Cowok Cantik Part 16
Setelah pertemuan siang tadi, aku dan Caca saling mengirim pesan. Kami membahas tentang bagaimana cara untuk menjelaskan pada kedua mama kami bahwa kami tidak saling suka. Masalahnya, mamanya Caca tidak setuju pada hubungan Caca dengan Dika. Jadi mereka melanjutkan hubungan mereka dengan sembunyi-sembunyi atau istilah mudanya, Backstreet. Sementara aku, tak mungkin buka-bukaan bahwa aku sedang berpacaran dengan Heri. Jadi, inti masalahnya sekarang bukan pada bagaimana membuat mereka mengerti bahwa kami tidak saling cinta, tapi bagaimana membuat mereka menerima apa yang kami rasakan. Hingga untuk ke depannya tak akan ada lagi backstreet dan pemaksaan kehendak. Yap, menurutku dicomblangkan seperti ini sama saja dengan pemaksaan kehendak secara tidak sadar.
Akhirnya hari pun berlalu. Aku meminta Caca dan Dika menungguku di kantin sekolah untuk membicarakan masalah percomblangan itu. Dan sengaja aku tidak membawa Heri karena takut mereka curiga. Kok bisa aku tiba-tiba dekat sama Heri? Kan bisa repot jadinya.
“Hey!” ucapku menyapa mereka.
“Hay..!!” balas Caca dengan nada ramah. Dika hanya diam dengan sedikit senyum.
“Langsung aja yah biar gak lama,” kataku membuka pembicaraan kami.
“Kapan lo siap ketemu lagi sama mamanya Caca?” kataku ke arah Dika. Dia melebarkan matanya, mengecilkan pupilnya dan menahan napasnya di tenggorokan. Dari ekspresinya sudah bisa kutebak apa yang akan dia katakan.
“Gue masih gak berani. Nyokapnya Caca punya masalah sama nyokap gue,” jawabnya lesu.
“Oke, jadi kita punya dua Tugas untuk masalah kalian. Pertama ke rumahnya Dika, kedua ke rumahnya Caca. Tapi, kalau kita ke rumah Caca dan ngobrol sama nyokapnya Caca, nyokap gue juga harus ada di sana.”
“Kok gitu?”
“Iya, kalau nyokap gue ada di sana, masalah gue juga akan ikut selesai,” ucapku yakin. Tapi Caca tak sepemikiran. Ia berpendapat lain soal masalahku itu.
“Kayaknya gak gitu deh. Gue yakin nyokap lo gak akan berhenti sampai dia nemuin cewek yang pas buat lo,” jelasnya meyakinkanku. Mendengar itu, aku sedikit berpikir bahwa itu masuk akal juga. Walau tahu Caca dan aku tidak bisa bersama sebagai pasangan, bukan berarti Mama akan langsung berhenti mencari perempuan untukku. Tapi, tak sampai di situ, Caca justru berbicara lebih jauh.
“Jadi menurut gue, mending lo terus terang aja sama nyokap lo. Lo sebenarnya kenapa gak pengen dicomblangin. Entah karena belum mau pacaran atau udah punya pacar. Kalau udah punya pacar, terus sekarang, pacar lo siapa? Gue juga pengen tahu lho..” katanya menggodaku. Sekejap aku langsung terkesiap dan mengatupkan ketiakku erat-erat. Seakan-akan di sana ada nama Heri yang siap melayang-layang memamerkan diri. Sementara Dika dan Caca mulai menatapku erat, menunggu jawaban yang akan keluar dari mulutku. Tapi yang pasti, aku tidak akan membuka rahasia itu di depan mereka sebelum Heri tahu tentang permasalahan ini. Jadi aku memilih untuk menjawab,
“Gak ada.”
“Masa sih?” ucap Dika tak percaya. Sama dengan Caca. Ya Tuhan, anak-anak berdua ini malah nyudutin aku.
“Beneran gak ada,” jawabku menyelamatkan diri. Tapi Dika keceplosan.
“Terus yang kemarin heboh lo ada hubungan sama Rama gimana?” katanya membuat aku dan Caca langsung berubah tegang. Caca merasa tak enak dan aku teringat Rama. Sementara Dika hanya diam mulai merasa bersalah. Dia menciut dan perlahan mengeluarkan satu kata yang akhir-akhir ini mulai sering kuucapkan juga.
“Sorry!” katanya yang akhirnya kembali mencairkan suasana. Sepertinya dia mengerti maksud ekspresiku. Aku pun tersenyum menyambut permintaan maafnya.
“Gak apa-apa kok. Itu kan udah jadi gosip,” kataku berusaha biasa saja.
“Anyway, gimana caranya ngomong sama mamanya Dika?” Caca pun angkat bicara.
“Tenang.. Gue punya ahlinya,” kataku semangat menutup pertemuan kami. Ya, meskipun aku dan Caca akan kembali bertemu di kelas kami.
9 telpon tak terjawab. 12 pesan tak terbaca. Semua itu dari Heri.
Aku segera ke toilet dan mencarinya di sana, namun dia tidak ada. Aku mengiriminya pesan dan menelponnya beberapa kali. Tapi dia tidak mengangkat ataupun membalasnya.
“Maaf, tadi ada pertemuan penting. Maaf juga aku gak bilang sama kamu. Kamu ke sini yah, aku mau ceritain semuanya ke kamu. Pliss,, jangan marah.” Dia hanya membaca pesan masuk dariku. Tidak dibalas atau balik menelpon, membuatku cemas setengah mati. Aku menunggunya di toilet selama 20 menit. Tapi dia tidak muncul-muncul juga. Lagi-lagi aku mulai berpikir, “Apa dia beneran marah?”
“Sayang, pliss jangan marah!” Baru saja aku mengiriminya pesan itu, suara pintu terbuka langsung terdengar.
Cklk..
Dan Heri berjalan menuju ke arahku. Aku melemas. Lega bercampur gemetar menumpu pada diriku. Dia datang ke arahku dengan wajah cemberut dan langkah yang semakin cepat.
Cup..
Dia menciumku dengan tiba-tiba dan tanpa meminta. Aku tak tahu apa yang terjadi padanya sampai melakukan ini padaku. Aku hanya menerimanya sambil membalasnya sebisa mungkin. Sebisa mungkin menurunkan hawa panas pada dirinya. Sebisa mungkin membuatnya sadar dimana kami sekarang sedang berada. Karena aku merasa tangannya mulai mencengkram lenganku dengan kuat. Hingga sesuatu mengganggu kami.
Sreet... Cklk..
Kami berhenti. Heri segera melepas ciumannya.
Seseorang ada di sana melihat apa yang kami lakukan. Aku benar-benar takut. Jantungku berdegup sangat kencang dan mengalirkan darah yang tidak stabil ke kepalaku hingga aku merasa pusing.
“Gue gak tahu kalau lo sebejat ini, San.” Itu kata-katanya. Laki-laki di seberang sana.. dan aku baru sadar, bahwa dia adalah Rama.