LXXXVIII
Suatu hari,
Ketika keinginan membawa kesadaran untuk pulang.
Dona tampak sedang bermeditasi di dalam sebuah ruangan.
Terlihat tenang, dan mengalir aura penghayatannya.
Seolah – olah kesadarannya dan alam semesta sedang berinteraksi.
Sungguh tarikan dan hembusan nafas yang terjadi layaknya sebuah sinergi.
Membentuk ruang dan waktu dalam satu garis lurus.
Juga membaurkannya pada titik – titik peristiwa tertentu.
Seperti itu saat dirinya mencapai sebuah kesadaran yang lama.
Dona membuka matanya.
Kesadaran cewek itu kembali berkumpul pada ruang dan waktu saat ini.
“Aku kok harus ke Banadis ya?”
Suatu kenyataan yang telah lama tidak hadir pada kesadarannya.
Dona beranjak dari tempat meditasinya.
Kepala suku Taragam itu hendak menemui seseorang.
Menghampiri seseorang itu. “Serdi, kamu mau mengantar aku nggak?”
Sambil laki – laki itu memberi makan kuda – kuda. “Mau aku antar kemana?”
“Aku mau ke Banadis.”
“?! Mau apa kamu ke Banadis??”
“Entahlah,, Aku hanya ingin melihat kerajaan itu saja.”
“Itu bukan kerajaan, itu tempat terkutuk.” Serdi menjadi marah.
“Kenapa marah? Itu tempat kita juga,”
“Tidak, Itu bukan tempat kita. Aku tidak mengakuinya.”
Serdi meletakkan rumput – rumput itu, hendak meninggalkan kandang kuda.
“Apa kamu masih mau mengantarku?”
“Ya,”, sahut Serdi, terkesan dingin.
“Terima kasih,”, gumam Dona dalam hati, tampak tersenyum kecil.
LXXXIX
Beberapa jam kemudian,
Dona dan beberapa pasukan berkuda sampai di tujuan.
Panji Gandrung melihat dari kejauhan tempat kelahiran mereka itu.
Kenyataan yang baru seolah – olah membuat sirna kesadaran mereka yang lama.
Saat ini Banadis tampak seperti Las Badass.
Lebih tertata dari sebelumnya.
Juga tampak lebih modern.
Meskipun kemodernan itu diisi dengan kemaksiatan.
“Ayo, kita masuk,”, ajak Dona, mulai melaju.
“Tapi, nona,,”
“Sudahh, kalian waspada saja,”
“Siap, pak Serdi.”
Dalam penyamaran mereka mengikuti langkah kuda Dona.
Di dalam benteng Banadis,
Dona menghela nafas. Bergumam, “Apa yang sebenarnya aku cari?”
Dirinya dan beberapa pengawal telah berjalan cukup lama di sarang maksiat itu.
“Nona, sebaiknya kita segera keluar dari tempat ini,”
“Oh ya,, Baiklah, pak Serdi.”, sahut Dona, berjalan agak cepat.
Saat mereka melewati sebuah taman,
Tiba – tiba Dona menghentikan langkahnya.
Cewek itu melihat bagian – bagian taman dengan takjub.
Berucap, “Suatu saat kelahiran baru kita dimulai dari taman ini.”
Dona kembali melangkah, diikuti para pengawalnya.
Dengan tersenyum kecil cewek itu meninggalkan Banadis.