Bel istirahat berbunyi. Karame mengembuskan napas lega. Sungguh jam pelajaran yang nyaris sia-sia. Tidak sedikit pun materi yang disampaikan para guru sanggup menembus kraniumnya. Terhambat oleh sikap Reeze yang berbeda tadi malam. Ia sempat mengirim pesan selamat pagi sebelum mandi, tetapi hingga saat ini cowok itu tidak memberikan balasan.
Meskipun sudah tahu hasilnya, Karame tetap memeriksa ponsel di laci mejanya. Ia tidak terlalu kecewa saat mendapati benda itu masih membisu. Sejak tadi hanya ada satu pesan dari operator yang masuk untuk menggetarkan ponselnya.
Hari ini, hanya Karame dan Cherry yang membawa bekal. Seperti biasa, bekal Cherry selalu lengkap. Ada nasi, sayur, ikan, sosis, beberapa potongan apel, dan sekotak susu dalam kemasan. Berbanding jauh dengan kota bekal Karame yang hanya berisi nasi dan selembar telur dadar. Ia memasaknya sendiri tadi pagi. Walaupun tampilannya tidak menggiurkan, tetapi ia bangga dengan hasil masakannya sendiri. Sementara teman-temannya yang lain, tampak asyik menikmati roti dalam genggaman masing-masing.
“Apa itu? Roti gratis lagi dari Devon?” tanya Karame berbasa-basi. Padahal kemasannya jelas jauh berbeda dari roti yang dijual Knead Bread.
“Bukan,” sanggah Candy. “Ini beli di Cakewalkers. Mumpung banyak diskonnya. Mau cicip, Kar?” Candy menyodorkan roti berbungkus plastik sedikit buram dan kusut dengan nama tokonya yang dicetak dengan warna emas.
Karame menggeleng. “Enggak, deh. Nanti aku kekenyangan.”
“Atau nanti kita menongkrong saja di sana sepulang sekolah,” usul Cherry dengan antusias.
Lagi-lagi, Karame menggeleng. “Aku sudah ada janji,” ucapnya asal yang disambut tanya penasaran di sekelilingnya.
***
Sepertinya Dewi Fortuna sedang menebarkan serbuk keberuntungannya pada Karame.
Siapa sangka, cowok yang seharian ini ia tunggu kabarnya tiba-tiba muncul di dekat gerbang sekolah. Walaupun Reeze tampak sedang asyik mengobrol dengan Devon sambil bersandar ke sedan putih. Tetapi setidaknya, bolehlah Karame sedikit berharap kalau Reeze datang untuk menemuinya.
Karame menyisir rambutnya dengan jemari lalu berjalan melewati gerbang sekolah. Ia sengaja pura-pura tidak menyadari kehadiran Reeze. Padahal orang di dalam dada kirinya berdebar tidak menentu.
“Kara!”
Yes! Karame bersorak dalam hati saat telinganya menangkap suara Reeze. Ia menghentikan langkahnya lalu berbalik, sedikit celingak-celinguk mencari siapa yang baru saja menyebut namanya.
Reeze mengenakan hoodie yang sama saat pertemuan pertama mereka di Brownice. Satu tangannya melambai pada Karame sementara tangan lainnya tersembunyi dalam saku celana selututnya.
“Mau ke mana?” tanya Reeze begitu Karame sudah berdiri di hadapannya.
Karame menggaruk belakang telinganya. “Hem, mau pulang.”
“Aku antar, yuk.”
“Oh, enggak usah.”
Karame terkesiap. Penolakan itu bukan berasal dari bibirnya, melainkan Devon yang berdiri menyandar ke mobil Reeze dengan tangan terlipat di dada.
“Dia sudah biasa pulang-pergi naik bus, kok,” lanjut Devon lalu menoleh ke arah Karame. “Iya, kan, Pipao?”
“Iya, sih.” Karame menganggut-anggut. Entah mengapa ia takluk begitu saja pada nada memaksa Devon. Ah, sial! Padahal ini kesempatan untuk bisa bersama Reeze. “Nanti kamu malah repot kalau mengantar aku dulu.”
“Enggak masalah. Lagi pula aku juga belum berterima kasih untuk yang tadi malam.”
Seketika, kedua pipi tembam Karame menjadi semerah tomat.
“Memang tadi malam apa yang kalian lakukan?” tanya Devon sambil menegakkan tubuhnya.
