LXXXI
Suatu hari,
Ketika langit terlihat mendung.
Tampak kebingungan. “Ini kenapa sawah aku kering begini ya? Perasaan tempo hari hujan turun lebat.”
Ijzam melihat sekeliling.
“Ternyata bukan sawah aku saja yang mengering begini,”
Seseorang menghampiri laki – laki itu.
“Pak Ijzam, pak Ijzam,, Apa sawah bapak kering?”
“Oh, pak Idras,, Iya, pak,, Sawah saya kering begini, padahal kemarin di hulu hujan lebat.”
“Iya, saya juga bingung, Harusnya kan sawah – sawah ini ada airnya.”
“Apa ada masalah di pusat irigasi ya, pak Idras?”
“Mungkin saja,, Ayo, kita cek ke pusat irigasi.”
Kedua orang itu menyusuri pematang sawah menuju arah barat.
Pusat irigasi Cekapon,
Terlihat di dekat pintu air beberapa pemuda sedang duduk – duduk mengasap.
Gaya mereka cukup membuat muak kesadaran.
Dengan berlagak layaknya preman pasar pemuda – pemuda itu memelototi petani – petani yang lalu lalang.
“Hei, kalian,, sedang apa duduk – duduk di pintu irigasi itu?, Cepat, menyingkir! Kami hendak membukanya.”
“Woo,, Woo,, pak tua,, Apa – apaan ini?! Kalo kalian hendak minta air bayar dulu itu di sana.”
“Apa?!, Sejak kapan kami harus membayar jika hendak dapatkan air?” Idras tetap memaksa hendak membuka pintu air.
“Sejak saya yang mengurus pusat irigasi ini,” Tiba – tiba Tuan Caspal hadir di antara perdebatan itu.
“?? Tapi tuan, menurut kesepakatan pembayaran kan sudah melalui perserikatan dan itu dibayarkan oleh kepala suku.”
“Peraturannya sudah berubah, Kalian mau sawah kalian ada airnya atau tidak? Kalo tidak, silakan kalian berdua enyah dari tempat ini!”
“Iya, iya,, kami mau, Kami hendak minta air,”
“Baguss,, Silakan bayar di sana,”, perintah Tuan Caspal.
Kedua petani suku Ijjok itu pun menurut saja dengan kuasa suku Cakem.
LXXXII
Pasar Obor,
Keriuhan nan menyenangkan berubah menjadi keributan yang garang.
Beberapa preman tampak memporakporandakan barang dagangan di pasar itu.
Dengan berlagak garang. “He, non,, bayar uang sewa kios kalian,”
Tampak tidak acuh. “Uang sewa kios apa?, Itu urusan kepala suku kami.”
Seketika sebuah pedang mendarat pada kol yang masih utuh.
Kol itu pun terbelah menjadi dua karena tebasan pedang.
“Heh, denger ya, nona! Sekarang kami yang berkuasa menarik uang sewa di pasar ini, Ngerti?!”
Penjual sayur itu meraih kantong kainnya.
“Iya, iya,, daripada kau hancurkan semua sayur – sayur ini.”, ucap ibu itu tampak tidak ikhlas.
“Nha, gitu dong,, Ayo,!”
Keempat teman preman itu mengikuti langkah bosnya.
Preman – preman itu tiba di sebuah kios ayam.
Mendekati seorang penjual ayam potong. “He, bapak,, mana uang sewa kamu?”
“Uang sewa apa?, Bapak sudah bayarkan di kepala suku Fonta.”
“Bodoh! Yang berkuasa sekarang itu kami, Bayar uang sewa bapak, Cepat,!”
Belum sempat orang tua itu menyahut, satu ekor ayam utuh telah tercabik – cabik tidak karuan.
Menjadi ketakutan. “Iya, iya,,”
Orang tua itu pun terpaksa menyerahkan beberapa koin emasnya.
LXXXIII
Malam semakin larut,
Beberapa orang tampak masih terjaga.
Mereka harus membicarakan suatu hal yang sangat penting.
“Apa kita mulai saja, pak Doyoh?”, tanya Tuan Ciluk, tampak kantuk.
“Tapi kalo kita mulai sekarang kok saya rasa percuma ya, tuan.”
“Iya, memang percuma kalau mereka tidak hadir.”
Menghela nafas. “Apa maunya orang – orang sombong itu?”
“Tapi kita tidak boleh hanya berdiam diri saja, Kita harus berbuat sesuatu.”
“Saya khawatirnya pergolakan waktu dulu terulang kembali.”
“Iya, benar,, Mereka memang mau seenaknya sendiri.”
“Tapi saya rasa – rasa ya, Memang itulah yang mereka hendaki.” Sambil Tuan Ciluk menyandar pada tembok kayu.
Tuan Ijoined menikmati kayu manis,
“Apa mereka tidak lelah dengan semua perang – perang itu?”
Tuan penasehat tampak jatuh mental mendengar percakapan yang berat itu.
