Cowok Cantik part 21
Kami sedang duduk di ruang tengah. Aku duduk di kursi samping dengan wajah lemasku. Kak Fendi duduk sama Putri dan di depannya ada ayah dan mama. Kak Fendi sudah minta maaf sama mama dan ayah. Dia sampai ingin sujud di kaki mereka. Tapi siapa yang rela anaknya sampai sujud untuk meminta maaf, bahkan merekalah yang ingin meminta maaf.
Kak Fendi mengatakan semuanya. Dia hilang kendali karena situasi rumah yang tak kunjung membaik. Sebenarnya dia ingin pulang sejak beberapa tahun lalu, tapi dia takut. Dia takut mama sama ayah tidak mau menerimanya lagi. Dia takut kalau kesalahannya sudah tak bisa dimaafkan lagi.
Saat kami duduk bersama, ayahku menanyakan banyak hal pada kak Fendi. Apa saja yang dia lakukan selama di Singapura, bagaimana dia membiayai hidupnya, dan dengan siapa dia tinggal. Kak Fendi lalu menceritakan semuanya. Dia kuliah di sana awalnya dibantu oleh teman SD-nya. Bukan teman dekat tapi anak itu sangat baik. Lalu kakakku mencari beasiswa dan mendapatkannya. Ia meraih banyak prestasi dan keuangannya semakin terdukung. Hingga sekarang, dia juga pandai berbisnis. Lima tahun kepergiannya menjadi kisah yang sangat membanggakan.
Kali ini dia juga pulang membawa kabar gembira. Sebentar lagi dia akan selesai S2, makanya dia pulang sekalian untuk mengajak orang tuaku ikut ke acara wisudanya nanti. Kami benar-benar terharu mendengarnya, tapi dia lebih banyak berterima kasih kepada kami, karena semua yang dia lakukan adalah demi memantaskan diri untuk pulang. Dia mengaku bahwa semua usahanya itu sangat besar kaitannya dengan rumah yang ia tinggalkan ini. Jika tidak membawa kabar gembira, dia tidak akan berani pulang katanya. Jadi dia berusaha melakukan banyak hal yang akan mampu menutupi kesalahannya di hari yang lalu. Dalam hati aku berpikir, kakakku hebat sekali.
Sayangnya, menyadari kepulangannya membuat aku lemas. Aku berpikir keras setelah kemarin sempat frustasi. Aku mungkin mulai berani untuk mengakui hubunganku dengan Heri kepada mama, tapi bagaimana dengan Kak Fendi? Apa dia akan menerima kelainanku ini? Memang sejak adegan intim tadi, tak ada lagi yang menyinggung soal pacar atau pasangan hidup. Ayahku tidak menanyakan tentang itu dan kak Fendi tidak sama sekali mencoba menceritakannya.
Mama pun bersiap, dia ingin memasak sesuatu untuk kak Fendi. Ayahku tetap di tempat dan aku bersama Putri mengajak Kak Fendi ke kamarnya. Maksudku, kamar kami. Sebenarnya kami punya kamar tamu, tapi itu khusus untuk tamu. Lagipula Kak Fendi mengatakan ingin tidur denganku seperti yang kami lakukan selama ia belum pergi dari rumah. Oh tuhan, bagaimana ini? Aku tidak akan bisa pergi kemana-mana dengan bebas. Kak Fendi pasti akan selalu ingin ikut denganku. Aku juga harus menemaninya mengelilingi kota yang sudah ia tinggalkan bertahun-tahun ini.
Teet.. sebuah panggilan masuk mengusik ponselku. Aku segera mencaritahu siapa yang meneleponku. Ternyata Heri, dan aku terpaksa mematikannya. Entah bagaimana dia akan bereaksi nantinya. Aku selalu berharap dia punya kesabaran yang sama setiap harinya.
“Kenapa dimatiin, San?” tanya kak Fendi sedikit penasaran. Dia memang sedang memindahkan pakaiannya ke dalam lemari, tapi dia sangat peka pada apa yang sedang aku lakukan.
“Gak kok kak. Gak penting juga,” kataku tak ingin dia tahu.
