[ GIANA ]
PADA AKHIRNYA, GARA-GARA Haruki, aku harus dioperasi lantaran hidungku patah. Deviasi septum, katanya. Ternyata itu merupakan semacam akibat dari patah hidung yang dapat menyebabkan rongga hidung menyempit dan pernapasan terganggu. Entahlah.
Selama di rumah sakit, aku iseng mencari tahu asrama Hogwarts dan patronusku karena Evan. Aku ternyata seorang Gryffindor, yang merupakan asrama yang diinginkan Evan. Karena aku lama nggak menonton film Harry Potter dan sudah agak lupa tentang sistem asrama-asrama, aku mencari tahu sedikit tentang Gryffindor, dan rupanya itu merupakan asrama yang menghargai keberanian. Aku nggak yakin kalau aku ini memang pemberani. Patronusku, omong-omong, adalah sejenis musang. Aku nggak tahu apakah itu lebih baik atau buruk dibandingkan dengan kucingnya Evan. Aku bahkan nggak tahu patronus itu untuk apa.
Aku membuat mental note untuk lebih mendalami Harry Potter saat aku keluar dari rumah sakit. Sementara itu, aku juga menulis surat balasan untuk Evan. Nggak lupa aku mengoreksi kata-kata yang kemungkinan bakal membuat Bu Paula mencak-mencak supaya beliau nggak perlu memenuhinya dengan tinta merahnya sendiri—
Bandung, 1 September 2017
Untuk Evan,
Sebenarnya aku nggak tidak pernah terlalu merhatiin memperhatikan dunia Harry Potter—aku baru nonton film-filmnya dulu waktu kecil—tapi gara-gara kamu aku jadi iseng mencari tahu tentang asrama sama patronus yang kamu omongin tulisin tuliskan itu. Aku masuk Gryffindor yang kamu inginkan itu, walaupun aku sendiri nggak tidak yakin apakah aku ini pemberani. Kalau tidak salah itu asramanya Harry, Ron, sama Hermione, ya?
Oh, patronusku stoat, omong-omong. Ketika aku cari di Google, ternyata itu semacam musang. Entahlah.
Aku habis dioperasi gara-gara hidungku patah. Ceritanya panjang. Yang jelas, kecelakaan yang bikin membuat aku harus operasi hidung ini melibatkan bola dan anak-anak cowok yang kurang ajar. Waktu aku menulis ini, hidungku masih nyut-nyutan apa sih bahasa formalnya "nyut-nyutan"? sakit. Selama di rumah sakit, aku menarik kesimpulan kalau aku muak dengan bau steril obat-obatan dan teriakan-teriakan orang sekarat. Selama berhari-hari, aku tidak bisa tidur.
Begitu aku keluar dari rumah sakit, aku masuk sekolah dengan keaadaan hidungku masih diperban. Kebanyakan anak-anak di kelasku nggak menanyakan apa-apa begitu melihatku dengan keadaan kayak begini—mereka hanya berasumsi kalau Giana si Kekar berantem lagi, seperti biasa. Namun reaksi Haruki, teman sebangkuku, beda.
"Cie, yang habis oplas," komentarnya saat aku sedang menyalin PR Fisika-nya. Gitu-gitu, si Jepang Jadi-Jadian ternyata lumayan pintar. Ralat—sangat pintar, malahan. Gosipnya, dia adalah peraih nilai UN SMP tertinggi se-Bandung Wetan. Nilainya tiap kali ujian di SMA juga nggak pernah di bawah 90, meski di kelas dia lebih sering main game di ponselnya ketimbang memperhatikan guru.
"Mau tak lemparin bola ke hidung kamu?" ancamku, setengah membawa-bawa peristiwa seminggu yang lalu. "Mana kamu nggak tanggung jawab, lagi pas hidungku patah."
