Cowok Cantik part 20
“Sayang, kamu mau gak bobok sama aku?”
Aku mendelikkan wajahku mencoba menguji keseriusannya. Dia menunjukkan tampang polosnya. Aku mengerutkan dahiku semakin kencang.
“Ekspresi kamu kok gitu sih, Yang?” tanyanya keheranan. “Apa ada yang salah?” lanjutnya bingung. Apa cuma aku yang bego di sini? Apa tidur berdua memang sudah wajar bagi pasangan kekasih? Aku tidak percaya Heri menanyakan hal ini begitu cepat.
“Aku mau tanya deh sama kamu,” kataku agak serius. Ia juga mulai menanggapinya serius.
“Apa bagi kamu hubungan kita cuma sekedar nafsu aja?” kataku sedikit kesal.
Awalnya dia terlihat syok mendengar pertanyaanku. Dia berpikir sejenak. Lalu,,,
“Ishh..” katanya menekan hidungku. “Hidung kamu ini harusnya bisa nyium niat buruk orang,” katanya membuat aku kembali bingung. Dia memasang senyum di depanku membuat aku sedikit meleleh. Lalu dia kembali mencubit kedua pipi ku dengan lembut.
“Aku sayang sama kamu bukan karena nafsu. Aku ngajakin kamu tidur hanya untuk sekedar tidur. Aku gak pengen minta yang aneh-aneh,” katanya dengan sabar.
“Aku tahu kamu belum siap untuk hal-hal seperti itu. Kamu pikir aku juga siap?” jelasnya membuat ku semakin lega. Ya, yang aku dengar, pasangan seperti kami ini selalu lebih mementingkan kepuasan jasmani dibanding hati. Tapi kurasa, sia-sia saja mengkhawatirkan itu pada Heri. Dia memang sering menciumku, tapi sejauh ini, kami hanya pernah sebatas berciuman. Aku bersyukur karena itu. Sangat bersyukur.
“Terus buat apa tidur bareng?” tanyaku merubah fokus.
Dia diam. Menatapku dalam. Kali ini dialah yang kebingungan mencari keseriusanku.
“Apa kamu beneran cinta sama aku?” tanyanya mengejutkanku.
“Kamu kok nanya kaya gitu sih?”
“Jawab aku. Apa kamu gak pernah ngerasa pengen dekat sama aku? Tidur berdua, makan berdua, nonton berdua, apa-apa berdua,” katanya sangat serius. Aku tak sempat berpikir untuk menjawabnya. Dia sudah berdiri dan mulai melangkah dari tempat kami duduk.
Tap. Aku menarik tangannya. Tidak akan aku biarkan dia pergi semudah itu. Aku menariknya dengan paksa agar dia turun dan duduk kembali. Aku tak melihat ke atas, aku menunggu dia duduk dan menghadapkan wajahnya padaku. Ia mencoba menarik tangannya dariku, tapi aku menariknya lebih keras hingga ia kembali duduk dengan sedikit memalingkan wajahnya dariku. Aku menarik wajahnya ke hadapanku dan menciumnya dengan kuat. Dia sempat tak terima, tapi karena aku memaksa, dia menerimanya dan membalas ciumanku.
Nafas kami memburu. Ciuman itu sudah berakhir. Aku melepaskannya. Tapi Heri masih tak mau berkata apa-apa. Aku memeluknya dari samping dan mengecup lehernya satu kecupan sayang.
“Aku gak tahu kalau aku seingin ini dekat sama kamu. Aku juga gak ingin lepas dari kamu. Aku gak ingin jauh dari kamu. Aku cuma gak ngerti apa yang sedang aku pikirkan. Menurutku, kita bisa merasa cukup hanya dengan bertemu seperti ini, tapi aku salah. Mungkin karena ada banyak hal yang sedang aku pikirkan, aku jadi tidak sadar bahwa aku juga ingin selalu bersama dengan kamu.”
Dia menatapku. Mengangkat wajah ku dan kembali menciumku. Ciuman yang kuat, dalam, namun lembut. Kata maaf dia ucapkan setelah ciuman itu. Aku menggeleng, tidak benar jika dia harus minta maaf.
“Aku minta maaf karena aku gak tahu apa yang sedang mengganggu pikiran kamu,” katanya sayu sambil mengusap wajahku.
“Justru aku yang salah. Harusnya aku juga ngasih tahu kamu tentang apa yang aku rasa. Apa yang sedang aku pikirkan agar semua ini bisa cepat selesai,” kataku memeluk tangannya dan bersandar di bahunya. Dia membelai rambutku dan mengecupnya hangat.
Aku pun menceritakan semuanya. Tentang kata-kata mamaku sore tadi. Tentang apa yang membuat aku takut dan apa yang ingin aku pecahkan bersamanya. Lalu jawaban yang tak terduga aku dengar dari mulutnya. Kenapa tidak dicoba? Jika tidak dicoba, kita tidak akan tahu hasilnya. Dia memberi janji padaku, bahwa kapan pun aku siap, dia akan datang bersamaku ke hadapan orang tuaku. Sangat pemberani dan jantan. Pria idamanku yang begitu sempurna.
Malam itu berjalan dengan indah. Paginya aku terbangun cukup siang karena libur. Aku melihat pesan-pesan dari Heri yang mengaku rindu padaku. Dia benar-benar laki-laki perindu. Aku pun mencoba sekali-sekali mengabaikannya. Nanti aku akan langsung memberi kejutan dengan datang ke rumahnya. Sekarang aku mau makan dan mandi dulu.
Usai makan dan mandi, dengan cepat aku memakai pakaian rapi dan wangi. Tak lupa sedikit memberi hiasan pada wajah ku agar terlihat mempesona. Aku ingin membuat pangeran ku yang sedang ngambek di sana langsung sumringah ketika melihatku tiba-tiba datang ke rumahnya. Kemeja biru langit yang ku balut dengan sweter wol berwarna putih terang. Wajah cerah, mata tajam dan bibir merah, siapa yang tahan dengan penampilanku yang seperti ini?
Aku pun cepat-cepat mengambil kesempatan untuk keluar karena kalau dilihat sama mama atau adikku, mereka pasti heboh. Nanti malah disuruh bawa pacar ke rumah lagi. Tapi,,
Ten not.. Suara bel berbunyi saat aku hendak keluar. Aku yang memang sudah berdiri di depan gerbang pun membukakan pintu untuknya. Seorang pria yang tinggi, dengan pakaian serba hitam sedang berdiri memegang kopernya. Mobilnya mewahnya, terparkir di depan gerbang.
“Sandi!” katanya dan memelukku. Aku,, aku hanya menerimanya. Pelukan itu hanya bisa aku terima. Aku juga sudah lama merindukannya, tapi aku masih sulit menerima kenyataan bahwa dia sudah kembali.
“Kamu apa kabar? Mama mana?”
“Kak Fendi?” ucap seseorang dengan nada gembira. Bukan suara ku. Itu Putri. Dan di belakangnya mamaku masih berdiri mematung. Dia terkejut? Ya, kami terkejut. Kak Fendi tiba-tiba pulang tanpa pemberitahuan.