[ GIANA ]
ATAU GIMANA KALAU lewat Line aja biar lebih enak—ID-mu apa, BTW?
Aku membaca ulang pesan langsung yang dikirimkan Evan Ferdian—sahabat penaku itu, menurut nama yang tertulis di bio Instagram-nya—padaku. Seumur-umur, aku nyaris nggak pernah chatting pribadi dengan cowok, kecuali jika ditanyai mengenai tugas sekolah itu termasuk. Aku bukan tipe yang dengan mudahnya mau menyerahkan hal pribadi kayak ID Line ke seseorang yang nggak kukenal. Evan, walaupun secara teknis akan menjadi "sahabat"-ku sampai se-enggaknya empat bulan ke depan, jelas-jelas merupakan orang asing bagiku.
Maka itulah yang kuberitahu ke Evan, dan hanya beberapa detik kemudian, ia langsung membalasnya.
evanisme
tapi kita nggak akan selamanya jadi orang asing, kan?
Aku mulai berpikir kalau Evan ini tipe yang suka mainin cewek, atau se-enggaknya tukang modus. Yang sifatnya nggak beda jauh dengan cowok-cowok di kelasku yang memperebutkan cewek tercantik untuk dijadikan sahabat pena. Aku sendiri nggak pernah berurusan dengan cowok-cowok kayak begitu—salah satu sisi positif dari nggak disukai kebanyakan anak di sekolah, namun tahun lalu aku pernah melihat salah satu teman sekelasku menangis gara-gara cowok yang disukainya apparently malah jadian dengan cewek lain setelah dia "digantung" selama sebulan. Aku nggak terlalu tahu dan nggak terlalu peduli. Cinta—cinta dalam bentuk romantis, dalam hal ini—merupakan sebuah konsep yang amat asing bagiku.
Then again, jika dilihat dari foto-fotonya di Instagram, Evan kayaknya sudah punya pacar, sehingga motif tersebut kesannya agak nggak mungkin. Kecuali kalau dia memang seorang cowok brengsek yang berniat menyelingkuhi cewek manis berambut panjang yang banyak menghiasi feed Instagram-nya itu.
Mereka, omong-omong, terlihat kelewat serasi.
evanisme
atau gimana kalau kamu aja yang nge-add? @duapuluhdelapanapril
evanisme
pake @ ya itu
Tadinya aku ingin menanyakan kenapa nama ID-nya duapuluhdelapanapril, namun kemudian aku ingat kalau itu merupakan tanggal lahirnya. Bukannya mengetikkan ID-nya di Line dan menambahkannya sebagai teman, aku memutuskan untuk mengetikkan balasan terakhir untuknya.
gianatampubolon
kita nggak boleh bicara selain di surat
Evan hanya membaca pesan yang kukirimkan tanpa membalasnya, yang kurasa merupakan hal yang bagus. Dalam hati, aku merasa agak nggak beruntung karena harus mendapatkan cowok tukang modus sebagai sahabat penaku. Satu lagi kesialan yang kualami selama hampir sebulan terakhir aku menjadi anak SMA, selain bermusuhan dengan pacar kakakku sendiri dan menjadi anak tersisihkan di sekolah. Aku mengambil buku cetak Matematika-ku dan iseng mengerjakan beberapa soal supaya aku dapat bilang ke Evan kalau aku sedang belajar kalau cowok itu mengirimiku pesan lagi.
Setelah lima belas menit aku berkutat dengan garis interval dan himpunan penyelesaian, sebuah notifikasi baru tahu-tahu muncul di layar ponselku.
Evan Alamsyair
hai giana :)
Notifikasi itu berasal dari Line—entah bagaimana Evan bisa menemukanku walaupun aku bahkan belum mengetikkan ID-nya.
giana
kamu tahu ini aku dari mana?
Evan Alamsyair
ternyata id kamu ada di bio instagram wkwk
Evan Alamsyair
eh
Evan Alamsyair
kok ngetik "wkwk" kesannya awkward banget ya
Evan Alamsyair
kayak
Evan Alamsyair
memangnya ada gitu orang yang ketawanya "wkwk" di kehidupan sehari-hari?
Evan Alamsyair
sdnfosadfjsansd
Aku terkekeh melihat bocah Surabaya ini menanyakan arti dari wkwk dalam hati dan mengekspresikan rasa frustrasinya lewat ketikan huruf-huruf random, walaupun separuh dari diriku masih merasa agak terganggu akan presensinya di notifikasi ponselku.
