Kamu tiba-tiba berubah hangat. Tak apa, walaupun ini tiba-tiba setidaknya menurutku ini baik. Entahlah menurutmu mungkin ini berlebihan.
***
Ruang kelas 10 IPS-4 begitu ramai saat aku sudah berada di koridor kelas, sekarang pelajaran sejarah. Pasti guru yang bersangkutan berhalangan hadir sehingga menyebabkan anak-anak di kelas yang gak tahu diri itu jadi berulah. Apa yang ada dalam pikiranku tidak melesat saat aku sudah masuk ke kelas, tak ada yang terpengaruh dengan kedatanganku. Mereka sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing, kecuali seseorang yang duduk pada kursi berada dekat jendela barisan nomor tiga. Berbeda dengan anak-anak yang lain, cowok itu justru menatap kedatanganku dengan tatapan rumitnya, tatapan yang berusaha aku hindari. Karena sulit sekali diartikan.
Aku berusaha tidak terpengaruh dan melanjutkan langkah menuju tempat dudukku. Tata dan Retna berbicara sambil tertawa terpingkal-pingkal karena topik yang mereka bahas. Aku yang tidak mengerti penyebab kegilaan mereka hanya mengedikkan bahu acuh, lalu duduk di kursi yang ada di samping Tata. Sinyal Tata dan Retna berhenti tertawa dan menatapku, yang mencuri perhatianku adalah tatapan Retna yang penuh dengan rasa bersalah.
“Kok berhenti gila nya? Gak mau dilanjutin ya, karena malu diperhatiin sama orang waras dan pinter kayak gue?” aku terbahak, “Enggaklah. Relaks aja gue maklum kok sama kesintingan kalian.”
Aku mengulum senyum saat melihat Tata mencibir sebal, dan Retna juga. Tetapi dia memilih bergeming. Ranselku aku letakkan benar-benar di atas meja, lalu bertopang dagu memperhatikan kedua sahabatku.
“Bagus kalo patah hati bikin lo juga ikut waras, lain kali patah hati aja lo sering-sering, Li,” seloroh Tata sambil terbahak. Aku memukul kepalanya dengan gulungan buku tulis milik Retna yang aku rampas dari tangannya. Sialan dia!
“Ha ha ha,” respons ku tak bersahabat. Aku melempar sembarang buku tulis Retna dan cewek itu memungut nya di lantai. Aku meneggakan tubuh saat Tata menyenggol lenganku, jadi kasihan dan gak enak sama Retna. “Sori, Ret, sengaja.”
“Mampus! Sialan lo brutu ayam!” dumel Tata. Retna sudah kembali duduk pada kursinya, tatapan kami bertemu dan aku tersenyum. Senyum perdamaian.
“Kok, diem, Ret?” sambar Tata. “Biasanya lo nyeletuk gak jelas aja kalo Lika lagi rese.”
“Gak apa-apa kok,” jawab Retna sambil menyunggingkan senyum yang terlihat dipaksakan.
“Tahu nih, kesambet ya lo jadi tiba-tiba gitu pas gue dateng? Atau gue ada bikin masalah sama lo?” tanyaku. Aku cukup mengerti apa yang ada dipikiran Retna sekarang.
“Enggak, kok. Gue malah yang udah bikin salah,” kata Retna. Ponselnya yang ada di atas meja berbunyi, aku meliriknya. Panggilan dari Kak Rigel. Dan aku cukup dibuat kaget saat Retna justru me-reject panggilan itu.
Tata yang sudah mulai jinak kemudian menoleh kepadaku, sementara Retna hanya diam. Anak itu aneh hari ini, mulut nyablak nya seperti dijahit sejak kedatanganku tadi. Dia tiba-tiba diam tanpa kata, bergerak kaku dan selalu menolak kontak mata denganku. Mungkin ... Retna cukup terganggu dengan masalah kami tempo hari.
Aku menghela napas pelan, melipat tangan di atas meja dan sedikit mencondongkan badanku utnuj mendekat pada Retna. Retna menoleh, mungkin dia merasa terganggu. Aku menatapnya serius, “Gak apa-apa, Retna. Lo santai aja, anggap aja yang tempo hari gak pernah terjadi. Gue udah lupain semuanya kok,” ujarku.
“Termasuk perasaan lo sendiri?” balasnya.
