“Please, have a seat,” ujar Dipta mempersilahkan, tetapi yang ditawari tempat duduk malah ragu. Ia awalnya hanya berniat untuk melihat gerbong mengenaskan tempat Dipta berada, tapi ia tidak berencana untuk ikut duduk disini. Bagaimana kalau ini jebakan? Bagaimana kalau orang ini berniat macam-macam kepada Zee?
Tuh kan, Zee. Kamu terlalu mudah percaya sama orang, sih. Kenalan sama orang asing secara online ternyata bukan ide bagus. Ketemu langsung setelah kenalan online juga bukan ide bagus. Ini seperti membeli kucing dalam karung, dan sialnya, kamu yang jadi kucing dalam karung itu, Zee. Sekarang, harus apa?
“Lho, kok diem? Duduk sini aja, kita lanjutin ngobrol, daripada lo balik ke tempat lo yang rame tapi membosankan itu, cuma bikin puyeng aja karena bahasa orang di gerbong lo udah kayak gado-gado--”
“Salad," ralat Zee.
“Oke, salad--karena yang ngomong orang luar negeri semua ya, hehe--mending lo di sini ada temen ngobrolnya, dan biar gue juga nggak gabut.” Kemudian, Zee pun memandangi pintu gerbong dan kursi yang ditawarkan oleh Dipta secara bergantian. Disatu sisi, Zee tidak mau kembali ke gerbongnya, karena apa yang dirasakannya sudah cukup dideskripsikan dengan baik oleh Dipta tadi. Namun, ia juga belum bisa mempercayai orang ini dengan duduk di sebelahnya. Apa yang harus Zee lakukan?
Ya udah deh duduk sini aja, lagipula ini kan tempat umum, kalau terjadi apa-apa, orang lain bisa tau dan nolongin.
Tapi kalo Dipta ini ternyata adalah sejenis Jackson Rippner di film Red Eye, gimana? Kelihatan baik tapi pas aku duduk di sebelahnya nanti ternyata dia punya maksud tertentu….
Ah, tapi ini bukan film, Zoella. Asalkan kamu duduk di dekat lorong, semuanya akan baik-baik aja. Kalau ada apa-apa, kamu bisa lebih mudah untuk minta pertolongan sama orang lain atau kalau perlu melarikan diri.
Setelah pergulatan panjang dengan batinnya dan setelah memerangi spekulasi yang menghantui pikirannya, akhirnya Zee memutuskan untuk duduk bersama Dipta.
“Oke, tapi gue duduk di kursi yang posisinya deket lorong, jangan yang di deket jendela, gue bosen soalnya. Kursi gue yang sebenarnya tadi udah deket jendela, gue mau posisi baru,” Zee beralasan, berupaya meyakinkan Dipta bahwa ia hanya ingin suasana baru, bukannya karena ia sedang mengantisipasi situasi agar kejadian pada film Red Eye tidak menjadi nyata.
“Deal.” Dipta pun tersenyum singkat, sementara tanpa laki-laki itu tahu, Zee sedang memanjatkan doa sebanyak-banyaknya sambil mendudukkan dirinya ke bangku yang berada di sebelah Dipta.
“Emangnya nggak apa-apa kalo gue duduk disini?” tanya Zee ragu-ragu.
“Emang kenapa? Lo takut kalo tau-tau yang punya kursi ini dateng?” Seakan tahu apa yang dipikirkan Zee, Dipta pun menanyakan hal tersebut. Zee hanya mengangguk tanpa berbicara lagi.
“Tenang aja, lagi. Sejauh ini sih nggak ada penumpang yang duduk disitu. Lagipula bentar lagi kita nyampe, biasanya udah nggak ada yang naik lagi di stasiun-stasiun yang udah mendekati stasiun akhir. Jadi, kemungkinan besar kursi itu nggak ada yang punya.” Mencoba mengurangi kekhawatiran yang dirasakannya, Zee pun mencoba mempercayai ucapan Dipta lagi, lalu ia mengalihkan fokusnya pada televisi layar datar yang terletak pada dinding gerbong bagian depan.
