Hujan masih mengguyur Kota Hujan. Angin yang menerpa sama dingin dan basahnya, karena juga menerbangkan air hujan. Daun-daun di pohon terlihat tak sanggup menahan terpaan angin. Kasihan.
Sudah agak lama Linta meninggalkan stasiun kereta api. Tapi Linta masih sama, meringkuk. Jika tadi dia meringkuk di stasiun kereta api karena kedinginan, sekarang lain. Linta meringkuk di pojok ruangan. Meski rambutnya masih meneteskan air, Linta telah mengganti bajunya. Jelas dia tak kedinginan dilihat dari bajunya yang kedodoran. Tapi ekspresi wajahnya sangat dingin.
Vega jongkok di depannya, namun Linta tak berkenan membalas tatapannya. Ini adalah pemandangan ganjil jika ada yang melihat. Tapi hanya Afo yang berada di atas ranjang kosnya yang ada di antara mereka. Sepertinya Afo tak ingin ikut campur bila bisa.
“Li,” desah Vega.
Sewaktu dia bicara, kabut berembun juga timbul dari mulutnya. Nyata Vega yang kedinginan sekarang. Dia masih menatap Linta, memohon. Berulangkali membuka dan mengatupkan mulutnya. Seperti kehilangan kata-katanya. Untuk menutupi itu, Vega meraih tangan kecil Linta menggunakan tangan dinginnya.
Linta menarik tangannya, “Gue nunggu lebih dari dua jam!” katanya, sama dinginnya dengan ekspresi di wajahnya.
“Gue tahu.”
“Elo tahu?” bentak Linta dengan tuduhan yang mengerikan. Kini dia telah menatap benci Vega. Tajam, tak seperti harapan Vega. “Terus lo malah ngapain di kos elo?”
Linta telah berpaling lagi. Menatap kehampaan di sampingnya, menahan air matamya yang siap meleleh. Sudah sejak tadi dia menahannya.
“Hei,” Vega mencoba meyakinkan. “Kita udah sama-sama lebih dari tiga tahun.”
“Nggak ada kita, Veg!” bentak Linta lagi. “Cuma ada gue dan lo! Kalaupun ada kita, kita nggak pernah sama-sama. Satu tahun terakhir ini lo buang gue, kan?”
Vega terdiam, hanya menatapi Linta yang sudah mulai menangis lagi. Vega memegang pipi Linta, mencoba memalingkan wajah Linta agar menatapnya. Tapi Linta menghempaskan tangan Vega. Linta yang sudah terpojok, semakin merepet ke tembok, menjauhi Vega.
“Udah deh, Veg!” Linta tahu bahwa Afo telah bangkit dan menghampiri mereka. Kilatan gerakan yang sedikit terlihat dari sudut mata Linta yang menunduk, dia juga tahu Afo telah menarik paksa Vega agar berdiri. “Lo pergi sekarang, deh!”
“Linta cewek gue, Po!” teriak Vega.
“Linta juga sepupu gue!” balas Afo, “ini juga kos gue!”
“Tapi ini urusa gue sama Linta!”
“Jangan bawa-bawa kos gue kalau gitu! Bawa Linta keluar kalau dia mau!”
Vega telah menangkap mata Linta yang telah mendongak. Vega memandangnya, memohon kepadanya. Linta berpaling. Kemudian Linta mendengar lenguhan keras Vega. Dia memejamkan mata ketika pintu dibanting menutup, menggetarkan dinding yang disandarinya. Linta terisak lagi. Lama-kelamaan tangisnya berubah menjadi rengekan keras.
Ada yang jongkok di depannya lagi. Linta mengira Vega telah kembali, ternyata Afo.
“Gue…” kata Linta di tengah tangisnya. “Gue cuma… gue cuma pengin dia… minta maaf…” Linta merengek kian keras.
“Ssh…” Afo menekap kepala Linta ke bahunya. “Lo harus cari orang yang cinta sama elo dari awal!” Afo mengelus rambut Linta.
Hujan di luar semakin tak terdengar. Mungkin lelah menerpa daun-daun di dahan pohon. Rengekan Linta juga sudah mereda, hanya tinggal sesenggukan sekarang. Namun, itu malah lebih menyakitkan dadanya. Afo terus mengelus rambut dan punggung Linta. Menenangkannya.
wew
Comment on chapter Pesta Kedua