Kemarin aku bercerita banyak tentangmu, tentang keluargamu juga. Bisakah aku menjadi bagian di dalamnya?
***
Langkah kakiku bergerak masuk ke dalam kelas, pandanganku tertuju pada meja yang berada di barisan tengah, Tata dan Retna duduk berdekatan. Aku bergabung dengan mereka yang ternyata sedang mengutak-atik laptop.
“Ngapain sih?” tanyaku, menengok pada layar laptop Tata yang menyala.
“Retna nyalin drakor,” jawab Tata. Aku mengangguk, mengeluarkan ponsel dari dalam saku dan meletakkan ransel di atas meja.
Sementara Tata dan Retna sibuk dengan kegiatan menyalin drakor mereka, aku malah sibuk sendiri dengan ponselku. Membuka Instagram dan iseng men-scroll time line ku. Aku melirik Retna yang masih asik bersama Tata saat melihat postingan dia di Instagram. Bukan foto dirinya, melainkan picture background yang di beri tulisan ‘November, welcome bulan kelahiran’.
Aku baru ingat bahwa bulan ini bulan lahir Retna, pada 29 November. Masih jauh sih, tapi sudah banyak teman-teman sekelas kami yang membicarakan kejutan yang akan mereka siapakan untuk Retna. Bukan kejutan seperti yang kaliann pikiran, tetapi kejutan dilempari tepung lalu diceburkan ke kolam renang sekolah.
“Lo ultah, ya, Ret,” kataku. Itu pernyataan, bukan pertanyaan.
Retna mengangguk, membalas dengan menatapku sambil tersenyum sarat makna. Aku mencebikkan bibir kesal, dia pasti minta traktiran.
“Di mana-mana itu yang ultah yang ngasih traktiran, bukan orang yang gak tahu apa-apa,” dengusku.
Retna mencibir, “Minimal album baru nya Exo kek, yang don't mees up my tempo itu. Suami gue astaga dia hot banget di sana. Kali ini ot9 njir, gak sia-sia perjuangan gue nunggu mereka kambek nya lama.”
“Eh? Emang iya ot9? Gak tau gue masa,” Tata yang tadi sibuk memperhatikan Retna kini beralih saat Retna juga sudah selesai dengan drakor nya dan menyimpan laptop Tata ke dalam tas cewek itu.
Aku memutar bola mata jengah, gimana mau tahu orang dia aja ogah-ogahan sama dunia K-Pop. Tapi aku bersyukur sih—lebih ke Retna sebenarnya yang bersyukur Tata tidak merecoki atau menghina sahabatnya yang suka Korea. Ada aja lah antis yang kayak gitu, sukanya menghina, mencibir yang enggak-enggak. Malah jadinya war di sosial media cuma gara-gara hal kecil yang sepele banget. Aku memang menyukai K-Pop boy grup EXO, tapi tidak terlalu. Retna yang suka banget sama mereka, sampai di kamarnya dia di pasang poster semua member dari dulu mereka ot12. Dia bilang kalau dia kangen Tao, Kris sama Luhan dia tinggal memandangi poster tiga lelaki cogan di antara dua belas visual itu.
Parahnya Retna yang membuatku sering sekali menggelengkan kepala melihat tingkah pecinta K-Pop nya adalah saat melihat snap WhatsApp nya dia yang memasang foto oppa kesayangannya dia. Park Chanyeol. Gak ketinggalan emotikon love dan kissing untuk setiap picture nya. Ditambah dengan tulisan caption yang juga gak pernah ketinggalan ‘Suami gue’ itu.
Kalau aku sih suka dengan Baekhyun di EXO, dia itu cute banget kalau di belakang panggung. Tapi saat konser dia bikin lumer Eris yang nonton. Apalagi pas dia nyebut kami EXO-L (sebutan untuk fans EXO) sebagai Eri yang dia bilang dia suka sekali dengan sebutan itu dan menganggap seperti anak perempuannya rasanya hati menjadi adem. Mendengar suaranya yang bening dan bersih membuat semua Eris gak akan bisa move on dari semua lagu punya EXO.
“Pokoknya kalian harus punya kejutan buat gue, gak mau tahu!” desak Retna akhirnya. Aku dan Tata hanya menghela napas pasrah.
“Pake acara gak Ret ultah lo?” Tata yang tadi sedikit diam akhirnya bersuara. Aku ikut memandang Retna.
“Kayaknya pakai sih, gue yang mau. Kan pas umur gue 16 tahun dulu Ortu gue gak bikin hari berojol gue dengan meriah. Jadi gue pas ultah yang ke-17 ini berharap nya mereka bikin acara gue se-hoki mungkin. Kalo perlu gue undang deh semua anak-anak Tupan,” cerocos Retna. Tata menoyor kepalanya karena Retna terus berceloteh.
