1
DELAPAN BELAS
Semua angka lebih dari delapan puluh tertera di kolom-kolom pada kertas itu. Jari telunjuk menunjuk nilai-nilai itu dengan teramat antusias. Kemudian terdengar tinju menabrak meja. Semua mata anak menatap ke arah meja pojok di belakang kelas. Linta hanya membalas mereka dengan menyengir lebar. Kemudian dia bangkit, mengacung-acungkan kedua tangannya. Menari-nari sendiri. tubuhnya naik turun seirama dengan tangan-tangannya.
“WUAAAA…..” teriak Linta sekencangnya.
Beberapa anak hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan meneruskan aktivitasnya. Ada juga yang masih menatap Linta yang menari-nari sendiri. mengernyit heran, menatap sebal, bahkan ada yang tertawa.
“Wow!” seru Anya, teman sebangku Linta. “Hebat!” lanjutnya, setelah Linta kembali duduk, dengan suara mengerikan ketika pantatnya menabrak kursi.
Linta menyodor-nyodorkan rapornya kehadapan Anya. Menunjuk nilai-nilainya dengan antusias lagi.
“Bukan ini,” Anya menyingkirkan rapor Linta. “Tapi teriakkan lo!”
Linta menatap rapornya lekat-lekat. “Gila! Nggak nyangka gue! Kalau gini, mah, jadi koboi kucing juga bisa!”
Anya hanya mendengus.
“Lo yakin?” Rinza, anak yang duduk di depan Anya telah membalikkan badan.
“Koboi kucing? Nggaklah! Gue, kan, alergi kucing!”
“Bukan itu,” kata Rinza. “Nilai rapor emang dibagus-bagusin, kan? Lo belum lihat nilai tes yang asli?”
“Nilai asli?” Tanya Linta.
“Iya, tapi cuma anak-anak kepilih aja yang diumumin, di papan pengumuman lobi bawah. Gue lihat nama lo di situ!”
“Gue?” Linta nyengir.
“Iya, nilai sejarah lo terendah!”
Cengiran Linta lenyap.
“Satu angkatan.”
Linta bangkit, menggebrak meja. Membuat beberapa anak menoleh ke arahnya kembali.
“SATU ANGKATAN?! TERENDAH?! SEJARAH?!” Linta melotot. “GUE?!”
*
Terdengar teriakkan lagi. Namun bukan dari meja pojok belakang, melainkan dari depan papan pengumuman di lobi. Jika tadi teriakan gembira, sekarang teriakkan penuh kengerian. Siswa lain, yang kebanyakan dari kakak kelas, ada yang kaget dan mendengus kesal, ada juga yang berjengit kaget.
Linta masih menatap tak percaya namanya sendiri dikertas yang tertempel di papan pengumuman. Nama lengkapnya benar-benar jelas di kertas itu. lebih diperjelas dengan menambahkan kelas pada kolom keterangan. Namanya tertulis di baris keempat dari bawah, di hasil tes kelas X. pada kolom sejarah dan nilai terendah. 18!
“Harusnya dikasih foto, ya? Biar tahu yang mana orangnya.”
Linta terlonjak mendengar suara di belakangnya. Nokva yang bicara, anak yang duduk bersama Rinza di depannya. Beberapa anak dari kelasnya telah ikut bergabung. Termasuk Nokva dan Rinza. Meskipun Nokva bicara pada Rinza, Linta merasa tersinggung.
“Maksud lo apa?” Linta membalikkan badan, dan maju mendekati Nokva. Dia mendongak untuk menatap galak wajah Nokva yang tinggi.
“Apa masalah lo?” Nokva mendorong bahu Linta dengan ujung jarinya, agar Linta menjauh.
Linta maju lagi, “Masalah gue itu elo!” bentaknya. “Apa maksudnya dikasih foto segala?! Jangan mentang-mentang punya kamera bagus, dong!”
“Apa hubungannya sama kamera?” tanya Nokva dingin.
“Ada gue di situ!”
“Gue nggak lagi ngomongin elo!”
“Gue juga nggak mau diomongin sama elo!” Linta lebih maju, menantang. “Tapi elo ngeganggu gue terus!”
“Gue nggak pernah ngeganggu elo, Lintah!” suara Nokva meninggi.
Beberapa anak menoleh ke arahnya lagi. mereka yang satu kelas dengan Linta, sudah biasa mendengar Linta bertengkar dengan siapa saja. Mereka telah biasa dengan keributan yang dibuat Linta, sehingga malas melerainya.
“Elo selalu ngurusin gue!”
Nokva menyeringai, membuat Linta heran. “Emang kenapa, sih, nilai lo?” Nokva berjinjit sedikit untuk melihat papan pengumuman, dan dia tertawa menyebalkan setelah bisa melihat apa yang dia cari. “Oh, delapan belas, ya?”
“Diem lo!” Linta meledak lagi. “Nggak usah urus nilai gue! Urusin aja nilai lo! Gue denger, lo pemegang rekor nilai terendah di kelas,” tambah Linta, mengejek.
Raut wajah Nokva berubah, namun Linta tak merasa bersalah. Dia malah melanjutkan.
“Gue pinter kok! Nilai asli, sih, boleh aja segitu! Tapi, kebukti di rapor, kan?”
“Elo pinter ngeles,” tukas Nokva. “Buka les-lesan aja!”
