Read More >>"> déessertarian (VIII. Huruf dan Angka) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - déessertarian
MENU
About Us  

Setengah berlari, Karame menghampiri Madeleine yang sedang menunggunya di depan gerbang SMA Borneo. Tadi ia menghabiskan beberapa menit lebih lama hanya untuk memilih pakaian. Ia tidak ingin berpenampilan memalukan di sekolah yang terkenal elite ini.

 

Bukan tanpa alasan. Mayoritas siswa-siswa yang bersekolah di sini berasal dari kalangan borjuis. Entah itu anak pejabat, selebriti, maupun calon pewaris bisnis. Ada cara lain agar bisa bersekolah di sini walaupun tidak berasal dari keluarga kaya raya. Yaitu otak yang sangat genius hingga bisa mendapatkan beasiswa penuh selama tiga tahun. Hanya saja, melihat teman sekelas berfoya-foya akan sedikit menimbulkan perasaan tersiksa.

 

Dengan status sosial seperti itu, Karame selalu merasa SMA Borneo adalah sesuatu yang tidak terjangkau. Kecuali pertemuan formal seperti pekan olahraga maupun Olimpiade sains. Selebihnya, para siswa SMA Borneo seolah memilik lingkaran bermasyarakat yang terbatas dan sulit dimasuki sembarang orang.

 

Karame sama sekali tidak menyangka, sekarang kedatangannya disambut langsung oleh salah satu dari mereka.

 

“Kenapa tadi enggak bareng sama Devon saja?” tanya Madeleine saat mereka berdampingan melewati gerbang sekolah. “Bukannya rumah kalian berdekatan?”

 

Mana mungkin dia bersedia, kan?  Karame menggerutu dalam hati. Lagi pula akhir-akhir ini Devon sepertinya sedang marah kepadanya. Cowok itu berhenti mengusilinya dan tidak pernah lagi memulai perdebatan tidak penting. Untuk sesaat, Karame bersyukur karena hidupnya jadi lebih tenang. Tetapi setelah beberapa kali memergoki Devon menatapnya penuh kebencian, ia jadi ingin meralat persaaan syukurnya.

 

Karame berdeham kecil. “Aku sudah terbiasa naik bus, kok.”

 

“Jangan-jangan Devon takut aku cemburu kalau dia membonceng cewek lain?” duga Madeleine dengan wajah cemas. Tampak tidak menghiraukan alasan Karame. “Tapi aku enggak mungkin cemburu sama kamu, Kar.”

 

Karame terbahak-bahak mendengar kepolosan Madeleine. “Jangan berpikir terlalu jauh, Lei.”

 

Meskipun sudah sering mendengar cerita atau melihat foto-foto SMA Borneo dari internet, tetapi Karame tetap terpukau dengan apa yang dilihatnya.

 

SMA Borneo tidak seperti yang dibayangkannya. Jauh di atas apa yang bisa ia bayangkan. Dibanding SMA Andalas yang memiliki gedung usang dan meja-kursi kayu penuh coretan, tempat ini bagaikan istana, atau mungkin surga bagi para pelajar.

 

Taman yang dipenuhi berbagai tanaman hias berada di antara dua gedung berdiri kokoh saling berseberangan. Dindingnya berwarna putih bersih, seolah dicat setiap hari. Masing-masing gedung terdiri dari tiga lantai dengan ruang-ruang kelas yang lapang.

 

Melalui jendela kaca yang terpasang di setiap ruangan, Karame memerhatikan bagian dalam kelas. Tidak ada meja dan bangku kayu panjang yang harus dibagi berdua, masing-masing siswa di sini mendapatkan sepasang meja dan kursinya berkaki besi. Lengkap dengan kait di sisi kiri meja untuk menggantungkan tas. Semua tertata rapi tanpa sedikit pun melenceng dari barisannya.

 

Melalui papan penunjuk yang terpasang di beberapa sudut, Karame jadi bisa mengetahui bahwa fasilitas non akademik di sini juga tidak kalah lengkap. Mulai dari ruang musik dan teater, hingga fasilitas olahraga seperti lapangan basket, tenis, dan kolam renang. Yang semuanya indoor, sehingga para murid tidak perlu bertarung dengan panas matahari selama latihan.

 

Tidak heran kalau SMA Borneo juga terkenal karena prestasinya yang gemilang.

