Kenapa saat suasana hatiku mulai tertata kembali kamu malah datang lagi? Tuan, jika ingin pergi lagi tolong jangan pernah kembali. Aku lelah menata hati sendirian.
***
Helaan napasku terdengar kasar, lagi-lagi aku harus berangkat bersama dengan Kak Felix. Mataku menatap tajam kepada Kak Rigel yang tersenyum menjijikan, untung aku sudah berdamai dengannya dan memaafkannya atas kejadian beberapa hari yang lalu. Aku juga yang sebenarnya memilih lebih bersikap dewasa menghadapi masalah kami. Kupikir, aku nggak berhak mengatur harus dengan siapa Retna jatuh cinta dan harus dengan siapa Kakakku berpacaran.
Ponselku berdering khas tanda pesan masuk, aku membukanya.
Kak Felix
Li, lo berangkat sama siapa? Gue gak bisa jemput, gak masuk soalnya.
Aku mendesah khawatir, lalu dengan siapa aku berangkat. Sementara Papa dan Kak Handi sudah berangkat kerja, yang tersisa hanya Kak Rigel yang sekarang sedang menyiapkan tasnya lalu berangkat kuliah.
Aku mengetikkan balasan pesan Kak Felix.
Lika Hirata
Gampang aja, Kak. Katanya Retna mau jemput aku.
Aku adalah teladan yang pintar, pagi-pagi sudah berbohong dengan bejad mengatasnamakan sahabat sendiri. Ampuni gue Retna.
Aku tidak suka merepotkan orang di sekitaku, kalau aku bilang atau membalas pesan Kak Felix dengan desahan kecewa maka Kak Felix nanti akan merasa tidak enak. Aku tahu itu. Karenanya aku tidak mau membuatnya repot dengan perasaan bersalah nya nanti.
Kak Rigel sudah berangkat kuliah, aku menggigit bibir bagian dalamku. Agak cemas juga sebenernya, memikirkan harus naik apa aku ke sekolah hari ini. Naik angkutan umum? Unch, maaf aku tidak terbiasa dan emang tidak bisa. Minta dijemput Tata kayak yang tadi aku bilang sama Kak Felix? Sudah kubilang kan aku tidak suka merepotkan orang lain.
Pesan balasan baru dari Kak Felix masuk, aku duduk pada kursi kayu yang ada di teras rumahku. Lalu mengetikkan balasan pada pesannya.
Kak Felix
Beneran sama Retna kan? Gue gak enak nih
Lika Hirata
Iya, Kak. Gapapa kok
Jantungku berdesir aneh saat melihat pesan baru yang masuk, hanya dua kata, namun membuat respons lebayku kambuh. Napasku tertahan saat membuka chat itu.
Arkan Gilang
Udah berangkat?
Tangan kananku terangkat memegangi dadanya kiriku yang benar-benar berdebar hebat dan lebay, hanya karena sebuah chat aku bisa selebay ini. Apa kabar jantungku jika Gilang bilang, “gue juga suka lo, Li. Ayo, kita pacaran.” shit! Halusinasi ku hebat sekali rupanya akhir-akhir ini. Hanya karena tahu Retna tak punya rasa pada Gilang sadar tidak sadar aku jadi berpikir peluang mendapatkan hati cowok itu lebih mudah.
Bodoh! Mana bisa perasaan direbut dengan cara aneh seperti yang aku pikirkan itu?
Aku menarik napas, menetralkan detak jantung ku yang berdebar tidak tahu diri. Aku melihat jam tanganku yang menunjukkan pukul setengah tujuh. Jariku bergerak mengetikkan balasan singkat untuk chat Gilang.
Lika Hirata
Belum. Masih dirumah
Tak lama setelahnya chat Gilang yang baru masuk.
Arkan Gilang
Oh
Sialan! Jadi maksudnya bertanya padaku itu apa? Ku pikir mau menjemput ku dan mengajak berangkat bareng tetapi ternyata... bodoh! Dia kebahanyakan PHP.
Arkan Gilang
Jgn berangkat dulu. Gw otw ke rumah lo nih
Kepalaku terangkat melihat ke arah pagar siapa tahu Gilang sudah sampai dalam waktu satu menit. Kemudian aku mencibir merutuki diri sendiri.
Mana ada otewe langsung sampai kurang dari satu menit? Dasar Lika.
