Loading...
Logo TinLit
Read Story - When You Reach Me
MENU
About Us  

[ EVAN ]

 

DALAM HATI, AKU berdoa semoga ketiga temanku-yang kayaknya merupakan satu-satunya teman-temannku yang tersisa-nggak memperhatikan bagaimana selama ini aku nggak berbicara sepatah kata pun. Toh mereka sedang terlalu fokus ke turnamen Liverpool versus Arsenal di game FIFA yang sedang dimainkan James dan Aksa, teman-teman segengku waktu SMP, di layar LED raksasa yang terkoneksi dengan komputernya. (Aku masih nggak ngerti kenapa James perlu layar sebesar itu, padahal yang dilakukannya di komputernya toh nggak pernah jauh-jauh dari game atau film biru.) Hari ini, James mengundang aku, Aksa, dan Bagas untuk mampir ke rumahnya sepulang sekolah untuk "reunian", secara kami semua bersekolah di SMA yang berbeda.

"Kalem amat, lur?" tanya Bagas, yang tengah duduk di sebelahku sambil mengutak-atik aplikasi Gojek di ponselnya. Aku menduga dia mau memesan Chatime-yang sebenarnya nggak boleh kuminum, walaupun diam-diam masih sering kubeli tiap kali ke mall sepulang sekolah.

Aku menggeleng, walaupun pertandingan jadi-jadian antara Liverpool (Aksa) dan Arsenal (James) mulai terlihat sengit. (Ide Liverpool melawan Arsenal ini bangkit dari kekesalan James, yang masih nggak terima kalau Arsenal, klub kesayangannya, dibantai Liverpool 4-0 tadi malam.) Babak kedua sudah hampir berakhir dan kedua tim masih bertahan dengan skor imbang satu sama. Aku ingin sekali larut dalam adrenalin yang dirasakan James dan Aksa saat mereka menggerakkan pemain di sekitar lapangan hijau seakan-akan merekalah para pemain di pertandingan itu, namun bahkan menonton pertadingan sepakbola di game saja membuatku kembali teringat akan insiden patah kaki waktu itu yang telah merenggut segalanya. Oke, mungkin bukan kecelakaannya, tapi kanker yang baru saja kuketahui setelah kecelakaan itu.

Mereka, omong-omong, entah kenapa belum mengungkit tentang bagaimana aku tadi berjalan pincang ke sini. Then again, mungkin mereka cuma mencoba untuk nggak menyakiti perasaanku dengan bertanya.

"Shit!" lamunanku tahu-tahu dibuyarkan dengan teriakan James, yang langsung melempar controller-nya saat babak kedua selesai dan Aksa rupanya telah mencetak satu lagi gol. Liverpool menang 2-1 lawan Arsenal, yang berarti balas dendamnya gagal. "Main, gih, Van," ujarnya sambil meninggalkan kasur tempat kami berempat duduk. James masuk ke kamar mandinya, yang menyatu dengan kamarnya.

Mau nggak mau, karena selalu ditekan, aku pun mengambil stik PS yang tadi dilemparkan padaku dan mulai bermain melawan Bagas. Aku memilih Chelsea dan Bagas menggantikan James mengontrol Liverpool-London derby[6]. Sama seperti James, Bagas adalah pendukung Liverpool sejati.

Satu-satunya hal yang memecah belahkan kami berempat adalah fakta bahwa kami mendukung klub sepakbola yang berbeda dan sering kali bersaing. Nggak jarang kami berempat bisa bertengkar hebat karena taruhan klub dukungan siapa yang bakal menang nanti malam, dan berbarengan mengolok pendukung klub yang kalah keesokan harinya. Namun nggak lama kemudian, kami bakal kembali akur seperti biasa, tertawa-tawa di KFC dekat sekolah sambil membicarakan Pak Bagus, guru Biologi kami waktu itu yang memiliki logat ngapak khas Banyumas yang khas.

Namun sekarang, bahkan tanpa adanya pertandingan bola nanti malam, rasanya seakan aku sudah tercerai-berai dengan teman-temanku sendiri. Bukan hanya karena sekolahku yang berbeda dengan mereka-James, Bagas, dan Aksa semuanya melanjutkan ke SMA negeri-namun juga kehidupan kami. Waktu James, Bagas, dan Aksa menceritakan tentang sekolah mereka dan semua yang terjadi sejak mereka masuk SMA, aku cuma bisa mengangguk-ngangguk nggak ngerti.

