"Lo putus?” seru Afo, setengah tak percaya.
Vega juga memandang Linta tak biasa.
Hari Minggu yang sangat cerah, namun wajah Linta teramat mendung. Ketika Afo dan dan Vega masuk ke kamar Linta, wajah mendung Linta telah mengakibatkan badai dan petir yang sangat dahsyat. Linta terus menangis histeris karena diserbu pertanyaan dari Afo dan Vega.
Sudah dua hari terakhir ini dia tak masuk sekolah. Dia beralasan sakit flu, padahal dia pilek karena menangis terus-menerus. Kamarnya sangat tak berbentuk, kelambu melorot, dan di lantai banyak bertebaran tisu dan sobekan-sobekan majalah. Majalah yang selama ini di beli Linta untuk melihat baju terbaru.
Bukan hanya kamarnya, Linta sendiri juga sangat mengenaskan. Hidung dan matanya merah menyedihkan, rambut yang sangat awut-awutan, dan wajahnya pucat muram menakutkan. Serta baju yang sangat kusut. Bukan hanya itu, Linta juga bau sekali.
“Sst! Nggak usah kayak anak kecil!” kata Afo sedikit membentak.
“Gu-gu-gue emang anak kecil… nggak berdaya, kan?’ rengek Linta.
Vega dan Afo saling tatap geli. Kemudian mereka menatap Linta lagi dengan wajah turut berduka-cita lagi.
“Cowok kayak gitu juga!” kata Vega.
Linta memperkeras tangisannya dan menghentak-hentakkan kakinya.
“Udahlah, Li! Kan ada gue! Ada Vega juga.”
Jelas sekali bahwa Afo senang. Cita-citanya dari dulu adalah melihat Linta kesepian dan merasa kehilangan dia saat di SMA sendiri. Tapi Linta senang Afo menghiburnya saat dia sedih, tak meledeknya.
Selain itu, Vega juga ikut menghibur dengan menjanjikan hal-hal indah yang akan dilakukan mereka. Sepertinya Vega senang Linta putus dengan Nokva. Linta tak tahu bagaimana dengan Afo. Setahu Linta, Afo tahu bahwa dia dan Nokva hanyalah berpura-pura.
Setelah mendapat janji-janji dari kedua sepupunya, Linta berhenti menangis. Dia juga sudah mau makan dan mandi, setelah Afo berjanji akan membelikannya es krim setiap hari. Menurut janji-janji mereka, Linta tak akan mengeluarkan uang sedikit pun setiap harinya.
*
Jalanan ramai sekali, ocehan di sebelah Nokva membuatnya pening. Hanya ada dua jalan untuk menghentikan ocehan Melani. Nokva harus ngebut, seperti yang diocehkan Melani sedari tadi, dan menabrak mobil box di depannya, lalu ditabrak mobil dari belakang, dan menyerempet motor-motor di sebelahnya. Dengan begitu, dia dan Melani akan masuk rumah sakit. Dan Melani akan diam.
Jalan kedua, Nokva akan mengikat dan membungkam Melani, dan menjatuhkannya di jembatan yang baru mereka lewati. Dengan begitu Melani juga akan diam. Namun sayangnya, keduanya mengakibatkan Nokva masuk penjara. Dia akan bermasa depan suram, tak memiliki istri dan anak.
Lama-kelamaan sepertinya pikiran Nokva terinveksi oleh virus Linta.
“Pasti kehabisan lagi! Bajunya lagi booming, banyak yang suka!”
Melani telah cemberut, sepertinya dia lelah mengoceh. Akhir-akhir ini dia sedang sensitiff. Menyebalkan sekali.
“Kenapa nggak dari kemarin-kemarin? Kita kan juga keluar belanja kemarin.”
“Aku juga belum tahu kemarin!” sewotnya. “Nyatanya tadi di butik tanteku juga udah habis, kan?”
Nokva tak menyahut.
Mereka baru saja ke butik tante Melani. Sayangnya baju yang diinginkan Melani sudah tak ada. Padahal untuk sampai butik itu, mereka harus macet berjam-jam. Tantenya Melani menyarankan mereka harus ke butik cabang di mall. Dan mereka harus bermacet-mecet penuh ocehan lagi.
Namun sayang sekali lagi, setelah menembus macet selama dua jam dan mencari parkir setengah jam, baju yang diinginkan Melani ternyata juga sudah tak ada di butik cabang. Melani terlihat kecewa sekali, dan sepertinya ingin menangis.
