Bola aja dikejar apalagi cinta kamu.
***
19 November 2017
Hubunganku dan Gilang semakin hari semakin membaik, aku juga lebih akrab dengan Kaka Sandra. Kami sering bertukar pesan pada malam hari. Banyak yang diceritkan oleh Kak Sandra kepadaku, sementara aku hanya mendengarkan sesekali menimpali. Seringnya aku berinteraksi dengan Gilang dan Kak Sandra akhir-akhir ini membuatku penasaran dengan sosok Om Samudra yang pandai mendidik anak-anaknya menjadi anak yang baik seperti Gilang dan Kak Sandra dan mereka juga pandai. Aku sempat membahas ini dengan Gilang dan dia berjanji nanti jika Om Samudra ada waktu dia membawaku main ke rumahnya lagi untuk bertemu Papanya.
Maklum, Om Samudra sibuk karena dia bekerja sebagai CEO di perusahaan besar Kakek Gilang.
Hari ini hari Minggu, sekarang jam menunjukan pukul 15.00 dan aku hanya berdua dengan Kak Rigel di rumah. Kak Handi pergi bersama pacarnya pagi tadi, sementara Papa dan Mama sudah dua hari ini berada di Bandung menemani Papa yang mendapat jadwal tugas di luar kota. Aku berdua dengan Kak Rigel tetapi berada sendiri, pagi tadi memang Retna dan Tata datang ke rumah. Mereka membagi undangan perayaan ulang tahun Retna yang di selenggarakan pada tanggal 29 November nanti.
Aku menghela napas bosan, memandangi undangan yang tertera di atas meja di depanku. Di undangan itu terdapat tulisan ‘Lika dan Partner’ bagaimana bisa aku datang ke sana dengan partner sementara aku sendiri gak punya pasangan? Retna memang suka ngaco kalo ngelakuin sesuatu, kupikir Tata akan mengingatkan Retna bahwa aku ini jomblo hingga membuat Retna urung menuliskan namaku dan partner di undangan itu. Namun apa daya, nasi sudah menjadi bubur.
Kalau begini terus aku bisa mati kebosanan di rumah sendiri.
“Woi!”
“Kodok!” tanganku refleks memukul kepala seseorang yang membuatku kaget. Orang itu meringis mengusap kepalanya yang menjadi korban lalu membalas menjitak kepalaku.
“Salah siapa iseng banget jadi orang, sukanya ngagetin aja,” tukasku melihat wajah Kak Rigel yang dongkol.
“Ini nih,” tunjuk Kak Rigel mengarah padaku. “kebiasaan lo yang harus dijinakkan. Suka membinasakan orang di sekitar!”
Aku mendelik sinis. “Ih... mana gak ada ya aku kayak begitu. Aku galak karena ada penyebabnya juga. Dan Kak Rigel suka bikin penyebab kemarahan ku.”
Cowok itu mengabaikan pembelaan ku, dia duduk di sofa tunggal, menyandarkan punggungnya di sandaran sofa dan menyilangkan kakinya. “Handi kapan pulang sih?”
Aku mengedikkan bahu, “Mana aku tahu. Maklumi aja sih Kak orang lagi mau pacaran. Kayak Kakak gak punya pacar aja, itu tadi pagi kan Kakak udah mojok sama Retna,” sindirku sambil cekikikan melihat raut merah padam Kak Rigel.
Menggodanya membuatku sedikit terhibur.
“Anak kecil bicaranya udah dewasa aja lo, kecepetan matang, Dek!” sergahnya.
“Bodo, lah,” balasku cuek.
“Eh, Li, ambil bola di gudang gih, biar kita gak bosan-bosan amat di rumah,” suruhnya tiba-tiba. Tangannya mengibas ke arahku mengisyaratkan aku agar berjalan menuju gudang.
Sialan punya Kakak begini amat.
“Ambil sendiri, Kak...” rengekku. Males banget main ke gudang yang penuh debu cuma mau ngambil bola doang.
“Ambil, Li! Malesan banget sih jadi orang,” omelnya tak terbantahkan.
