2
LIBURAN YANG SANGAT PANAS
Mobil berwarna biru gelap, berdecit sedikit ketika berhenti di lapangan parkir. Gerimis agak deras masih turun di luar. Angin dingin serasa menusuk kulit, ketika Linta membuka pintu mobil bagian belakang. Bunyi berkecipak pelan terdengar, saat kaki telanjang Linta mendarat di tanah lapangan parkir yang digenangi air. Dia tak peduli, berlari menembus hujan, membuat cipratan-cipratan air membasahi kakinya yang memakai jeans tiga perempat.
Sedikit terengah-engah namun senang, Linta berhasil menembus hujan dan berhasil mencapai tempat yang di tuju. Lonceng kecil di atas pintu kaca kafe berbunyi, ketika Linta membukanya. Kafe ini merupakan kafe yang sering dikunjungi Linta dan Loren, kakaknya. Kata Loren, kafe ini milik teman ayah mereka.
Mata Linta langsung menuju pada meja di mana terdapat sosok yang sangat dikenalnya. Meski duduk membelakangi pintu masuk dan lama tak melihatnya, Linta tahu bahwa itu adalah punggungnya.
Linta berlari kecil menyeberangi ruangan, kemudian memeluk lehernya dari belakang setelah sampai.
“Hai!” seru Vega, setelah tahu Linta yang memeluknya.
Afo yang duduk berhadapan dengan Vega, berdeham keras. Dia melirik kursi di samping Vega. Linta ikut melihat yang dilirik Afo. Linta langsung melepaskan pelukannya dengan salah tingkah, saat melihat ke kursi itu. Seorang gadis cantik memandang Linta dengan senyum mempesona. Linta tak sanggup membalasnya, dan langsung duduk di kursi yang kosong.
Lonceng di atas pintu masuk berbunyi lagi. Loren dan Angga, pacarnya telah menyusul Linta. Mereka duduk berhadapan dengan Linta, di sisi yang lain.
“Lo lama,” kata Afo.
“Hujan, Po!” sewot Loren. “Kalo dia nggak maksa-maksa buat cepet-cepet, gue juga nggak mau ke sini!” Loren melirik Linta dengan sebal.
Afo hanya ber-oh panjang. Dia dan Vega menatap Linta dengan tampang dan senyum menyebalkan yang sama. Perasaan Linta mulai tak enak.
“Lo belum beli minum ‘kan, Li?” tanya Loren.
“Belum,” jawab Linta enggan.
“Mau apa?”
“Strawberry milkshake,” bukan Linta yang menjawab, melainkan Afo dan Vega yang bicara bersamaan. Mereka saling tatap, Loren juga menatap mereka tak mengerti.
“Kamu yang pesen sana!” kata Loren, menyuruh Angga, pacarnya.
Begitulah kakak perempuan Linta. Dia tukang penyuruh-nyuruh. Bahkan pacarnya pun disuruh-suruh. Tapi Angga juga penurut, dia segera bangkit dan menuju konter.
“Belum berubah, ya?” tanya Vega kearah Linta.
Linta hanya membalasnya dengan tersenyum simpul.
“Jadi elo juga tahu, Veg?” tanya Afo yang sedari tadi tak melepaskan pandangannya dari Vega.
“Iya, Lili pesen itu terus kalau makan sama gue,” kata Vega. “Dulu,” tambahnya lirih.
“Oh, gue kira cuma gue yang tahu. Gue kira, elo nggak peduli.” kata Afo tenang, namun tajam.
Linta merasa perasaannya kian tak nyaman. Atmosfer meja ini menjadi ganjil. Sepertinya, bukan hanya Linta yang merasa seperti itu. Karena, Loren menatap mereka dengan heran kembali. Bahkan gadis di samping Vega dan Nadia, yang baru disadari Linta berada disitu, juga menatap mereka bingung.
“Nggak nyangka, ya, kalian bisa putus,” kata Loren, membuat Linta mendelik ke arahnya. “Maksudnya, Lili sama Vega, gitu! Kalian ‘kan, dulu kayak kucing sama tikus. Sering berantem, tapi nggak bisa dipisahin.”
“Iya,” Vega tertawa kecil dan menatap Linta penuh arti. “Kok bisa, ya?”
Angga telah kembali. Linta memperhatikannya, untuk mengalihkan pandangan dari Vega.
“Masih lama, Kak?” tanya Linta padanya.
“Mana gue tahu!”
Angga duduk di sebelah Loren, berseberangan dengan Linta. Mereka mulai mengobrol seru tentang diskon di mall. Menjijikkan.
