Begitu tiba di sekolah pagi itu, Karame terheran-heran saat seisi kelas langsung menyerbunya. Beberapa dari mereka bahkan berasal dari kelas lain. Teman-temannya berkerumun di sekelilingnya dan menjadikannya sebagai pusat perhatian. Kemudian tanpa komando, mereka membuka mulut secara bersamaan, menghadirkan dengung pertanyaan tentang apa yang terjadi pada pertandingan persahabatan kemarin sore.
“Kok bisa kamu kenal sama anak SMA Borneo?”
“Apa benar cewek yang kemarin digendong Devon itu pacarnya?”
“Jadi, kamu pacaran sama kapten tim Borneo? Bukan sama Devon?”
Kira-kira itu adalah tiga pertanyaan utama yang bisa ditangkap Karame dalam sekali dengar. Selama beberapa detik ia hanya bisa bengong. Bingung harus menjawab yang mana terlebih dahulu. Lagi pula ia tidak merasa berhak menceritakan hubungan asmara orang lain. Sekali pun itu milik Devon.
Karame menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia mengerling pada Cherry yang duduk pasrah di sampingnya. Tetapi cewek itu hanya mengangkat bahu dan menggeleng, tidak bisa memberi bantuan apa pun.
“Siapa yang mau roti gratis?”
Teriakan Devon yang baru memasuki kelas langsung mengalihkan perhatian orang-orang yang mengerumuni Karame. Tidak perlu heran. Siapa juga di dunia ini yang bisa mengabaikan kata ‘gratis’? Terutama untuk para siswa dengan uang saku seadanya.
Karame menitikkan tatapannya pada Devon yang kini bak selebriti di tengah penggemar fanatiknya. Dibantu Ale, cowok itu membagikan roti dan donat berbungkus plastik bening. Karame yakin, itu produksi dari Knead Bread.
Entah harus bagaimana, tetapi Karame merasa berterimakasih. Kedatangan Devon langsung menyelamatkannya dari serbuan teman-temannya. Sekarang wajah-wajah penasaran itu sudah digantikan ekspresi syukur karena bisa sedikit menghemat uang saku hari ini.
Seolah merasa diperhatikan, Devon menoleh dan langsung bersitatap dengan Karame. Ia mendatangi bangku Karame dengan langkah percaya diri, sementara Karame menyambutnya dengan dagu terangkat tinggi.
“Kenapa lihat-lihat? Kepengin juga makan roti enak?” Devon merogoh kantung plastik di tangannya dan meletakkan sebuah donat dengan lelehan cokelat putih dengan taburan bubuk matcha. “Nih! Mumpung aku lagi baik hati.”
Karame mendecih. Walaupun hari ini ia tidak membawa bekal ke sekolah, tetapi menerima roti gratis dari toko pesaing terasa tidak benar. Seolah-olah ia sedang melakukan pengkhianatan. “Enggak, ah. Takutnya sudah berjamur.”
“Ini baru, tahu!”
“Terus kenapa dibagikan gratis? Enggak laku, ya?” Karame mengembalikan olokan Devon tempo hari.
Devon menelan ludah. “Aku cuma mau mentraktir sebagai bentuk syukur karena aku sudah punya pacar.”
Karame mengulum tawa. “Telat, dong. Kalian, kan, sudah resmi enam bulan lalu.”
Alis Devon terangkat karena tidak menyangka kalau Karame mengetahui hal itu. Sebenarnya, sejauh mana kedua cewek itu saling bercerita?
“Pacarmu itu anak Borneo yang namanya Lei, ya?” Cherry menimbrung dalam perdebatan itu.
Kepala Devon mengangguk cepat. Penuh kebanggaan. “Cantik, kan?”
“Iya,” sahut Cherry setuju. “Kok mau, sih, sama kamu?”
“Karena aku ganteng.”
“Enggak usah terlalu percaya diri, nanti susah menerima kenyataan,” cibir Karame.
“Memang aku ganteng, kok.”
Karame terbatuk-batuk saat berusaha menahan agar isi perutnya tidak keluar.
