Ada yang berbeda dengan suasana SMA Andalas hari ini.
Bel pulang sudah berbunyi tetapi tidak banyak siswa yang berbondong-bondong menuju gerbang sekolah seperti biasanya. Sebagian siswa masih memenuhi kantin, sementara yang lainnya duduk-duduk di koridor kelas sambil mengobrol. Tidak terlalu kentara bahwa mereka sebenarnya sedang menunggu.
Begitu sebuah bus mini dan tiga unit mobil SUV memasuki pelataran parkir sekolah, penantian mereka berakhir. Beberapa langsung berdiri dan memerhatikan dengan terang-terangan. Sebagian lainnya bersikap seolah tidak peduli tetapi sesekali melirik penuh perhatian.
Tiga orang anggota klub basket menyambut kedatangan rombongan tamu dari SMA Borneo itu. Dua orang mempersilakan cowok-cowok yang turun bus mini untuk menuju ruang kelas X-1 yang sudah disulap menjadi ruang ganti. Sementara satu orang lainnya mengarahkan sisanya ke ruang kelas X-2 yang sudah ditata menjadi ruang tunggu.
Walaupun sama-sama berstatus sebagai siswa SMA, tetapi ada perbedaan mencolok antara dua sekolah itu. SMA Borneo memiliki bus mini dengan logo dan nama sekolah melintang di bawah deretan jendela. Kendaraan itu bersedia mengantar para siswanya untuk berkegiatan di sekolah. Sekali pun hanya untuk sebuah pertandingan persahabatan.
Dan yang lebih membuat iri, SMA Borneo punya seragam khusus untuk dikenakan selama hari Rabu dan Kamis. Tidak seperti sekolah kebanykan yang harus puas dengan seragam nasional putih abu-abu. Hari ini mereka datang dengan mengenakan kemeja berlapis jas dan blazer abu-abu. Sementara dasi dan roknya bermotif kotak-kotak ungu gelap dan putih.
Madeleine berjalan di antara rombongannya sambil memerhatikan sekitar. Ini adalah tempat pacarnya sekolah. Ia tersenyum sendiri membayangkan Devon berdiri bersandar di salah satu pohon yang ditanam di lapangan parkir atau berlari di sepanjang koridor. Tepat saat itulah ia melihat seseorang yang dikenalnya baru turun dari lantai dua. Serta merta ia menghentikan langkah dan keluar dari kerumunan.
“Kara!” serunya untuk menarik perhatian Karame.
Karame yang awalnya sedang berbincang dengan orang di sampingnya, langsung menoleh dan menghampiri Madeleine. “Kamu datang juga, Lei?”
Madeleine mengangguk. “Aku kan harus mendukung kakak dan sekolahku.”
Mata Karame memicing curiga. “Mendukung Reeze atau ingin ketemu Devon?”
Wajah Madeleine langsung merona mendengar Karame menyebut nama pacarnya. “Yang itu jadi bonusnya.”
Karame terkekeh. Tidak peduli pada orang-orang yang memerhatikannya seolah ia adalah salah satu penggemar beruntung yang disapa oleh idolanya.
“Omong-omong, memang Devon di mana? Kok enggak ikut menyambut?”
“Enggak tahu.” Karame mengangkat bahu. “Mungkin lagi mengepel lapangan basket,” tambahnya dengan asal.
Kening Madeleine mengernyit. “Memangnya di sini enggak ada petugas kebersihannya?”
Karame tertawa kecil menghadapi kepolosan Madeleine. “Oh, ya. Kenalkan ini temanku. Cherry.”
Madeleine dan Cherry saling berjabat tangan dan menyebut nama masing-masing.
“Ini kita mau ke kantin. Beli camilan buat menonton basket. Mau ikut, Lei?”
“Boleh,” jawab Madeleine lalu berjalan di samping Karame.
***
Pertandingan persahabatan antara tim basket putra SMA Borneo melawan tuan rumah SMA Andalas akan segera dimulai. Masing-masing anggota tim sudah mengganti seragam sekolah mereka dengan jersey kebanggaan sekolah. SMA Andalas dengan jersey berwarna putih bergaris hijau telur bebek, sementara jersey SMA Borneo berwarna ungu gelap dengan kombinasi abu-abu terang.
