LXXXVI
Cakem,
Daerah yang sangat subur.
Dengan bentang alam nan luas.
Tampak menghijau dengan kumpulan pohon mangga.
Sungguh cita rasa pedesaan mengalir pada tempat subur itu.
“Ohh,, Nona Dona,, Ada apakah ini? Kenapa nona membawa pasukan pada kekuasaan saya ini?”, ucap Tuan Caspal, berlagak menyambut kedatangan tamunya.
“Saya cuma meminta sikap hormat dari anda, Tuan Caspal.”
“Ada apa? Apa salah saya? Saya tidak rasa,”
“Ada baiknya tuan membantu kami juga menjaga keutuhan perserikatan ini.”
“Haha,, Tak ada cakap – cakap itu lagi sekarang. Sekarang kalian hanya akan merasakan sesal atas penghinaan kalian itu.”
“Apa tuan tak lelah dengan semua ambisi tuan itu?”
“Hoho,, Seperti mendiang orang tua itu, Pintar cakap juga,”
“Cukuplah kami di bawah kaki kalian, Kalian baiknya menyingkir jika tak suka.”
“Iya, baiknya kalian kembali saja ke tempat asal kalian itu, Untuk apa ikut campur urusan – urusan kami?”
“Kenapa kalian sungguh tidak beradab pada kemanusiaan?”
“Haha,, Dapat apa kami dari kemanusiaan?”
“Iya, macam omong kosong kemanusiaan itu.”
Dona tampak tertunduk dengan semua keras hati kepala suku itu.
“Haha,, sudah menyerah kah kamu, nona Dona?, Kasihan,, Kasihan,,”
“Tuan Caspal tampaknya tuan tak bisa diajak duduk dengan bercakap – cakap ya, Baiklah,, Saya akan paksa anda duduk dengan kekerasan.”
Dona mencabut sedikit belatinya.
“Woo,, Woo,, Macam istri kamu Mecak, Pemarah juga nona Dona ini.”
“Jangan anggap remeh seorang wanita dan juga kepala suku dari Taragam, Tuan Caspal.”
“Lalu mau kau apa, nona Dona? Menjadi istriku?, Hahaha,, Hahaha,,”
Kedua kepala suku itu ikut tertawa bersama Tuan Caspal.
“Tuan Caspal,! Anda telah menghina kepala suku dari Taragam, sebuah penghormatan yang harusnya anda sembahkan pada kemanusiaan, Maka dengan ini atas nama kehormatan wanita, saya Dona kepala suku Taragam menantang Tuan Caspal dari suku Cakem untuk melakukan pertarungan budak suku.”
“Oo,, Takutt,”, sahut Tuan Caspal. “Sudahlahh,, kamu tak susah sombong – sombong begitu,, Pulang sajalah,”
“Ohh, Apa Tuan Caspal yang pemberani dan kuat ini tidak bisa meletakkan seorang kepala suku wanita pada selangkangannya?”
“Hee,!! Nona Dona jaga ucapan busuk itu! Caspal tidak akan menarik kata – katanya jika sudah berucap,”
“Lalu, Apa mau kamu, Tuan Caspal?”
“Baiklah,, Aku terima tantangan perang budak suku nona,”
Tampak sangat marah. “Cassann,, ambilkan kapak besarku itu,!”, perintah Tuan Caspal.
LXXXVII
Pertarungan budak suku,
Sebuah pertarungan antara dua kepala suku hingga salah satunya tewas atau menyerah.
Tiba – tiba hening,
Aura kejantanan menyeruak.
Aliran angin terasa berhembus kencang.
Kedua pasang mata saling menatap tajam,
Mendelik – delik dalam kesiapsiagaan.
Terlihat oleh mata, Dona tengah ancang – ancang dengan membawa dua bilah belati berukuran sedang.
Sedangkan Tuan Caspal bersiap – siap menyerang dengan sebuah kapak besar pada genggaman kedua tangannya.
Dona melangkah maju perlahan – lahan, sambil mencari celah.
“Wuss,, Wuss,,” Tiba – tiba Tuan Caspal mengayunkan kapaknya dengan membabi buta.
Otot – ototnya tampak mengencang, kuat.
Tebasan itu membuat angin seolah – olah terbelah.
Kesadaran cewek itu sampai bisa merasakan hempasan bilahnya.
Sekali lagi kapak besar itu mencari keberadaan Dona.
Dengan ganas bilahnya merayap melalui hembusan angin.
Terdesak. Dona melangkah ke samping dengan cepat.
Namun celah pertahanan belum juga didapatkannya.
Tuan Caspal berhenti sejenak.
Dengan cekatan beliau tampak mengatur nafas.
Tidak lama penguasa Cakem itu mengayunkan lagi kapak besarnya.
“Clangg,!” Peraduan tiga besi terjadi.
Hampir saja kepala Dona terkena tebasan kapak.
Hempasan kapak nan dahsyat itu membuat penguasa Taragam sedikit terdorong.