Anehnya, setelah aku beralibi dalam hati tiba-tiba suara motor terdengar dari depan pagar lalu mati setelahnya. Aku berdiri dan meninggikan kepala melihat ke arah pagar yang tertutup. Sebuah motor besar hitam diduduki oleh seorang cowok berseragam sekolah yang sama denganku dan jaket jeans sambil memegangi ponselnya.
Arkan Gilang
Turun. Gue udah di depan. Kita berangkat bareng.
Tak bisa aku pungkiri aku jadi tersenyum melihat pesan baru itu, kemudian aku langsung berjalan sedikit tergesa ke halaman rumah lalu membuka pagar. Aku membeku seketika saat ingat seperti apa jarak yang tercipta antara aku dan Gilang akhir-akhir ini.
Kami pernah dekat lalu terasa jauh, meski tak sejauh matahari tetapi kami tanpa sadar sudah memiliki jarak sejauh Jakarta dan Bandung.
“Li?” aku masih berdiri mematung saat Gilang menegurku, bahkan hingga beberapa kali. Kepalaku yang tadinya menunduk lalu mendongak, meski tak menatap langsung menatap Gilang. Aku tahu dia jadi memerhatikan aku.
“Ayo..., Li. Berangkat,” ajaknya tanpa turun dari atas motor. Aku berdeham canggung, lidahku rasanya menjadi kelu hanya untuk sekedar menyapa Gilang dengan santai.
“Lo ... jemput gue?” tanyaku cengo.
Aku hanya diam saat Gilang juga diam, tak menjawab. Dia terdengar berdeham dan seperti salah tingkah, namun aku memilih abai saat dia mengisyaratkan aku naik ke atas motornya. Napasku menghembus berat, apalah daya aku yang ditinggalkan oleh Kak Felix, nggak diantar Papa atau Kak Rigel. Sekarang jalan satu-satunya agar aku bisa sampai ke sekolah tanpa harus telat hanyalah dengan ikut bersama Gilang.
“Eh—ehm..., Lang?” panggilku saat sudah di atas motor. Gilang sudah melajukan motornya meninggalkan komplek perumahanku.
Aku melihat kaca spion tanpa menyangka bahwa tatapan kami akan bertemu di sana, sepertinya Gilang menatapku sambil tersenyum dibalik helm full face-nya. Atau mungkin hanya aku yang kegeeran. “Apa?” balasnya.
Aku mengalihkan pandang melihat sesuatu yang lain asal jangan retina hitam pekatnya, jari tanganku sudah saling meremas karena gugup. Selalu begini, sedari awal aku naik ke atas motornya tadi debaran jantungku sudah merajalela tanpa tahu malu dan justru memalukan. “Lo niat jemput gue gak sih?”
Oh God! Lika lo udah keterlaluan sama harga diri lo.
“Enggak,” jawab Gilang.
Mataku melotot ke arah spion, “Jadi lo gak niat? Ya udah turunin aja gue di trotoar!” seloroh ku.
“Enggak. Bukan gitu tapi gue tadi kebetulan... ah, pas aja sih—eh tahu lah gue gak tahu. Tadi pas gue habis nerima telepon katanya gue gak usah jemput Seli. Jadi ya udah chat lo aja, kebetulan juga gue pas lewat jalan komplek lo.”
Aku memutar bola mata jengah. Tunggu? Seli? Gak usah jemput Seli? Kenapa? Bodo lah! Tapi kenapa Seli lagi bukannya masih Retna ya?
“Kok Seli?” tanyaku langsung.
Sialnya kami sudah sampai di parkiran dan Gilang menyuruhku turun karena dia mau memarkir motornya. Aku menggaruk belakang kepalaku yang tak gatal dengan bingung. Bingung mau menunggu Gilang selesai lalu ke kelas bareng atau meninggalkan lebih dulu. Kalau begitu Gilang pasti mencap tidak tahu diri dan tidak tahu terimakasih.
Langkahku berat meninggalkan Gilang, aku menoleh sebentar ke arahnya yang berjalan mendekat. Syukurlah, dia lebih cepat datang daripada aku harus meninggalkan tanpa tahu diri.
“Jangan tinggalin gue,” ucapnya saat kami sudah berjalan beriringan.
Sebelah alisku terangkat tanpa menatapnya, pandanganku hanya terfokus ke depan dengan tangan yang mengepal memegangi tali tas. “Maksudnya?” tanyaku.
“Awalnya gue mau berangkat sama Seli, Papa yang minta,” Gilang menghela napasnya saat aku menoleh menatap tepat pada manik pekatnya. “Tapi gak jadi, karena Seli gak masuk. Ya, baguslah.”