Aku menjauh dan menarik napas lalu mengembuskan nya kasar, “Iya, ini gue lagi usaha,” jawabku.
“Emang bisa lo lupain dia secepat itu?” sahut Tata.
Aku hanya menggeleng, tidak menjamin aku bisa terbiasa dengan waktu yang secepat itu. “Namanya juga usaha kan, gak boleh putus asa dulu. Gak ada salahnya gue berusaha lupain dia, ya ... langkah pertama mungkin gue harus nyoba jaga jarak,” jelasku.
“Maaf, Li,” ucap Retna tiba-tiba.
Aku mengernyit bingung, kemudian terkekeh hambar, “Gak perlu minta maaf, Ret. Karena emang gak ada yang perlu dimaafin. Gak ada yang salah di sini,” ujarku.
“Tetap aja sebagai sahabat seharusnya gue bisa bantuin lo dapetin Gilang, tapi ini..., gue malah nikung lo,” gumam Retna.
“Nikung itu pas lo rebut Gilang dari Lika. Tapi sekarang lo gak ngerebut dia, malah lo pacaran sama yang lain,” kata Tata sambil tersenyum lebar. Kayaknya dia lagi berusaha bikin suasana jadi cair biar tidak setegang yang sekarang ini. Congratulations, Tata! Lo berhasil.
Aku tertawa dan menepuk bahu Retna. “Gue damai sama kenyataan aja lah, Ret. Dengan tahu diri di mana posisi gue berada dan gak perlu maksa Gilang buat suka gue. Lo tahu sendiri kan hal yang dipaksain itu gak akan bikin bahagia? Itu yang baru aja gue sadari, sih, sejauh ini.”
Retna menganggukakkan kepalanya, senyum Retna terbit lagi.
Kami bertiga mulai mengobrol dengan topik lain, Tata yang bercerita tentang Mama tirinya yang baik banget dan Retna yang bercerita tentang hubungan nya dengan Kak Rigel, meski sepintas. Seenggaknya dia sudah gak lagi menutupi semuanya dari kami.
Sampai akhirnya seperti tanpa disengaja topik obrolan kami menjurus pada Gilang, tentang cowok itu yang akhir-akhir ini berubah. Menurut pengamatan Tata.
“Emang dia berubah kayak gimana, sih, Ta?” tanyaku penasaran, sambil bergeser duduk lebih mendekat padanya.
“Gak tahu juga sih, gue. Cuma kalo dilihat-lihat dia udah gak kayak dulu lagi, kan. Kayak jaga jarak gitu sekarang dari temen-temen sekelas. Apalagi... maaf nih ya, gue gak maksud bikin lo ngerasa gimana, cuma gue lihat akhir-akhir ini dia kayak gak lagi berusaha deketin Retna. Gak tahu kenapa,” tutur Tata.
Aku mengernyit, berpikir tentang penuturan Tata barusan. Benar juga, sih. Sekarang dia jarang banget deketin Retna, bahkan aku sudah jarang melihat dia mendekat ke meja Retna lagi.
“Iya, sih, ya. Tapi kenapa?” aku menggaruk belakang kepalaku yang tak gatal. “Ah, tahu lah. Bukan urusan kita juga. Ngapain mau pusing-pusing mikirin dia.”
Tata tersenyum meremehkan menatap ku, sementara Retna menatapku dengan tatapan yang seperti menahan tawa. Aku menggebrak meja membuat kedua anak manusia itu tersentak kaget dan mengembalikan raut wajah mereka seperti semula.
“Bener banget kalo dipikir-pikir. Bukan apa-apa sih, ya, tapi biasanya dia selalu chat gue kalo malem walaupun cuma chat singkat aja. Fix, dia aneh,” kata Retna. Dia membuka ponselnya yang berbunyi. “Gue keluar bentar, ya, Nyokap nelpon nih.”
Aku dan Tata sama-sama mengangguk.
“Dan juga, apa lo sadar sekarang Gilang mulai melihara kantung mata?” ungkit Tata lagi.
Aku cukup terhenyak mendengarnya, karena aku tidak memperhatikan Gilang sejauh itu. Aku hanya fokus dengan patahnya hatiku beberapa hari belakangan ini.
Kepalaku menggeleng lemah, mengalihkan pandang ke arah lain. “Bodo lah, Ta. Bukan urusan,” kataku berusaha cuek.