Saat aku baru saja mencetak satu gol untuk Chelsea, ponsel Bagas tahu-tahu berdering. Bagas menekan tombol pause dan menerima panggilan, yang ternyata berasal dari mas-mas Gojek. Chatime yang tadi dia pesan sudah tiba. "Anak-anak, aku ke bawah dulu, ya," izinnya.

"Iya, Pak," jawab James karena tadi Bagas memanggil kami "anak-anak". Kemudian, kepada aku dan Aksa, dia berkata, "Eh, futsal kuy, ntar Sabtu."

Telingaku langsung terangkat. Sudah lama aku nggak main bareng teman-teman-as in, "main" yang mengharuskanku aktif dan keluar keringat, kayak futsal, sparing, atau semacamnya. Sekarang, anak-anak di sekolah baruku kerap bertanya-tanya kenapa aku nggak pernah ikut pelajaran olahraga, dan tiap kali ada yang menanyakanku kenapa, aku cuma bisa menjawab dengan jawaban yang sama saat ada yang bertanya kenapa aku pincang dan memakai tongkat kayak kakek-kakek; nggak tahu.

"BTW, cedera kamu belum sembuh, toh, Van?" tanya Aksa, menunjuk ke kaki kiriku yang pincang. Yang berarti dia memperhatikan cara jalanku tadi. Aku nggak tahu apakah itu hal yang bagus atau nggak.

Yang jelas, aku hanya menjawab, "Nggak tahu," sama seperti tiap kali aku ditanyai oleh anak-anak di sekolahku.

Aku sedang terduduk di sofa ruang kemoterapi (yang harusnya) nyaman, setengah menonton TV yang sedang menayangkan sebuah acara talk show settingan tentang masalah percintaan orang-orang yang sebenarnya nggak terlalu kupedulikan keberadaannya

Aku sedang terduduk di sofa ruang kemoterapi (yang harusnya) nyaman, setengah menonton TV yang sedang menayangkan sebuah acara talk show settingan tentang masalah percintaan orang-orang yang sebenarnya nggak terlalu kupedulikan keberadaannya. Tangan kiriku, yang sedang memeluk boneka gajah yang entah kenapa hampir selalu kubawa tiap kali aku masuk rumah sakit, diinfus. Berbagai cairan kimia yang seharusnya mampu menyembuhkanku mengalir melalui selangnya. Sejak kankerku menyebar ke seluruh tubuh, aku terpaksa menjalani kemoterapi rutin lagi sebulan sekali. Sekarang aku sedang menjalani kemoterapi keduaku, which is why aku pulang duluan saat pelajaran terakhir tadi.

Yang nggak terlalu kusesali, karena toh di jam terakhir juga nggak ada apa-apa. Semenjak sakit, aku memang jadi lumayan jarang masuk sekolah. Malahan, kalaupun aku cukup sehat untuk datang ke sekolah, seringkali aku malah berharap pada hari itu aku nggak masuk saking merasa asingnya aku di sana.

Aku mengeluarkan surat yang tadi diberikan Pak Bima padaku-oke, surat yang dikirim sahabat penaku, sebetulnya, walau aku masih nggak sepenuhnya mengerti faedah dari tugas sahabat pena yang beliau berikan itu. Pak Bima sempat memberiku biodata singkatnya di pelajaran Bahasa Indonesia kemarin. Namanya Giana Tampubolon. Cewek. Murid SMA Masa Depan Nusantara, salah satu afiliasi sekolahku di Bandung. Kelas sepuluh, sama sepertiku. Pak Bima nggak memberiku informasi tambahan seperti nomor ponsel atau apa-komunikasi di antara kalian murni melalui surat-menyurat, kata beliau. Kami sama sekali nggak boleh mengontak sahabat pena kami melalui telepon atau SMS atau media sosial manapun.

Tentu saja hal tersebut sama sekali nggak menghentikan beberapa anak untuk iseng men-googling nama sahabat pena mereka-yang tentunya nggak membuahkan hasil yang memuaskan kalau misalnya nama sahabat pena yang bersangkutan termasuk pasaran, walaupun dengan hokinya teman sebangkuku Ivan entah bagaimana bisa menemukan akun Twitter, Ask.fm, bahkan Instagram sahabat penanya. Yang, apparently, seorang cewek cantik. Ivan menjerit-jerit kegirangan sambil mengguncangkan tubuhku begitu dia melihat wujud sahabat penanya, seakan-akan di sekolah kami nggak ada cewek. (Padahal, sekolah kami dulunya sekolah khusus putri dan hingga kini jumlah siswi masih lebih banyak dari jumlah siswa dengan rasio 3:2.)