“By the way, kok rasanya udara di gerbong ini lebih panas, ya? Hawa sejuk dari AC-nya nggak berasa--terus ini juga! Sandaran kakinya kaku banget, sih?! Masa nggak bisa diatur?!” Mendengar berbagai macam reaksi perempuan itu setelah beberapa menit duduk sebangku di gerbong yang sama dengannya, Dipta pun menunjukkan hal lain pada Zee. Laki-laki itu menekan sebuah tombol di sekitar sandaran tangan kursinya, kemudian ia agak menekan tubuhnya pada sandaran kursi, tetapi tidak ada yang terjadi.
“Dip, lo ngapain, sih?” Zee yang perhatiannya teralihkan oleh gerakan dari Dipta spontan menoleh dan mengernyit tanda tak mengerti dengan apa yang sedang dilakukan oleh orang di sebelahnya.
“See? Sandaran kursinya bahkan nggak bisa dibikin jadi rebah. Coba kursi lo.” Zee pun baru mengerti dengan apa yang baru saja berusaha dilakukan Dipta. Zee pun penasaran dan ingin melakukan hal yang sama pada kursi yang didudukinya, ingin mengetahui apakah sandaran kursinya bisa diatur sesuai keinginannya atau tidak. Perlahan, Zee mencoba menekan tombol pengatur sandaran kursi, menekan tubuhnya kepada sandaran kursi tersebut dan berharap agar sandaran kursinya bergerak mundur, tetapi seperti apa yang ia lihat pada kursi Dipta, hal itu juga terjadi pada kursinya sendiri.
“Damn! It’s not working!” Zee pun masih berusaha menekan-nekan tombol pengatur dan juga menekan tubuhnya kepada sandaran kursi tersebut, tetapi masih belum berhasil.
“I told you, gerbongnya mengenaskan, kan?” Akhirnya Zee mengerti dengan apa yang dimaksud mengenaskan oleh Dipta pada saat di kafetaria tadi. Ternyata mengenaskan yang dimaksud oleh Dipta bukan hanya kiasan belaka, tetapi benar-benar mengenaskan. Kalau tahu begitu, lebih baik Dipta memesan tiket kelas menengah bawah saja daripada dia beli tiket mahal-mahal tetapi tidak bisa menikmati fasilitas dengan maksimal.
Namun sepertinya, hal itu juga berlaku pada Zee sekarang. Zee memiliki kursi dengan fasilitas maksimal di gerbongnya yang sebenarnya, lalu buat apa menghabiskan waktu disini, kan?
“Eh-uhm, Dip, kayaknya gue balik aja ke gerbong gue, deh. Nanti turis di sebelah gue heran gara-gara gue nggak balik-balik.” Zee bersiap untuk beranjak dari kursi yang sebelumnya didudukinya, tetapi gerakannya kembali ditahan oleh ucapan Dipta yang membuatnya gagal beranjak dari tempatnya.
“Sini aja sih ngobrol-ngobrol, daripada disana lo kayak anak ilang di planet lain… Lagian, orang luar negeri itu biasanya cuekan sama orang yang nggak dia kenal. Mereka kan individualis, urusan lo ya urusan lo, urusan gue ya urusan gue, gitu kan prinsip mereka. Jadi santai aja, percaya deh sama gue, dia nggak bakal nyariin lo.” Mendengar ucapan dari Dipta, Zee pun menatap laki-laki itu sekali lagi, sepertinya kasihan juga meninggalkan Dipta sendirian disini tanpa teman sebangku, apalagi Zee juga memang butuh teman mengobrol. Jadi, Zee pun mengurungkan niatnya untuk kembali dan lebih memilih untuk duduk pada kursi di sebelah Dipta, berusaha tidak memedulikan berbagai fasilitas gerbong yang tidak bisa dinikmatinya disini. Lagipula, sandaran kursi yang tidak bisa dibuat rebah tidak terlalu masalah untuknya, karena ia kan disini untuk mengobrol, bukan untuk tidur.