“Ini buat kamu, Cher.” Devon memindahkan donat ke hadapan Cherry.
Cherry menatap donat itu dengan ekspresi jelak. “Enggak, ah. Terima kasih.”
Karame menyamarkan batuk dengan tawa.
“Kenapa?” tanya Devon dengan bingung. Sekilas, matanya memelotot pada Karame. “Takut dibilang pengkhianat sama teman sebangkumu?”
“Enggak,” elak Cherry. “Aku cuma bosan makan yang manis-manis. Kemarin Tanteku datang berkunjung dan membawakan banyak banget roti dan kue. Alhasil, kami sekeluarga jadi puasa nasi demi menghabiskan itu semua.”
“Oh. Lagi ada acara, ya?” tebak Karame asal.
“Bukan. Kata Tanteku, beliau kalap belanja di toko kue. Kue dan rotinya enak-enak dan lagi banyak promosi karena baru buka.”
Karame dan Devon saling melempar pandangan sekejap. Lalu mereka menyuarakan pertanyaan yang sama. “Apa nama tokonya?”
“Hem. Kalian kompak juga, ya,” goda Cherry sambil mengulum senyum.
“Jawab saja, Cher,” desak Devon tidak sabar.
Cherry mengerucutkan bibirnya. Ia mengingat-ingat huruf berwarna emas yang tertulis di kemasan kue yang kemarin dilahapnya. “Nama tokonya... Cakewalkers.”
***
Sepuluh menit sebelum bel pulang berbunyi, Karame sudah menumpuk rapi bukunya di atas meja. Kakinya bergoyang-goyang tidak sabar di bawah meja. Tidak sepatah kalimat pun dari gurunya yang ditangkap indranya. Ia hanya bisa melihat bibir gurunya yang bergerak membuka dan menutup. Seolah-olah ia sedang menonton drama kialan. Lamunannya hanya terganggu saat Cherry menyikut lengannya.
“Kenapa buru-buru, sih?” bisik Cherry tanpa menoleh.
“Ada misi rahasia.”
“Kencan lagi?”
Karame menggeleng kuat-kuat.
Begitu bel berdering, Karame langsung memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Tanpa menghiraukan salam penutup yang diucapkan guru di depan kelas, Devon sudah muncul di samping Karame.
“Ayo, Pao! Lelet banget, sih.”
“Iya, bentar,” sahut Karame sambil mengenakan ranselnya di punggung.
Seperti dikejar singa kelaparan, Karame dan Devon melangkah cepat menuju tempat parkir. Tidak ada waktu untuk meladeni sorak-sorai yang meneriaki seolah mereka adalah sepasang pengantin baru.
Dengan canggung, Karame duduk di boncengan motor Devon, setelah sebelumnya ia mengenakan helm yang diberikan cowok itu tadi. Segera Devon tancap gas meninggalkan SMA Andalas.
Tidak sulit menemukan toko bernama Cakewalkers itu. Lokasinya hanya berjarak 100 meter dari halte tempat biasa Karame menunggu bus. Bangunan bekas minimarket itu menjelma kafe yang didominasi warna putih dan emas. Pengunjung dari berbagai usia tampak memadati bangunan dengan jendela yang dipasang mati ke dinding.
Tidak hanya itu. Cakewalkers juga menyediakan layanan sejenis drive-thru untuk para pejalan kaki. Itu memudahkan pelanggan yang ingin menikmati roti atau kue tanpa menongkrong di dalam kafe. Di atas gerbang masuk kafe itu, ada selembar reklame terbentang bertuliskan: BELI 1 GRATIS 1.
“Jadi ini yang bikin Knead Bread sepi,” gumam Devon.
Saat ini ia duduk di atas motornya yang diparkirkan di seberang Cakewalkers. Karame yang duduk di boncengannya, ikut memandangi pesaing baru bagi kedua toko Ayah mereka itu.
“Hem, Knead Bread juga kehilangan pelanggan, ya?”
Devon memiringkan tubuhnya sedikit ke belakang. “Juga? Kalau Brownice, kan, sudah biasa sepi yang beli. Tapi Knead Bread—”
“Sialan!” sela Karame sambil mengeplak kepala Devon. Beruntung, cowok itu masih mengenakan helmnya. “Sudah, ah. Ayo pulang.”