Aku pasrah, bangkit dari sofa dan mencubit keras pipinya membuat Kak Rigel meringis kesakitan. “Pesuruh banget jadi orang!”
Setelahnya aku berlari cepat menuju gudang, membuka pintu besar itu dengan hidung yang ditutupi oleh telapak tangan. Aku berjalan masuk mencari benda bulat yang dimaksud oleh Kak Rigel. Nah! Ini dia.
Setelah mengambil bola voli yang beratnya tidak seberapa aku lalu keluar dan menutup pintu gudang. Masuk kembali ke dalam rumah dan mendapati Kak Rigel yang memainkan ponselku.
Aku melempar bola voli ke arahnya.
Kak Rigel menyambut bola itu dengan sigap, memang dasar ya orang pemain voli yang main nya sama bola terus. Dia meletakkan ponselku ke atas meja, melambaikan tangannya menyuruhku mengikutinya.
“Kakak mau latih aku main voli?” tanyaku sambil berjalan menyusul Kak Rigel yang sudah berada di halaman belakang rumah yang luas. Cukup untuk dijadikan lapangan voli dan basket.
“Huum,” jawabnya. Kak Rigel melakukan passing tunggal dengan sangat lihai. Aku memperhatikan nya dan berdecak takjub, Kak Rigel ternyata memang berkata jujur dengan kemampuan bermainnya. Pantas saja dia dijadikan kapten voli selama dua tahun berturut-turut.
“Pemanasan dulu, Li,” ujarnya, meletakkan bola ke tanah.
Aku izin mengambil sepatu dan mengenakannya dalam beberapa menit sebelum kembali ke halaman dan mendatangi Kak Rigel, berdiri di belakangnya bersiap melakukan pemanasan. Kami melakukan jalan di tempat sebanyak dua kali putaran, lalu scout jump dan lari keliling halaman sebanyak tiga kali.
Napasku sedikit sesak setelah selesai pemanasan, namun tidak berpotensi bagi asmaku untuk kambuh. Ini masih dalam batas wajar dalam berolahraga.
Kak Rigel sudah memegang bola, kami berdiri berhadapan. “Padahal seharusnya latihan buat ini lebih keras daripada tadi buat kekuatan fisik kamu, tapi karena kamu punya asma jadi gak usah keras-keras. Sewajarnya aja,” ujar Kak Rigel.
Aku mengangguk.
“Kamu baik-baik aja kan? Pernapasan gak terganggu kan?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Cuma sesak dikit aja, tapi masih kuat kok.”
“Oke. Nanti kalo kamu merasa gak kuat lagi bilang ya, kita langsung break nanti.”
Kami memulai bermain voli berdua, untuk passing aku sudah lihai. Apalagi servis. Tapi aku belum terlalu menguasai untuk bagian smash dan block karena kedua teknik dasar itu susah. Apalagi aku ini pendek meski sebenarnya pendek tidak jadi masalah tapi tetap saja aku masih belum bisa. Untuk melompat saja aku masih perlu banyak latihan lagi agar bisa melompat tinggi. Apalagi merangkap antara melompat dan gerak tubuh seperti itu.
Aku bersyukur karena asmaku bisa diajak bekerja sama. Dia tidak kambuh selama aku melakukan olahraga voli ini. Kak Rigel juga membebaskan aku memilih dan melakukan kegiatan apa saja di sekolah asalkan tidak terlalu keras. Papa dan Mama juga, mereka membebaskan ku dan tidak melarangku ikut voli walaupun olahraga ini sedikit keras.
Setelah selesai bermain voli tadi Kak Rigel masuk ke rumah untuk mengambil air mineral sementara aku memilih tetap menunggu di sini. Matahari sudah turun, sekarang pukul lima sore. Dua jam aku dan Kak Rigel bermain. Dan aku puas dengan pencapain hari ini.
Aku membuka sepatu saat Kak Rigel kembali membawa dua botol air mineral dan memberikannya padaku. Kak Rigel berbaring di tanah setelah menghabiskan setengah air mineralnya.