"Jadi ceritanya hidung kamu nggak gede lagi nih?" tanya Haruki dengan kelewat santai sambil mengangkat setengah kakinya ke atas bangku. Di rumah, aku akan langsung dimarahi Mama jika aku mengangkat kakiku—meski saat Papa, yang asli dari Medan, melakukannya, Mama nggak akan bereaksi apa-apa.
"Emangnya salah, gitu, punya hidung gede?"
Meski demikian, rupanya aku punya masalah yang lebih besar dari sekedar ukuran hidungku, karena sepulang sekolah Mama tahu-tahu menyuruhku untuk mengepak bajuku. "Hari ini, kita ke Jakarta," kata Mama sambil memasukkan dress yang tempo hari Genta belikan untuk beliau ke dalam koper. "Inget, nggak, waktu tempo hari Genta diundang ke Goodnight Indonesia? Nah, rekamannya besok malem. Live dari studio."
"Aku harus banget, gitu, datang?" Aku duduk di atas kasur Mama dan Papa sambil melipat tanganku. Goodnight Indonesia adalah acara talk show ternama yang dulu sempat mengundang Genta saat namanya mulai melejit sebagai seorang pianis cilik berbakat. Kayaknya mereka kali ini mau melakukan semacam segmen where are they now? atau apa.
"Mereka ngundang kita sekeluarga," jawab Mama. "Mau ngobrol-ngobrol tentang support system-nya Genta, ceunah. Sebenarnya Papa juga diundang, tapi dia 'kan lagi proyek di Bali."
Maka di sinilah aku, terduduk di sebuah sofa mewah di studio salah satu stasiun TV swasta yang terkenal, mendengar sosok karismatik Surya Batara mengoceh dengan penuh rasa antusias mengenai berbagai pencapaian Genta. Yang, alhasil, membuatku semakin merasa kecil.
Dulu, sama seperti kebanyakan anak kecil yang lain, aku pernah bercita-cita ingin masuk TV. Aku bahkan pernah melalui fase di mana aku akan mengadakan "pentas" kecil-kecilan di depan Mama dan Papa, di mana aku akan mengenakan gaun Natalku dan menyanyikan lagu-lagu Disney di depan mereka. Sekarang begitu aku sudah benar-benar masuk TV, barulah aku sadar kalau ditonton ratusan ribu orang dari Sabang sampai Merauke ternyata lebih memalukan dari yang kukira. Aku bertanya-tanya dalam hati apakah make up yang dipakaikan tim MUA tadi se-enggaknya berhasil menutupi bekas perban di hidungku.
Untuk menyembunyikan rasa nggak bergunaku saat Surya Batara berbincang-bincang dengan Genta dan Mama, aku berusaha sesekali memaksakan seulas senyum. Se-enggaknya penonton mungkin akan berpikir, imut juga ya adeknya Genta Tampubolon yang cewek itu. IG-nya apa, ya? Meskipun hal itu kayaknya nggak mungkin terjadi. Di sekolah, aku jelas bukan tipe cewek yang banyak dilirik lawan jenis.
"Nah, kalau menurut Giana sendiri, Bang Genta itu kayak gimana?" Tahu-tahu, Surya Batara—yang sedari tadi kayaknya menganggap aku nggak ada—menoleh ke arahku.
Aku menaikkan sebelah alisku. "Bang Genta?" Saya sudah berkali-kali berusaha untuk merasa bangga atas segala pencapaiannya, aku ingin menjawab, tapi susah banget rasanya kalau aku terus-menerus dibandingin sama dia sementara aku jelas-jelas nggak bisa meraih apa yang sudah dia capai. Kayak yang sekarang Kak Surya lakuin. Namun, aku nggak mau dihujat satu Indonesia lantaran sudah dengan nekatnya memprovokasi salah satu sosok yang paling dihormati di kancah pertelevisian negeri ini, aku cuma tersenyum manis sambil menjawab, "Bang Genta itu banyak menginspirasi Giana untuk menjadi orang yang lebih baik. Giana kagum sama Bang Genta."