“Iya, ya? Buat ngelesin elo!”
“Hebat! Gue nggak bisa ngalahin hebatnya elo! Nyatanya, gue baru bisa di tingkat kelas, belum satu angkatan,”
Linta tampak ingin memukul Nokva.
“Biarin! Lagian gue mau masu IPA kelas dua nanti! Sejarah nggak ngaruh! Sejarah juga cuma masa lalu, nggak usah diungkit-ungkit!”
“Oh!” kata Nokva tajam dan menarik kerah baju Rinza untuk mengajaknya pergi, “Lo ngomong gitu seakan benci sama masa lalu lo.”
“Apaan, sih, Va?” sewot Rinza yang ditarik-tarik.
“Yuk, balik!” ujar Nokva, dan mereka membalikkan badan menuju tangga. Sebelum naik tangga Nokva menoleh lagi, menatap Linta yang masih tercengang. “Mungkin angka delapan belas punya arti. Mungkin lo bakal nyesel di umur delapan belas. Boleh usul? Nyeselin kejadian ini?” kemudian dia menaiki tangga.
Linta tak mengerti dengan tatapan yang diberikan Nokva baru saja. Dia juga tak mengerti apa arti ucapan Nokva. Linta hanya menganga memandang punggung Nokva yang menaiki tangga. Ada sesuatu yang membuat Linta gusar.
*
Kaki-kaki yang hanya dilapisi kaos kaki putih mengayun silih berganti, membentur-bentur kaca mobil di depannya. Setelah masuk mobil tadi, Linta melepas sepatunya dan berbaring di jok belakang. Kaki-kakinya disandarkan di kaca pintu mobil. Namun, karena tak ditanggapi, dia mulai membentur-benturkan kakinya. Wajahnya sangat kesal.
Berhasil. Ketika kaki Linta membentur keras, Afo yang sedang menyetir menoleh ke arah Linta sebentar. Hanya memandang galak. Bibir Linta semakin manyun, saat gadis yang duduk di samping Afo terkikik pelan.
Linta sangat membenci hari-harinya. Salah satunya adalah saat pulang sekolah. Rumahnya berada sangat jauh dari sekolah. Jalan di depan sekolahnya satu arah. Jadi, ketika pulang sekolah, Linta harus memutari setengah kota terlebih dahulu.
Akan tetapi, hari ini lebih buruk. Linta suka duduk manis di jok depan, di sebelah Afo. Bercanda dan bercerita dengan Afo, meski hanya terjadi dua hari. Afo hanya bertahan dengan seorang gadis paling lama sekitar satu bulan. Dan dia akan menemukan penggantinya dalam waktu dua hari. Dua hari yang lalu, Afo putus dengan pacarnya, dan sekarang sudah mendapatkan yang lain.
Butuh waktu agak lama bagi Linta untuk menyesuaikan diri dengan pacar Afo yang terus silih berganti. Jika dia sudah terbiasa dan akrab, tak lama setelah itu sudah ada gadis lain. Terus begitu. Yang membuat Linta kesal, gadis yang sekarang duduk di samping Afo, rumahnya jauh. Linta tak dapat menyalahkan Afo, karena dia cuma menumpang. Tapi, dia benar-benar ingin segera sampai rumah. Mengingat masalah tadi, membuat Linta ingin segera tidur.
Meski di rumah tak berbeda jauh. Di rumah, tak ada yang menyukai Linta. Yang mau mendengarkannya hanyalah pembantunya, Mbok Asih. Walaupun Linta tahu, Mbok Asih mau meladeninya karena demi sopan-santun kepada anak majikan. Selain itu, seluruh anggota keluarganya, ayah, ibu, dan kedua kakaknya, berlomba untuk membunuh Linta.
Linta adalah orang bodoh yang tertindas dimana saja dan kapan saja.
Gadis di jok depan, yang bernama Nadia, kembali terkikik. Dia dan Afo sedang membahas liburan kali ini. Linta hanya mencibir, mengingat Afo yang selalu mengucapkan hal yang sama kepada semua gadis yang dipacarinya.
“Lo kenapa?” tanya Afo akhirnya, setelah Linta melenguh keras.
“Nggak kenapa-kenapa!” jawab Linta, sadis.
“Nah, jelas lo kenapa-kenapa!”
Linta enggan menanggapi Afo. Afo adalah salah seorang yang juga menindasnya. Dia adalah anak dari almarhumah kakak perempuan ayah Linta. Rumah mereka bersebelahan. Dan mereka satu sekolah. Afo kakak sepupu dan kakak kelas Linta. Tugasnya adalah mengawasi Linta di sekolah dan menjaga Linta agar selamat dari dan sampai rumah. Itu dimulai ketika Afo pindah ke kota Linta lagi. Namun bagi Afo, Linta adalah umpan kecil untuk menangkap ikan hiu di laut.
“Ohiya,” kata Afo. “Besok Vega liburan disini.”
Linta membeku. Dari semua hal yang dibencinya, ini yang paling dibenci Linta. Namun, segalanya teringat oleh Linta. Bagaimana dia dan Vega pertama kali bertemu. Bagaimana mereka berpisah. Dan sudah berapa lama mereka tak bertemu? Meski Linta membencinya, dia mengakui dia sangat merindukan Vega.
wew
Comment on chapter Pesta Kedua