapnya penuh arti. Mungkin Linta juga merasa atmosfernya berubah.
Linta menatap ayah Nokva sekarang, “Linta nggak mau jadi dokter, Pa!”
“Lho kenapa?” tanya ayah Nokva. “Papamu, kan, juga dokter?”
“Dia nggak pernah maksa Linta jadi dokter.”
Ketika Linta mengerlingnya, Nokva memberikan padangan berhenti-bicara-sekarang-juga. Tapi, Linta tetap melanjutkan.
“Katanya, Linta boleh jadi apa saja yang Linta suka.” Lanjut Linta.
Ayah Nokva menaikkan kacamatanya. Dia tak terlihat ramah lagi, wajahnya keras. Namun, kemudian dia tertawa kecil. “Bagus! Tapi bedakan antara hobi dan masa depan!” katanya tajam, terlebih kepada Nokva. “Kalau bisa seperti Mamanya Nokva. Dia suka masak, dan dulu juga juru masak rumah sakit,” tambahnya.
“Mama juru masak?” tanya Linta.
“Iya, sekarang buka toko kue,” jawab ayahnya.
“Iya, Linta juga suka pergi ke toko kue Mama!” seru Linta sambil tersenyum senang ke arah ibu Nokva.
“Kamu tahu toko kuenya?” tanya ayahnya, tertarik sekaligus tak percaya.
“Iya,” ibunya yang bicara. “Linta langgananku, tapi dia nggak tahu kalau aku ibu pacarnya.”
Mereka tertawa lagi. Nokva semakin ingin mencekik Linta.
“Sudah malam Linta,” kata ayahnya akhirnya. “Kamu menginap?”
“Nggak!” potong Nokva keras.
Ayahnya menatapnya. “Ya, sudah. Kamu antar, ya!”
“Nggak usah, Pa!” bantah Linta ketika Nokva juga mau membantahnya. “Linta bawa mobil, kok.”
“Mobil? Tadi kok nggak ada?” tanya ibunya.
Linta hanya tertawa. “Linta bantu beresin dulu.”
“Nggak usah, Sayang! Ini sudah malam!”
“Nggak apa-apa, Ma.”
“Nggak usah, Sayang.”
“Cuma ngeberesin.”
“Nggak…”
Tapi Linta bangkit, dan mengangkat piring-piring kotor ke dapur, membuat ibu dan ayah Nokva tertawa gemas. Dan membuat Nokva ingin melempar piring ke arahnya.
Setelah membereskan meja makan dengan banyak ‘nggak usah’ dan ‘nggak apa-apa’, ayah dan ibu Nokva mengantar Linta sampai ke halaman depan. Sedangkan Nokva langsung masuk ke kamarnya.
Nokva menutup pintu kamarnya dan tidur terentang, tanpa menyalakan lampu. Dia masih mendengar suara ayahnya, yang terngiang-ngiang di kepalanya. Ayahnya telah membuat ibunya sedih lagi. Ayahnya telah mencela hobinya lagi.
Ada yang mengetuk pintu kamarnya.
“Nokva?” terdengar suara lembut ibunya, kemudian dia membuka pintu kamar dan menyalakan lampu sebelum masuk.
“Apa?” tanya Nokva ketika ibunya menghampiri ranjangnya.
“Kamu dari mana?”
Nokva tak menjawab.
“Mama sudah bilang, kalau kamu pergi, pulangnya sebelum papamu pulang.”
Nokva juga tak membalas yang ini.
“Apalagi pacar kamu di sini!”
Nokva memandang ibunya, “Dia bukan pacarku!”
“Kenapa?” tanya ibunya.
“Kok kenapa?” kata Nokva jengkel. “Dia emang bukan pacarku!”
“Dia baik banget, lucu lagi!” kata ibunya. “Dia juga perhatian sama kamu, kan? Dia cerita sama Mama kalau dia nggak bisa masak, tapi berusaha masakin sarapan buat kamu, tapi kamu nggak suka? Kenapa? Dia juga cerita sama Mama kalau dia pernah bakar oven,” mata ibunya berbinar-binar senang.
Kemudian ibunya meneruskan cerita dari Linta yang pernah didengar Nokva berkali-kali. Nokva menutupi wajahnya dengan bantal.
Rasanya, ibunya mirip sekali dengan gadis tengik itu. Mereka cocok sekali.
*
“Astaga!” seru Linta.
Dia baru saja bangun tidur dan Afo sudah berbaring di sebelahnya
“Lo kenapa?” tanya Linta.
“Bosen.”
Linta mengerti. Pasti sangat bosan libur berminggu-minggu menunggu pengumuman kelulusan. Di rumah sendiri, sementara yang lain pergi bekerja atau sekolah.
Lain ceritanya dengan Linta. Dia sibuk akhir-akhir ini. Nokva meminta porsi belajar mereka ditambah, untuk persiapan kenaikan kelas yang semakin dekat. Mereka akan belajar sepulang sekolah di sekolah atau pergi ke kafe ibu Nokva. Nokva mengalami kemajuan, tapi Linta masih punya tanggungan agar dia hapal sin, cos, dan tan.
“Vega belum ke sini?” tanya Linta.
“Kenapa, sih, elo nanyain dia mulu?” Afo mengerlingnya sebal.
“Ya, kan, dia harus kuliah di sini besok.”