 

“Wah, kalau sekolah di sini mungkin aku bakal merasa seperti Princess, ya,” gumam Karame dengan takjub. Tidak sadar kalau keinginannya didengar jelas oleh Madeleine yang langsung tergelak.

 

“Justru kita di sini merasa seperti dipenjara. Terlalu banyak peraturan. Sekali ketahuan bolos atau datang terlambat, orang tua langsung dihubungi. Kalau nilai di bawah standar, wajib mengikuti kelas tambahan sepulang sekolah.”

 

Karame meringis mendengar cerita Madeleine. Diam-diam, ia membatalkan harapannya untuk pindah sekolah ke sini.

 

Madeleine terus berjalan melewati salah satu koridor, dengan Karame yang masih sibuk memerhatikan. Seolah-olah kedatangannya ke sekolah ini bagian dari wisata. Mereka melewati sebuah kafetaria kosong yang bertuliskan ‘Kantin kelas X’. Mata Karame membulat. Apakah itu berarti ada ‘Kantin kelas XI’ dan ‘Kantin kelas XII’?

 

Berbeda dengan suasana koridor yang sepi, Karame bisa mendengar jelas hiruk-pikuk keramaian dari arah pintu ganda yang terbuka lebar di ujung sana. Dan benar saja, pemandangan kedua sisi tribune yang nyaris penuh langsung membuatnya terkesiap. Ini hanya pertandingan persahabatan. Tetapi penonton yang datang seperti hendak menyaksikan pertandingan nasional. Sepertinya rivalitas antar SMA Andalas dan SMA Borneo yang selalu berebut gelar juara di pekan olahraga menjadi salah satu daya tarik kuat.

***

 

Berbanding terbalik dengan pertandingan yang Rabu lalu diadakan ala kadarnya, SMA Borneo tampak mempersiapkan banyak hal sebagai tuan rumah. Sementara masing-masing tim melakukan rapat singkat bersama pelatih di pinggir lapangan, penonton dihibur dengan penampilan tim pemandu sorak.

 

Dengan kostum berwarna ungu dan perak yang menyenangkan bagi mata, cewek-cewek itu menari, melompat, dan berteriak penuh semangat. Senyum tiga jari tidak pernah meninggalkan wajah mereka.

 

Satu persatu dari mereka memanjat naik ke atas bahu rekannya, membentuk formasi piramida yang cantik. Walaupun bentuknya tidak merunjung ke atas, bahkan lebih mirip dua menara berdampingan. Karame spontan menahan napas saat dua orang yang berada di puncak tiba-tiba dilempar memutar ke udara. Ia baru bisa bernapas lega saat dua cewek mungil itu mendarat sempurna dalam tangkapan rekan-rekannya.

 

Madeleine menghela napas gusar dan mengembuskannya kuat-kuat. Mungkin terlalu kuat hingga menarik perhatian Karame yang duduk di sampingnya.

 

“Kenapa?”

 

“Sampai tahun kemarin, aku masih aktif sebagai anggota cheers di SMP,” ucap Madeleine dengan mata yang menerawang.

 

Sama sekali tidak ada nada pamer dalam suara Madeleine, tetapi Karame langsung menatapnya kagum. “Itu keren, Lei. Kenapa enggak ikut lagi?”

 

Madeleine menggeleng lemah. “Akhir-akhir ini aku merasa lebih mudah lelah. Aku pernah ikut latihan sekali dengan mereka,” ucapnya sambil mengarahkan dagunya ke lapangan. “Tapi aku sadar kalau staminaku lebih cepat habis. Jadi, daripada menghambat latihan yang lain, aku memilih mundur.”

 

Kening Karame berkerut simpati. Ia kembali teringat pada kesedihan yang ditunjukkan Reeze tempo hari. Mungkin itu juga yang dirasakan adiknya ini. Madeleine bukan lelah secara fisik, melainkan hati. Tetapi seperti kata Reeze bahwa Madeleine tidak ingin orang lain tahu, termasuk Devon, Karame hanya bisa memeluk pada cewek di sampingnya. Pelukan yang sama seperti yang ia berikan pada Reeze.

 

“Aku yakin nanti kamu pasti bisa kembali ke tim cheers, Lei,” bisik Karame dengan perasaan tulus. “Semua pasti baik-baik saja.”

 

Anehnya, Madeleine malah bereaksi dengan melepaskan tawa kecil. “Jangan berlebihan, Kar. Aku enggak sesedih itu, kok.” Ia menguraikan diri dari pelukan Karame. “Aku malah senang karena jam tidurku jadi lebih banyak.”

