5
PERGANTIAN KESEPAKATAN
BRAKK!
Kotak-kotak bekal makan dari plastik dibanting dan berserakan di lantai, tepat di bawah kaki Linta yang sedang duduk. Linta menunduk dan mengenalinya sebagai kotak makan yang digunakan untuk membawakan sarapan untuk Nokva seminggu ini. dia mendongak dan mendapati Nokva berdiri di hadapannya, marah.
Linta mendengus. Menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa yang empuk, kepalanya ke arah samping. Ini adalah minggu kedua Linta ke rumah Nokva. Baru saja mereka bertengkar, karena Linta memprotes dia ke sini untuk mengajari Nokva, bukan menjadi pembantu.
Nokva kalah telak. Namun, mencari kesalahan Linta adalah keahliannya. Setelah membanting kotak warna-warni Linta, Linta tahu pasti apa tema pertengkaran kali ini.
“Gue nggak suka masakan elo!” bentak Nokva tanpa basa-basi. Linta tak menghiraukan hinaannya. “Minggu pertama fine! Gue masih bisa maklum, tapi sekarang udah nggak bisa lagi!”
Terbiasa dengan kata kasar Nokva, Linta hanya bisa mencoba lebih-lebih bersabar. Dia bersikukuh dengan posisinya, menyandar, menatap ke samping, diam, dan berusaha menjadi pendengar yang baik.
“Lo cuma buatin gue, kalo nggak nasi goreng, mie goreng, atau roti! Walaupun gue tahu kalau nasi yang elo masak itu nasi sisa makan malam keluarga elo, gue tetep makan! Walau nggak enak juga!”
Linta teringat pada sarapan pertama yang ia buatkan untuk Nokva. Nasi goreng gosong kebanyakan kecap dengan rasa ganjil. Linta tak memasukkan bumbu dapur, seperti bawang merah, bawang putih, atau cabai, karena dia tak tahu cara memasak. Linta marah sekali saat Nokva mencelanya. Karena untuk memasaknya, dia mengorbankan dua kuku dan dimarahi ibunya karena menggosongkan wajan. Namun, dia sudah biasa dengan hinaan Nokva. Benar-benar sudah biasa.
“Mie lo sama parahnya! Sama-sama nggak ada rasanya! Lo cuma tetep masukin saos sama kecapnya doang, padahal gue udah berkali-kali bilang!”
Sekarang, Linta menatap Nokva. Masih pasang tampang tanpa dosa.
“Gue tahu!” bentak Nokva, saat Linta membuka mulutnya akan bicara. “’Bokap gue bilang kalau bumbu mie itu nggak baik!’” Lanjut Nokva meniru gaya bicara Linta.
Linta menutup mulutnya perlahan.
“Gue juga udah bilang kalau gue cuma suka selai coklat!”
“Eh..” Linta menimbang-nimbang. “Di keluarga gue semua orang punya selai sendiri. Gue suka selai stroberi. Dan yang coklat punya kakak cewek gue. Gue bener-bener bisa dibunuh kalau ambil selainya dia!” Linta tertawa kecil, kikuk.
“Bagus, kan, kalau lo dibunuh! Nggak ngerepotin gue lagi!” Nokva membanting tubuhnya ke sofa, jauh dari Linta.
Linta menghela napas. Dia memikirkan kebodohan yang selalu dia buat. Dan kebodohan yang paling bodoh adalah meladeni Nokva. Diperlakukan seperti ini, pulang sore dan capek, mengerjakan tugas-tugasnya dua kali, belum lagi dia selalu dimarahi ibunya karena nyaris menghancurkan dapur setiap hari. Dan Linta harus dekat-dekat dengan Loren.
Dan yang paling parah, menjatuhkan harga dirinya seperti ini, ketika selalu mengalah saat dikata-katai. Siapa yang merepotkan?
“Siapa juga yang peduli lo suka selai apa! Lagian lo ngomongin keluargaaaaa mulu! Jijik gue!”
Linta yang bangkit berdiri sekarang. Dia meremas jemarinya yang dipenuhi dengan plester, yang sedari tadi disembunyikan dari Nokva. Jemarinya penuh luka karena mencoba makanan lebih baik yang sering dikeluhkan Nokva. Linta melihat Nokva mengerling jemarinya yang terluka, dengan tatapan aneh. Namun Linta tak peduli. Celaan terhadap keluarganya membuatnya marah, tak bisa menahan lagi.
“Sori, gue juga jijik sama orang kaya lo!” kata Linta, sedikit gemetar. “Gue juga nggak bisa minta tolong sama orang yang nggak bisa ngehargain gue!”
