Cowok Cantik Part 15
Rama terlihat terkejut. Dia baru saja mendengar pengakuan dari orang yang disukainya. Pengakuan yang mematahkan hati dan cintanya. Aku terpaksa memberi tahu dia semua kebenaran ini sebelum perasaannya terlanjur dalam dan harapannya semakin membesar. Aku tak mau dia tersiksa lebih banyak lagi.
“Gue, minta maaf, Ram! Awalnya gue juga gak ngerti kenapa bisa begini. Tapi gue sadar, kalau gue udah jatuh cinta sama Heri. Mungkin Lo nganggap gue ini munafik. Gue udah ngehina lo, tapi ujungnya gue juga jatuh cinta sama cowok. Karena itu gue minta maaf,” ucapku tidak karuan. Sebab ekspresi Rama sangat tidak bisa aku baca. Apakah dia marah atau apa.
“Ram?” panggilku khawatir.
“Tapi kenapa Lu harus minta maaf ke gue? Kenapa kemarin Lu datang ke gue? Dan kenapa harus dia? Dan bukan gue?” tiba-tiba dia berteriak.
“Ram,,” kataku bingung. Heri sendiri masih terkejut.
“Terus apa maksud ciuman lo itu? Lu mau mempermainkan gue?” bentaknya sekali lagi.
“Bukan gitu maksud gue. Please, jangan salah paham!” ucapku membela diri.
Aku mencoba meraih Rama, tapi dia menepis tanganku. Melihat hal itu membuat Heri tak ingin diam saja. Dia bangkit dan berusaha menggapai Rama, tapi aku berhasil menghalanginya.
“Rama please, lo jangan marah. Gue gak pernah bermaksud nyakitin lo. Gue mohon lo ngerti. Ciuman itu sebagai permintaan maaf gue. Itu aja.”
“Oh, jadi lo mau bilang, lo gak punya perasaan sama gue?” katanya kesal.
Aku tak bisa menjawab. Karena sebenarnya aku juga memiliki perasaan kepadanya. Meskipun aku tidak berani mengambilnya sebagai cinta yang nyata seperti antara aku dan Heri.
Melihat aku gelisah, Rama kembali berkata. “Lo suka, kan, sama gue?” katanya memancingku.
Aku yakin Heri juga ikut menunggu jawaban dariku. Dan aku harus bisa menjawab pertanyaan ini demi kelangsungan hubungan kami di masa depan.
“Gue,, gue.. Gak.” Sedikit ragu awalnya. Tapi kemudian aku mengeluarkannya dengan lantang.
“Gue gak suka sama lo, Ram. Ini cuma kecelakaan. Dan gue cuma suka sama Heri,” ucapku tegas.
“Pergi!!” hanya itu yang dia teriakkan sebelum akhirnya dia naik ke atas kamarnya dan mengunci pintunya dari dalam.
Aku lemas. Heri menopangku dengan genggaman kokohnya. Aku menyentuhnya untuk menerima kekuatannya. Aku berharap hari ini akan membaik di esok hari. Dan kami memilih untuk membiarkan Rama menenangkan dirinya dulu. Jika pun esok dia tidak tampak, kami akan datang kembali ke sini.
Acara jalan-jalanku bersama Heri pun terganggu oleh masalah Rama. Kami hanya mengelilingi tempat-tempat indah tanpa sedikitpun menikmati keindahannya. Hanya segelintir senyum yang dibuat-buat.
Teet... Ponselku bergetar. Ada pesan dari Putri.
“Mama pulang bareng tamu. Abang disuruh pulang.”
Lalu sebuah panggilan menyusul. Itu dari mamaku.
“San, kamu lagi di mana?”
“Sandi lagi di Plaza mah.”
“Ini ada teman mama mau kenalan sama kamu. Kamu pulang yah, ada teman baru juga buat kamu.”
“Iya deh, Mah. Sandi pulang. See you, Mam!” Dan aku mulai cemberut. Heri juga sedikit murung tapi dia berusaha tersenyum agar aku juga mau tersenyum. Kami pun kembali ke rumahnya. Lalu aku lanjut pulang ke rumahku. Sedikit kecupan di mataku Heri selipkan di sela hilir mudik kendaraan di depan rumahnya. Aku tidak tahu dia seberani itu menciumku di tempat umum seperti itu. Yah, meskipun sepi.
Akhirnya, saat aku sampai di rumahku, aku lihat ada seorang perempuan dan seorang ibu-ibu di ruang tamu. Teman mama dan anaknya. Aku sempat memikirkan, ada apa dengan semua ini? Kenapa sampai ada perempuan seusiaku juga? Sepertinya mama mulai beraksi lagi ingin menjodohkanku. Padahal baru kemarin masalah kami baru selesai.
Teet.. suara derit pintu saat aku buka.
“Nah, itu Sandi,” ucap mamaku. Dua perempuan di hadapannya pun berdiri menyambutku. Yang satu mamanya dan yang satu lagi Caca. Ya, dia Caca. Perempuan cantik, baik hati yang kemarin-kemarin sempat membantuku ketika di mading sekolah untuk membaca surat Rama. Dia juga adalah teman baik di kelasku. Kami berdua saling menatap dengan mata yang bulat penuh. Sepertinya kami sama-sama tahu apa yang sedang dilakukan oleh kedua ibu di hadapan kami ini.
Perkenalan pun berlalu. Kedua ibu tadi pura-pura ke toilet bersama untuk meninggalkan kami berdua. Aku pun mengambil kesempatan itu untuk membicarakan tentang percomblangan ini dengan Caca.
“Ca, Lo emang gak kenapa-napa?”
“Kenapa-napa apanya?” tanyanya malah terbalik dari ekspresinya yang sebelumnya.
“Dicomblangin sama gue..” kataku heran. Dia yang semula cuek sambil sesekali menyeruput jus melonnya, kini menatapku serius.
“Lo itu ganteng. Baik. Pinter. Tajir. Atlet taekwondo. Kurang apa coba?” katanya lagi membuat aku bingung.
“Ca?” panggilku menyadarkannya. Tiba-tiba dia menggenggam tanganku. Awalnya aku tersentak, tapi aku menyadarinya. Dia memberikanku selembar memo berisi tulisan.
“Mereka lagi nguping.” Aku meliriknya. Mencari kepastian. Dan dia mengangguk pelan sambil tersenyum menyuruhku tenang.
Aku menghela napas panjang, rentetan ini semakin panjang. Baru saja semalam aku berkencan, pagi tadi bertengkar atau lebih tepatnya membuat Rama kembali mengurung diri, dan sekarang, sekarang aku harus berhadapan dengan dua ibu-ibu yang mencomblangkanku dengan temanku sendiri.