 

Untuk sesaat, kening Karame mengernyit bingung. Tetapi kemudian ia mengangkat bahu dan ikut tertawa. “Baguslah kalau begitu.”

 

Sekelompok cewek datang sambil menyapa Madeleine. Karame menduga mereka adalah teman sekelas. Beberapa dari mereka menanyakan tentang Reeze, yang entah mengapa membuat telinga Karame terasa panas.

 

“Oh, ya, kenalkan ini temanku. Kara.”

 

Karame memajang senyum paling ramah sambil berturut-turut mengulang namanya. Ia langsung melupakan nama-nama yang didengarnya, secepat nama-nama itu disebut. Yang tidak bisa dilupakan Karame adalah betapa halusnya telapak tangan cewek-cewek itu. Semoga mereka tidak merasa sedang menyentuh pemarut kelapa saat berjabat tangan dengannya.

 

“Kok bisa dapat burger sama kola? Beli di mana?” tanya Madeleine melihat apa yang di bawa teman-temannya. “Kantin, kan, tutup.”

 

“Ini tadi aku suruh sopir aku buat beli. Kamu mau, Lei?”

 

Sementara Madeleine sibuk meladeni teman-temannya, Karame mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan luas itu. Ia ingin tahu apakah ada teman-teman dari sekolahnya yang datang. Sebenarnya, ia sudah berusaha membujuk Cherry dan Candy untuk ikut, tetapi dua teman sekelasnya itu menolak dengan tegas. Cherry harus mematuhi peraturan yang dibuatnya sendiri bahwa hari Minggu adalah hari untuk istirahat di rumah, sedangkan Candy sudah ada urusan lain.

 

Di ujung tribune seberang, Karame mendapati Ale dan teman-temannya. Mudah saja menemukan mereka. Selain karena kompak mengenakan pakaian berwarna hijau, kegaduhan seolah menjadi pakaian kedua gerombolan itu. Duh, semoga tidak ada hal memalukan yang mereka lakukan hari ini.

 

Selain itu, Karame tidak melihat kehadiran orang lain yang dikenalnya. Hanya ada tim basket putri SMA Andalas yang duduk di tribune paling depan. Juga segelintir kakak kelas dan sesama teman kelas sebelas yang wajahnya beberapa kali Karame lihat di sekolah tanpa ia tahu namanya.

 

“Ah, aku baru ingat,” ucap Madeleine sambil menoleh kembali pada Karame. “Tadi Reeze bilang, ‘tolong minta Kara menghitung berapa kali aku memasukkan bola ke ring di setiap quarter’.”

 

Quarter?” Karame membeo bingung. Ia sama sekali asing dalam istilah basket.

 

Madeleine mengangguk. “Babak dalam pertandingan basket.”

***

 

Baru beberapa detik pertandingan dimulai, SMA Borneo sudah mendapat skor pertama mereka lewat lay-up cantik dari Reeze. Mungkin Karame salah lihat, tetapi entah mengapa ia merasa Reeze sempat menoleh ke arahnya sedetik setelah cowok itu memasukkan bola ke ring. Seolah-olah ingin memastikan Karame melaksanakan permintaannya.

 

Permintaan yang aneh. Lebih aneh lagi, Karame bersedia melakukannya.

 

Quarter pertama nyaris berakhir tetapi Reeze sama sekali tidak mencetak angka. Bahkan tidak pernah melempar bola ke arah ring. Ia hanya sibuk mengoper bola dan membiarkan teman setimnya yang mengantarkan bola melewati ring. Peluit berbunyi dengan keunggulan 17-10 untuk SMA Andalas. Devon menjadi pencetak angka terbanyak dan Reeze menjadi penyumbang assist terbanyak bagi tim masing-masing.

 

Di quarter kedua dan seterusnya, keadaan mulai berbalik. Tim SMA Borneo mulai mendominasi perolehan skor. Menolak untuk pasrah, SMA Andalas melakukan perlawanan di quarter ketiga. Beberapa pemain diganti dan sukses menipiskan selisih angka antar kedua tim.

 

Hingga akhirnya tiba di babak penentuan. Begitu menerima bola, Reeze langsung mendribel, berhadapan langsung dengan Devon. Ia berusaha berkelit untuk meloloskan diri dan berhasil!