“Bagaimana mereka bisa lelah? Jika mereka bisa kuasai seluruh kebijakan di Cilikan ini.” Sambil kepala suku Wowor menyeruput kopi panas.
“Iya, Tuan Woni benar, Mereka tak akan berhenti sampai mereka dapatkan apa yang mereka hendaki.”
“Saya tak sangka, saya akan mendapatkan tanggung jawab seberat ini.”
“Tetap tegar lah, pak Doyoh. Pak Tuwang dulu juga tampak begitu frustasi dan kelelahan dengan sikap orang – orang itu, tapi beliau sangat cinta perserikatan ini makanya beliau berhasil menguasai mereka.”
“Siap, Tuan Fofak,, Terima kasih nasehatnya,”
Setelah melihat ke angkasa. “Bagaimana ini pak Doyoh hendak ditunggu atau dilanjutkan saja?, Tampaknya semakin larut malam ini, Tempat saya paling jauh baliknya,”
“Baiklah,, Mari, kita mulai saja,”, sahut Doyoh, membuka pertemuan.
LXXXIV
Tuan Caspal dan rekan – rekan sukunya tampak sedang duduk bersantai.
Mereka tengah beristirahat pada sebuah gardu jaga di persimpangan Cabrit setelah seharian penuh beraktifitas di sawah masing – masing.
Tampak di sebuah piring, ubi rebus dan pisang godok.
Dengan beberapa gelas di sekelilingnya.
“Cas, Cas,, ada tuan penasehat tuh,”
Tampak sinis. “Mau apa orang tua itu kemari?”
“Huh, Paling mau membahas masalah tanah perbatasan.”
Saat Doyoh tiba di hadapan para kepala suku itu,
Dengan penuh hormat, “Selamat siang, Tuan Caspal, Tuan Mecak, Tuan Combre,”
“Mau apa kamu tuan penasehat kemari?”
Menempatkan diri pada alas gardu. “Ini tuan – tuan kepala suku sekalian saya bermaksud membicarakan masalah perbatasan dusun.”
“Apa urusannya dengan kami masalah kalian itu?”
“Begini, Tuan Caspal,, Menurut perjanjian Bagi Tanah Suku sebelumnya agaknya Tuan Caspal sudah melebihi sedikit dari batas yang ditentukan perjanjiannya.”
“Halah, cuma sedikit saja,, Apa mereka tidak ikhlas?”
Menyadari respon Tuan Caspal yang tidak baik, Doyoh berubah pikiran.
“Untuk masalah ikhlas atau tidak tampaknya saya harap masalah ini bisa kita bicarakan bersama pada pertemuan suku nanti malam.”
“Aku tak ada waktu, Lelah aku malam – malam jalan ke tengah alun – alun.”
“Iya, lagi pula itu kan cuma sejengkal tanah saja. Ikhlaskan sajalah,”
“Baiknya Tuan Caspal nanti malam hadir, supaya masalah ini cepat mendapatkan jalan keluarnya.”
“Ya, nanti kalo tak lelah aku pasti datang.”
“Baiklah,, Saya harap tuan bisa hadir dan semua kepala suku bisa saling menerima.”
“Ya,”, sahut Tuan Caspal, tidak acuh.
LXXXV
Tak ada hasil membuat harimau patuh dengan berucap,
Binatang itu harus dicambuk supaya mau menurut.
Setelah Tuan Caspal tidak hadir pada pertemuan suku kemarin malam,
Doyoh tampak gamang. “Nona Dona, Bagaimana ini? Tampaknya keempat suku itu mulai marah dengan sikap Tuan Caspal. Kalo ini dibiarkan berlarut – larut pasti akan pecah perang.”
Sejenak penguasa Taragam itu berpikir.
“Apa sudah parah perbuatan yang dilakukan Tuan Caspal itu?”
“Sangat keterlaluan sekali nona Dona, bahkan Tuan Caspal sampe merusak pintu irigasi segala dan membuat saluran baru untuk sawahnya sendiri.”
Dona tidak langsung menanggapi.
Akal sehatnya sedang memperhitungkan sesuatu.
“Ditambah lagi dukun – dukun suku Cimbrit mulai berulah dengan mengguna – gunai dagangan dari keempat suku itu, hingga sayur – sayuran dari suku Wowor menjadi mudah busuk.”
Akhirnya penguasa Taragam itu membuka ucapan.
“Tampaknya tidak mungkin kita bertindak tanpa menunjukkan kekerasan.”
“Tapi mungkin itu akan mempengaruhi kestabilan di Cilikan.”
“Iya, memang benar, pak Doyoh. Dulu pak Tuwang juga mewanti – wanti hal itu.”
“Lalu apakah kita harus melibatkan suku – suku yang lain?”
“Saya rasa tidak perlu, pak Doyoh. Saya akan coba dengan cara saya sendiri.”
“Pak Serdi,, Pak Serdi,,”
“Ya,, Siap, nona,”
“Tolong siapkan pasukan, Kita akan ke Cakem.”
“Oh ya,, Siap, nona,”, sahut Serdi, segera bergerak.