“Kayak anak-anak aja lo ultah mau di rayain meriah segala. Badan udah sebesar gini kalaupun cuma pacar lo doang yang ngasih ucapan selamat lo juga bakal gak tidur semalaman saking kesenangan nya,” balas Tata sengit. Aku menyemburkan tawa menanggapi raut kesal Retna.
“Iya apalagi sekarang gak jomblo lagi lo. Pacar lo Kak Rigel pula,” sahutku.
Retna bersemu, aku dan Tata menyadari namun memilih untuk tidak menggodanya. Kasihan dia kepalang malu nanti.
“Ke kantin, yuk, laper gue,” ucap Retna mengalihkan pembicaraan. Dia memegangi perutnya sembari berdiri menarik tanganku.
“Perasaan udah bel tadi,” kataku bingung.
“Emang,” balas Tata yang sudah berdiri berjalan mendahului aku Retna. “Buruan! Gue juga lapar nih!”
Aku berdecak, melepaskan tarikan Retna pada tanganku untuk mengambil uang di dalam tas lalu menyusul berjalan ke kantin.
“Ke mana?” suara serak itu membuat ku menoleh ke samping.
“Oh,” aku tersenyum, “Ke kantin. Laper.”
“Udah bel, Li,” ucap Gilang, bernada melarang.
“Gue lapar, Gilang,” balasku.
Gilang menghela napasnya, mengedikkan bahu. “Udah, gih, sana makan. Tapi jangan lama-lama nanti balik, takutnya Bu Sari gak jadi libur ngajar hari ini. Terus kalian bertiga di jemur ketahuan bolos ke kantin.”
Aku menoyor kepalanya, “Kodok lo,” cibirku kemudian berlalu meninggalkan kelas.
Seminggu berlalu ini aku dan Gilang cukup kembali seperti semula, saat sebelum 19 September. Entah kenapa, rasanya seperti lebih ringan dan lebih nyaman mendamaikan semuanya dengan pertemanan kembali. Gak ada yang salah dari memaafkan diri sendiri dan menerima keputusan orang lain. Aku sudah memaafkan kebodohanku sendiri yang menyebabkan ini terjadi dan menerima semaunya dengan hati yang terus ku usahakan bisa lapang.
Tak ada yang meminta maaf diantara kami, juga tak yang membahas tentang ungkapan kala itu. Semuanya mengalir saja mengikuti alur yang sudah tersedia. Kami kembali berteman dengan seakan melupakan apa yang terjadi. Entah apa yang ada dalam pikiran Gilang hingga kembali datang lagi mendekat setelah beberapa waktu kamu saling mendiamkan, dan juga aku yang lebih mudah menerima Gilang lagi. Padahal dulu aku sendiri yang memutuskan untuk menjaga jarak untuk kebaikan hatiku juga.
Memasuki area kantin, aku menemukan Tata dan Retna yang sudah menyantap bakso di mangkuk masing-masing. Aku menarik kursi di samping Retna, sudah ada satu mangkuk bakso yang masih utuh dan belum di sentuh. Lengkap dengan es teh sebagai minumannya.
“Makasih,” ucapku lalu menyesap minuman milikku.
“He-em,” balas Retna tanpa terganggu oleh kedatanganku.
“Siapa yang pesenin punya gue nih? Tumben,” celetukku.
“Makan aja buru, gak usah banyak banyol,” sahut Tata.
Aku meralat, “Bacot.”
Dia mengangguk sambil menyesap minumannya. “Hem, ya, apalah itu.”
Kemudian aku makan dengan perlahan, sementara Tata sudah menghabiskan makanannya. Retna sedang ke toilet tapi baksonya belum habis.
“Temenan sama Gilang ya, sekarang.”
Aku mengangkat kepala kemudian kembali fokus pada makanan. Tidak memedulikan Tata yang entah sejak kapan menyibukkan diri dengan ponselnya. Tiba-tiba.
“Gue kan dari dulu emang temenan sama dia, kalian juga kok. Kita temenan lama sama dia dari SMP,” ujarku setelah selesai makan. Aku mengambil selembar tisu lalu membersihkan area mulut dengan benda putih itu.
“Ada apa?” Retna yang baru duduk bergabung, langsung bertanya pada topik.
Aku mengedikkan dagu kepada Tata, “Dia tiba-tiba bahas Gilang.”
Tata tampak menghela napas nya, meletakkan ponsel di atas meja lalu berucap, “Gilang beneran berubah sekarang.”
Sebelah alisku terangkat, menatap Tata bingung. Kenapa justru sahabatku ini yang menjadi direpotkan dengan perubahan Gilang? Aku saja tidak.
Eh, kenapa aku?
“Peduli lo ya, Ta.” Retna menyeringai jahil. Aku ikut tertawa kecil agak sedikit dipaksakan.
Tata mengangkat sudut bibirnya, menatap Retna dengan mata memicing. Lalu detik berikutnya Retna mengaduh kesakitan karena jidatnya berhasil dijitak keras oleh Tata.
