Tolong jelaskan, perasaan rela menunggu milikmu itu dalam artian yang bagaimana. Hanya karena iseng atau karena ingin?
***
Pulang sekolah, aku harus pulang dengan Kak Felix lagi. Karena memang pagi tadi aku dititipkan oleh Mama dan Kakak-kakak ku kepada Kak Felix. Aku menghela napas gusar, pikiranku terasa kacau dan kalut. Kepalaku juga rasanya ingin pecah karena hati yang rasanya gundah. Tentu saja masih karena sosok tampan dan menawan yang akhir-akhir ini selalu menyita pikiran dan perhatian ku. Bahkan parahnya aku sampai lupa bahwa hari ini aku ada ekskul teater, yang mengharuskan aku tinggal di sekolah sampai magrib nanti atau bahkan lebih.
Aku menyandang ranselku dan berjalan keluar dari kelas, Tata sudah pulang lebih dahulu karena memang dia tidak mengikuti ekskul teater sepertiku. Tata memang begitu, anaknya terlalu santai dan bahkan tidak mempunya tujuan untuk masa SMA nya. Tata adalah tipe cewek yang easy going, dia selalu menebar pirus positif untuk orang-orang disekitar nya. Dia selalu mengundang gelak tawa, disuatu waktu Tata pernah bilang. Bahwa dia sekolah hanya untuk melihat-lihat cogan di SMA Tunas Harapan, memacarinya, memutuskan mereka dan bebas. Hidup Tata terlalu sederhana tak berbelit-belit, dia menjalani masa SMA nya dengan tenang tanpa ambisi. Dan, Tata bahkan tak punya ancang-ancang untuk masa depannya.
Aku sampai di koridor kelas 10 Bahasa yang satu lorong dengan UKS dan merupakan jalan pintas untuk menuju parkir, Kak Felix sudah bilang bahwa dia akan menungguku di sini. Aku menyetujui saja tadi, tentu saja melupakan kegiatan ku selanjutnya yang harus ekskul.
“Lama banget sih, jalannya,” celetuk Kak Felix. Dia bersandar pada tembok putih dengan tangan yang berlipat di depan dada. Dua kancing kemeja teratasnya terbuka membuat dada bidang Kak Felix terpampang begitu jelas di depan mataku. Aku mengatur napas agar tidak terlihat memperhatikannya aku mengalihkan pandang ke arah lain. Kak Felix memang tampan dan merupakan idaman kaum hawa aku tak memungkiri nya.
“Ya udah sih Kak, aku udah sampai juga di sini,” jawabku. Aku menoleh pada Kak Felix, “Kak, aku lupa kalo aku hari ini ada ekskul. Jadi aku harus tinggal di sekolah sampai sore. Kakak kalo capek pulang aja duluan, aku nanti pulang naik angkot,” ujarku menjelaskan.
Kak Felix mengangkat sebelah alisnya, “Anak kecil kayak lo ini emang berani naik angkutan umum sendirian?” tanya nya meremehkan.
Aku bersidekap dan memutar bola mata, “Gak usah ngeremehin aku, Kak,” ketusku kesal.
Kak Felix tertawa membuatku mendengus sebal, apa yang lucu sih?
“Lo ekskul aja, gue tungguin kok.” Kak Felix menarik kemeja sekolahnya mengeluarkan dari celananya.
“Tapi aku ekskul lama Kak, yakin mau nungguin? Nunggu itu gak enak, lho,” kataku.
“Ya udah sih gak papa, santai aja. Lagian ya, lo itu udah dititipin ke gue sama kakak-kakak lo yang alay dan over protektif itu. Apa jadinya nanti kalo gue ninggalin lo di sini? Bisa di bantai gue, Li,” ujar Kak Felix.
Aku terkekeh, “Yo'ai lah terserah Kakak. Tungguin ya, nanti kalo capek nunggu pulang aja gak papa kok,” ucapku.
Kak Felix tampak gemas kepadaku, tangannya sudah bebas dan terangkat mengacak rambutku. “Buru masuk, itu guru pembimbing udah mau copot matanya karena melotot terus ngeliat sini.”