Linta menyambar tasnya dan melangkah cepat. Dia dikuasai amarah, sangat ingin mengakhiri semua ini. tak peduli dengan apa yang akan terjadi setelah ini. Atau pun yang akan terjadi minggu depan, saat Vega datang kemari.
Vega. Linta tak ingin bersusah payah lagi demi dia.
*
Suaranya aneh.
Pintu ini. Baru dua kali Nokva menghadapi pintu ini, dan sama-sama dengan perasaan yang amat bingung. Pertama kalinya dia kesini, dia dilibatkan dalam masalah yang tak dimengertinya dan membuatnya sangat bingung. Dan sekarang, dia sama bingungnya, kenapa dia malah ke sini. Jika dia tak ke sini, dia sudah tak perlu berbingung-bingung ria menghadapi masalah yang tak dimengertinya itu. Tapi, dia memang sudah memantapkan hatinya untuk ke sini.
Pintu belum juga terbuka. Padahal, dia telah memencet belnya berulang kali. Sekali lagi, dia memencat dengan sabar. Tak ada reaksi dari dalam. Dia mulai jengkel. Maka, Nokva memencetnya secara beruntun dengan tak sabar.
Pintu terbuka sedikit. Dan kemudian, wajah yang hampir mirip dengan orang yang sangat dikenal Nokva muncul dari baliknya. Suara aneh yang tadi terdengar samar, kini terdengar lebih jelas, dan lebih buruk. Perpaduan dua musik beat dan slow, dan juga suara orang menyanyi tak teratur, serta gitar yang dipetik sembarangan antara dua lagu itu.
“Apa?!” bentak gadis itu dengan muka galak, sungguh mengagetkan bagi Nokva, karena itu sangat tak pantas untuk memberikan salam bagi tamu yang tak dikenal.
“Lintah… eh, Linta ada?”
Benar-benar keluarga misterius. Gadis itu hanya tersenyum mistis dan ber-oh panjang. Kemudian, dia membuka pintu lebar-lebar, agar Nokva bisa melihat ke dalam.
“Lo naik aja ke atas,” dia menunjuk ke arah tangga spiral di tengah ruangan yang luas. “Kamar Linta yang pintunya kebuka.”
Gadis itu menepi dan mempersilahkan Nokva masuk. Meski heran, Nokva menurut. Dia menyeberangi ruang tamu yang juga amat luas, yang memiliki dua bagian dengan lukisan-lukisan besar menggantung di temboknya. Kemudian melewati ruangan tanpa apa-apa kecuali dua pintu berhadapan dan meja tempat telepon rumah berada. Salah satu pintu terbuka dan musik slow berasal dari kamar itu. Sedangkan pintu satunya tertutup, kelihatannya juga kamar tidur.
Nokva menaiki tangga yang memutar itu. Dan dia tiba di ruangan luas lain. Ruang televisi terlihat di dekat selusur besi yang membatasi. Di sini Nokva mendengar lagu yang satunya. Lagu beat agak keras namun samar, seakan berasal dari ruangan yang tertutup. Suara orang menyanyi dan gitarlah yang mendominasi.
Ada tiga pintu di ruangan ini. Hanya ada satu pintu yang terbuka, dimana orang yang menyanyi dan gitar yang dipetik sembarangan berasal. Siapa yang mengenal Linta pasti tahu kamar itu milik siapa.
Nokva menghampiri pintu itu dan langsung menutupnya setelah masuk, memblokir suara dari luar. Linta berhenti bernyanyi dan menggitar. Dia tidur terentang dengan kaki bersandar di tembok, dan gitar berdiri di perutnya. Dia mendongak untuk mengetahui siapa yang masuk kamarnya.
Gitar terbanting jatuh ke lantai dengan suara mengerikan, ketika Linta bangkit mendadak.
“Elo?” katanya tak percaya, dengan suara serak.
“Kenapa?” tanya Nokva, dia masih berada di depan pintu.
“Yang kenapa itu elo!”
“Gue?” kata Nokva dan berjalan pelan. “Nyelametin hidup lo.”
Nokva duduk di kursi belajar di dekat ranjang Linta. Linta masih mengawasinya, seakan Nokva hantu. Nokva hanya menatapnya dingin, lalu menatap gitar di bawahnya, di lantai.
“Vega anak band,” kata Linta menjawab tatapan Nokva. “Gue belajar gitar bertahun-tahun.”
Linta kembali memandang Nokva, “Bertahun-tahun? Elo kayak orang depresi baru aja maling gitar.”
Linta tertawa keras dan ambruk ke kasur.
Nokva punya banyak pertanyaan di pikirannya. Dia sangat ingin mengutarakannya, namun tak ingin Linta meledak lagi.
“Cewek di bawah?” Nokva mulai, “Kakak lo?”
“Iya,” jawab Linta.