Linta mengerling Vega, dia telah asyik dengan minumannya, tak memandang Linta seperti tadi. Linta memberanikan diri menatap gadis di sebelah Vega. Cantik. Dia juga berulang kali menatap gugup Vega, sedikit mengingatkan Linta pada dirinya dulu. Hanya saja mereka berbeda. Memang, mereka sama-sama tak pernah dipedulikan Vega, dicueki, hanya saja gadis ini tak mengganggu Vega. Dibandingkan dengan Linta, gadis ini pasti lebih menyenangkan daripada Linta, tak pernah menggigit jika tak ditanggapi.
Afo dan Nadia sepertinya sedang bertengkar, karena mereka saling diam sedari tadi. Dan Afo sepertinya juga masih agak marah dengan Vega.
“Cewek lo ya, Veg? Kok nggak dikenalin ke gue?” kata Linta.
Vega sedikit terperangah. “Oh, iya! Ini Meira. Mei, ini Lili,”
“Hai!” Linta tersenyum senang.
Meira hanya membalas senyumnya. Linta memandangnya dengan senang-tak-rela. Kemudian kembali seperti sebelumnya lagi, sibuk sendiri-sendiri. Linta menatap mereka. Angga dan Loren berseberangan dengannya. Afo dan Nadia berseberangan dengan Meira dan Vega di sisi lain. Dan Linta tersentak. Kaos sedikit kebesaran yang agak basah yang dipakainya seakan menciut.
“Gue kira ini acara makan biasa.” kata Linta.
Seperti biasa, tak ada yang menanggapinya.
“Hei!” Linta sedikit berteriak.
“Lo apaan, sih?” hardik Loren, “emang makan biasa, kan? Lo pikir kita bakal makan apaan? Cupcake rasa kambing?”
“Terus lo ngapain pakai baju kayak gitu?”
Linta menatap dress merah muda pucat yang dikenakan kakaknya. Meira dan Nadia juga mengenakan dress sederhana yang anggun.
“Emang kalau cewek pergi kayak gini, 'kan?” Loren sedikit membentak.
“Eh, dia ‘kan, cewek juga,” kata Angga.
“Iya, cewek nggak normal! Lihat aja penampilannya!” kata Loren.
Afo mendengus pada minumannya. Linta tak bisa menutupi kesal pada wajahnya. Dia juga tak begitu yakin dengan apa yang akan dikatakannya.
“Terus…” Linta menunduk. “Kenapa kalian bawa pacar?” ujar Linta nekat.
Linta mulai menatap apa saja dengan canggung, berusaha seakan apa yang diucapkannya baru saja tak serius. Benar-benar tak berarti apa-apa.
“Emang kenapa?” tanya Vega, sedikit geli.
“Kenapa? Kenapa apanya?” tanya Linta, sok bingung.
“Kenapa gue mesti bilang pada bawa pacar semua?” tukas Loren tak sabar. “Percuma aja, ‘kan? Lo ‘kan, nggak punya pacar!”
Afo, Vega, dan Angga menatap Linta dengan tatapan antara ingin menghina dan kasihan. Linta semakin sebal. Dia sebenarnya tahu, jika pergi dengan Loren atau Afo, dia akan berakhir dengan ditindas seperti ini.
“Gue punya!” seru Linta pedas.
Yang tadi menatapnya dengan menghina-kasihan, sekarang berubah shock. Meira dan Nadia, yang tak tahu apa masalahnya, ikut menatap heran.
“Siapa?” tanya Afo.
“Elo nggak kenal.”
“Oh! Gue nggak kenal?” Afo menyeringai menyebalkan. “Khayalan lo lagi, ya?”
Linta tak tahu apa yang dirasakan dan apa yang ingin dia lakukan. Ia panik dan bingung, dan ingin memukul Afo.
“Nggak! Dia sekelas sama gue!” seru Linta.
“Oh, ya? Kok gue nggak pernah lihat?” serang Afo lagi.
“Dia nggak kaya elo! Pacaran di mana-mana!” tukas Linta sadis.
Banyak wajah tersinggung yang menatapnya tajam.
“Kenalin sama gue kalau gitu!” bentak Loren.
Linta menelan ludah, kentara sekali panik.
“Kenapa? Nggak bisa ngenalin khayalan elo?”
“Bukan gitu,” kata Linta, kikuk.
“Terus?”
Pelayan yang membawa minuman menghampiri meja mereka, seorang ibu gendut yang ramah. Ada yang melintas di benak Linta: Nyeselin kejadian ini?
“Namanya Nokva.” kata Linta langsung.