“PMS lo gak banget deh, Ta. Nyiksa temen itu dosa, sempit kubur lo tahu rasa deh itu tangan diimpit bumi nanti,” kelakar Retna dongkol.
Aku terbahak keras sementara Tata mencebikkan bibirnya. Raut nya berubah seketika, menjadi serius. “Mama Gilang itu udah gak ada. Tante Step meninggal pas umur Gilang tiga tahun.”
Aku tersedak minumanku sendiri saat mendengar ucapan Tata. Mama Gilang sudah tidak ada? Ini berita yang benar-benar baru yang terjadi 14 tahun yang lalu.
“Kok tahu?” tanya Retna bingung.
Tata mengangguk, dan aku hanya diam menunggu kalimat penjelasan dari Tata selanjutnya.
“Gilang itu sepupu gue, jadi gue tahu semua apa yang dia alami. Termasuk perubahan dia yang kentara ini. Tapi gue gak tahu pasti alasan nya dia berubah itu apa.”
“Baru tahu kalian ternyata sepupuan,” kata Retna. Ya, aku juga baru tahu.
“Gak penting sih, itu. Makanya orang macam kalian gak tahu.”
Sialan!
“Kok peduli banget sih, sama dia?” aku akhirnya bersuara. Dengan suara yang sedikit serak karena kaget mendengar kabar tentang Gilang menyangkut Mama nya sudah tidak ada.
“Karena pas kecil kita akrab banget,” jawab Tata. Aku mengangguk sambil meminum es teh ku, bisa dimengerti, jika benar mereka memang dekat sejak kecil sebagai sepupu, tidak apa-apa. Wajar kalau Tata selalu mengkhawatirkan Gilang, walaupun aku merasa kekhawatirannya lebih dari kekhawatiran ku kepada Gilang.
Entahlah Tata yang terlalu perduli atau kepedulianku yang tidak seberapa kepada cowok itu.
“Nyokap nya meninggal karena apa?” Retna bersuara juga akhirnya. Nada pertanyaan nya penuh dengan selidik dan penasaran.
Tata menggeleng, “Gue gak tahu. Gilang gak pernah kau cerita sama gue, mungkin alasan dia berubah sekarang karena udah tahu kenapa Mama nya bisa meninggal pas umur dia tiga tahun.”
Mataku memejam sejenak, aku menarik napas lalu menghembuskan nya pelan. “Udahlah, itu urusan nya dia. Kita gak berhak ikut campur. Gue yakin dia bisa nyelesain nya sendirian,” kataku akhirnya.
Aku bangkit berdiri saat Tata dan Retna mendongak menatapku lalu bersuara, “Ke mana lo?” tanya keduanya.
“Mau bayar,” jawabku mengedikkan bahu ke arah penjual makanan. Setelah selesai membayar, aku kembali ke meja dan menyesap minumanku untuk yang terkahir kalinya. “Gue duluan, pusing.”
Aku menyeret kakiku berjalan di koridor dengan langkah yang santai, tidak terburu-buru. Perasaanku tak enak, aku kepikiran Gilang. Dia memang berubah akhir-akhir ini, tetapi hanya kepada orang lain. Yang membuatku heran adalah perubahannya terhadapku. Dia tidak lagi seperti menjaga jarak, tetapi dia malah berusaha menghancurkan tembok yang aku buat diantara kami dengan caranya sendiri.
Sampai di kelas, aku duduk di kursiku. Ternyata pelajaran belum juga dimulai, padahal seingatku ketika kami di kantin tadi bel sudah berbunyi. Entahlah, mungkin aku yang salah dengar. Gerakanku menelusup kan kepala pada lipatan tangan di atas meja seketika saja urung saat mejaku bergerak sedikit, seperti ada benda yang sengaja di letakkan di sisi mejaku.
“Ngapain lo?” sambarku langsung.
Gilang melipat tangannya di depan dada. “Lama banget lo makan.”
“Suka-suka gue, gue makan pake mulut gue sendiri gak minjem mulut orang,” jawabku agak menggerutu.
Gilang tertawa pelan lalu mengacak rambutku, membuat aku menghela napas. Perasaan yang pernah ada tidak juga berubah setelah beberapa waktu berlalu. Justru, perasaan yang aku punya untuk Gilang terasa semakin besar. Semakin dalam. Padahal aku tahu dengan kesadaran yang perlahan Gilang tidak akan pernah bisa merubah pilihan hatinya.
Aku menepis kasar tangannya dari kepalaku, “Apa sih lo! Suka banget ngacak rambut orang.”
Gilang mengangkat tangannya lagi untuk mengacak rambutku. “Habisnya gue gemes,” ucapnya kemudian pindah duduk ke kursi miliknya.
@penakertas_ paham kok wehehe
Comment on chapter Prolog