Duduk sendirian di bangku koridor dengan kedua tangan di balik punggung dan buku di pangkuannya, itulah yang dilakukan Linta. Koridor agak ramai karena sedang jam istirahat. Beberapa anak yang menyapanya hanya di balas dengan senyum tipis Linta. Tak seperti Linta yang biasanya.
Tangan di balik punggungnya hanya di kedepankan bila halaman buku yang sedang dibacanya telah habis. Sayang sekali, ketika hal itu terjadi Linta tak dapat membaliknya, karena dari siapa tangannya disembunyikanlah yang menghampirinya.
“Hai,” sapa Nokva dan duduk di samping Linta.
Linta berpura-pura membaca bukunya, padahal halaman itu sudah selesai.
“Tumben elo sendirian baca buku gini,” kata Nokva lagi.
Linta mendongak sedikit, “Yang tumben elo, biasanya nggak nyamperin gue, sekarang nyamperin gini.”
Nokva mengangkat alisnya, hal yang biasa ia lakukan bila tak mengerti apa yang dikatakan Linta. Mungkin dia juga menyadari nada ketus yang digunakan Linta barusan.
“Elo udah dua hari nggak antar jemput gue,” serang Linta.
“Sori, gue sibuk sama Melani.”
Linta menelan ludah getir. Matanya tertuju pada bukunya lagi, namun tak terfokus ke sana. Linta tahu Nokva tak melihat perubahan wajahnya, karena dia tenang-tenang saja. Dan dengan santainya Nokva ikut menyandar di bangku.
Akan tetapi, baru dua detik dia menyandar, Nokva terperanjat lagi yang membuat Linta ikut terkejut adalah ketika Nokva menarik kedua tangannya dari balik punggung Linta.
“Ini kenapa?” tanya Nokva ngeri. Dia memandang tangan Linta yang terbalut perban.
Linta hanya memandang Nokva, Nokva membalasnya. Kemudian wajahnya berubah lebih ngeri lagi.
“Apa ini ada hubungannya sama dapur gue kemarin?” tanyanya lagi.
Linta menunduk, dia tak menyangka semudah itu Nokva menebaknya. Dia juga tak menyangka Nokva terlihat begitu khawatir dengannya.
“Lo cukup ngehancurin dapur lo aja, dong! Jangan dapur gue juga!” gurau Nokva, membuat Linta tertawa kecil. “Mulai nanti siang, gue antar jemput elo lagi.”
*
Sepulang sekolah itu, Linta keluar kelasnya dengan tersenyum senang. Dia sedari tadi mengingat-ingat janji Nokva. Ini menyenangkan sekali. Linta menunggu Nokva di depan kelasnya.
Akhirnya, orang yang ditunggu Linta muncul juga. Nokva berjalan di belakang segerombolan teman kelasnya yang mengoceh. Nokva berjalan agak lambat karena sedang memasukkan sesuatau ke dalam tasnya. Ketika telah berhasil memasukkan benda itu, Nokva menaruh tas di punggunya dan segera bergegas. Dia nampak terburu-buru, seperti biasanya jika dia akan…
Hati Linta mencelos.
Ini adalah Hari Rabu, salah satu hari dimana Linta bebas tugas dari Nokva dulu. Meski Linta tak pernah diberitahu oleh Nokva apa yang dilakukannya Hari Rabu, Linta tahu setelah mengetahui Bang Ota punya kelas pemotertan. Linta juga mengerti mengapa Nokva sangat mencintai kameranya.
Apa yang ditakutkan Linta benar terjadi. Nokva menepuk jidatnya saat melihat Linta, kentara sekali lupa dengan Linta.
“Sori, gue lupa kalau gue ada janji sama Melani,” katanya setelah dekat.
Sesuatu yang membara di perut Linta telah naik ke kerongkongannya, membuatnya tak bisa bicara apa-apa.
“Lo pulang sendiri, ya!”
Kemudian tanpa memedulikan Linta, dia melangkah cepat melewati Linta. Beberapa saat Linta tak tahu harus bagaimana. Sepatu Nokva yang berdecit semakin menjauh.
“Tapi elo udah janji sama gue!” teriak Linta.