Aku membaca surat itu dari atas ke bawah. Surat yang Giana tulis nggak rapi dan penuh dengan coretan, rata-rata karena dia menggunakan bahasa yang nggak baku meski ada juga yang dia coret karena malu akan tulisan yang dianggap menyinggung gurunya dan/atau program sahabat pena ini. Tulisan tangannya miring-miring dan agak memberi kesan tergesa-gesa, seolah-olah guru Bahasa Indonesia-nya di Bandung sana menyuruh Giana untuk cepat-cepat menulisnya karena sebentar lagi pergantian pelajaran. Cewek itu sama sekali nggak peduli dengan aturan huruf kapital-huruf "r" kecilnya ditulis layaknya huruf "R" besar, dan dia menulis huruf "a" kecil di tempat dimana seharusnya huruf A ditulis kapital. Aku pernah membaca artikel yang mengatakan kalau kita bisa membaca sifat orang dari tulisan tangan mereka-tulisan seperti Giana, kalau nggak salah, mencerminkan seseorang yang nggak sabaran dan emosional.

Then again, bisa saja aku salah.

Isi surat yang Giana tulis, omong-omong, sama sekali nggak terlihat seperti surat yang ditulis seorang anak yang terpaksa menulis seadanya demi nilai Bahasa Indonesia-nya. Cewek itu seakan curhat dalam suratnya-dia bercerita tentang bagaimana dia adalah seorang "manusia penuh kontradiksi" dan bagaimana situasinya sekarang sedang sangat nggak enak karena ia ditindas di sekolahnya.

Aku punya kesan kalau si Giana-Giana ini anaknya sebenarnya lumayan menarik, dan bakal agak sulit untuk membalas suratnya dengan sama menariknya. Aku jelas-jelas nggak akan memberitahu Giana tentang penyakitku atau bagaimana aku nggak bisa lagi mencapai cita-citaku menjadi pemain bola karenanya. Nggak seperti Giana, aku nggak suka terlalu membeberkan semua masalahku ke orang yang bahkan nggak kuketahui wujudnya.

Saat aku mengambil salah satu kertas ulanganku untuk menulis balasan, aku nge-blank. Akhir-akhir ini, segala sesuatu yang terjadi dalam hidupku selalu berkaitan dengan penyakit yang kuderita, sehingga agak sulit untuk menulis tentang kehidupanku tanpa memberitahu ke Giana segala sesuatu tentang penyakitku.

Aku sudah membiarkan kanker menentukan siapa diriku, terlepas dari apa yang sudah diperingatkan Kak Wisnu waktu terakhir kali aku konsultasi dengannya. (Kak Wisnu adalah psikolog anak, dan Dokter Arni menyarankan Mama dan Papa untuk membawaku ke Kak Wisnu karena "menghadapi penyakit terminal dapat berefek pada mental anak".)

Pada akhirnya, aku sama sekali nggak menulis apa-apa di kertas ulangan itu. Aku malah mengeluarkan ponselku, membuka aplikasi browser, dan melakukan apa yang telah dilakukan hampir separuh teman-teman sekelasku-mencari sahabat penaku di Google.

Saat aku mengetik "Giana Tampubolon", hal pertama yang keluar di mesin pencari adalah pengumuman SBMPTN regional Sumatera Utara, yang menyimpulkan kalau di dunia ini yang namanya Giana Tampubolon ada lebih dari satu. Di bawahnya adalah link menuju dua akun Instagram yang berbeda, yang dua-duanya kubuka. Kedua Giana Tampubolon itu mengunci akun Instagram mereka, dan karena Giana Tampubolon yang pertama menulis kata-kata Kedokteran USU '17 di bio-nya-yang membuatku menarik kesimpulan kalau dia adalah Giana Tampubolon dari pengumuman SBMPTN tadi, aku mengirim permintaan follow ke Giana Tampubolon yang kedua. Kemudian aku menyalakan TV dan menonton re-run The Simpsons yang sedang tayang.