Devon yang sedang melangkah ke tengah lapangan, tiba-tiba menoleh dan melempar senyum ke arah Madeleine. Sangat mudah menemukan cewek itu di antara kerumunan di sekitarnya. Ia juga sempat mengedipkan satu matanya dengan gaya jenaka.
Tingkah itu mendapat reaksi beragam. Cewek-cewek dari berbagai kelas yang menjadi suporter mendadak histeris, saling berkasak-kusuk seolah itu ditujukan untuk mereka. Karame langsung mengenyit jijik pada serangkaian tingkah dan tanggapan berlebihan itu. Sementara Madeleine hanya tersenyum simpul sambil melambai sembunyi-sembunyi di depan dadanya.
“Benaran enggak apa-apa kamu duduk di sini, Lei?” tanya Karame sambil menoleh ke samping. Wajah Madeleine terlihat jelas masih tersipu.
Madeleine menganggut-anggut lalu menyuapkan sebatang biskuit stik cokelat ke mulutnya. “Memang kenapa? Kamu keberatan, Kar?”
“Ya, enggaklah. Aku malah senang bisa ketemu kamu.” Lagi pula mengapa harus keberatan setelah ditraktir sekantung plastik penuh camilan. Karame mengambil sebungkus keripik kentang sambil melempar pandangannya ke seberang yang dipenuhi suporter SMA Borneo. Ada sekelompok cewek yang cukup menarik perhatian. Mereka duduk sambil memegang payung demi menghindari sinar matahari sore yang sama sekali tidak terik. Tidak ketinggalan, ada kipas mini dalam genggaman masing-masing.
“Takutnya teman-temanmu menganggapmu pengkhianat sekolah, tuh,” celetuk Cherry sambil tertawa. Ia berusaha bersikap ramah karena ikut terciprat camilan yang dari cewek yang baru dikenalnya beberapa menit lalu.
Madeleine ikut tertawa. “Biar saja.”
Tatapan Karame sudah beralih ke tengah lapangan. Matanya memindai cepat sosok-sosok yang siap bertanding di lapangan. Tetapi sejak tadi, ia sama sekali belum melihat kehadiran Reeze. Sampai-sampai ia ragu kalau cowok itu akan ikut bertanding hari ini. Padahal ia rela pulang terlambat hari ini karena Reeze memintanya untuk datang menonton.
Bibir Karame memberengut. Ia meremas bungkus keripik yang sudah kosong sebagai pelampiasan emosinya. Apanya yang bisa dapat tambahan semangat?
“Kenapa cemberut?” tanya Madeleine sambil menyikut lengan Karame.
Karame menggeleng. “Enggak apa-apa. Aku cuma lagi merasa tertipu.”
“Tertipu apa?”
“Ini keripiknya isinya dikit banget. Jadi cepat habis.”
“Kalau mau, ambil punyaku saja, Kar,” tawar Cherry yang melongok dari balik kepala Madeleine.
Tentu saja Karame langsung menolak tawaran itu.
“Kukira kamu lagi cari Kak Reeze,” bisik Madeleine dengan nada jail.
Karame mengerjap bingung. Apakah sejelas itu ia memperlihatkan ketertarikannya pada Reeze? Kalau Madeleine bisa menebak dengan tepat, bagaimana dengan Reeze?
“Dia memang suka sok misterius. Baru muncul menjelang pertandingan dimulai,” tambah Madeleine lagi.
“Siapa juga yang cari Reeze?” sanggah Karame cepat-cepat.
Madeleine menyambut dengan tawa. Padahal kedua pipi tembam Karame semakin merona. Apalagi ketika akhirnya sosok tinggi Reeze melangkah ke dalam lapangan. Cowok itu berlagak sibuk membetulkan handband di pergelangan tangannya. Sementara tatapan Karame terus menerus mengikuti gerakan Reeze hingga akhirnya peluit dibunyikan sebagai tanda dimulainya pertandingan.
***
Kejar mengejar angka terus terjadi sepanjang pertandingan. Sebagaian besar suporter cewek yang awalnya ikut menonton demi penampilan fisik para pemain mulai hanyut dalam permainan. Tangan mereka mengepal gemas. Mata mereka mengikuti pergerakan bola dan ikut berteriak saat ada tembakan meleset. Dalam hati doa terus dipanjatkan agar tim sekolah mereka yang mencetak skor terbanyak.