“Ya, udah. Kita cari baju yang lain aja,” kata Nokva.
“Nggak mau! Aku penginnya yang itu!”
“Kita cari di tempat lain?” tawar Nokva.
Ternyata mood Melani telah anjlok. Dia sudah malas bicara dan mengajak pulang. Menyebalkan. Nokva hanya bisa menurut, takut Melani marah. Mereka turun di eskalator dalam diam.
“Itu anak tukang cuci kamu, kan?” seru Melani tiba-tiba.
Nokva menoleh. Benar. Linta sedang duduk di salah satu bangku di lantai bawah. Dia sedang menatap ujung kakinya yang terbalut sepatu berwarna hijau, dan mengayun-ayunkannya. Dan penampilannya sudah berubah seperti dulu lagi, hanya saja lebih rapi.
Setelah sampai di lantai bawah, Nokva mengajak Melani menghampiri Linta. Melani agak tak suka, namun menurut.
“Hai,” sapa Nokva setelah tiba di tempat Linta.
Linta mendongak dan tampak kaget. Dia memandang Nokva dan Melani bergantian, dan berhenti mengayunkan kakinya.
“Sama siapa? Sendirian, ya?” goda Nokva.
Belum sempat Linta menjawab, seseorang menghampiri mereka, terdengar buru-buru.
“Dingin!” seru orang itu.
Nokva melihat orang yang baru sekali dia lihat, namun sangat ia kenali. Dia membawa dua minuman, dan salah satunya langsung diberikan ke Linta.
“Lo kok lama?’ tanya Linta padanya.
“Lo tahu sendiri, kan, minuman yang lo pesen?” hardik Vega. “Pelayanannya bingung! Nggak pake gula-lah! Susu doang-lah! Esnya banyakin-lah! Airnya dikit-lah!” Vega tampak kesal, namun menambahkan dengan senyum.
Nokva terpaku, dia ingat sesuatu: pesen minuman yang gue suka aja nggak bisa kalau sama elo!
Sepertinya Vega baru menyadari bahwa Nokva berada di situ. Karena dia juga terlihat kaget. Dia memandang Nokva dan Melani bergantian, kemudian tersenyum.
“Oh, elo?” katanya. “Mantanyanya Lili, kan?”
Linta menendang pelan kaki Vega. Nokva merasa salah tingkah dan ingin memukul Vega. Kemudian menganguk singkat.
“Pas banget. Gue sama Lili mau makan!” seru Vega. “Lo sama…” Vega menatap Melani sebentar, “cewek lo udah makan belum? Kita makan sama-sama, yuk!”
Hening. Nokva tak tahu apa yang dirasakannya. Linta juga nampak salah tingkah. Nokva benar-benar ingin memukul Vega.
“Kenapa?” tanya Vega. “Kalian nggak…”
“Nggak!” jawab Linta dan Nokva hampir bersamaan, bahkan ekspresi mereka sama.
“Yuk, kalau mau makan!” Linta bangkit. “Lo mau ikut?” Linta menatap sekitar sepuluh senti dari atas kepala Nokva, dia tak ingin menatap Nokva, Nokva tahu itu.
“Gimana kalau ke kafe nyokap gue?”
“Kafe mamamu?” timpal Melani keras. “Aku nggak mau!”
“Kenapa?” tanya Nokva heran.
“Aku niatnya belanja, ya, belanja!” katanya. “Lagian kamu tahu, kan, aku lagi ngejauhin makanan manis?”
Nokva menatap Melani tak percaya. “Sekali-kali nggak apa, kan? Sekalian mau aku kenalin ke mamaku.”
“Ngapain kenal-kenalin segala? Udah ah, ayo pulang!”
Melani mengamit lengan Nokva secara paksa,dan menariknya. Nokva tak bisa menolak. Dia hanya menoleh untuk berpamitan kepada Linta dan Vega. Linta hanya menatapnya tak mengerti. Nokva sangat tak suka sikap Melani saat ini.
*
Ada yang berbeda.
Seorang ibu gendut mendongak dari catatannya, karena dia mendengar pintu terbuka namun tak ada langkah-langkah masuk. Ternyata Linta masih terpaku di ambang pintu. Dia heran karena tak ada lonceng yang berbunyi ketika dia membuka pintu kaca kafe.