Keterdesakan Dona membuat Tuan Caspal semakin bersemangat mengayun – ayunkan kapaknya.
Dona kembali terkena hempasan kapak.
Dan, kali ini dirinya terdorong agak jauh.
Tampaknya Dona mulai kelelahan dikejar senjata itu.
Dirinya mengatur nafas, sambil terhuyung – huyung.
Tuan Caspal yang masih segar bugar tidak menyia – nyiakan kesempatan itu.
Beliau kembali mengejar eksistensi penguasa Taragam yang sudah lelah.
“Clangg,!” Tiga bilah besi kembali beradu.
Dona berhasil menahan kapak itu membelah wajahnya.
Tapi tiba – tiba dadanya terkena tendangan yang sangat keras dari Tuan Caspal.
Penguasa Taragam itu terseret pada permukaan tanah hingga jauh.
“Wee,,!!” Orang – orang Cakem bersorak.
Mereka sangat yakin kepala sukunya akan memenangkan pertarungan itu.
Merasa di atas angin Tuan Caspal mengejar Dona yang tergeletak di permukaan tanah.
Dengan teriakan nan garang beliau melaju cepat.
“Bubb,” Tiba – tiba bom asap meledak tepat di depan wajah Tuan Caspal.
Seketika pandangan mata kehilangan orientasi dan beliau tampak terbatuk – batuk.
Dona segera berguling sedikit ke kanan, lalu mengambil tolakan.
Kemudian penguasa Taragam itu menerkam pertahanan Tuan Caspal yang terbuka lebar.
Tak pelak salah satu belati Dona menancap dalam pada tengkuk lawannya.
“Akk,,!!”, jerit Tuan Caspal, sangat kesakitan.
Beliau menjadi terhuyung – huyung menahan sakit itu.
Sambil dengan panik laki – laki itu mengayun – ayunkan kapaknya.
Meskipun begitu Tuan Caspal masih sanggup berdiri.
Meraih belati yang tertancap itu, lalu beliau melemparkannya ke tanah.
“Huh, sialan!, Dasar licik,!”
Tuan Caspal tampak tidak sekuat awalnya.
Leleran darah pun terus menerus keluar dari bekas tikaman belati.
“Berhentilah sekarang, atau tuan akan mati,”
“Huh, tidak ada bagiku pantang berhenti, Mati pun akan aku lakukan.”
Tuan Caspal bersiap kembali dengan tangan kirinya.
Kelihatannya senjata itu terasa berat jika dibawa dengan kondisi tubuh terluka.
“Jangan remehkan tangan kiriku ini! Hooaaahh,!”
Tuan Caspal kembali menyerang cewek itu.
Tapi karena ditopang dengan setengah kekuatan, serangan itu menjadi tidak fokus.
Dona pun hanya menghindar – hindar saja dari serangan gadungan itu.
“Hah? Gawat,!”, gumam Dona, melihat aura penyembuh merasuki Tuan Caspal.
Dirinya segera mengambil ancang – ancang dan melompat tinggi di atas musuhnya.
Setelah mendarat di tanah, Dona segera mengambil ancang – ancang lagi.
Dengan sepenuh tenaga dirinya berlari, dan menerkam Tuan Caspal.
Penguasa Cakem membalik badan dengan terhuyung – huyung.
Beliau menjadi kurang cekatan setelah tadi tertancap belati.
Tikaman itu mengenai dada kiri penguasa Cakem, dan beliau jatuh bersama – sama dengan Dona.
Tidak ingin membuang kesempatan penguasa Taragam itu segera meraih belati pendek pada paha kanannya dan menancapkan belati itu pada kening Tuan Caspal.
Seluruh anggota suku Cakem tercekam, melihat kebrutalan itu.
Dua orang teman Tuan Caspal pun sama terkejutnya seperti mereka.
Dona duduk, tersengal – sengal melihat lawannya telah gugur.
“Yee,,!!, Hidup, nona Dona,! Hidup, nona Dona,!”, sorak Panji Gandrung.
Pak Serdi memapah kepala sukunya yang sangat kelelahan.
Penasehat perserikatan Cilikan langsung maju ke depan.
“Dengan ini saya umumkan penguasa Taragam, Dona berhak atas seluruh kekayaan alam suku Cakem, juga semua anggota suku Cakem dinyatakan sebagai budak suku Taragam.”, ucap Doyoh, dengan berapi – api.
“Dan kalian berdua, kepala suku Mencaka dan kepala suku Cimbrit, jika kalian tidak mengikuti tata cara dari perserikatan Cilikan sebaiknya mulai berpikir ulang.”
“Gimana ini, Tuan Mecak?”
Tampak kebingungan. “Aku juga tak mengerti. Tuan Caspal yang jago kelahi aja sudah gugur. Mau apa kita?”
Tuan Mecak dan Tuan Cimbrit berlutut di hadapan penasehat perserikatan Cilikan.
“Kami minta ampun, pak Doyoh,, Kami salah, Kami berjanji akan mengikuti tata cara dari perserikatan.”