Ya Tuhan, aku bahkan sengaja memanggil diriku sendiri dengan nama, untuk menambah kesan imut tadi.
Surya Batara mengangguk pelan. Pria yag sudah sering wara-wiri di berbagai film itu kemudian melipat tangannya sambil memiringkan kepalanya sedikit—gestur yang sudah menjadi ciri khasnya—dan kembali bertanya, "Kamu sendiri mau jadi kayak Bang Genta, nggak?" Kini Surya Batara mulai memperagakan jari-jari yang bermain piano. "Jadi pianis, gitu?"
Pertanyaan ini lagi. Ingin sekali aku berteriak di tengah-tengah studio kalau aku capek dengan orang-orang kayak dia yang membombardirku dengan pertanyaan-pertanyaan klise kayak yang baru saja dia ajukan. Aku ingin sekali meluapkan semua yang ada di benakku saat ini, kalau aku sama sekali nggak ingin "jadi pianis kayak Genta". Aku ingin dilihat sebagai diriku sendiri dan bukan cuma sekedar adik dari Genta di anak jenius.
Namun, pada akhirnya, yang bisa kulakukan cuma menggeleng pelan sambil menjawab, "Belum tahu."
Begitu tiba di hotel yang sudah disediakan stasiun televisi untuk kami bertiga, jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Meski demikian, aku nggak langsung tidur—saat Mama dan Genta sudah terlelap di kamar mereka masing-masing, aku masih meringkuk di sofa ruang tamu kamar suite kami sambil melanjutkan surat balasan yang kutulis untuk Evan. Sekarang ini, aku butuh pelepasan dari segala sesuatu yang ada di benakku, dan entah kenapa menumpahkan seluruh isi hatiku ke dalam surat terasa seperti hal yang benar untuk dilakukan.
Kali ini aku bahkan nggak ambil pusing soal mengoreksi isi suratku agar sesuai EBI.
Waktu aku menulis surat ini, aku baru saja pulang dari studio salah satu channel TV swasta. Kalau kamu tiap malam rajin menonton Goodnight Indonesia, mungkin kamu sempat meilhatku. Aku, omong-omong, adalah cewek yang kelihatan bosan di ujung sofa waktu Surya Batara mengundang Genta Tampubolon yang pianis cilik jenius itu.
Iya, aku adiknya. Bukan bermaksud sombong atau apa. Kebalikannya malah—aku nggak pernah suka mengumbar-umbar prestasi Genta, karena aku sebenarnya ingin dilihat sebagai lebih dari cuma sekedar adiknya. Dari kecil, aku dan Genta memang sering dibanding-bandingkan, apalagi saat kami berdua ikut les piano. Aku nggak pernah bisa sebaik dia—saat Genta sudah lancar main Waltz no. 6, aku masih stuck di Für Elise. Ketika Genta mulai tampil di depan orang banyak dan dikenal, segala sesuatu jadi lebih buruk. Pertanyaan kayak yang di Goodnight Indonesia tadi—tahu kan, waktu aku ditanyain apakah aku ingin mengikuti jejak-jejak Genta atau nggak? Berkali-kali aku harus menjawab pertanyaan yang sama dilontarkan terus-menerus oleh orang yang berbeda, aku selalu menjawab "belum tahu" karena nggak tega berkata dengan jujur kalau sebenarnya aku nggak mau.
Dan ya, gara-gara itu, hubunganku dengan Genta nggak begitu baik.
Dari sahabat (kita ini sahabat bukan sih?) penamu,
Giana.
Aku meletakkan pulpen di atas meja makan dan menghela napas. Sekarang aku mengerti kenapa ada yang pernah bilang menulis itu terapi—setelah mengeluarkan segalanya, aku merasa sedikit lebih lega. Aku meringkuk di atas sofa, mataku terarah ke pemandangan Jakarta di malam hari lewat jendelaku. Jakarta seakan-akan nggak pernah tidur—bahkan di jam-jam yang nggak manusiawi kayak sekarang, mobil-mobil masih berlalu-lalang di jalan. Kemudian, karena aku masih belum bisa tidur, aku mengecek ponselku.