 

Reeze berusaha mendekati area tiga angka, masih dibayang-bayangi Devon yang membuat gerakannya tidak leluasa. Hingga ia memutuskan untuk mengoper pada rekannya yang berada di dekatnya. Sayangnya, tembakan langsung dari rekannya yang bernomor punggung sembilan itu tidak menghasilkan angka. Bola membentur bibir ring lalu memantul liar kembali ke lapangan.

 

Tidak mau melewatkan kesempatan, Reeze bergegas menangkap bola itu. Devon kembali menghalanginya. Tidak biasanya Devon terus menempel ketat padanya seperti bayangan. Ia tidak mau hal tidak terduga seperti ini mengganggu rencananya. Terutama di quarter akhir seperti ini. Ada banyak angka yang harus didapatkannya.   

Menjelang pertandingan berakhir, Devon yang masih setia mengiringi langkahnya. Reeze mengendalikan bola agar tetap di bawah telapak tangannya, lalu ia berputar dan mencoba menembak dari pinggir area tiga angka. Skor penentu untuk kemenangan SMA Borneo 77-70.

 

Siapa sangka, tembakan mendadak itu masuk mulus ke dalam ring. Reeze mengerling sekilas ke arah tribune tempat Madeleine duduk bersama Karame. Ia sangat berharap cewek itu melihat semua aksinya.

***

 

Air terjun artifisial dalam ukuran mini yang dikelilingi berbagai jenis tanaman hias itu menimbulkan gemericik yang menenangkan jiwa. Aliran air mengarah ke kolam yang dihuni ikan koi berwarna cerah. Tanpa rasa bosan, Karame memerhatikan keindahan pemandangan buatan itu. Nanti ia akan berterimakasih pada Madeleine yang membawanya ke tempat ini.  

 

Karame mendengar suara langkah kaki mendekat. Tetapi begitu ia berbalik, bukan Madeleine yang tadi memintanya untuk menunggu. Melainkan Reeze.

 

Cowok itu sudah mengganti jersey ungu pucatnya dengan kaus polos warna hitam. Ekspresinya tampak tegang. Kedua lengannya disembunyikan di belakang tubuhnya. Ia berjalan perlahan, seolah sedang menghitung setiap langkah yang diambilnya.

 

Sikap Reeze yang tidak biasa itu membuat Karame gugup. Berbagai macam dugaan mengalir ke dalam benaknya. Tanpa satu pun yang memiliki bukti pasti.

 

“Kamu cari Lei, ya?” tanya Karame akhirnya, mencoba bersuara untuk menutupi debar jantungnya yang semakin cepat. “Tadi dia pamit mau bertemu temannya. Mungkin sebentar lagi kembali.”

 

Reeze menggeleng. Ia mengusap belakang lehernya.

 

“Oh, ya. Selamat, ya, timmu menang,” ujar Karame dengan nada ceria. Tanpa sadar ia juga ikut mengusap belakang lehernya.

 

“Aku ke sini memang mau ketemu kamu, Kar.”

 

Karame mengigit bibir bawahnya. “Hem... ada apa?”

 

“Tadi... sudah kamu hitung?”

 

“Sudah.” Karame mengangguk sambil mengambil ponselnya dari saku untuk melihat kembali catatannya.

 

Quarter pertama, aku memasukkan bola berapa kali?”

 

Tanpa melirik catatannya, Karame menjawab mantap. “Satu.”

 

“Ini satu huruf buat kamu,” ucap Reeze sambil menyerahkan sesuatu yang sejak tadi tersembunyi di balik punggungnya. Selembar karton berwarna biru dan berbentuk lingkaran yang ditempelkan pada ujung stik es krim.

 

“Huruf? Tapi ini, kan, angka.” tanya Karame bingung. Ia menunjuk angka satu yang tertulis di karton itu.

 

Reeze tertawa kecil. Tawa yang disukai Karame. Terasa hangat dan kental bagaikan sirup cokelat yang menghangatkan perasaannya. “Kamu pegang saja dulu.”

 

“Oke.”

 

Kembali Reeze bertanya dan Karame menjawab. Hingga akhirnya empat karton yang masing-masing tertuliskan angka 1, 4, 3, dan 6 ada di genggaman Karame.

 

“Tapi, Reeze, quarter terakhir kamu memasukkan bola tujuh kali. Bukan enam.”

 

“Oh, itu...” Reeze meringis seperti anak kecil yang ketahuan membuang brokoli dari piringnya. “Yang terakhir enggak perlu dihitung. Aku cuma kesal karena Devon mengganggu.”