Aku mengacungkan jempol dan berlari menuju ruang teater meninggalkan Kak Felix yang berpindah posisi menjadi duduk di kursi panjang koridor. Aku mengulum senyum, siapa sih yang gak seneng diperlakukan manis kayak tadi sama cowok ganteng macam Kak Felix? Aku mengedikkan bahu, sayangnya rasaku seakan mati terkunci pada hati yang gemar menyakiti.
***
Aku sudah selesai mengikuti ekskul dan berniat langsung pulang, sekarang sudah pukul tujuh malam dan kami sudah salah magrib berjamaah tadi. Yani, si bintang kelas yang pintar mengajakku pulang bersamanya karena jalan rumah kami yang searah tetapi aku menolak. Kupikir Kak Felix masih menungguku selesai ekskul entah di mana dia berada, aku ingin menghubungi Kak Felix tetapi ponsel ku mati karena kehabisan daya. Anak-anak anggota ekskul sudah pada pulang dan sekarang hanya tersisa aku dan guru pembimbing ekskul yang berada di dalam ruangan.
“Lika, kamu kenapa belum pulang?” tanya Bu Ai, guru pembimbing kami.
Aku tersenyum, “Ini mau pulang Bu, tapi mau nemenin Ibu dulu di sini takutnya Ibu gak mau sendirian,” jawabku.
“Iya sih kamu bener, ya udah kamu temenin Ibu dulu ya beresin barang-barang yang habis dipakai anak-anak,” pinta Bu Ai. Aku mengangguk yakin, sebenarnya aku merasa tidak enak dengan Kak Felix karena membuat dia menunggu terlalu lama tapi aku juga kasihan dengan Bu Ai yang harus membereskan perlengkapan teater kami sendirian.
Aku menaruh kembali ranselku pada meja panjang yang terdapat di depan ruangan kemudian berjalan mendekati Bu Ai, membantunya merapikan berkas-berkas yang tergeletak mengenaskan di atas meja.
“Ibu gak papa pulang nya telat gini? Gak dimarahin suaminya emang?” aku bersuara dengan iseng menghalau keheningan yang tercipta antara aku dan Ibu guru cantik ini.
“Suami ibu tahu kok kalo tiap Selasa ibu pasti pulangnya telat, jadi dia bisa maklum,” jawab Bu Ai. Aku mengangguk, setelah itu tidak ada lagi pembicaraan diantara kami sampai tugas beres-beres aku dan Bu Ai selesai kami kemudian keluar dari ruangan.
Setelah diyakini ruangan terkunci dengan benar, Bu Ai merangkul bahuku membuatku merasa tak nyaman dan sedikit risih karena merasa terlalu akrab dengan guru. Bu Ai ini terbilang masih muda, usia beliau masih 25 tahun dan menikah tahun 2016 lalu. Kak Rigel bilang, waktu dia sekolah dulu Bu Ai lah guru yang paling enak digauli. Dalam artian, paling enak diajak ngobrol dan masih satu pemikiran dengan anak-anak remaja seperti kami.
“Denger-denger kamu juga ikut voli ya, Li?” Bu Ai bersuara. Aku mengangguk dengan tangan Bu Ai yang masih berada di bahuku.
“Kok ibu tahu aku ikut voli juga?” balasku balik bertanya dan menoleh padanya.
Bu terkekeh, “Dari guru olahraga, dia bilang kamu berpotensi padahal kamu itu masih baru loh, apalagi pas kamu SMP ekskul voli belum ada kan?”
Aku mengangguk, “Iya. Saya emang udah lama tertarik sama ekskul voli ini Bu, karena Kakak, dia sering latihan di halaman belakang rumah sama temen-temen nya.”
“Oh ya?”
Aku mengangguk lagi.
“Memangnya Kakak kamu siapa namanya?”
“Rigel Andreas,” jawabku.
“Oh iya ya, kamu ini kan Lika Andrea Hirata ya. Haha ibu sampai lupa sama nama panjang kamu karena terlalu banyak yang namanya Lika di sekolah ini,” Bu Ai tertawa, dan itu menular kepadaku. Namaku emang pasaran ternyata.
“Padahal calon siswi baru yang pertama kali ibu tahu itu kamu loh, Li. Karena Kakak kamu yang ambilin formulir pendaftaran ke ibu buat kamu,” ucap Bu Ai lagi. Aku cukup terkejut mendengar pernyataan nya, Kak Rigel begitu bersemangat ingin menyekolahkan ku di sekolah Tunas Harapan. Sekolah nya dulu.