“Rahasia, dong,” jawab Reeze sambil mengerling pada Karame, membuat cewek itu terkikik dengan sikap sok misteriusnya.
Devon mencium sesuatu yang tidak beres. Selama ini, Reeze hampir selalu berbagi hal apa pun dengannya. Nyaris tanpa rahasia. Dan sekarang hanya karena cewek tembam menyebalkan ini, sahabatnya itu tiba-tiba berubah.
“Pulang dulu, ya,” pamit Reeze lalu mengamit tangan Karame yang langsung bengong karena tidak menyangka.
Karame menurut saat Reeze membukakan pintu samping kemudi dan mempersilakannya masuk. Setelah menutup pintu, Reeze menghampiri Devon. “Sampai ketemu hari Minggu,” ujarnya sambil menepuk bahu Devon lalu masuk ke dalam sedan putih kesayangannya itu.
***
Hampir tiga puluh menit perjalanan yang ditempuh, Reeze masih betah dalam keheningan.
Tadi Reeze hanya bertanya apakah Karame bersedia menemani ke suatu tempat. Setelah mendapat jawaban dari cewek itu, ia mendadak bungkam. Hanya suara penyiar radio yang sayup-sayup mengisi udara di antara mereka.
Karame tidak tahu harus bagaimana. Reeze tampak begitu kalut. Seakan-akan sikap jenakanya saat di depan Devon tadi hanyalah mimpi. Sekarang cowok itu hanya diam menatap lurus ke jalan, seolah takut aspal yang mereka lewati tiba-tiba berubah menjadi agar-agar jika tidak diperhatikan.
Yang bisa dilakukan Karame hanya membuang tatapannya keluar jendela. Berpura-pura ikut memerhatikan aspal, padahal pikirannya berkelana jauh. Ia memutar ulang setiap pertemuannya dengan Reeze. Berharap ada petunjuk di sana. Mungkin ada sikap atau kata-katanya yang menyinggung perasaan cowok itu.
Hingga akhirnya, mobil berbelok ke jalan bertabur kerikil. Pohon-pohon pinus menjulang menggantikan tiang-tiang lampu jalan. Reeze menghentikan mobil dan membuka sabuk pengamannya.
“Turun, yuk,” ajak Reeze lalu turun lebih dahulu.
“Ini... di mana?” tanya Karame bingung saat tangannya berada dalam genggaman Reeze.
Reeze tidak menjawab. Keheningan kembali berada di antara mereka. Hanya terdengar bunyi gemeresik kaki mereka yang menginjak ranting jatuh. Sesekali kicauan burung bercampur dengan semilir angin menerpa dedaunan.
Sebelumnya, Karame tidak pernah memercayakan seujung kuku pun dirinya pada orang selain Ayahnya. Tetapi sekarang ia mengikuti saja ke mana Reeze akan membawanya. Tidak ada sedikit pun perasaan takut atau khawatir. Walaupun ia baru mengenal cowok itu selama beberapa minggu, entah mengapa ia merasa sudah mengenalnya bertahun-tahun.
Tanah yang mereka pijak perlahan digantikan deretan papan kayu yang bermuara ke sebuah telaga. Permukaan air yang jernih tampak berkilau karena cahaya matahari. Mereka duduk berdampingan di ujung jembatan kayu itu, menikmati pemandangan jajaran pohon pinus di tepi yang terefleksikan dengan cantik.
Reeze masih belum bersuara. Karame memutuskan untuk menunggu sampai cowok itu siap. Ia membiarkan angin membelai pipinya sambil menggoyang-goyangkan kedua kakinya yang tergantung setengah meter di atas permukaan air.
Cukup lama mereka bersisian dalam diam. Hingga akhirnya terdengar helaan napas berat dari Reeze, sebelum kemudian memulai ceritanya.
“Waktu SMP, aku pernah ke sini untuk acara kemah.”
Kembali Reeze terdiam. Cowok itu mengembuskan napas panjang, seolah ada beban yang ingin dibuangnya bersama karbon dioksida.
“Kadang, ada banyak kenangan yang pengin banget kita lupakan tapi enggak bisa.”
“Acara kemahnya berakhir buruk, ya?” tebak Karame, sebisa mungkin memberi respon agar Reeze tahu bahwa ia mendengarkan.
Reeze mendenguskan tawa. Kepalanya menggeleng. “Waktu acara kemah, aku sempat lihat bintang jatuh dan aku langsung memohon semoga hidupku selalu bahagia. Tapi sama seperti kenangan yang enggak bisa dilupakan begitu saja, kenyataan juga enggak bisa dihindari.”