Waktu terus dihitung mundur. Devon tidak terkawal saat mendapat operan dari rekan setimnya. Tanpa berpikir panjang, ia langsung melempar bola dari tempatnya berdiri. Bola pun memelesat cepat ke arah ring.
Bola bergulir di tepian ring dan masuk! Tiga detik sebelum peluit berakhirnya pertandingan dibunyikan. Tembakan tiga angka dari Devon sukses mengubah kedudukan akhir. Tim basket SMA Andalas menang dengan skor 71-68.
Para pemain saling bersalaman dan berpelukan, melupakan rivalitas yang tadi terbangun. Tubuh lelah mereka harus menunda istirahat saat kerumunan penonton cewek berbondong-bondong memenuhi lapangan. Beberapa dari mereka langsung mengangkat ponsel dengan kamera menyala. Dan para pebasket yang sudah merindukan botol minumnya itu tetap berusaha tersenyum seramah mungkin.
Karame menepuk keningnya. Begitu juga dengan Cherry yang menggeleng-gelengkan kepalanya dengan heran. Cewek-cewek yang mengerubuti lapangan itu didominasi siswi SMA Andalas. Mereka seolah-olah menyatakan bahwa tidak ada stok cowok keren di sekolah.
Mata Karame menangkap sosok Devon yang berhasil menyeruak kerumunan. Cowok itu melangkah cepat dengan senyum lebar sambil menatap Madeleine. Sementara Reeze tampak masih dengan sabar meladeni penggemar dadakannya.
“Leeeeeeiiii!” seru Devon sambil berlari dalam slow motion menuju pinggir lapangan. Semakin dekat dengan keberadaan Madeleine, ia semakin melebarkan lengannya.
Madeleine menutup pipinya yang tersipu dengan kedua tangan. Ia terkikik geli dengan tingkah Devon yang penuh drama jenaka. Salah satu hal yang membuat ia jatuh cinta pada cowok itu.
Hanya tinggal satu langkah lagi Devon memeluk Madeleine saat tiba-tiba sebuah tangan yang kokoh menahan tepat di dadanya.
“Mau apa?” tanya Reeze, yang entah muncul dari mana, dengan ketus. Tatapannya tajam dan tertuju langsung pada sepasang mata Devon. Ia serius. Sama sekali tidak main-main.
“Mau memeluk pacarku,” jawab Devon tanpa gentar. Ia menurunkan kedua tangannya ke sisi tubuh. “Seorang pemenang berhak mendapat hadiah.”
“Jangan. Sentuh. Adikku,” ucap Reeze dengan penegasan di setiap kata. “Terutama dengan tubuh penuh keringat seperti itu.”
Cengiran khas muncul di wajah Devon. “Ayolah, Reeze. Jangan terlalu serius begitu.”
“Kalau tentang Lei, aku selalu serius.”
“Oke, oke,” kata Devon sambil menekan lengan sahabatnya itu dari dadanya.
Begitu kewasapadaan Reeze melonggar, Devon langsung bergerak maju untuk meraih Madeleine. Dengan kedua tangannya, ia menggendong tubuh mungil cewek itu layaknya seorang putri. Madeleine tidak memprediksi tindakan itu dan memekik kaget. Tangannya melingkar di leher Devon yang tiba-tiba berlari menjauh saat mendengar Reeze mengaumkan namanya. Seperti kesatria yang menyelamatkan tuan putri dari kandang naga.
Reeze mendengus kesal sambil berkacak pinggang. Tetapi ia bergeming saat melihat wajah bahagia Madeleine. Kedipan cepat kedua mata Madeleine menghapuskan niat untuk merebut kembali adiknya yang diculik.
“Mau minum?” tawar Karame sambil menyodorkan sebotol air mineral yang masih disegel.
Reeze mengangguk dan menerima pemberian Karame. “Terima kasih, Kar.”
Karame menelan ludah saat memerhatikan Reeze yang menghabiskan isi botol minum dalam sekali tegukan. Sepertinya pertandingan tadi mengantarkan dahaga bagi cowok itu.
“Kar,” panggil Reeze pelan, sehingga suaranya hanya bisa di dengar oleh Karame. Walaupun ia tidak menghadap langsung ke arah cewek itu.
“Ya?” sahut Karame walau sempat ragu mendengar Reeze memanggilnya.