 

Karame menganggut-anggutkan kepala.

 

“Sekarang kamu balik satu persatu, ya, Kar.”

 

Karame menurut.

 

Di balik karton angka 1, tertulis satu huruf yaitu “I”.

Di balik karton angka 4, tertulis empat huruf yaitu “l-o-v-e”.

Di balik karton angka 3, tertulis tiga huruf yaitu “y-o-u”.

Di balik karton angka 6, tertulis enam huruf yang merangkai namanya. “K-a-r-a-m-e”.

 

“Karame Lawata, mau jadi pacarku?”

 

Wajah Karame spontan memerah. Ia mengerjap-ngerjap tidak percaya pada apa yang dibacanya. Ini bukanlah sebuket bunga mawar tetapi sanggup membuat ia merasa spesial. Dan... apa tadi ia berhalusinasi mendengar Reeze meminta Karame menjadi pacarnya?

 

“Apa jawaban kamu, Kar?”

 

Karame berpaling pada Reeze. Lalu ia melirik ke sekeliling, hanya berjaga-jaga, memastikan ini bukan akal-akalan Devon untuk mengusilinya. Bukannya suuzan, tetapi ia harus waspada agar tidak lagi dipermalukan. Terutama di depan Reeze.

Setelah memastikan tidak ada aura negatif Devon di sekitar mereka, Karame menganggukkan kepala. Disaksikan puluhan ikan koi yang meliuk-liuk senang di dalam kolam.

***

 

“Reeze ke mana, sih, Lei?” tanya Devon gusar. Matanya mengawasi setiap orang yang keluar dari pintu bangunan SMA Borneo.

 

“Tunggu saja. Nanti juga muncul,” jawab Madeleine sambil menekan tombol untuk memilih saluran di radio mobil.

 

Saat ini mereka berdua sedang menunggu di dekat gerbang sekolah. Di dalam sedan putih Reeze yang mesinnya dibiarkan menyala.

 

“Akhir-akhir ini, Reeze bersikap aneh,” gerutu Devon sambil menepuk setir bundar di hadapannya.

 

“Aneh bagaimana?”

 

“Dia kayak lagi menyimpan rahasia.” Devon berujar dengan nada ala detektif ternama. “Terutama hari ini. Permainannya kacau banget. Enggak fokus.”

 

Madeleine hanya menanggapi dengan tawa kecil yang misterius.

 

“Dan sekarang, tumben banget dia mengizinkan aku menyetir mobilnya. Malah meminjam kunci motorku. Aneh, kan?” Nada suara Devon masih pekat dengan rasa heran. Tetapi kemudian ia terkekeh riang. “Meskipun aku juga senang karena akhirnya dia membiarkan kita berduaan.”

 

“Kapan-kapan pergi, yuk. Berdua saja.” Madeleine melontarkan idenya begitu saja.

 

“Boleh.” Devon sama sekali tidak berniat menolak. “Akhir minggu depan?”

 

“Hari biasa juga enggak apa-apa. Nanti aku cari alasan buat izin sama Reeze sepulang sekolah. Kerja kelompok atau apalah.”

 

Devon menganggut-anggut. Kalau Reeze bisa menyembunyikan rahasia darinya, ia juga bisa. “Mau ke mana?”

 

“Ke mana saja.” Madeleine mengangkat bahu. “Pantai, mungkin? Aku suntuk banget di rumah.”

 

Beberapa lokasi muncul bergantian di benak Devon. Tetapi sebelum ia sempat melanjutkan pembicaraannya dengan pacarnya itu, tiba-tiba matanya terbelalak.

 

Reeze muncul dari arah tempat parkir motor. Sahabatnya itu mengendarai motornya dengan gagah, menarik perhatian cewek-cewek di sekitarnya. Tetapi bukan itu yang membuat kedua mata Devon nyaris terjatuh, melainkan cewek berpipi bakpao yang duduk di boncengan.

 

“Buat apa Reeze membonceng Pipao?”

 

“Dasar Devon enggak peka!” seru Madeleine sambil terkekeh. Ia memukul bahu Devon dengan main-main. “Mereka itu pacaran.”