Karame tidak mampu untuk langsung mengerti ke mana arah pembicaraan ini. Satu yang ia pahami hanyalah cerita ini bukan tentang acara kemah. Maka ia memilih untuk menutup mulut dan mendengarkan.
“Kalau kenyataan enggak sesuai yang aku pengin, aku selalu lari sebentar. Entah itu jalan-jalan atau main basket sampai kelelahan. Atau minta kamu nyanyi tadi malam. Yang pasti, aku enggak mau melarikan diri ke hal negatif yang merusak diriku sendiri. Aku cuma butuh pelarian singkat karena setelah itu, aku harus siap sama kenyataan yang harus aku hadapi.”
Karame menggigit bibir sambil tetap mendengarkan. Sekali pun yang ada hanya keheningan.
“Maaf kalau aku membebani kamu. Tapi aku enggak tahu harus cerita sama siapa. Lei melarangku menceritakan apa pun sama Devon. Dan selama ini aku selalu berusaha menjadi sosok yang tangguh sebagai Kakak Lei. Jadi aku enggak mungkin menunjukkan sisiku yang seperti ini di hadapan Lei.” Reeze menunduk demi menatap permukaan telaga. “Saat ini... aku percayakan sisi lemahku sama kamu, Kar.”
Hati Karame terasa hangat mendengar itu. “Aku sama sekali enggak merasa terbebani, kok.”
Reeze tersenyum tipis. “Terima kasih.”
Untuk kesekian kalinya, Reeze kembali terdiam. Keheningan kembali tercipta dan terasa menyayat udara.
“Andai saja aku sekuat apa yang biasa dilihat orang-orang, mungkin aku enggak perlu melarikan diri kayak gini.”
Reeze memberi jeda untuk menelan gumpalan tajam di pangkal tenggorokannya. Kata-kata itu menyinggung retakan di hatinya. Ia butuh diam agar retakan itu tidak semakin melebar dan hancur bersepaian.
Detik berikutnya, Reeze bangkit dari duduknya. Tiba-tiba saja ia melepas dan melemparkan hoodie yang dikenakannya ke atas jembatan kayu. Otot dada dan perutnya tereskpos sebelum akhirnya cowok itu melemparkan diri ke telaga. Air mendebur keras dan memercikkan titik air ke arah Karame yang langsung memekik kaget.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Hampir tiga puluh detik berlalu tetapi Reeze belum juga menampakkan wujudnya. Permukaan telaga kembali tenang tetapi panik mulai melanda hati Karame.
“Reeze?” panggilnya sambil berdiri di ujung jembatan.
Otak Karame yang tadi membeku karena pembicaraan berat yang sulit dimengerti, mendadak terperanjat. Ketakutan merayap cepat di tengkuknya. Setelah tadi mengungkapkan kegelisahan hatinya, apa Reeze memang berniat mengakhiri hidupnya di hadapan Karame?
Terburu-buru, Karame melepas sepatu dan kaus kakinya. Saat ia bersiap hendak terjun menghantam air, tiba-tiba kepala Reeze menyembul keluar dari air.
“Brrr... dingin banget.” Reeze bergidik.
“Astaga, Reeze! Kamu bikin aku takut!” protes Karame saat merasakan air mata mulai menusuk matanya.
Reeze terbahak keras. Dengan gaya punggung, ia berenang kembali kepada Karame. Dengan mudah, tubuh atletisnya terangkat ke atas jembatan. Warna cokelat permukaan kayu berubah semakin gelap karena celananya yang basah. Kedua tangan di sisi tubuhnya, bertumpu di pinggir jembatan.
Karame ikut duduk di samping cowok itu. Dalam keheningan, ia memerhatikan ujung-ujung rambut Reeze yang meneteskan air. Tatapan Reeze menerawang jauh ke arah pohon pinus di sebenarng telaga. Tetapi ia tahu, bukan itu yang sedang diperhatikan Reeze.
“Reeze... kamu baik-baik saja?” tanya Karame dengan hati-hati.
Kepala Reeze menggeleng. Cowok itu sama sekali tidak baik-baik saja. “Kemarin... setelah makan malam yang langka itu...” Ia menarik napas panjang lalu mengembuskannya kuat-kuat “Mama dan Papa bilang kalau mereka mau bercerai.”