Kemudian, aku teringat, aku baru saja meluapkan seluruh isi hatiku di dalam suratku, yang mungkin sudah dia baca.
giana
kamu belum baca suratku kan?
giana
jangan dibaca langsung dibalas aja soalnya isinya malu-maluin
giana
tulis aja namaku evan blablabla guru kamu juga nggak bakal merhatiin kok
Evan Alamsyair
sudah
Evan Alamsyair
sudah baca, maksudnya, bukan sudah bikin balasan
Evan Alamsyair
yang kamu suruh aku nulis namaku evan blablabla itu
Evan Alamsyair
aku belum
Evan Alamsyair
belum bikin surat balasannya, maksudku
Evan Alamsyair
aduh gimana sih bilangnya
Aku kembali ingat akan cerita mengenai Malia dan anak-anak di sekolah dalam suratku, dan mengapa aku bisa dengan begitu cepat percaya pada orang yang bahkan belum pernah kulihat secara langsung wujudnya. Sadar akan betapa anehnya kalimat seperti aku rasa aku hanya butuh teman yang mungkin mau membaca tulisan tentang masalahku mungkin terdengar—ehm, terlihat—di mata Evan, aku membenturkan kepalaku di atas meja belajar. Giana bodoh.
Nggak lama kemudian, Evan mengirimiku pesan lagi.
Evan Alamsyair
anyway isinya nggak aneh, kok
Evan Alamsyair
malahan itu jadi alasan kenapa aku sampe nyari-nyari instagram kamu supaya kita bisa ngobrol di luar tugas surat-suratan
Evan Alamsyair
you seem interesting, i guess?
Aku memutar mataku melihat Evan kembali ke mode cowok-modus-ingin-pedekate. Aku dapat membayangkan anak itu sedang menulis surat balasannya padaku, lengkap dengan gombalan-gombalan ala Dilan di dalamnya. Giana, kamu cantik, tapi aku belum mencintaimu. Nggak tahu kalau nanti kamu udah nulis balasan.
giana
jadi kamu mau pedekate, gitu?
Nggak butuh waktu lama bagi Evan untuk membalas apa yang baru saja kuketik.
Evan Alamsyair
aku cuma pengen punya teman
Evan Alamsyair
aku nggak punya teman
Evan Alamsyair
jadi kurang lebih aku paham sama apa yang kamu tulis di surat itu
Percakapanku dengan sahabat pena baruku kemarin malam berakhir dengan sebuah perjanjian yang kubuat dengan Evan—bahwa kami akan memiliki dua medium untuk saling berhubungan, melalui surat yang akan kami tulis ke satu sama lain dan lewat Line. Dalam surat, kami akan menceritakan hal-hal penting yang terjadi dalam kehidupan kami, misalnya kalau kami melalui UTS atau berulang tahun atau apa. Sedangkan Line akan digunakan untuk percakapan-percakapan tidak penting, seperti saat salah satu dari kami ingin curhat atau meminta bantuan PR atau apa. Aku bisa mengetahui seperti apa perasaan Evan dalam suatu waktu, walaupun aku nggak tahu Evan sendiri sedang ngapain. Demikian juga sebaliknya. Dengan cara itu, aku dan Evan dapat mengenal satu sama lain dengan baik, namun kami masih akan penasaran saat membuka surat balasan.
Sejauh ini, ada beberapa hal yang aku tahu tentang Evan.
1. Aku nggak terlalu mengerti mengapa cowok itu menganggap dirinya nggak punya teman, karena beberapa foto dimana dia di-tag menunjukkan dirinya berpose dengan segerombolan cowok yang mungkin merupakan temannya. Belum lagi dia punya pacar. Then again, bisa saja Evan merasa sendirian meski dari luar ia terlihat populer dan disukai banyak orang.
2. Omong-omong tentang pacar, pacar Evan bernama Astrid. Cewek itu setahun lebih tua dari kami—aku bisa tahu karena tahun lahirnya tercantum di bio Instagramnya—dan rupanya mereka sudah jadian dari tahun lalu kalau dilihat dari foto-foto yang dia pasang. Aku nggak begitu tahu banyak tentang si Astrid-Astrid ini selain fakta kalau dia lumayan cantik dan dirinya dengan Evan adalah definisi dari "relationship goals" yang belakangan ini diidam-idamkan orang.
3. Aku bisa mengerti kenapa Astrid suka pada Evan—dari segi fisik, cowok itu nggak bisa dibilang jelek. Lumayan ganteng, malahan. Wajahnya terlihat kalem dan dewasa untuk ukuran cowok yang seumuran denganku—walaupun secara teknis dia baru kelas sepuluh, Evan mempunyai aura kakak kelas yang mengayomi. Then again, itu mungkin hanya kesan yang kudapat foto-foto dirinya yang beberapa kali dia posting di Instagram. Bisa saja aslinya Evan beda jauh dengan di foto.
