Tolong Tuan, jangan terlalu banyak bermain dengan kami. Kami wanita punya perasaan yang begitu halus, disentil sedikit saja akan langsung bereaksi. Tidak usah mendekat jika pada akhirnya mundur lalu tenggelam.
***
Di sinilah aku berada, di rumah besar yang sekarang ini sudah banyak sekali di datangi oleh orang-orang. Padahal sekarang baru saja selesai magrib, kerabat-kerabat Gilang sudah banyak berdatangan untuk mengikuti acara pengajian hari ini.
Sesuai dengan janjinya, Gilang menjemputku tepat pukul lima sore. Kupikir hanya aku yang di undang di acara ini, ternyata Seli juga ada. Aku tidak tahu pasti ada hubungan apa Seli dengan Gilang. Melihat cewek itu yang begitu santai saat berbicara dengan Om Samudra membuatku merasa kerdil. Dia seperti sudah lama sekali mengenal keluarga ini dan sepeti punya hubungan yang lebih dekat dari apa yang aku lihat dan ketahui. Terbukti dengan seringnya Om Samudra yang memanggil Seli, sesekali juga meminta Gilang membantu cewek itu melakukan sesuatu yang menyangkut dengan persiapan acara pengajian.
Om Samudra ternyata bekerja sebagai arsitek, beliau baru saja datang dari Bali setelah menyelesaikan proyek di sana. Di usai Om Samudra yang masih sekitar kepala empat beliau sudah terlihat sedikit lelah, kerutan halus di dahi beliau mulai terlihat bahkan lebih banyak daripada seharusnya. Gilang bilang sekarang Papanya tak sebugar dan sesehat dulu. Semenjak Gilang masuk sekolah menengah atas Papanya lebih sering sakit walau hanya terkena serangan flu atau semacamnya penyakit yang ringan.
Aku sudah berkenalan dengan Papa Gilang, beliau nyaman diajak ngobrol sama seperti Kak Seli. Beliau juga baik dan ramah, pertama kali aku bertemu dengannya aku sudah menemukan kesan bahwa Om Samudra ini orang yang teliti dan selalu penuh perhitungan setiap kali ingin bertindak. Karakternya yang tegas membuatku sedikit kaget saat dia memanggil Kak Sandra dengan nyaring dan memerintahkan dengan kalimat yang tegas pula. Saat itu Gilang menghampiriku dan berbisik mengatakan bahwa aku tak perlu takut dengan Papanya karena beliau sebenarnya baik hanya saja lebih terkesan tegas dan keras. Aku mengerti itu, Om Samudra tak jauh berbeda dengan Papa.
Kami bisa mengobrol dengan akrab. Om Samudra banyak bertanya tentang proses belajar kami di sekolah, dia sering sekali bertanya tentang bagaimana Gilang belajar di sekolah. Selain karena aku teman sekelas Gilang Om Samudra juga bilang bahwa ternyata beliau sering mendapati Gilang menceritakan aku kepada Kak Sandra. Seketika pipiku menjadi bersemu mendengar itu. Apa artinya...
“Maaf aku ganggu. Om dipanggil sama Kak Sandra, katanya ada yang mau diomongin sebentar sama Om.”
Suara Seli membuat aku dan Om Samudra kontan menoleh ke arah pintu utama untuk melihat Seli. Cewek itu tersenyum begitu ramah kepadaku dan tersenyum berbeda kepada Om Samudra. Senyum yang lebih lembut, mungkin?
Om Samudra bangkit dari duduknya. “Lika, Om tinggal sebentar ya, ada perlu sedikit nih sama Sandra,” ucapnya lembut.
Aku mengangguk dan ikut berdiri, “Iya, Om. Silakan.”
Kupikir Seli akan menemaniku duduk di teras ini mengingat sekarang acara juga sudah selesai dan tidak banyak lagi pekerjaan yang harus dibereskan. Tapi aku keliru, Om Samudra masuk ke dalam bersama dengan Seli sambil menggandeng hangat bahu ringkih cewek itu.
“Sori nih, Li, gue gak bisa nemenin lo. Masih ada yang diurus di dalam, tapi tenang aja nanti gue panggilin Gilang suruh nemenin lo di sini,” tutur Seli yang langsung mendapat anggukan setuju dariku.