Decit sepatu berhenti. Linta tak menoleh, tak ingin Nokva melihat matanya yang sudah mulai berair. Sepertinya Nokva juga belum menoleh. Mungkin mereka sedang beradu punggung dengan perasaan tak keruan yang sama.
“Tapi gue juga udah janji sama Melani,” kata Nokva, suaranya dari jauh.
“Elo bisa tepatin janji lo ke dia…” suara Linta tercekat. “…tapi kenapa elo nggak bisa tepatin janji elo ke gue?”
Tak ada suara, namun kemudian decit sepatu terdengar lagi. Linta mengira Nokva akan kembali, tapi decitan itu menjauh. Linta membalikkan badan tepat saat Nokva sudah berbelok ke koridor lain.
“GUE TUNGGU ELO DISINI!” raung Linta. “Sampai kapan pun!”
Dan kemudian dia menangis.
*
“Sebentar, sebentar!”
Melani menyodorkan buku-buku ke Nokva, kemudian merogoh-rogoh tasnya. Melani cantik sekali jika sedang panik seperti ini. Nokva hanya tersenyum menatapnya.
Melani mendongak, “Aku harus ketemu dosen dulu! Bentar, ya!”
Setelah mengatakannya, Melani berbalik dan berlari ke arah gedung kampusnya. Rambutnya yang dikucir kuda melambai-lambai lucu di belakangnya. Saat Melani sudah tak terlihat lagi, Nokva membuka pintu mobil bagian belakang. Dia menunduk dan memasukkan buku-buku Melani ke jok belakang.
Masih dengan tersenyum, Nokva menarik kepala, menutup pintu, dan berbalik. Dia terperanjat, tiba-tiba seorang gadis yang bertampang galak sudah berada di hadapannya.
“OH!” katanya tajam, “Pantes gue ngerasa pernah lihat lo!”
Nokva hanya memegang dadanya. Loren mendekat maju dan semakin mendekat, membuat Nokva merepat ke mobilnya.
KLAP!
Satu tangan Loren menggebrak mobil di belakang Nokva, membuat mereka hanya berjarak beberapa senti.
“Lo selingkuh!” semprot Loren ke wajah Nokva, dia telah berjinjit agar setara dengan wajah Nokva. “Tega banget, lo!”
“Gue…”
“Asal lo tahu, Lili putus sama Vega gara-gara Vega itu SELINGKUH!” Loren bicara keras sekali, sehingga beberapa orang yang lewat menoleh, memandang kejadian ini. “Dan lo juga? Bener-bener, lo!” Loren mengangkat tangan dan menggebrak mobil lagi. “Bahkan dulu elo bawa mobil gue buat jemput cewek itu, kan?”
Nokva memegang pundak Loren hati-hati dan memundurkannya. Wajah Loren perlahan melunak.
“Kita ngomong baik-baik, ya?” kata Nokva.
Loren memberingsut dan menyilangkan tangannya, seperti anak kecil, seperti adiknya. Hanya saja Linta lebih jinak dibandingkan Loren.
“Jangan bilang ke Linta,” kata Nokva.
“TUH, KAN!” teriak Loren. “Lo selingkuh!”
Beberapa orang memandang mereka lagi. Nokva salah tingkah, malu diperhatikan seperti ini. Memang semua keluarga Linta itu maniak.
Kemudian Melani berjalan di gerbang kampus, membuat Nokva kian bingung. Sepertinya Loren sadar Nokva sedang memandang resah jauh di balik punggungnya, karena dia ikut menoleh.
“Oh! Itu ceweknya!”
Tanpa sadar, Nokva membungkam mulut Loren dan menariknya agar tak terlihat oleh Melani. Loren berontak hebat, namun Nokva terus menariknya. Dia tak peduli dengan apa yang akan dikatakan Loren pada Linta. Dia hanya takut Loren bersikap tak pantas kepada Melani.
*
Hari sudah sangat gelap. Linta masih duduk sendirian di trotoar di depan sekolah. Kepalanya ditaruhnya di pangkuannya. Dia menatap deru-deru mobil yang melewatinya, tanpa memperdulikannya.
Tadi Linta menunggu di dalam sekolah, namun berulang kali berdebat dengan satpam, hingga ia menangis. Satpam mengasihaninya. Namun saat benar-benar sudah gelap, dia menyuruh Linta pulang. Satpam itu tak akan pernah tahu, Linta akan terus menunggu.