“Enggak mampir dulu? Aku penasaran seenak apa rotinya.”
“Ogah!” Karame bergidik. Apa kata orang kalau melihat ia masuk ke kafe berdua Devon. Sudah cukup olokan teman-temannya tadi di sekolah. “Hari Minggu saja. Setelah pertandingan basket di Borneo. Kita ajak Reeze dan Lei.”
“Ide bagus,” ucap Devon setuju. Ia menaikkan standar motornya lalu memutar balik untuk mengantar Karame pulang.
Saat motor Devon berhenti di depan Brownice yang berseberangan dengan Knead Bread, Karame bergegar turun. Dengan panik, ia melepas helm dan menyerahkannya pada Devon. Ia melirik jendela besar yang menampilkan bagian dalam toko. Lalu tangannya mengibas cepat sebagai syarat agar cowok itu cepat pergi.
Devon mengangkat satu alisnya. “Oke. Sama-sama,” sindir cowok itu ketus lantas menggas motornya untuk pulang ke rumah yang hanya dipisahkan jalan beraspal dua lajur yang tidak terlalu ramai.
***
Setelah memarkirkan motor, Devon memasuki rumahnya melalui pintu samping yang mengarah ke ruang keluarga. Sama seperti rumah Karame, bagian depan tempat tinggalnya diubah menjadi toko tempat Papanya menjual roti dan donat.
Kepalanya menunduk sambil mengetik pesan balasan Madeleine. Devon mengabarkan sudah tiba di rumah dan sedikit mengungkapkan betapa rindunya ia pada pacarnya itu.
“Kamu barusan mengantar siapa?” tanya Bakrie Arsjad, Papa Devon, menyambut Devon dengan tangan terlipat di depan dada.
Devon yang baru menutup pintu langsung terperanjat. “Astaga. Papa bikin kaget saja.”
Bakrie menatap anaknya dengan ekspresi datar. Ia memang sedang tidak bercanda. Devon membalas tatapan itu. Sama datarnya. Paham benar bahwa Papanya sudah mengetahui jawaban atas pertanyaan itu.
Bakrie mengurai tangannya dari depan dada sambil mendekati Devon. “Kamu barusan mengantar siapa?” tanya Papanya, mengulang.
Devon terdiam. Sengaja tidak menjawab.
“Devon?” panggil Bakrie tajam.
“Memangnya kenapa kalau aku mengantar Kara pulang?” Devon memilih untuk menjawab dengan pertanyaan juga. Ia juga masih tidak paham dengan permusuhan antara Papanya dan Ayah Karame. “Lagi pula rumah kita searah.”
“Kalian berpacaran?”
Devon membuang tatapannya ke lantai. “Bukan urusan Papa.”
“Kamu boleh pacaran dengan siapa pun, asal bukan anak dari orang itu,” ucap Bakrie tegas. Dan ketika ia melihat mulut Devon bergerak untuk membantah, ia langsung menambahkan. “Enggak perlu tahu alasannya. Kamu cukup turuti apa kata Papa.”
Walaupun Devon sama sekali tidak pernah jatuh cinta pada Karame, tetapi mendengar kebencian tidak beralasan dari Papanya membuat ia tidak bisa menerima begitu saja. Tetapi sebelum Devon sempat bersuara, Bakrie sudah pergi ke arah pintu sambung ke arah Knead Bread, membiarkan Devon yang masih terpaku.
***
Sekali lagi, Karame memastikan semua buku-buku yang ia siapkan sesuai dengan jadwal besok. Terutama buku tugas kimia yang tidak boleh tertinggal. Ia tidak ingin kerja kerasnya malam ini berbuah hukuman dikeluarkan dari kelas. Setelah memeriksa perlengkapan lainnya, ia menutup ritsleting tasnya.
Tidak lupa, Karame menyetel beker sebelum akhirnya memadamkan lampu kamar. Ia berbaring di atas tempat tidur. Saat yang tepat untuk tidur. Tetapi yang terjadi malah ia melamun pada langit-langit kamarnya yang gulita. Ada satu hal yang mengganjal hatinya.