“Yee... elo mah, virus patah hati ya, Li. Ya, ya, ya, gue sebagai temen lo dan temen Gilang juga merasa khawatir aja sih, takut aja terjadi apa-apa sama dia.”
Aku melirik Tata curiga, “Ada rasa nih anak sama Gilang, kayaknya.”
“Dugong! Ngasal aja lo kalo ngomong!”
***
Pulang sekolah Retna sudah dijemput oleh Papa nya dan Tata ngelayap dulu ke mall, katanya mau membeli perlengkapan bulanan nya dia. Entahlah apa saja perlengkapan bulanan yang dia maksud. Tadi Mama bilang dia mau ke sekolah untuk mengurus administrasi bulanan ku sekalian mau menjemputku juga. Aku setuju, lebih baik pulang dengan Mama daripada harus pulang dengan Gilang lagi.
“Tumben yang ngurus administrasi Mama, biasanya Papa atau Kak Rigel,” celetukku sambil berjalan dan memainkan ponsel.
“Hah!” desah Mama berat. Aku menoleh menatapnya. “Iya, Mama nyuruh Rigel sebenarnya yang ngurus administrasi kamu. Tapi dia gak mau. Malesan banget Kakak kamu itu sekarang,” lanjut Mama.
Aku mengangguk-anggukkan kepala, “Maklum aja lah, Ma, mungkin dia lagi banyak banget tugas kampus. Tapi padahal dia katanya mau latih aku voli kapan-kapan, tapi belum ada kejelasan juga. Tahu lah,” gerutuku.
“Kamu yakin mau voli?” tanya Mama dengan nada bicara yang sudah berbeda dari sebelumnya.
“Yakin. Kenapa, Ma? Kok Mama langsung gitu mukanya? Aku gak boleh voli, ya?” selidikku.
Mama menggeleng dan tersenyum, dia menepuk bahuku seakan memberiku semangat. Syukurlah.
“Kamu emang adiknya Rigel banget,” kata Mama.
Aku memutar bola mata, “Iyalah! Siapa juga yang bilang aku bukan adiknya dia.”
Kami sampai di parkiran, sementara menunggu Mama mengeluarkan mobilnya dari parkiran khusus, aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas lalu membuka Instagram. Suara klakson motor membuat aku terlonjak kaget, hampir saja ponselnya jatuh ke tanah jika saja aku tidak memegangnya erat.
“Ngagetin aja lo,” cibirku. Sebisa mungkin aku tidak menatap Gilang, apalagi matanya yang terbatas kaca helm full face.
Gilang menaikan kaca helmnya lalu melepas benda bulat itu. Meletakkan nya di atas tangki motor lalu mematikan mesin motornya. “Pulang sama siapa?” tanya Gilang.
Aku bergerak gelisah, Mama lama sekali kembalinya. Aku takut kalau-kalau Gilang mengajakku pulang bersama, ah, tidak, ketakutan ku yang lebih parah adalah takut jika saja imanku untuk move on dari Gilang lemah karena berada di dekat cowok itu.
Kepalaku menoleh ke kanan, aku mendesah lega saat mobil Mama berada di sampingku. Kaca mobil di kursi penumpang terbuka dan aku menunjuk Mama yang ada di dalam mobil dengan ponsel. “Gue sama Nyokap, duluan, ya, Lang,” pamitku lalu masuk ke kursi penumpang tanpa peduli tanggapan dari cowok yang memakai helm full face itu.
Mama seperti terpaku di tempatnya melihat Gilang, raut yang Mama buat tak terbaca olehku. Aku hanya mengernyit bingung sembari menunggu Mama menjalankan mobilnya.
“Duluan, Tante,” pamit Gilang yang ternyata sudah siap dengan helm yang terpasang di kepalanya. Mama hanya mengangguk kaku mengiringi kepergian Gilang dan motornya.
“Ma?” panggilku.
“Dia mirip banget sama...” ucap Mama linglung. “Astagfirullah,” desah Mama.
“Gilang mirip siapa?” tanyaku heran.
Aku menggeram dalam hati saat Mama hanya menggeleng tak menjawab. Mama menjalankan mobil meninggalkan parkiran sekolah.
@penakertas_ paham kok wehehe
Comment on chapter Prolog