Nggak lama kemudian, di luar dugaanku, Giana menerima permintaan follow yang tadi kukirim. Aku pun iseng melihat-lihat foto-foto di akunnya-yang jumlahnya cuma lima-hanya untuk berjaga-jaga jangan-jangan aku mem-follow orang yang salah. Begitu aku melihat salah satu foto yang diambil di sebuah SMP di Bandung, aku menghela napas lega.

Selain jarang mengunggah foto, Giana rupanya juga nyaris nggak pernah memotret dirinya sendiri. Instagram Giana isinya kebanyakan foto kelas dan foto-foto yang dia ambil sendiri, seperti pemandangan Gunung Rinjani yang diambil tiga tahun lalu atau skyline Hong Kong di sore hari yang sepertinya difoto dari Victoria Peak.

Satu-satunya foto dimana Giana hanya berfoto sendiri diunggah nggak lama setelah dia mengunjungi Gunung Rinjani. (Dia sama sekali nggak pernah di-tag oleh siapa pun.) Waktu itu, seseorang memotretnya dari samping saat dia sedang menyesap bubble tea di entah sebuah konser atau acara pensi atau apa. Di foto itu, Giana-atau se-enggaknya Giana waktu masih kelas 1 SMP-sedang tertawa kecil, memamerkan giginya yang (saat itu) nggak rata. Bahkan saat umurnya sekitar dua belas atau tiga belas, Giana kelihatan terlalu imut untuk usianya, dengan pipi merahnya yang tembam dan hidung bundarnya yang nampaknya ikutan merah tiap kali pipinya memerah. Saat dia tersenyum, kerutan-kerutan kecil terbentuk di sekitar matanya.

Giana lumayan cute-se-enggaknya, Giana versi SMP lumayan cute-tetapi dia bukan tipe cewek yang biasanya jadi incaran cowok-cowok. Yang jelas, dia berbeda jauh dengan Astrid.

Then again, bisa saja Giana sudah banyak berubah sejak foto itu diambil.

Iseng, aku mengiriminya direct message.

evanisme

heyy

evanisme

ini evan sahabat pena kamu yang di jogja

Giana, sekali lagi di luar dugaanku, langsung mengetik balasannya. Cewek itu, aku simpulkan, memang penuh kejutan.

gianatampubolon

lah bukannya nggak boleh saling ngontak selain lewat surat?

gianatampubolon

kamu nemu ini dari mana btw?

evanisme

google

evanisme

emangnya di sekolah kamu pada nggak iseng nyari sapen di google?

evanisme

btw followback dong

Ya Tuhan. Aku membaca ulang kata-kata yang barusan kuketik, yang sangat terdengar seperti cowok yang sedang melakukan pedekate. Yang terdengar sangat salah, omong-omong, karena aku sudah punya Astrid. Selain Astrid, aku memang nggak punya banyak teman cewek, which is why aku masih agak canggung jika harus berbicara dengan lawan jenis.

Nggak butuh waktu lama bagi Giana untuk tahu-tahu mem-follow akunku dan mengetik balasan.

gianatampubolon

udh ya

gianatampubolon

dan, btw, di sekolahku nggak ada mainan nyari-nyari di google gitu

gianatampubolon

malahan mereka nulis surat aja nggak niat (?)

gianatampubolon

eh, tapi seriusan. kita nggak boleh lho sebenarnya chatting kayak gini selain di surat.

Tanpa membalas pesan Giana barusan, aku menutup ponselku dan menatap langit-langit kamar. Dalam hati, aku bertanya-tanya kenapa tadi aku mengirim DM ke Giana saat aku sebenarnya hanya penasaran akan wujud sahabat penaku itu. Kemudian aku teringat akan kesendirian yang kurasakan kemarin saat bersama teman-teman lamaku, dan bagaimana di sekolah aku bisa dibilang nyaris nggak punya teman selain Astrid.

Mungkin, di titik ini, aku terpaksa menggunakan sahabat pena yang ditentukan Pak Bima sebagai pelampiasan rasa sendirianku. Mungkin, saking butuhnya aku akan seorang teman setelah aku berubah menjadi Evan yang harus berjalan menggunakan tongkat, aku memutuskan untuk menghubungi Giana.