Dan di sinilah dia sekarang. Terlunta-lunta.
Sebuah mobil yang sangat dikenal Linta berhenti di depannya. Linta mendongak bahagia. Ternyata itu mobil lain. Sangat dikenalnya namun bukan mobil Nokva. Linta menunduk sedih lagi, ketika Afo keluar dari mobilnya dan menghampiri Linta
“Dari tampang lo, kayaknya lo lagi nunggu.”
“Lo ngapain kesini?” tanya Linta, tanpa mendongak.
“Menurut lo, gue ngapain kesini? Afo balas bertanya kesal. “Ini udah malem dan lo belum pulang! Yang harusnya tanya itu gue! Ngapain lo disini?”
Linta menatap aspal dengan sedih. “Kenapa semua cowok itu jahat?”
Afo membuat gerakan sedikit terkejut. Sepertinya dia mengerti apa yang dimaksud Linta. Namun dia tak mengucapkan sepatah kata pun untuk menghibur.
“Kenapa semua cowok suka buat cewek nunggu? Tanpa kepastian!”
Afo berjongkok, dan memegang bahu Linta. Menenangkannya, seperti biasa. “Nggak semua cowok jahat,” katanya. “Cuma ada satu hal. Lo itu bego! Kerjaannya nunggu yang nggak bakal dateng, padahal jelas-jelas ada yang nunggu elo!”
Linta menghela napas.
“Masih ada cowok baik. Percaya, deh, sama gue!” kata Afo lagi.
Linta tertawa getir. Afo ikut tertawa kasihan.
“Yuk, pulang!”
*
Keesokan harinya, Linta kacau sekali. Semalam Loren bercerita menggebu-gebu, bicara hal yang tak ingin Linta dengar. Semalam Linta juga tak bisa tidur, karena memikirkan harus bagaimana.
Bukan hanya semalam, sekarang Linta juga masih memikirkannya. Dia benar-benar tak ingin berada di dalam kelas yang sumpek. Maka dia kabur dari kelas dan duduk sendirian di kantin. Ibu kantin berulang kali mengerlingnya khawatir.
Linta tak memperdulikan ibu kantin. Pikirannya lebih penting dan rumit, dibandingkan harus menjelaskan kenapa dia di sini saat jam belajar berlangsung. Dia juga tak takut jika harus diseret ke ruang BK. Mungkin dia malah curhat habis-habisan di sana.
Suara berisik memecah pikiran Linta. Segerombolan anak yang memakai baju olahraga memasuki kantin dengan mengoceh berisik. Rupanya mereka baru saja olahraga. Dan salah satunya adalah…
“Elo?” ujar Nokva memandang Linta sejenak, kemudian dia tersenyum dan duduk di hadapan Linta. “Ngapain disini?”
“Laper,” jawab Linta enggan.
“Hhm, gue traktir, ya?”
Linta mendongak tak percaya dan benci.
Selalu begini. Jahat meninggalkannya, kemudian membuatnya hancur, dan saat itu datang lagi, akhirnya juga akan menghancurkan lagi. Kenapa selalu begini?
“Hei! Lo marah sama gue?” tanya Nokva, karena Linta hanya menatapnya bengis tanpa kedip.
“Enggak, gue cuma mau ngomong sesuatu sama elo!” katanya, bahkan tak bisa menghilangankan nada getir dalam suaranya.
Linta menatap mata Nokva lekat-lekat. Dia tak sanggup mengatakannya, namun dia benar-benar harus mengatakannya. Linta telah berpikir keras dan membulatkan tekadnya.
“Makasih elo udah bantu gue,” Linta mulai. “Kita udah nggak ada utang lagi, kan? Lo berhasil masuk IPA dan misi gue berhasil.”
Nokva mengerjap, “Maksud lo?”
“Ya, udah. Lagian kita udah pura-pura selama satu tahun, Vega nggak bakal ngeledek gue lagi.”
Nokva menatap Linta tak mengerti.
“Sekarang gue lagi lakuin misi baru, nih!” seru Linta sok ceria. Lupain elo, lanjutnya dalam hati.
Kemudian Linta bangkit dan berjalan keluar dari kantin, sebelum air matanya merebak lagi.
wew
Comment on chapter Pesta Kedua