Karena aku nggak punya banyak teman, notifikasi yang masuk di Line-ku rata-rata berasal dari grup—baik grup kelas, grup angkatan, maupun grup SMP-ku—dan official account. Dan ada satu chat pribadi dari Evan, sahabat penaku itu, yang dikirim jam sepuluh lalu.
Evan Alamsyair
gia
Evan Alamsyair
aku barusan lihat kamu di tv
Membaca pesan yang masuk dari Evan, aku terbelalak. Bahkan sebelum dia memperoleh surat balasanku, dia sudah tahu aku masuk TV. Berarti sahabat penaku itu sudah tahu wujudku seperti apa. Yang membuatku semakin bertanya-tanya kenapa dia bisa tahu itu aku—yang namanya Giana Tampubolon tentunya bukan cuma aku di dunia ini.
giana
kok kamu tahu itu aku?
Butuh waktu beberapa detik bagi Evan untuk membalas.
Evan Alamsyair
aku kan udah pernah lihat wujud kamu di ig
giana
waktu itu bukannya aku masih kelas 7?
Evan Alamsyair
entahlah, kamu nggak banyak berubah soalnya
Evan Alamsyair
tadinya aku kira kamu masih smp habisnya kamu kayak bocah
Ini jelas bukan hal baru bagiku. Bahkan keluarga besarku sendiri kaget waktu aku memberi tahu mereka aku sudah SMA. Orang-orang kaget begitu tahu kalau aku dan Genta cuma beda setahun lebih beberapa minggu.
Evan Alamsyair
tapi nggak papa kok
Evan Alamsyair
kamu... imut?
Evan Alamsyair
^dnjdsfdsknsdjf aku lagi nggak modusin kamu kok
Mau nggak mau, aku tertawa kecil. Evan pasti masih trauma akan kejadian waktu dia pertama kali menghubungiku, saat aku mengira cowok itu mau pedekate padahal dia sudah punya pacar. Lama-lama, aku putuskan, aku mulai menyukai anak ini. Sebagai teman, tentunya.
Omong-omong tentang pacar, aku teringat akan kasus Evan dengan pacarnya, sehingga aku memutuskan untuk mengalihkan inti pembicaraan.
giana
omong-omong astrid apa kabar?
Evan Alamsyair
aku lagi nggak mau ngomongin astrid
Evan Alamsyair
btw, sekarang aku paham kenapa kamu nggak dekat sama kakak kamu
Aku menghela napas. Evan rupanya adalah tipe yang mudah membaca ekspresi orang, bahkan lewat layar televisi sekalipun. Cowok itu pasti mengerti betul bagaimana rasanya memiliki hubungan yang kurang baik dengan saudara kandungnya.
Evan Alamsyair
mind to talk about it?
Butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya aku mengetikkan balasan.
giana
aku udah ngeluarin semuanya di surat balasan yang tadi aku tulis, kok
giana
bakal terlalu panjang kalo aku bilang di sini
giana
dan bukannya kita sebenernya nggak boleh nyeritain kejadian hidup kita—kayak aku masuk TV tadi—selain di surat?
Meski demikian, aku bertanya-tanya kenapa Evan begitu peduli padaku, padahal sejatinya kami cuma sebatas "sahabat pena" yang ditentukan karena tugas sekolah. Bahkan teman-temanku di dunia nyata nggak ada yang sebegitu khawatir dengan keadaanku.
Mungkin, cowok itu—yang hidupnya berpuluh-puluh kilometer dariku—justru merupakan teman terdekatku saat ini.
a/n; 3 hari lagi tenggat akhirnya ldksnflksanfkdsnlfnsadlfk