“Mama lepas,” kata ibu Nokva. “Mama nggak tahan kalau harus dengar bunyi lonceng terus-terusan pas ramai.”
Linta berbalik dan tersenyum. “Padahal lucu, lho, Ma.”
Ibu Nokva hanya tersenyum dan Linta segera menghampirinya. Ibu Nokva sudah kembali menunduk dia atas catatannya. Ternyata catatan keuntungan hari ini. Sekarang sudah hampir pukul sembilan. Tak ada pengunjung yang datang. Kecuali seseorang yang duduk di pojok etalase di balik konter. Linta agak terkejut, tapi kemudian tersenyum. Ota membalas senyumnya. Dia sedang menyendok cake rasa coklat.
Ketika Ibu Nokva bangkit dan permisi sebentar untuk ke dapur, Linta masuk ke konter. Linta duduk di kursi yang baru saja ditinggalkan Ibu Nokva. Dia duduk menyamping agar dapat memandang Ota.
“Dari mana?” tanya Ota.
“Dari jalan sama sepupu saya,” jawab Linta. “Atau mantan pacar saya?”
Ota tertawa kecil. “Lalu dia dimana?”
“Saya suruh dia pulang duluan.”
“Lalu kamu nanti pulangnya gimana?”
Linta mengangkat bahu. “Saya rasa, saya tahu Anda di sini, jadi mungkin Anda mau mengantar saya?” goda Linta, membuat Ota tertawa lagi.
“Gimana kalau Nokva saja yang antar kamu? Dia ke sini sebentar lagi, jemput mamanya.”
Sesuatu yang keras rasanya jatuh ke perut Linta. Itu yang ia rasakan akhir-akhir ini jika tahu akan bertemu Nokva. Bahkan dia menghindari Nokva di sekolah.
“Ada apa?” tanya Ota, sepertinya tahu perubahan Linta.
“Kami nggak meneruskannya lagi. Saya rasa itu bikin perasaan saya tambah kacau.”
Ota memandang Linta lama. Lalu tersenyum menenangkan.
“Saya rasa, saya mau antar kamu,” katanya lembut. “Tapi harus buru-buru kalau kamu nggak mau ketemu sama Nokva.”
Linta tak enak hati, namun senang sekali dengan tawaran itu. Dengan malu-malu dia mengiyakan, berusaha agar terlihat tak ingin merepotkan.
Setelah berpamitan dengan Ibu Nokva dengan banyak cegahan, pertanyaan, dan akhirnya nasihat untuk hati-hati, Linta dan Ota keluar menuju lapangan parkir. Linta melihat kendaraan yang jarang ia lihat, yang tak pernah dibayangkan untuk menaikinya, tapi penasaran bagaimana rasanya menaikinya.
Vespa berwarna hijau gelap. Linta agak terkesima menatapnya. Hingga Ota memecah lamunannya ketika dia menaiki vespanya.
“Ayo, naik!” ajak Ota.
Linta naik ke jok belakang yang lebih rendah. Ada sensasi yang ganjil. Kakinya sangat mengangkang karena badan vespa yang mengembung. Suara berisik terdengar dari knalpot vespa ketika Ota menyalakan mesin
Dan ketika Vespa melaju, kaki-kaki Linta tak imbang dan mengayun ke depan. Terasa hentakan yang membuat tubuhnya seakan-akan menghempas ke belakang. Otomatis Linta memeluk pinggang Ota. Dia agak malu, namun lebih baik seperti ini dari pada harus jatuh konyol.
“…mu…pa..sam…ta?”
Mereka telah berjalan di jalan raya. Suara vespa berdesing di telinga Linta. Angin yang dingin menerpa wajahnya dan mengibarkan rambutnya. Linta tahu Ota bicara sesuatu, namun kalah oleh deru mesin.
“Apa?” teriak Linta.
“Nokva!” balas Ota. “Kamu sama dia kenapa?”
“Saya mau lupain dia!” teriak Linta lagi.
“Oh, ya?” kata Ota, sama kerasnya. “Kamu harus cari orang lain lagi buat lupain dia!”
Linta tak sepenuhnya dengar, namun mengerti apa yang dikatakan Ota. Benar, dia menggunakan Nokva untuk melupakan Vega. Dia harus cari orang lain lagi untuk melupakan Nokva.
wew
Comment on chapter Pesta Kedua