Cowok itu meremas botol kosong hingga seukuran dengan genggamannya. “Terima kasih sudah datang menonton.” Ia melempar gumpalan plastik itu ke arah tong sampah dekat pagar SMA Andalas. Tujuh meter dari tempatnya berdiri dan... masuk! Diikuti sorakan kagum dari cewek-cewek yang masih berkerumun memerhatikannya.
Reeze menoleh pada Karame. “Aku harap hari Minggu nanti kamu juga mau datang.”
***
Akhir-akhir ini ada sesuatu yang kurang beres dengan Brownice.
Dugaan itu muncul bukan tanpa alasan. Sudah tiga kali dalam minggu ini, ia melihat Ayahnya masih sibuk dalam toko yang sudah tutup. Bahkan sebagian lampu di ruangan itu sudah dipadamkan. Ini bukan hal yang biasa dilakukan Ayahnya.
Tidak seperti sebelumnya, kali ini Karame memilih untuk menghampiri Ayahnya.
“Ayah kok masih di sini?” tanya Karame sambil menekan saklar untuk membantu lampu meja memberikan penerangan.
Graham mengernyit pada cahaya tiba-tiba itu. Ia mengalihkan perhatian dari berkas di atas meja pada anak perempuannya. “Sudah pulang, Kar? Bagaimana pertandingannya tadi? Sekolahmu menang?”
“Menang,” jawab Karame singkat. Ia sudah berdiri di samping Ayahnya yang duduk di balik meja kasir. “Maaf, Kara pulang lebih telat. Tadi makan dulu sama teman-teman.”
Graham tersenyum mengerti. “Enggak apa-apa. Kemenangan, kan, pantas dirayakan.”
Karame menggaruk belakang telinganya. Ada sedikit perasaan bersalah karena membohongi Ayahnya. Ia tidak pergi makan bersama teman-teman sekolahnya melainkan hanya berempat dengan Madeleine, Devon, dan Reeze. Cepat-cepat, ia mengalihkan topik dengan mengulang pertanyaannya tadi. “Ayah kenapa masih di sini? Enggak istirahat?”
Graham mendebas sambil menghempaskan otot-otot punggungnya yang kaku ke sandaran kursi. “Nanti. Masih ada yang Ayah urus.”
Karame memandang lembaran kertas di atas meja. Tetapi ia sama sekali tidak mengerti. “Ada masalah, ya, Yah?”
Graham mendongak untuk menatap wajah anaknya. Ada bimbang yang dirasakannya. “Sedikit.”
“Ayah enggak siapin bahan-bahan buat besok?”
Graham menggeleng lemas. “Masih ada sisa kue hari ini. Cukup banyak.”
Kening Karame mengernyit. “Kok tumben, Yah?”
“Enggak tahu.” Graham menggedikkan bahu. “Ayah juga bingung.”
“Mungkin memang rejeki hari ini cuma segitu, Yah,” ucap Karame dengan nada menghibur. “Tandanya Ayah harus lebih banyak istirahat.”
Graham melepaskan tawa kecil. Ia menghalangi dirinya sendiri untuk mengatakan bahwa hal serupa sudah terjadi hampir satu pekan terakhir. Jangan sampai putrinya mencemaskan yang tidak penting. “Ya, sudah. Kamu mandi dan ganti baju, sana. Baumu sudah kayak lemon basi.”
Tawa Karame ikut meledak saat mendengar perumpamaan itu. Ia memberi sikap hormat ala militer lalu meninggalkan Ayahnya.
Sebelum benar-benar pergi, ia menoleh sekilas kepada Ayahnya yang sudah kembali sibuk dengan pekerjaannya. Ia memerhatikan kedua bahu Ayahnya. Begitu banyak beban yang harus ditanggung pria itu.
Andai saja, Bundanya ada di sini. Pasti Ayahnya tidak akan kesepian seperti sekarang.
Sebenarnya, Karame sangat ingin menanyakan hal itu pada Ayahnya. Bukankah biasanya rindu bisa terobati dengan menghadirkan kembali seseorang yang sudah pergi ke dalam cerita kenangan?
Tetapi Karame menghambat keinginannya itu. Ia sadar benar bahwa yang terjadi malah sebaliknya. Ayahnya akan semakin terkurung dalam kesedihan. Sama seperti terakhir kali ia menanyakan keberadaan Bundanya. Sepuluh tahun silam.
Ditunggu chapter 2 nyaa :D
Comment on chapter I. Nama yang Manis