Baru Nokva sadari bahwa Linta terlihat lelah sekali. Ada lingkaran hitam di bawah matanya. Seminggu ini mereka tak saling bicara, Nokva juga tak terlalu memperhatikan Linta. Dan semalam Nokva berpikir, dia dan Linta benar-benar seperti pasangan kekasih yang sedang bertengkar. Tak mau bertemu maupun saling bicara, saling memandang pun tidak. Pikiran itu membuat Nokva gusar.
“Dia langsung nyuruh gue naik ke kamar lo. Semua tamu kayak gitu?” tanyanya akhirnya, supaya pikirannya tak mengacau lagi.
“Ruang tamu cuma buat tamu terhormat.”
“Ha?” Nokva semakin bingung.
“Tamu penting langsung ke kamar,” kata Linta. “Kata kakak gue, sih.”
Pikiran menjijikkan melintasi kepala Nokva. Dia buru-buru menepisnya dan nyengir sendiri.
“Kenapa lo?” Linta telah miring dan menopang kepalanya dengan tangan, menatap Nokva.
“Nggak!” jawab Nokva spontan, agak keras. “Eh… elo mau ngehindarin mantan-maniak lo, kan?”
“Lo mau nolong gue?” gumam Linta.
“Yaa…” Nokva agak gugup. “Gue minta maaf soal yang kemaren.”
Linta menatapnya tanpa ekspresi.
“Kita kembali ke perjanjian awal, ya?”
Linta tersenyum, membuat Nokva semakin panik, dan malas mengatakan yang selanjutnya.
“Gue,” kata Nokva. “Nggak bakal kayak kemarin-kemarin lagi.”
Linta tersenyum lebar, dan kemudian bangkit mendadak, terjun dari ranjangnya dan berlari keluar. “Gue mandi dulu!” teriaknya dan meninggalkan Nokva sendirian dengan musik yang campur aduk lagi.
Nokva memperhatikan kamar Linta, luas namun penuh dengan barang. Kamarnya benar-benar kamar perempuan, tak pantas untuk Linta. Kamarnya didominasi oleh warna cerah. Temboknya seperti papan catur, kotak-kotak dengan warna kuning dan putih. Ranjangnya besar di tengah ruangan, dengan kelambu di atasnya. Seprai dan bedcover-nya juga berwarna kuning pucat. Di atasnya bertumpuk banyak boneka yang berantakan.
Di sisi ranjang, terdapat meja belajar yang sedang diduduki Nokva. Cukup rapi, dengan lampu dan beker yang juga berwarna kuning di atasnya. Namun, Nokva tak tahu isi dari laci-lacinya. Di sisi lain ruangan, terdapat almari besar berwarna putih dan rak buku bermotif Puca, yang dipisahkan oleh pintu balkon.
Belum lima menit berlalu, Linta telah kembali masuk ke kamarnya. Nokva sangat shock. Bahkan Linta telah mengganti pakaiannya.
“Lo mandi, kan?”
“Iya,” jawabnya tak acuh. “Yuk, buruan!”
Dia menyambar sisir dan menarik Nokva dengan tangan lain yang dingin. Mereka segera turun. Nokva mendapat kesan bahwa Linta ingin cepat-cepat pergi.
“Lo, gue pergi!” teriak Linta kepada Loren sebelum keluar.
Kemudian mereka naik mobil merah Nokva yang terpakir di depan garasi rumah Linta. Setelah Linta memakai sabuk pengaman yang sangat ia cintai, Nokva melajukan mobilnya.
“Elo punya mobil,” kata Linta.
“Elo nggak punya.”
Linta memandangnya terkejut atas pernyataannya.
“Elo nggak tanya kenapa gue bisa tahu mantan-maniak elo bakal kesini?”
“Oh, iya!” seru Linta, menepuk jidatnya. “Kok lo bisa tahu? Gue, kan, belum cerita sama lo?”
“Semua orang di hidup elo itu maniak!” kata Nokva. “Kemarin sepupu lo bentak-bentak gue! Katanya elo dianiaya kakak lo gara-gara gue!”
“Sepupu gue?” Linta mengernyit heran.
“Yang namanya kayak kucing.”
Linta tertawa, “Afo!”
“Gue itu sempet bingung dia itu cewek atau cowok! Cerewetnya…”
“Dia bilang apa sama elo?”
“‘Elo jangan manfaatin sepupu gue, dong!’” kata Nokva, menirukan suara Afo. “‘Dia pinjem mobil kakaknya demi elo! Dan dia dimanfaatin kakaknya juga gara-gara elo!’”
Nokva sangsi melanjutkan.
“Terus?” desak Linta.