Yang menjadi alasan kenapa aku kemudian membuka lockscreen ponselku dan mulai mengetik balasan untuknya.

evanisme

ah bodo amat sama peraturannya guru bi

evanisme

aku mau lebih ngenal kamu di luar surat soalnya

evanisme

gini deh-gimana kalau sambil surat-suratan (ini kok kesannya kayak gimana gitu) kita ngobrol di sini juga?

evanisme

kayak, di surat kita bakal ngomongin hal-hal penting yang terjadi di hidup kita, kayak misalnya "kemarin baru liburan kemana" atau "baru selesai uts" atau semacamnya

evanisme

kalo mau ngomongin hal remeh-temeh kayak curhat atau minta bantuan PR gitu di sini

evanisme

walaupun sebenarnya aku nggak pintar-pintar amat

evanisme

aku pengen jadi temen kamu soalnya

evanisme

atau gimana kalau lewat line aja biar lebih enak-id-mu apa, btw?

 

[6] Derby adalah persaingan antara klub sepakbola di kota yang sama; Chelsea dan Arsenal sama-sama berasal dari kota London.

 

a/n; aku sedang ditenggelamkan uts help

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Wake Me Up With Amnesia
768      475     2     
Short Story
who would have thought that forgetting a past is a very difficult thing
Chloe & Chelsea
7931      1722     1     
Mystery
30 cerita pendek berbentuk dribble (50 kata) atau drabble (100 kata) atau trabble (300 kata) dengan urutan acak, menceritakan kisah hidup tokoh Chloe dan tokoh Chelsea beserta orang-orang tercinta di sekitar mereka. Menjadi spin off Duo Future Detective Series karena bersinggungan dengan dwilogi Cherlones Mysteries, dan juga sekaligus sebagai prekuel cerita A Perfect Clues.
A Slice of Love
273      229     2     
Romance
Kanaya.Pelayan cafe yang lihai dalam membuat cake,dengan kesederhanaannya berhasil merebut hati seorang pelanggan kue.Banyu Pradipta,seorang yang entah bagaimana bisa memiliki rasa pada gadis itu.
Kungfu boy
2802      1069     2     
Action
Kepalanya sudah pusing penglihatannya sudah kabur, keringat sudah bercampur dengan merahnya darah. Dirinya tetap bertahan, dia harus menyelamatkan Kamalia, seniornya di tempat kungfu sekaligus teman sekelasnya di sekolah. "Lemah !" Musuh sudah mulai menyoraki Lee sembari melipat tangannya di dada dengan sombong. Lee sudah sampai di sini, apabila dirinya tidak bisa bertahan maka, dirinya a...
Something about Destiny
145      125     1     
Romance
Devan Julio Widarta yang selalu dikenal Sherin sebagai suami yang dingin dan kurang berperasaan itu tiba-tiba berubah menjadi begitu perhatian dan bahkan mempersiapkan kencan untuk mereka berdua. Sherin Adinta Dikara, seorang wanita muda yang melepas status lajangnya pada umur 25 tahun itu pun merasa sangat heran. Tapi disisi lain, begitu senang. Dia merasa mungkin akhirnya tiba saat dia bisa mer...
NADI
5845      1564     2     
Mystery
Aqila, wanita berumur yang terjebak ke dalam lingkar pertemanan bersama Edwin, Adam, Wawan, Bimo, Haras, Zero, Rasti dan Rima. mereka ber-sembilan mengalami takdir yang memilukan hingga memilih mengakhiri kehidupan tetapi takut dengan kematian. Demi menyembunyikan diri dari kebenaran, Aqila bersembunyi dibalik rumah sakit jiwa. tibalah waktunya setiap rahasia harus diungkapkan, apa yang sebenarn...
SIREN [ RE ]
600      329     5     
Short Story
nyanyian nya mampu meluluhkan hati. namanya dan suara merdunya mengingatkanku pada salah satu makhluk mitologi.
All About You
532      307     3     
Romance
Kau seperti lentera yang mampu membawa cahaya dalam kegelapan Kau adalah orang yang spesial yang selalu ada untukku Aku pergi Aku tidak akan meninggalkan sesuatu yang berharga untuk diingat Tapi aku meninggalkan hatiku untukmu
Bersyukurlah
401      278     1     
Short Story
"Bersyukurlah, karena Tuhan pasti akan mengirimkan orang-orang yang tulus mengasihimu."
Akhi Idaman
1205      748     1     
Short Story
mencintai dengan mendoakan dan terus memantaskan diri adalah cara terbaik untuk menjadi akhi idaman.