“Kenapa?” tanyaku.
“Kok malah nanya soal Seli?” balasnya.
Aku berdeham canggung dan berjalan mendahuluinya, jantungku kembali berdebar sialan dan semakin tidak tahu diri saat Gilang meneriakkan namaku.
Sial. Dia berjalan mendekat sekarang.
“Lika!” panggilnya. Koridor sudah semakin ramai dengan anak-anak yang semakin berdatangan. Aku berbelok ke arah tangga, entah kenapa aku tidak bermaksud langsung ke kelasku. Tetapi kakiku ingin menjelajah dulu pagi ini.
“Kok ... Lo ngikutin gue?” selidikku saat melihat Gilang berjalan tepat di belakangku.
Dia mengangkat bahu, “Mungkin,” jawabnya.
“Kok mungkin?” tanyaku.
“Emang lo mau ke mana sih?” balasnya.
Menyebalkan. Ditanya malah justru balik nanya. Aku mendelik sebal ke arahnya sambil menggerutu, namun tetap meneruskan langkah. Aku dan Gilang saling diam, tak bisa aku pungkiri keinginan melihat wajahnya dan menatap matanya lebih lama sangat besar. Kepalaku menggeleng, jangan. Nanti aku semakin jatuh cinta dengan tatapannya.
Aku tidak mau.
“Li...,” panggil Gilang kepadaku setelah kami beberapa lama berada dalam keadaan diam.
“Kenapa?” balasku. Gilang tak menjawab, dia hanya menatapku dan tersenyum tipis. Gilang menyugar rambutnya dengan jari, dia tersenyum lagi membuat ku mengernyit bingung dengan tingkah anehnya. “Kenapa sih, lo?”
“Gue pikir lo marah sama gue.”
Napasku tertahan saat kata-kata itu keluar dari mulut Gilang, aku jadi berpikir bahwa pembicaraan ini akan berlanjut dengan membahas yang telah lalu kala itu. Tidak, aku tidak ingin membahasnya sekarang. Proses menata hati masih aku butuhkan demi kebaikan kami—maksudnya kebaikan hatiku.
Jujur, saat melihat Gilang kembali hari ini rasanya ada bagian dalam diriku yang tiba-tiba menghangat. Setiap kali melihat tanpa sengaja manik pekatnya ada sebuah kedutan yang memaksa muncul dari sudut bibirku. Aku menurutuki diri sendiri, memang tak seharusnya aku memiliki rasa dan mengungkapkan nya secara cepat kepada sang pemilik hati. Sungguh, aku tahu itu sangat menganggu. Satu hal yang aku sadari, bahwa yang membangun jarak tak sepenuhnya ada padaku, tetapi Gilang juga.
Sejauh ini aku merasa caraku menata hati sedikit buruk, apalagi mengingat keegoisanku yang sempat mempermasalahkan hubungan Kak Rigel dan Retna. Tak cukup hanya sampai di sini, kupikir aku masih perlu sedikit jarak dengan Gilang. Agar hatiku bisa baik-baik saja. Inilah akibatnya menyukai teman sendiri, hatinya tidak didapat justru jaraknya yang tercipta. Huh, aku sedikit beruntung mungkin karena hanya menyukai temanku, bukan menyukai sahabatku. Kalau aku sampai begitu aku tidak tahu seperti apa sakitnya, untuk membayangkannya saja aku sudah meringis. Lalu, apa kabar mereka diluar sana yang justru terjebak dalam lingkaran setan bernama friendzone itu?
Dasar Lika! Urusan hati lo aja belum kelar udah main mikirin kabar hati orang lain.
“Gue? Marah, kenapa?” aku mengupayakan tertawa dengan ringan, namun justru sebaliknya aku malah tertawa garing.
Dasar Ampas!
“Udahlah, lupain. Gue mau ke bawah, ke kelas duluan ya,” kata Gilang melambaikan tangannya kepada ku lalu berlari menuruni tangga.
Aku memandangi punggung Gilang yang perlahan menjauh dan hilang. Pandanganku berubah meredup, jantungku berdebar, namun terasa hampa dan kosong. Hatiku miliknya, tetapi dia menyerahkan hatinya untuk orang lain. Sahabatku sendiri. Lalu tadi dia bilang mau berangkat sekolah dengan Seli.
Serendah itu aku di matanya.
@penakertas_ paham kok wehehe
Comment on chapter Prolog