“Gue tahu elo, Li!” kata Afo, terlihat tak terima. “Lo suka ngomong sembarangan kalau lagi kepojok, ‘kan? Lo bohong, ‘kan?”
“Enak aja!” sewot Linta.
Ibu pelayan sudah selesai meletakkan minuman Loren dan Angga. Kini dia menghampiri Linta dan tersenyum, terasa aneh bagi Linta yang sedang panik.
“Iya, palingan seminggu juga putus!”
“Emang gue elo?!” kata Linta tak terima. “Kita beneran saling sayang! Kita udah pacaran… udah… udah lebih dari lima bulan. Dan bakal lanjut terus!”
“Panggil sekarang!” seru Loren.
“Apa?”
Loren berdecak. “Panggil sekarang! Gue pengin ketemu orangnya!”
“Ng-nggak bisa!”
“Tuh, ‘kan! Lo bohong, ‘kan?”
“Bukan gitu,” Linta kewalahan meladeni Loren. “Dia… dia lagi ke luar kota, hunting foto.”
“Hunting foto?” tanya Vega, yang sedari tadi diam, tak ikut berdebat.
“Iya,” kata Linta senang. “Dulu lo bilang gue cewek paling nggak photogenic, ‘kan? Nah, Nokva bilang gue cewek paling cantik! Beda, ya, sama lo,” Linta membayangkan Nokva akan memuntahinya jika tahu ini.
“Nggak peduli, deh!” kata Afo. “Gini aja, kalau kalian beneran saling sayang, pertahanin dia sampai bulan Juli! Bawa dia ke pernikahan Kak Levin.”
“Hah?” Linta merasa pipinya dingin.
Kakaknya akan menikah enam bulan lagi, tapi bagaimana caranya Linta bisa menyeret Nokva ke sana? Kebohongan yang ia buat sangat mencekiknya. Dia sudah benar-benar kesal dengan Nokva, tapi Linta malah menyebutkannya di kebohongannya kali ini. Kenapa harus Nokva?
*
Suasana di rumah semakin buruk untuk Linta. Begitu pun dengan suasana hatinya. Dimana pun dan kapan pun, pagi hingga malam, liburannya diisi oleh orang-orang pacaran yang berisik. Awalnya Linta ikut bergabung, agar semua orang tak menganggapnya masih ada rasa terhadap Vega. Tetapi semua orang menyebalkan.
“Biasanya kalau nonton film horor orangnya ganjil, bakal ketambahan setan, lho! Lo ati-ati, deh, Li! Lo, kan, yang sendirian!” kata kakaknya.
Mereka menonton film di hari kedua liburan, masih bertujuh orang. Sebelum film dimulai mereka sudah terkikik, padahal ini film horor. Dan Linta yang menjadi olok-olokannya.
Akan tetapi, mereka lebih sering melewatkan liburan di rumah. Ayah Linta dan ayah Afo akan mengeluarkan meja besar ke kebun belakang, untuk makan malam bersama. Ini seperti acara pesta kebun. Hanya saja, Linta satu-satunya orang yang berkabung dalam pesta. Ibu dan ayahnya selalu mendukung olokan yang dilontarkan oleh kakak dan sepupunya.
Namun, Linta lebih senang, sedikit. Karena kakak pertamanya juga selalu ikut dalam acara ini. Dan dia tak pernah mengajak tunangannya. Levin adalah orang yang paling disukai Linta dalam keluarga. Dia dulu memang menyebalkan, namun sekarang Levin sudah bersikap dewasa. Kendati pun masih ingin mencekik Linta sesekali.
Akhirnya, acara makan malam ini menjadi favorit Linta. Dalam makan malam, Linta perhatikan, meski dia masih jadi bahan ledekkan, orang yang menindasnya tak akan mengucapkan kata-kata yang menyakitkan di hadapan orang tuanya.
Namun, salah.
“Kamu aja deh yang dibakar!” bentak ibunya. Linta tak menyangka, orang yang menjadi perisainya malah menyerangnya.
Di malam ke-sembilan Vega di rumah Afo, mereka membakar daging. Linta yang ditugaskan untuk membalik daging. Tapi Linta malah menjungkirkan alat pemanggang, sehingga arang yang membara beserta daging-dagingnya tumpah kemana-mana. Kaki Linta yang melepuh tak menjadi halangan bagi semua orang untuk memakinya.
Kejadian ini mengingatkan Linta pada beberapa hari yang lalu. Afo mengajak mereka rafting. Dan masih sama, bertujuh.
“Eh, elo ikut?” tanya Afo waktu itu. “Ati-ati, lho! Kita kan ganjil, ntar lo kerasukan terus malah bunuh diri!”