“Peduli amat lo!”
Linta mengembungkan pipinya. Rasanya Afo galak sekali. Mungkin dia tak hanya bosan. Mungkin dia…
“Elo habis putus, ya?”
Afo terdiam. Linta menganggapnya sebagai jawaban iya.
“Gara-gara masuk kamar lo lagi?” Linta terus mendesak. “Lo kok ngeri banget, sih!”
“Jangan mikir jorok lo!”
“Tapi elo ngeri, Po!” kata Linta. “Putus setelah cewek lo masuk kamar lo! Lo apain?”
“Apaan?” sentak Afo. “Mereka yang maksa-maksa masuk kamar gue!”
Linta mengerti sesuatu. “Jadi, mereka ngajak elo? Lo nggak mau terus mereka putusin elo?” Linta menggelengkan kepala. “Lo cari cewek baik-baik, deh!”
Afo menoyor Linta.
“Atau sebaliknya?” kata Linta lagi, “gara-gara itu elo nggak ngebolehin gue masuk kamar lo? Takut elo nafsu sama gue?”
“Li!” bentak Afo tak habis pikir, “nggak usah konyol!”
“Terus kenapa?” Linta berguling mendekati Afo.
Afo terlihat berpikir.
“Gue jujur kalau ada cewek gue yang masuk kamar,” katanya.
“Jujur?” ulang Linta, “jangan-jangan elo bukan cowok tulen?”
Afo memandang Linta galak lagi. Linta membalasnya tanpa dosa, mengharap kepastian.
“Elo urusin aja cinta elo! Nggak usah urusin cinta gue!”
“Cinta gue? Gue nggak punya cinta.”
“Banyak cowok di hidup elo, kan?” Afo memutar bola matanya.
“Siapa? Nokva? Vega?”
“Itu kurang satu!”
“Tapi, mereka udah punya cewek.”
Linta tersentak. Ini adalah hari Selasa, hari dimana Nokva sering menghilang secara mesterius dengan kameranya. Tadi Linta dapat pulang lebih awal dan tidur siang. Dan sekarang Linta ingin mengunjungi suatu tempat sendirian, tanpa Nokva. Maka, tanpa memperdulikan Afo lagi, Linta bangkit dan keluar untuk mandi.
*
Lonceng kecil di atas pintu berbunyi. Hari ini cukup ramai, maka Linta langsung ke kasir, tempat ibu Nokva berada. Tetapi ibu Nokva tak ada. Hanya ada pelayan yang mondar-mandir.
Masuk tanpa ijin adalah keahlian Linta. Linta masuk melalui pintu-ayun setinggi pinggang untuk ke balik konter. Linta tersentak, ada seseorang yang duduk di pojok ruangan. Dia tadi tertutup etalase yang tinggi, sehingga Linta tak melihatnya.
Pria itu ternyata tak luput dari pekikan Linta di tengah ingar-bingar ini. Dia mendongak dari ponselnya, dan menatap Linta dengan pandangan yang sama seperti dulu, menilai. Linta menganguk sopan, pria itu tak membalasnya dan terus memandang Linta.
Suara berisik di depan membuat Linta menoleh, tepat ketika ibu Nokva masuk. Belanjaan sangat banyak di tangannya. Dia sedang berbincang dengan pelayan laki-laki, yang bawaannya lebih banyak lagi.
“Linta!” serunya setelah melihat Linta.
Ibu Nokva menaruh belanjaannya di atas meja konter, dan menyuruh pelayan laki-laki itu untuk kembali setelah meletakkan belanjaanya sendiri di dapur. Ibu Nokva tersenyum senang sekali melihat Linta. Mulutnya terbuka akan bicara, namun bahkan senyumnya pun lenyap saat dia melihat orang itu di pojok etalase.
“Ah, Nokta,” gumam ibu Nokva.
Linta terperanjat sekali, dia memberanikan diri memandang orang di pojok itu lagi.
“Ada apa?” lanjut ibu Nokva.
“Saya kira Nokva di sini,” kata pria itu. “Dia terus-menerus bolos…”
“Ah,” potong ibu Nokva. “Dia sibuk akhir-akhir ini, belajar dengan pacarnya. Jangan diganggu dulu, ya?”
Lelaki itu bangkit dan berjalan pelan. Dia melewati Linta dan berhenti di depan ibu Nokva. “Kalau begitu, dia pergi dengan Melani sekarang,” katanya dengan nada menang. “Saya permisi dulu.”
Laki-laki bernama Nokta itu ke luar dari konter dan melangkah ke pintu kafe. Ibu Nokva terus memandang punggungnya hingga keluar dari kafe. Ibu Nokva sadar kembali Linta berada di situ.
“Kamu kenapa ke sini?” tanya ibu Nokva sembari tersenyum lagi. “Mau donat?”
“Enggak, Ma! Linta mau ngomong sesuatu, tapi kayaknya Mama lagi sibuk.”
“Mama enggak sibuk, Sayang. Ada apa?”
“Eh… sebenarnya tentang Nokva.”
“Nokva kenapa?”
“Sebenarnya Nokva belajar keras supaya bisa masuk IPA.”
Linta menyesal mengatakannya. Karena wajah ibu Nokva kembali seperti saat melihat lelaki itu tadi di sini. Seperti dipukul sangat keras.
wew
Comment on chapter Pesta Kedua