“Kok saya gak tahu Bu?” tanyaku heran.
“Karena kamu gak nanya ... mungkin,” jawabnya. “Ah, ya udah ibu mau pulang dulu. Suami udah nelpon katanya udah nungguin di depan. Tapi kamu pulang sama siapa?”
“Janjiannya sih sama Kak Felix tadi Bu. Ya udah, ibu hati-hati ya,” pesanku saat Bu Ai mulai berlalu menuju parkiran. Guru cantik itu melambaikan tangannya dan menunjuk ke arah kursi panjang di depan UKS, ada Kak Felix yang bermain ponsel di sana.
Aku tersenyum lega kemudian berlari menghampiri cowok yang sudah tak lagi memakai seragamnya itu.
“Kakk!” pekikku. Kak Felix menoleh lalu tersenyum. “Mau-maunya sih Kak nungguin aku sampai habis magrib gini, gak capek tuh badan?” ucapku.
Kak Felix tersenyum lagi, membuatku meringis aneh. Ada apa dengannya? Apa dia kesambet setan sekolah karena terlalu lama duduk di kursi panjang depan UKS ini? Mengerikan sekali jika memang benar begitu.
“Capek sih iya, tapi gue kan emang harus nungguin lo sampe selesai. Jadi gue gak boleh pulang duluan kalo lo belum nongol di depan gue,” kata Kak Felix.
“Jadi dari tadi Kak Felix cuma duduk sendirian di sini? Selama itu?” tanyaku tak percaya.
Kak Felix terbahak, dia mengacak rambutku dengan gemas. “Pendek akal banget sih, Lika. Ngapain gue mau-maunya duduk di sini selama itu. Gue tadi nongkrong di kantin sama anak-anak jurnalistik, sempet main basket juga,” jelas nya.
“Oh jadi ekskul jurnalistik hari ini juga?”
“Iya, kebetulan kan Feri juga ikut ekskul itu. Jadi ada temen tadi gue, ya walaupun gak ada dia gue juga tetep punya temen nongkrong sih.” Feri itu salah satu CS nya Kak Felix.
Aku ber-oh ria mendengar penjelasan nya. “Terus basket tadi sama siapa?”
“Sama cowok yang waktu itu,” jawabnya.
Kedua alisku terangkat kemudian menyatu tanda bahwa aku sedang kebingungan dengan jawabannya. Aku berseru heran, “Cowok yang waktu itu siapa?”
“Yang ninggalin lo pas ngomong sama gue.”
“Gilang maksud nya?”
Kak Felix mengangguk. “Gimana bisa Kakak basket sama dia?” tanyaku.
Kak Felix mengedikkan bahu, “Dia yang ngajak basket, jadi gue ya oke aja daripada diem-diem gak ngapain-ngapain kan. Tapi dia tuh aneh tahu gak, mukanya dia gak bersahabat banget pas basket sama gue. Tuh muka pas-pasan ditekuk aja sepanjang permainan. Dia juga natap gue garang, kayak gak suka gitu sama gue padahal dia sendiri yang ngajak main. Heran juga sih,” ujarnya.
Aku membuang napas kasar, inginnya aku tidak mendengar nama Gilang untuk hari ini. Tetapi orang-orang disekitar ku justru berinteraksi dengannya dan malah menceritakan Gilang kepadaku.
“Pulang yuk, Kak, udah sore,” ajakku tanpa membalas Kak Felix.
Kak Felix sempat menatapku bingung, tetapi tak berlangsung lama dia langsung menyandang tasnya dan bejalan mendahuluiku menuju parkiran.
Kak Felix memberikan aku helm kemudian aku menggunakannya. Saat aku ingin naik ke atas motor Kak Felix yang sudah siap, dia menoleh kebelakang ke arahku.
“Beneran mau langsung pulang?” tanyanya. Aku hanya mengangguk.
“Lo gak papa?” tanya Kak Felix lagi. Aku memutar bola mata jengah lalu naik ke atas motor besarnya dibantu dengan tangan kiri Kak Felix yang terulur, setelah itu aku memintanya untuk langsung membawaku pulang.
Aku capek ingin istirahat.
@penakertas_ paham kok wehehe
Comment on chapter Prolog