Semua orang tertawa saat itu.
Linta tak jadi ikut, hanya menunggu di tepi sungai yang sepi. Sambil mendengarkan teriakan senang mereka. Linta berpikir bahwa semua orang menginginkannya mati dengan mengenaskan sejak dulu.
Sejak kejadian itu, Linta menyediri. Dia turun ke dapur saat ruang menonton televisi di depan kamarnya sudah mulai berisik. Namun, di dapur pun dia terusir.
“Kamu jangan kesini, nanti ada yang terbakar lagi!” ujar ibunya, menyebalkan.
Mengingat kejadian dua tahun yang lalu, ketika Linta membakar oven, dan kejadian semalam, Linta menyetujui ibunya. Dia bukan pengendali api yang baik. Linta memutuskan untuk naik lagi. Namun sebelum itu, dia mendengar sesuatu yang aneh. Suara-suara itu hanya terdengar tak lebih dari empat orang, yang berarti ada yang tak hadir.
Agak lama Linta mendengarkan suara-suara dari atas di bawah tangga. Hingga akhirnya dia yakin bahwa Afo yang tidak berada di situ. Lalu linta memutuskan untuk ke rumah Afo. Dia keluar melewati pintu belakangnya, menyeberangi kebun belakang yang luas, dan masuk ke rumah Afo melewati pintu belakangnya juga.
Rumah Afo sepi. Tak mengherankan. Karena dia anak tunggal dan ayahnya pasti sibuk bekerja. Dibandingkan rumah Linta yang berisik, luas namun sumpek, rumah Afo terlihat sangat damai.
Linta menaiki tangga ke atas, di mana hanya ada satu ruangan, kamar Afo.
“Woi!” teriak Afo panik dari dalam. Bahkan Linta baru mendorong pintu lima senti, belum masuk ke dalam atau melihat sedikit pun.
Afo membuka, keluar, dan menutup pintu kamarnya secepat kilat. Linta hanya melihat sekelebat bayangan kamar Afo. Kemudian Afo mendorong Linta pelan, agar menjauh dari kamarnya.
“Lo ngapain, sih?” tanyanya galak.
“Gue laper,” kata Linta. “Tapi nyokap gue nggak ngebolehin gue masuk dapur.”
“Ya, udah. Ayo turun!” ajak Afo.
Kemudian Linta mengikuti Afo menuruni tangga. Linta berpikir keras, sejak kecil dia belum pernah masuk ke kamar Afo. Tak pernah dibolehkan oleh Afo. Padahal Afo selalu seenaknya jika masuk ke kamar Linta. Sejak dulu Linta penasaran apa isi dari kamar Afo. Dia pernah berpikir bahwa kamar Afo adalah tempat ritual hitam.
Afo membuka lemari esnya ketika Linta telah duduk di kursi makannya. Lalu dia menghampiri Linta dengan membawa dua cup eskrim. Linta tersenyum lebar menyambutnya.
“Gue tahu elo nggak laper,” katanya, seraya memberikan satu eskrim untuk Linta dan duduk di kursi lain. “Elo mau tanya sesuatu, kan?”
Linta mulai menyendok eskrimnya. “Tanya? Tanya apa?”
“Mana gue tahu,” Afo mengangkat bahu. “Mungkin tentang Vega?”
Linta tersenyum. Dia juga selalu heran kenapa sepupunya ini bisa tahu pikirannnya.
“Jadi, mereka satu kamar?” tanya Linta langsung.
Afo agak terkejut dengan pertanyaan Linta. “Iya,” katanya menggoda. “Gue juga sering denger suara-suara aneh gitu kalau malem.”
Linta tersedak sendok eskrimnya. Afo tertawa keras.
“Nggak, gue bercanda. Vega tidur sama gue.” kata Afo. “Meira juga tidur sama gue,” tambahnya membuat Linta kian tersedak hebat.
Tawa Afo semakin keras.
“Nggak, Li, enggak. Lo tahu itu, kan?”
Linta menganguk sambil meredakan sakit pada tenggorokkannya. “Gue cuma mau mastiin aja.”
“Meira tidur di bawah, gue sama Vega di atas.”
Mereka terdiam lagi, sibuk dengan eskrim masing-masing. Lalu, Linta ingat pertanyaan keduanya.
“Nadia?” tanyanya.
Afo mendongak dari eskrimnya.
“Putus?” lanjut Linta.
Afo hanya menganguk singkat. “Dia masuk kamar gue kemarin.”