***
Tidak perlu diulang, Karame sudah mengerti. Itulah kenyataan pahit yang tidak bisa Reeze hindari.
Secara refleks Karame memeluk cowok itu. Pertahanan yang menyangga bendungan perasaannya, ikut hancur dan meluapkan emosinya. Ia ingin menunjukkan ia ada untuk Reeze. Sekaligus menghalangi Reeze untuk melihat air mata yang semakin merebak di kedua matanya.
Itu lebih dari sekadar empati. Karame tahu persis seperti apa rasanya. Ia jadi teringat pada hatinya sendiri yang juga hancur saat menyadari bahwa ia kehilangan Bundanya.
“Kar?” panggil Reeze setelah beberapa saat Karame memeluknya. “Nanti seragammu ikut basah.”
Karame tidak menjawab. Ia juga tidak melepaskan tangannya yang melingkar di leher Reeze. Kelopak matanya berkedip-kedip liar demi mengusir tangis itu. Tetapi sia-sia. Dan ia tahu bahwa tidak selamanya ia bisa menyembunyikan air matanya.
Detik berikutnya, Karame membiarkan Reeze menarik diri. Dan saat itulah Reeze melihat jalur air mata di wajah Karame. Ia langsung mencekal pergelangan tangan Karame yang berusaha menghapus air mata itu. Kedua mata cowok itu menatapnya dengan penuh sesal dan iba.
“Maaf, ya, Kar. Seharusnya aku enggak membebani kamu dengan cerita ini.” Ada penyesalan dalam suara Reeze. Cowok itu mengulurkan tangannya untuk menghapus air mata di pipi Karame. Secara sadar ia mengakui sebagai penyebab tangisan itu. “Aku cuma... entahlah... aku merasa terbiasa dengan kehadiranmu. Tapi sepertinya aku sudah melewati batas.”
Kepala Karame menggeleng-geleng cepat sebagai bentuk sanggahan. Lidahnya terlalu kelu untuk memprotes.
“Apalagi dengan kamu nyanyi seperti tadi malam, itu membantu aku buat lari ke masa lalu,” lanjut Reeze. “Di mana keadaan keluargaku masih baik-baik saja. Papa dengan dongeng sebelum tidur dan Mama dengan nyanyian pengantar tidur. Saat itu... aku merasa hidupku dan Lei bahagia.”
Alih-alih meredakan tangis Karame, kalimat itu malah memunculkan isakan yang mengguncang punggung cewek di sampingnya. Kali ini, Reeze tidak berusaha mengeringkan air mata itu. Ia membuka lengannya dan merangkum sosok Karame ke dalam dekapannya. Karame langsung membenamkan wajahnya ke dada Reeze. Detak demi detak membuat mereka berharap segara ada penawar bagi segala kesedihan membelenggu hati mereka.
***
Karame bergulung di atas kasur, tempat ia mengerjakan tugas sekolah dengan posisi tengkurap. Sekarang ia berbaring menatap hoodie sewarna tiramisu yang tergantung di belakang pintu kamar.
Tadi Reeze berbaik hati meminjamkan hoodie-nya untuk melapisi seragam Karame yang kuyup. Sementara cowok itu mengenakan kaus kusut yang entah sudah berapa lama tersimpan di jok belakang sedannya. Kemudian setelah dua mangkuk bakso dan segelas teh hangat, Reeze mengantar Karame pulang.
Karame menutup buku-buku dan membereskan alat tulisnya ke atas meja belajar. Berniat menyelesaikan tugas itu besok pagi-pagi. Ia mengambil hoodie itu dan mendekapnya sambil berjalan kembali ke tempat tidur.
Wangi Reeze yang tertinggal di hoodie itu mengingatkannya pada pelukan yang tadi mereka bagi di pinggir telaga. Ia ingat bagaimana impitan kesedihan yang ditanggung Reeze sendirian.
Perlahan, air mata membasahi hoodie milik Reeze yang menjadi bantalnya malam ini. Masih membekas di ingatannya saat melihat anak-anak lain diantar oleh ibu masing-masing di hari pertama sekolah. Ia juga masih merasakan iri saat teman-temannya sibuk memikirkan hadiah untuk hari ibu. Sesuatu yang tidak ia miliki.
Dan sekarang Karame rindu pada Bundanya yang sosoknya tidak pernah ia tahu.
Ditunggu chapter 2 nyaa :D
Comment on chapter I. Nama yang Manis