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • Deanasta

    Ditunggu chapter 2 nyaa :D

    Comment on chapter I. Nama yang Manis
  • flower_flo

    So sad ;(

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Strawberry Doughnuts
535      360     1     
Romance
[Update tiap tengah malam] [Pending] Nadya gak seksi, tinggi juga kurang. Tapi kalo liat matanya bikin deg-degan. Aku menyukainya tapi ternyata dia udah ada yang punya. Gak lama, aku gak sengaja ketemu cewek lain di sosmed. Ternyata dia teman satu kelas Nadya, namanya Ntik. Kita sering bertukar pesan.Walaupun begitu kita sulit sekali untuk bertemu. Awalnya aku gak terlalu merhatiin dia...
Koma
15843      2641     5     
Romance
Sello berpikir bisa menaklukkan Vanda. Nyatanya, hal itu sama halnya menaklukkan gunung tinggi dengan medan yang berbahaya. Tidak hanya sulit,Vanda terang-terangan menolaknya. Di sisi lain, Lara, gadis objek perundungan Sello, diam-diam memendam perasaan padanya. Namun mengungkapkan perasaan pada Sello sama saja dengan bunuh diri. Lantas ia pun memanfaatkan rencana Sello yang tak masuk akal untuk...
Benang Merah, Cangkir Kopi, dan Setangan Leher
197      157     0     
Romance
Pernahkah kamu membaca sebuah kisah di mana seorang dosen merangkap menjadi dokter? Atau kisah dua orang sahabat yang saling cinta namun ternyata mereka berdua ialah adik kakak? Bosankah kalian dengan kisah seperti itu? Mungkin di awal, kalian akan merasa bahwa kisah ini sama seprti yang telah disebutkan di atas. Tapi maaf, banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya. Hanin dan Salwa, dua ma...
Letter hopes
802      451     1     
Romance
Karena satu-satunya hal yang bisa dilaukan Ana untuk tetap bertahan adalah dengan berharap, meskipun ia pun tak pernah tau hingga kapan harapan itu bisa menahannya untuk tetap dapat bertahan.
JUST A DREAM
814      376     3     
Fantasy
Luna hanyalah seorang gadis periang biasa, ia sangat menyukai berbagai kisah romantis yang seringkali tersaji dalam berbagai dongeng seperti Cinderella, Putri Salju, Mermaid, Putri Tidur, Beauty and the Beast, dan berbagai cerita romantis lainnya. Namun alur dongeng tentunya tidaklah sama kenyataan, hal itu ia sadari tatkala mendapat kesempatan untuk berkunjung ke dunia dongeng seperti impiannya....
One Step Closer
1922      777     4     
Romance
Allenia Mesriana, seorang playgirl yang baru saja ditimpa musibah saat masuk kelas XI. Bagaimana tidak? Allen harus sekelas dengan ketiga mantannya, dan yang lebih parahnya lagi, ketiga mantan itu selalu menghalangi setiap langkah Allen untuk lebih dekat dengan Nirgi---target barunya, sekelas juga. Apakah Allen bisa mendapatkan Nirgi? Apakah Allen bisa melewati keusilan para mantannya?
Peringatan!!!
1912      819     5     
Horror
Jangan pernah abaikan setiap peringatan yang ada di dekatmu...
Di Balik Jeruji Penjara Suci
10096      2134     5     
Inspirational
Sebuah konfrontasi antara hati dan kenyataan sangat berbeda. Sepenggal jalan hidup yang dipijak Lufita Safira membawanya ke lubang pemikiran panjang. Sisi kehidupan lain yang ia temui di perantauan membuatnya semakin mengerti arti kehidupan. Akankah ia menemukan titik puncak perjalanannya itu?
The Black Envelope
2372      832     2     
Mystery
Berawal dari kecelakaan sepuluh tahun silam. Menyeret sembilan orang yang saling berkaitan untuk membayarkan apa yang mereka perbuatan. Nyawa, dendam, air mata, pengorbanan dan kekecewaan harus mereka bayar lunas.
Apakah Kehidupan SMAku Akan Hancur Hanya Karena RomCom?
3184      931     1     
Romance
Kisaragi Yuuichi seorang murid SMA Kagamihara yang merupakan seseorang yang anti dengan hal-hal yang berbau masa muda karena ia selalu dikucilkan oleh orang-orang di sekitarnya akibat luka bakar yang dideritanya itu. Suatu hari di kelasnya kedatangan murid baru, saat Yuuichi melihat wajah murid pindahan itu, Yuuichi merasakan sakit di kepalanya dan tak lama kemudian dia pingsan. Ada apa dengan m...