Linta sudah menduganya. Ini juga salah satu misteri dari kamar Afo. Dia dan semua mantan pacarnya putus kebanyakan disebabkan karena pacarnya masuk ke kamr Afo. Linta benar-benar penasaran apa isi dari kamar Afo.
“Nggak ada gunanya gue tanya kenapa, kan?” kata Linta.
Afo hanya tersenyum dan menganguk lagi.
Mencoba tak memikirkannya, Linta menatap berkeliling bagian dalam dapur Afo. Rapi namun berdebu. Temboknya berwarna pastel, pilihan almarhumah ibu Afo.
Sewaktu kecil Linta selau bermain ke rumah ini, saat ibu Afo belum meninggal. Dan sewaktu ibu Afo meninggal, saat Afo lulus SD, dia pindah ke kota Vega. Linta tahu bahwa Afo dulu pindah untuk melupakan ibunya. Rumah ini sangat sepi waktu itu, karena ayah Afo juga sibuk bekerja. Setelah lulus SMP, Afo pindah lagi kesini, karena kematian lain yang Linta tak tahu siapa.
Linta menatap sepupunya. Dia tak tahu harus bagaimana jika menjadi Afo. Pasti sedih sekali.
*
“Kamu anterin makanan buat Papa, deh!”
Linta mendongak dari ranjangnya. Ibunya menyandar pada ambang pintu kamarnya, terlihat kasihan sekali padanya.
“Sekalian jalan-jalan, kamu suka jalan-jalan sendiri, kan?” tambah ibunya.
Ini kesempatan menggiurkan, namun Linta sedang malas.
“Nggak ah, Ma!” katanya.
“Pakai mobil Kak Loren.”
“Nggak!” bantah Linta keras.
Itu malah lebih buruk lagi. Bisa-bisa Linta dimaki jika Loren tahu Linta akan meminjamnya. Menyentuhnya pun, tangan Linta pasti akan dipatahkan.
“Kakakmu lagi pergi. Sampai malem, kok. Tenang aja.”
“Sama siapa?”
Ibunya berjalan menghampiri Linta dan duduk di tepi ranjangnya.
“Sama Vega sama Meira. Mau lihat-lihat kampus.”
“Kenapa?”
“Vega mau kuliah di sini, kan? Afo, kan, besok juga kuliah. Biar mereka bisa kuliah sama-sama. Kasihan Afo.”
Perut Linta melilit. Itu sama saja dengan tanpa melakukan dosa, Linta sudah pasti masuk neraka. Dia tak tahu harus menghadapinya bagaimana nanti.
“Cepet, gih, anter makanannya!”
*
Koridor rumah sakit tampak licin. Sudah siang, rumah sakit sepi. Hanya ada beberapa suster dan pembesuk yang mondar-mandir. Ada juga cleaning service yang sedang mengepel lantai yang kotor.
Linta berjalan hati-hati di atas lantai yang licin. Niatnya ke rumah sakit untuk membawakan makanan tidak mau ia rubah dengan menjadi pasien. Sedikit seperti adegan drama murahan, Linta berjalan pelan-pelan takut jatuh, dan jika dia jatuh, dia akan ditangkap oleh pangeran. Sayangnya, hanya ada bapak cleaning service di situ, tak ada pangeran berkuda putih sejauh mata memandang. Kendati pun ada, Linta harus segera mengunjungi rumah sakit jiwa.
Ada adegan seperti di drama lagi. Linta mendengar raungan-raungan marah dari ruangan yang sedikit terbuka.
“Prof. Henri Sukardi,” gumam Linta membaca plakat kuningan di pintu itu.
Linta sudah akan pergi, namun dia mendengar sesuatu yang menariknya untuk tetap bertahan. Teriakan itu membuatnya tetap terpaku, entah karena apa.
“… kamu pikir buat apa itu?” teriak orang yang marah. “Nilai kamu itu parah! Kenapa masih bisa main-main? Gimana bisa kamu masuk IPA kalau kamu seperti ini?!”
Sejenak, Linta mengira orang itu bicara lewat telepon, karena tak ada yang menyahut. Cukup lama sunyi, entah mengapa itu membuat Linta gusar.
“Buat apa kamu ke luar kota cuma buat motret-motret gitu?” bentak orang yang marah lagi.
Linta tersentak. Dia membayangkan hal yang tak mungkin terjadi, namun bisa saja sedang terjadi saat ini. Linta memberanikan diri melewati pintu yang sedikit terbuka itu, dan mengerling sejenak saat lewat. Linta semakin terkejut, karena dia melihat punggung di balik pintu itu. Punggung yang sama yang dilihatnya ketika menaiki tangga.
wew
Comment on chapter Pesta Kedua