Bukan tentang toko kue yang menjadi pesaing baru bagi Ayahnya. Ia sudah memutuskan untuk membahas hal itu besok pagi saat sarapan. Setidaknya, suasana harus dalam keadaan tenang agar Ayahnya bisa memikirkan strategi baru untuk mengembalikan minat pelanggan ke Brownice.
Karame meraba-raba untuk mengambil ponsel yang tadi diletakkannya di meja belajar yang ada di samping tempat tidurnya. Keadaan benda itu masih sama seperti waktu terakhir ia melihatnya beberapa menit yang lalu. Spontan, ia langsung menghempaskan ponselnya ke atas kasurnya yang empuk.
Pukul sembilan sudah terlewati beberapa menit tetapi ponsel itu tetap tidak berbunyi. Karame membaca ulang pesan yang terakhir dikirim Reeze untuknya. Tiga kali ia memerhatikan setiap kata dan huruf dalam pesan singkat itu. Tetap saja tidak ada yang berubah. Pesannya tetap berbunyi sama. Bahwa Reeze akan menelepon pukul delapan.
Atau haruskah Karame yang menelepon lebih dahulu? Setidaknya untuk mengucapkan selamat tidur. Ia langsung menggeleng kuat, membuang gagasan itu jauh-jauh. Walaupun zaman sekarang sudah bukan hal aneh bagi cewek untuk mengambil langkah lebih dahulu, tetapi ia tetap harus memikirkan gengsi dan harga diri sebagai cewek. Lagi pula, mungkin saja Reeze sedang ada urusan penting. Ia tidak ingin dicap sebagai cewek pengganggu.
Baiklah. Karame memutuskan untuk menunggu. Batas waktunya adalah pukul sepuluh malam.
Entah sudah berapa lama Karame kembali melamun dalam kegelapan saat tiba-tiba ponsel di dekat tangannya bergetar. Ia langsung melenting duduk di atas tempat tidur. Setelah menghitung sampai tiga, ia berdeham dan menjawab panggilan yang ditunggunya itu.
“Halo.”
“Hei, Kar. Belum mengantuk?”
Karame menggeleng, walaupun tahu Reeze tidak bisa melihat itu. “Belum, kok.”
“Hem, karena menunggu aku telepon, ya?”
“Ini... aku baru selesai mengerjakan tugas kimia,” dusta Karame karena takut Reeze merasa bersalah sudah membuatnya menunggu.
“Oh,” respon Reeze lemas. Lalu ada jeda keheningan yang panjang.
Kening Karame mengernyit. Berbagai dugaan negatif berkelebat dalam benaknya. Mungkin Reeze bosan mengobrol dengannya. Atau Reeze sebenarnya terpaksa meneleponnya. Kebaikan hati cowok itu yang tidak tega membiarkan Karame kecewa. Bisa saja Reeze akhirnya sadar bahwa Karame bukanlah cewek yang menyenangkan.
“Reeze?” panggil Karame hati-hati. “Kamu baik-baik saja?”
Reeze tidak menjawab. “Kar, kamu bisa nyanyi?”
Karame menggigit bibirnya, bingung dengan pertanyaan tiba-tiba itu. “Bisa, sih. Tapi suaraku jelek.”
“Kata siapa jelek?”
“Kata Devon.”
Reeze mendenguskan tawa hambar. “Kamu terlalu percaya sama Devon.”
“Katanya, suaraku kayak bunyi kaleng dibanting.”
“Boleh juga, tuh. Nyanyi dong buat aku.”
“Eh? Kenapa? Kamu enggak sayang sama gendang telingamu?” tanya Karame tidak percaya. Ini pertama kalinya ada yang memintanya bernyanyi di luar ujian praktek seni musik.
“Enggak apa-apa. Aku pengin dengar kamu nyanyi.”
“Oh, oke.” Karame terpaksa setuju. Ia berdeham beberapa kali, membersihkan tenggorokannya. “Tapi lagu anak-anak saja, ya?”