Lagipula dia benar, dia jauh lebih mengerti dan memahami apa saja yang dibutuhkan oleh keluarga ini. Dibanding aku dia jauh lebih akrab juga, buktinya dia bisa sedekat itu dengan Om Samudra.
Mungkin Seli dan Gilang sepupu. Iya, kan?
Berbagai argumen berputar di kepalaku seperti kaset rusak, memikirkan status apa yang dimiliki oleh Seli terhadap keluarga ini. Aku mendesis memikirkan kemungkinan yang membuat dadaku sesak sendiri, apa mungkin Gilang dan Seli punya status lebih dalam artian ... lebih dekat dari yang aku lihat?
Aku menggelengkan kepala, sungguh ini bukan urusanku sama sekali. Mau Seli siapanya Gilang aku juga tidak berhak tahu, kan? Memangnya aku siapa?
“Mikirin apa?” suara berat itu membuatku berhenti dengan pikiran yang menggangguku. Aku menoleh mendapati Gilang sudah duduk di kursi yang sebelumnya ditempati oleh Om Samudra.
“Gak mikirin apa-apa. Cuma lagi mikir aja,” jawabku. Aku melihat Gilang memutar bola matanya. “kenapa? Aneh, ya?”
“Iya, aneh. Apa yang ganggu pikiran lo?” ulang Gilang.
Aku menggeleng, “Gak ada.”
“Bohong,” tuduhnya.
Aku membuang napas, menoleh menatap Gilang. “Sejak kapan lo akrab kayak gitu sama Seli?”
“Lo cemburu?”
Terlonjak kaget, aku membesarkan mata menatap terkejut pada Gilang. “Lo mikir gue kayak gitu? Konyol,” cibirku.
Cowok di sampingku itu hanya tertawa terbahak-bahak membuatku kesal setengah mati. Setelah menuduhku cemburu—meskipun itu kenyataannya—lalu menertawakan aku sesuka jidatnya.
“Kenal Seli udah lama. Pas SMP kelas delapan kalo gak salah, dia anaknya temen Papa,” kata Gilang begitu cowok itu berhenti tertawa.
Oh, jadi begitu?
“Kok dia deket banget sama Papa lo?” selidikku masih dengan rasa penasaran yang menggebu.
Gilang mengangkat bahu cuek, dia mendekatkan kepalanya padaku, “Gak tahu. Gue gak terlalu dekat sih sama dia, heran juga dia bisa sedekat itu sama Papa. Bahkan Kak Sandra sedikit gak suka sama Seli,” ujarnya setengah berbisik.
Aku mengangkat alis bingung menatapnya. “Seli itu baik loh, Lang,” sahutku.
“Lo cuma gak kenal dekat aja sama dia. Entahlah, heran juga gue bisa gak sreg gitu sama dia,” cetusnya.
“Siapa bilang lo harus sreg sama dia. Nanti malah suka lagi.”
Sial! Aku menutup mulutku sendiri dengan tangan. Merutuki kebodohanku yang dengan gamblangnya mengeluarkan kata bodoh itu.
“Tuh kan... lo beneran cemburu gitu sama Seli. Kenapa sih, hm? Merasa tersaingi, ya?” godanya.
“Apa?” balasku berpura-pura lemot. Ah, bukan Gilang kalau dia mudah dikelabui.
“Lo cemburu,” ulangnya.
Aku berdecak sebal, berbalik sehingga benar-benar duduk menghadap ke arahnya. “Udah, ya, Lang. Jangan ngerjain gue mulu. Gak usah deh bahas-bahas perasaan aneh kayak gitu. Gak penting.”
“Apa lo bilang? Gak penting?!”
Aku mengernyit bingung saat cowok itu memekik aneh, kenapa dia?
“Bahas yang lain aja,” tandasku akhirnya. Gilang tampak pasrah, aku menghela napas lega saat cowok itu tak lagi mengungkit perihal tadi—aku yang cemburu pada Seli—lagian juga hak ku tidak ada kan untuk hal itu?
“Tanggal 29 Retna ulang tahun, delapan hari lagi. Lo dateng gak?” tanyaku pada topik lain.
Gilang membalas, “Berapa umurnya sekarang?”
“17 mungkin,” jawabku.
“Tua banget,” celetuknya.