4. Dia juga anak bola. Beberapa foto lamanya menunjukkan dirinya berpose dengan tim bola SMP-nya, dan dalam satu foto dia berpose candid sambil mengenakan sebuah jersey Chelsea. Aku tahu ini kesannya terlalu menggeneralisasi, namun menurut penelitianku terhadap anak-anak di sekolah, mereka yang terlibat dalam bidang olahraga biasanya memiliki penggemar cewek yang banyak.
5. Menurut bio-nya, yang mencantumkan nomor +62 dan +65, kayaknya Evan bukan cuma numpang lahir di Singapura sana. Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata beberapa anggota keluarganya memang asli orang sana. Sebuah foto dari bulan Februari lalu menunjukkan anak itu merayakan Imlek bersama keluarga besarnya di Singapura.
6. Feed Instagram-nya sangat rapi dan cenderung minimalis. Di luar foto dirinya dan foto-foto bersama teman-teman anak bolanya, Evan banyak mengunggah foto hasil jepretan ponselnya. Sahabat penaku itu ternyata salah satu dari orang-orang yang entah kenapa terobsesi dengan aplikasi filter foto.
"Ngelamun wae, Gi?" Haruki, si anak Jepang Jadi-Jadian itu, tahu-tahu melingkarkan lengannya di bahuku. Kami bertiga—bersama Alex, ketua kelasku yang seperti toa itu. Kami sedang duduk-duduk di tangga dekat kelas Seni Musik, memikirkan lagu apa yang akan dibawakan kelompok kami untuk ujian praktek minggu depan. "Mikirin apa?"
"Cowok," jawabku datar, yang memang benar adanya. Aku yakin, kedua anak nggak bisa diam itu akan langsung melontarkan bunyi-bunyi seperti cie atau ehm, atau se-enggaknya menanyakan siapa cowok yang kupikirkan. Fakta bahwa aku bahkan baru sekali ngobrol dengan cowok itu—that is, kalau ketikan di ponsel bisa disebut ngobrol—akan mereka abaikan begitu saja.
"WAH! GOSIP BARU!" Alex tahu-tahu berteriak, membuat kelompok yang tengah lesehan sambil latihan menyanyi lagu Sampai Jadi Debu-nya Banda Neira nggak jauh dari kami menoleh. "Giana suka sama... eh, Gi, kamu tadi mikirin siapa, sih, emang?" Alex kembali menoleh padaku.
"Udah, ah." Aku memutar bola mataku. "Kok jadi ngelantur, sih, bahasannya? Besok kita udah harus tampil di depan Pak Reza dan kita bahkan nggak punya lagu."
Sebenarnya satu-satunya alasan mengapa aku terjebak dengan Haruki dan Alex adalah karena mereka menganggapku jago main piano, seakan-akan memiliki kakak yang merupakan pianis muda kelas dunia membuatku menjadi seorang pianis muda kelas dunia juga. Kelompok praktek Seni Musik di semester ini dipilih sendiri, dan sama kayak tugas sahabat pena yang diberikan Ibu Paula, kelompok yang kami pilih akan bertahan selama satu semester.
Karena Haruki dan Alex senang memakan gaji buta dan nggak ada orang lain yang mau sekelompok denganku, aku terjebak dengan kedua anak ini selama satu semester.
Kurang lebih sama kayak bagaimana aku terjebak menjadi sahabat pena Evan, walaupun dari percakapan kami semalam aku sudah menarik kesimpulan kalau Evan nggak seburuk yang aku kira.
"Yah kamu, lah, yang mikirin mau lagu apa," jawab Alex kelewat santai. "Kita mah terserah kamu aja. Yang jago musik kan kamu, bukan kita."
Aku buru-buru menampar bahunya. "Kamu kok nggak bisa diajak kerjasama banget, sih?" Kemudian aku menoleh ke arah Haruki, yang sedang menonton entah apa di ponselnya. Meskipun telinga besarnya tersumbat earphone dan aku nggak yakin kalau dia bisa mendengarku, aku bertanya kepadanya, "Ki, kamu ada saran, nggak?"
Haruki, tepat sesuai dugaanku, nggak menjawab. Ia malah menyanyi dengan nada pelan pada dirinya sendiri, nadanya hampir terdengar kayak gumaman. "Alien datang mengarungi bumi, demi koko yang dicari-cari..."
"Maneh teh nonton BoBoiBoy?" tanya Alex, yang langsung excited mendengar gumaman kecil Haruki. Cowok itu langsung bangkit dari tempatnya duduk, kepalanya mendekat ke layar ponsel Haruki yang tengah menampilkan sebuah episode kartun asal Malaysia itu di YouTube. "Gi," cowok itu menoleh kembali ke arahku. "Kayaknya aku tahu, deh, apa lagu yang bakal kita tampilin besok."
"Apa? Kita nyanyiin lagu temanya BoBoiBoy?"
"Iya," jawab kedua cowok itu berbarengan. Aku menghela napas panjang.