“Dia bilang mantan lo mau kesini ngasih kejutan,” lanjutnya. “Dan satu hal lagi…”
Linta menatap Nokva, menunggu. Nokva benar-benar ragu akan meneruskan atau tidak. Dia berpikir lama, menjernihkan pikirannya.
“Apa?” tanya Linta.
“Gue jangan sampai ngacauin.”
Linta termenung sebentar, “Dia tahu.”
“Tahu?”
“Kalau kita cuma pura-pura.”
Linta menarik napas berat, lalu memandang ke luar jendela.
Nokva teringat dengan kata-kata Afo beberapa hari yang lalu. Awalnya, dia tak begitu mengerti mengapa Afo begitu marah padanya. Setelah Nokva mendengarkan Afo, dia mengerti.
Dia menatap Linta sebentar, dan berulang kali minta maaf pada Linta dalam hati. Ini bukan saatnya untuk mengatakan pada Linta yang sesungguhnya. Dan pantas jika Afo tahu kebohongan mereka.
*
“Strawberry Milkshake,” kata Linta, pelayan perempuan menulis pesanannya. “Jangan pakai gula ya, Mbak! Susunya dibanyakin, tapi jangan manis-manis. Esnya…” Linta berhenti karena Nokva menatapnya tajam. Si pelayan bingung.
“Milkshake biasa aja, Mbak!” kata Nokva. “Nggak usah ribut!” bentaknya saat Linta mau bicara.
Linta memberingsut dengan cemberut.
“Nggak usah aneh-aneh, deh!” kata Nokva saat si Pelayan sudah berlalu.
“Gue kira elo udah berubah.”
Nokva menghela napas, “Kalau lo ngelunjak gitu, mana bisa gue berubah!”
Linta hanya nyengir, dan medekatkan tubuhnya ke meja. “Tapi katanya Afo ngelarang elo ngacauin, kok elo malah nyulik gue, sih?”
“Nyulik?” Nokva membelalak.
“Ngacau? Ngacau kejutan?” Linta memandang berkeliling, berpikir. “Kejutan?” dia memandang Nokva, minta bantuan.
Nokva hanya menatap galak Linta.
“Ya, ampun!” Linta menepuk jidatnya. “Ini ulang tahun gue!”
“Bagus, deh, kalau inget.”
“Bego banget gue!” seru Linta. “Vega pasti bawa roti yang gede banget! Hadiah juga! Bego banget gue malah mau diculik sama elo!”
Ponsel Nokva bergetar, dan dia langsung sibuk dengannya, dan mengacuhkan ocehan Linta, kendati pun masih bisa mendengar suaranya.
“Pesen minum yang gue suka aja nggak bisa kalau sama elo!” lanjut Linta. “Dulu kita juga sering ke luar tanpa tujuan kayak gini. Kayak gue sama elo. Bedanya, kalau sama elo langsung ke tempat ngebosenin kayak gini,” Linta menghela napas. “Kalau sama Vega pasti dapet rencana seru!”
“Gue tahu kenapa elo suka sama mantan-maniak elo itu!” kata Nokva akhirnya, tak tahan. “Sama-sama aneh!”
“Aneh?” ulang Linta, tak sadar diri.
“Iya aneh! Yang satunya nggak inget ulang tahunnya sendiri! Yang satunya datang dari luar kota cuma buat nemuin orang aneh kayak elo! Aneh, kan?”
“Hhm.. gue sih nggak mentingin ulang tahun. Eh, ulang tahun elo kapan?”
“Sebelas November,” jawab Nokva ketus, celaan mengenai Linta tak dihiraukan Linta. Dasar bodoh.
Linta hanya menganguk-anguk. Dia menyedot minumannya sedikit dan mengernyit tak suka. Nokva puas, akhirnya Linta merasakan memakan apa yang tak disukainya.
“Gue mau bilang sesuatu,” kata Nokva.
Linta mengangkat wajahnya.
“Perjanjian masih tetep kayak semula, lo tetep ajarin gue sama jemput gue, ya?”
“Tapi nggak ada acara nunggu-nunggu pulang sekolah lagi, ya?”
“Oke! Terus…” Nokva bingung mengatakannya. “soal makanan, elo traktir gue aja! Nggak usah repot-repot masak lagi.”
Nokva mengira Linta akan meledak marah lagi. Namun ternyata sebaliknya, Linta tersenyum lega sekali.
“Dan satu hal lagi,” Nokva sudah berani untuk mengkritik lagi. “Gue nggak suka pakaian elo.”
Senyum Linta lenyap. Dia menunduk mengamati penampilannya yang hanya mengenakan jeans hitam dan kaos. Menurut Nokva itu sederhana, kasual, namun hanya cocok dikenakan laki-laki. Penampilan Linta aneh di matanya. Tak seperti gadis yang diharapkannya.
wew
Comment on chapter Pesta Kedua