“Kamu bermain udah lumayan bagus, cepet bisa kamu. Main voli itu gak ada yang namanya takut panas, gak ada yang namanya takut di serang sama bola. Bola mendarat di kepala, muka, dada atau anggota tubuh lainnya itu udah biasa. Pemain voli yang benar-benar mencintai permainan ini mereka gak kenal takut, mereka gak takut jatuh buat ngejar bola, mati-matian mereka bakal pertahanan bola biar gak jatuh di area mereka,” ujar Kak Rigel. Cowok itu melepas sepatunya.
“Bola itu di kejer, jangan cuma diliatin. Kalo udah berdiri di lapangan buat main, kamu harus gerak jangan tidur. Yang paling penting kerjasama antar pemain satu tim,” tambah Kak Rigel. Aku mengangguk mengerti.
“Kamu ini udah pinter ngejer bola walaupun masih suka nanggung, kamu takut jatuh kan?”
“Iya, kalo jatuh sakit. Nanti lecet.”
Kak Rigel berdecak. “Siapa aja temen-temen kamu yang voli?” tanyanya.
Aku menghitung, tidak banyak. Antara aku bertiga hanya aku yang bergabung dengan ekskul voli ini. “Gak banyak. Satu kelasku paling sepuluh ceweknya yang ikut.”
Kak Rigel mengangguk-anggukan kepalanya. “Gilang voli juga?”
“Ya iyalah. Tuh cowok suka olahraga, gak mungkin dia gak ikut voli.”
“Oh,” gumam Kak Rigel. Dia menyugar rambutnya yang basah karena keringat. “Kemarin pas mau berangkat ke kampus gak sengaja Kakak ketemu sama Gilang. Dia sama cewek.”
“Hah?!”
Sama siapa?
Kak Rigel mendelik kaget karena pekikanku. Dan lagi-lagi tangan cowok itu menjitak dahiku. “Jangan teriak-teriak. Berisik.”
“Ceweknya siapa?” tanyaku cepat.
“Yang jelas bukan Retna.” Kak Rigel menyeringai.
Aku memutar bola mata jengah. “Seriusan aku!”
“Ya siapa bilang Kakak bercanda?”
“Kak...” rengekku.
“Ceweknya itu putih, rambut hitam panjang. Imut gitu, manis,” tutur Kak Rigel. Dia tersenyum menatapku. “Kakak berasa kenal sih sama tuh cewek. Dia sekolah di Tunas juga kan?”
Ciri-cirinya ... maksud Kak Rigel cewek yang sama Gilang itu Seli?
“Maksudnya Seli?” tanyaku memperjelas.
Kak Rigel menjentikkan jarinya tepat di depan wajahku. Aku tidak suka Gilang jalan sama cewek lain. Apalagi Seli. Wajahku aku tutup dengan tangan, aku ingin menangis tapi malu. Dan aku gak mau dibilang cengeng sama Kak Rigel. Tapi Gilang?!
“Huaa...” rengekku tertahan. Aku benar-benar ingin menangis sekarang.
“Lebay kamu!” hardik Kak Rigel. Sialan!
“Dulu Seli itu ikut voli kalo gak salah. Sekarang masih gak sih?”
Masih.
Aku mengangguk tanpa menjawab.
Tangan Kak Rigel bergerak mencolek pipiku, menatapku dengan tatapan jahil dan menggoda. Apa-apaan ini? “Cieee cemburu.” Dia terbahak.
Ya, aku cemburu. Tangan Kak Rigel aku tepis kasar. Menatapnya garang, aku berujar, “Kak Rigel pasti bohong. Kak Rigel cuma mau ngerjain aku, kan? Iya, kan? Ngaku, Kak!”
“Ck! Dibilangin bener juga,” sergahnya. “Positif thinking aja sih, Dek. Mungkin mereka pergi latihan voli. Karena saat itu Gilang sama Seli pake baju olahraga.”
“Kalo lebih dari itu?”
“Siap-siap aja kamu relain dia.”
@penakertas_ paham kok wehehe
Comment on chapter Prolog