“Gak nyadar umur lo? Lo kan 17 tahun dua bulan yang lalu.”
Gilang mendelik kesal, aku menahan tawa. “Udah, balik ke topik.”
“Di undangan sama partner, kan?” tanyanya.
Aku memutar bola mata jengah namun akhirnya mengangguk. Jadinya sedikit malas kalau harus pergi dengan partner.
“Ya udah kalo gitu kita partner-an aja. Gimana?” ajak Gilang sambil menarik turunkan alisnya.
“Lo ngaco, gak?” sahutku.
“Serius, Lika.”
Aku menyandarkan punggung dengan santai, melipat tangan di depan dada dengan tatapan yang lurus ke depan. “Gue gak mau terlihat mencolok saat sama lo. Yang suka lo di Tunas Harapan banyak, Retna pasti undang mereka semua di acara dia. Gue cuma gak mau dibenci sama fans lo, selain itu juga gue takut...” ada jeda beberapa saat dari kalimatku barusan. Aku menoleh ke samping menatap Gilang yang memintaku melanjutkannya—meski tidak secara langsung.
“Takut gue baper lagi,” lanjutku. Aku membuang napas yang sedari tadi tiba-tiba terasa sesak.
Gilang berdeham berat, atmosfer diantara kami sontak berubah sunyi dan sedikit dingin. Mungkin ucapanku barusan terlalu tiba-tiba. Tapi itu kan yang dimaksud Gilang kemarin? Jika ada yang menganggu pikiranku langsung saja katakan. Iya, kan?
Tak disangka Gilang menarik tanganku yang ada di atas meja, cowok itu menggenggamnya dengan sangat erat. “Kalo ketakutan lo itu, buat yang pertama, kita tetap bisa berangkat bareng dari rumah lo ke tempat Retna. Terus di sana kita pisah, lo sama temen-temen lo dan gue sama temen-temen gue. Selesai, kan?”
Aku tak menjawab. Aku menyukai hangatnya tangan Gilang yang tengah menggenggam erat tanganku.
“Buat yang kedua, maaf kalo kenyataannya begitu. Gue gak tahu harus berbuat apa supaya lo gak baper sama gue kayak yang lo bilang itu. Tapi gue juga manusia, lo paham itu. Bisa aja kan gue juga baper sama apa aja yang terjadi sama kita sekarang? Pernah gak lo mikir kayak gitu?” Gilang mengangkat tangan kami yang saling menggenggam. “Contohnya yang kayak gini.”
Jika benar begitu kenapa Gilang masih saja mau mempertahankannya? Kenapa dia senang sekali menautkan jari-jari kami?
“Udah ah, kita ngomongnya terlalu jauh dan terlalu serius. Intinya itu, nanti lo berangkat sama gue dan pulangnya juga harus sama gue!” tandasnya.
Aku menerima dengan pasrah, lagipula untuk apa juga aku menolak kalau kenyataannya aku senang dan baik-baik saja dengan keputusan yang dibuat oleh Gilang secara sepihak ini.
“Mau pulang? Udah malem nih, atau mau nginep?”
“Ngaco lo! Gue mau pulang,” tukasku.
“Kalo mau pulang, lepasin dong genggamannya ini,” sindir Gilang seraya meremas tanganku yang digenggamnya.
Dengan gerakan kikuk aku melepas tangan Gilang, cowok itu menyeringai jahil membuatku menghangat. Kenapa hari ini rasanya begitu menyenangkan?
Gilang bangkit dari duduknya, “Gue bilang sama orang rumah dulu ya,” ucapnya lembut.
“Iya, jangan lama-lama, Lang.”
Cowok itu masuk ke dalam rumah dengan langkah yang yang lebar-lebar. Sementara menunggu, aku memeriksa barang-barang di dalam tasku memastikan tidak ada yang ketinggalan. Setelah merasa cukup aku berdiri bersamaan dengan Gilang yang keluar membawa dua helm. Dia menyodorkan satu kepadaku.
“Makasih,” ucapku.
“Yuk,” ajaknya.
Aku mengikuti Gilang menuju motornya lalu cowok itu membawaku meninggalkan area rumah besar yang selama ini menjadi tempat tinggalnya.
@penakertas_ paham kok wehehe
Comment on chapter Prolog