“Oh,, yasudah,” jawabnya ringan.
“Kak,” kataku pelan. Aku ingin mencoba menanyakan perihal hubungan ini kepadanya.
“Iya San, Kenapa?” tanyanya sambil terus sibuk dengan pakaiannya. Aku tak kunjung bertanya hingga dia menghadapkan mukanya kepadaku.
“Kenapa?” katanya serius.
“Gak jadi kak,” kataku mengurungkan semuanya. Kak Fendi pasti penasaran apa yang ingin aku katakan dan dia akan curiga kalau aku tidak mengatakannya, jadi aku tanyakan saja sesuatu yang lain. “Kakak udah punya pacar?” tanyaku membuatnya tersenyum.
“Kok kamu nanyain itu?” jawabnya santai.
“Pengen tahu aja, Kak,” jawabku lagi. Dan ia mengangguk ringan.
“Iya, kakak udah punya pacar. Tapi kakak gak mau ngomongin itu. Kamu juga jangan ngomongin itu di depan mama yah! Nanti mama bisa keingat sama kejadian dulu,” katanya memberi pengertian.
“Iya, kak,” kataku mengangguk. “Tapi kalau ngomong sama aku gak apa-apa, kan?” tanyaku yang dibalasnya dengan tatapan penasaran. Aku pun melanjutkan.
“Orang mana, Kak?” tanyaku sekali lagi.
Dia tak menjawab. Malah balik bertanya.
“Kamu juga udah punya pacar?” tanyanya membuat aku gugup sekaligus kesal.
“Jawab aku dulu, kak,” kataku merengek. Ia sedikit tertawa mendengar dan melihat tingkahku. Mungkin sangat kekanak-kanakan baginya. Tapi ini hal penting bagiku.
Setelah itu kak Fendi menceritakan beberapa hal. Dia punya pacar, orang Indo, bertemu di Singapura dan jatuh cinta di sana. Mereka juga pulang bersama-sama dan kak Fendi akan membawanya ke rumah. Mungkin minggu depan. Mendengar ciri-ciri yang ia sebutkan, sepertinya pacarnya itu perempuan yang baik, tegas, ceria, dan juga cerdas. Dia selalu ada di saat suka maupun dukanya kakak. Begitu pula dengan kak Fendi, dia membalasnya dengan selalu berada di sisi kekasihnya saat dibutuhkan maupun tidak. Katanya, butuh waktu lama hingga ia menyadari perasaannya. Butuh waktu lama juga untuk mengutarakannya. Tapi setelah semuanya, mereka pulang ke Indonesia sebagai sepasang kekasih.
“Jadi gimana sama kamu?” tanyanya dengan berbisik. “Apa mama juga suka nyomblangin kamu?” katanya lagi dengan berbisik. Dia sangat hati-hati. Jika aku menceritakan kebenarannya, entah apa yang akan dia katakan.
“Gak kok kak. Udah nggak lagi. Kemarin kita sempat punya masalah. Mama kayak nanyain pacarku cewek atau cowok gitu. Dan tentu saja pacarku bukan cowok. Aku gak suka sama cowok. Aku kesal dan keceplosan soal kakak. Mama jadi merasa bersalah. Setelah itu mama minta maaf tapi mama masih sempat nyomblangin aku. Kali ini sama cewek karena mama gak pengen aku punya pikiran buat pacaran sama cowok. Tapi barusaja kemarin itu mama bilang berhenti nyomblangin aku. Katanya kali ini terserah aku. Yang penting, jangan sama cowok,” kataku panjang.
Kakakku mendengarkan dengan seksama. Pada bagian akhir kalimatku dia memberi reaksi sedikit empatik. Entah kenapa. Aku tidak mau memikirkannya. Aku takut kalau dia sebenarnya sudah tahu bahwa aku menyukai laki-laki. Tapi itu tidak mungkin. Dia sendiri yang sudah berpesan agar aku tidak jatuh cinta pada laki-laki, dia pasti marah kalau tahu aku berpacaran dengan laki-laki. Sekarang aku harus bagaimana? Aku bingung.