“Lagu apa saja boleh.”
Lalu mulailah Karame mendendangkan lagu-lagu singkat yang sering dinyanyikannya saat TK. Entah sudah berapa lagu yang terlantun hingga akhirnya terdengar dengkuran halus di ujung sambungan telepon.
Senyum terbit di bibir Karame. “Selamat tidur, Reeze,” bisiknya sebelum menekan tombol untuk mengakhiri panggilan.
***
Hampir pukul sepuluh malam.
Dering panggilan menyusup di antara musik rock yang mengalun dalam kamar Devon. Ia langsung bangkit dari atas kursi meja belajarnya demi menyambar ponsel dari atas kasur. Tugas kimianya yang sedikit lagi selesai, mendadak terbengkalai.
“Halo, Sayang,” sapa Devon dengan nada manja.
Cewek di ujung sambungan telepon tertawa kecil. Devon bisa membayangkan wajah cantik Madeleine yang sedang tersipu.
“Kukira sudah tidur.”
“Belum. Aku menunggu kamu balas pesanku.” Devon tidak berbohong. Sebagian karena ia menunggu balasan pesan dari Madeleine, sebagian lagi karena ia harus menyelesaikan tugas kimia yang wajib dikumpulkan besok.
“Oh, maaf.” Suara Madeleine terdengar merasa bersalah. “Ini aku baru sampai rumah.”
“Enggak apa-apa,” ucap Devon penuh pengertian. “Mumpung Mama Papa lagi sama-sama ada waktu buat makan malam bersama kamu dan Reeze.”
Selama beberapa detik, Madeleine terdiam. “Iya. Ya, sudah. Aku mau tidur dulu. Capek.”
“Selamat tidur, My Princess,” ucap Devon sok romantis.
“Selamat tidur,” sahut Madeleine sebelum panggilan terputus.
Devon tidak serta-merta meletakkan ponsel dan melanjutkan tugas kimianya yang tertunda. Ia mengirimkan pesan singkat bernada cinta pada Madeleine. Sebelum akhirnya memutuskan turun ke dapur untuk minum.
“Belum tidur?” tanya Bakrie saat melihat Devon memasuki dapur.
“Masih ada tugas,” jawab Devon sambil menampung air dari dispenser. Ia menarik kursi yang berhadapan dengan Papanya. Perhatiannya tertuju pada Papanya yang sedang menyesap kopi. Ketika cangkir Papanya kembali ke atas tatakan di meja, ia kembali bersuara. “Kenapa Papa enggak coba kerja sama saja sama toko brownies depan?”
Bakrie mengangkat wajahnya dan menatap Devon seolah anaknya itu sudah tidak waras. “Kamu mau dunia kiamat lebih cepat?”
“Enggak akan sebegitunya, kan, Pa?” Devon menggeleng heran pada tanggapan yang menurutnya kekanakan.
“Ini yang Papa enggak suka kalau kamu salah bergaul. Anak orang itu bisa membawa pengaruh buruk sama kamu.”
Papanya tidak menyebutkan nama, tetapi Devon paham betul siapa yang dimaksud dalam pembicaraan itu. “Ada toko kue yang baru dibuka. Banyak pelanggan toko kita dan toko depan yang berpindah ke sana. Menurutku, mungkin dengan bekerja sama, kita bisa mengembalikan pelang—”
Bakrie menggebrak meja dengan telapak tangannya, menimbulkan bunyi keras yang otomatis membungkam ucapan anak semata wayangnya. “Kamu enggak tahu apa-apa, Devon. Jangan banyak omong.”
“Kalau gitu, Papa bisa jelaskan sebenarnya ada masalah apa antara Papa dan Ayahnya Kara?”
Bakrie mendebas keras sambil bangkit dari duduknya. “Semakin lama sifatmu semakin mirip Mamamu. Cerewet.”
Devon hanya bisa mematung. Ia membiarkan punggung Papanya bergerak menjauh tanpa penjelasan apa pun untuk ruang kosong hatinya yang kembali terluka.
Ditunggu chapter 2 nyaa :D
Comment on chapter I. Nama yang Manis