I
Tersebutlah sebuah kerajaan yang sangat termasyhur, bernama Banadis.
Perdagangannya sangat maju. Juga kemampuan militer Banadis begitu melegenda.
Kerajaan itu seolah – olah tak pernah mati, aktifitas penduduknya 24 jam.
Pagi hingga siang hari mereka sibuk berdagang kebutuhan pokok dan perhiasan.
Menjelang sore hari beberapa orang tampak beradu panahan.
Tengah malam para pemilik bar membuka pelacuran.
Karena aktifitas yang berlangsung sepanjang hari itu, keamanan dan pertahanan Banadis juga aktif 24 jam.
Secara bergantian beberapa pasukan berjaga – jaga di lokasi – lokasi tertentu. Juga mereka berkeliling Banadis dengan persenjataan lengkap.
Sungguh kerajaan itu sangat ketat penjagaannya, termasuk dalam memeriksa orang – orang dari luar Banadis.
Pernah suatu ketika ada seorang buronan dari luar Banadis hendak menyusup ke dalam benteng, tapi karena para penjaga waspada buronan itu bisa ditangkap.
Orang – orang merasa aman tinggal di dalam Banadis, sehingga mereka rela membayar pajak yang terbilang tinggi.
Orang – orang di dalam benteng juga tidak segan memberi sedikit tambahan uang kepada raja Banadis karena keuntungan dari hasil berdagang mereka sangat besar.
Banadis menjadi sebuah kerajaan yang sangat melegenda.
Hingga saat ini,
II
Di dalam sebuah ruangan,
“Tuan Rakat,, sebaiknya tuan mempertimbangkan lagi pengenaan pajak di luar benteng Banadis. Mungkin pajak itu terlalu besar.”
Sambil Tuan Rakat menikmati bakaran daging domba. “Tidak ada pajak yang terlalu besar, Tuwang. Kalo mereka tidak malas – malasan dan tidak mengeluh terus, mereka pasti bisa menghasilkan banyak uang.”
“Tapi tuan,, distrik di luar Banadis tidak sepopuler di sini, tuan. Mereka hanya tukang kayu dan penggembala domba. Uang mereka hanya cukup untuk kebutuhan sehari – hari saja, tuan.”
“Itu salah mereka. Kenapa mereka tidak bisa menghasilkan uang yang lebih banyak lagi? Mereka kan bisa berpikir untuk menaikkan nilai kayu – kayu itu, dan kualitas daging yang ada.”
“Maaf, tuan,, beberapa bulan yang lalu mereka sudah berniat melakukan hal itu tapi mereka butuh modal untuk menaikkan nilai guna bahan mentah yang ada.”
Mulai kehilangan selera untuk menikmati daging domba. “Ah, alasan saja mereka itu, Lalu uang hasil penjualan kayu dan bulu domba itu untuk apa?”
“Seperti yang sudah saya beritau kan tadi, tuan. Uang itu hanya cukup untuk kebutuhan hidup mereka.”
“Ah, persetan dengan semua alasan itu!, Beritau kan ke mereka pajak yang harus dibayar atau keluar dari kekuasaan Banadis!”
“Baiklah, tuanku,, Perintah tuanku akan saya laksanakan,”
Dengan penuh sopan santun laki – laki berumur itu meninggalkan ruangan raja Banadis.
III
Pintu penjagaan,
Seorang wanita berumur tampak memelas kepada para penjaga gerbang.
Beliau sangat ingin masuk ke Banadis untuk menemui seseorang.
“Maaf, nyonya,, uang administrasinya kurang. Nyonya tidak boleh masuk.”
“Tapi, pakk,, biasanya saya bayarnya segitu.”
“Iya, betul sekali, nyonya,, Tapi sejak bulan ini uang administrasi sudah dinaikkan menjadi 3 koin emas.”, ucap penjaga gerbang itu.
Tampak sangat terkejut. “Ya ampun, pakk,, Kok mahal sekali, Saya cuma mau bertemu anak saya saja.”
“Ini sudah ketentuannya, nyonya. Silakan bayar atau nyonya tidak bisa masuk,”, ucap penjaga itu, mulai tidak sabar.
Tiba – tiba, Seorang laki – laki melemparkan sebuah kantong kain ke atas meja. “Apa itu cukup?!”, tanya laki – laki itu dengan nada kesal.
Dengan segera penjaga gerbang itu memeriksa isi kantong.
Menjadi terkejut. Sepasang mata penjaga itu melihat isinya lebih dari 10 koin emas.
“Oh ya, ya,, Cukup,”, ucapnya, dengan mata membelalak.
“Mari, nyonya,, Saya antarkan ke anak nya.”
“Ohh, terima kasih, anak muda. Terima kasih,”, ucap wanita berumur itu.
IV
Toko Kain Sofi,
“Aku lihat kamu tadi jalan bareng ibunya Zuher ya, Mat.” Sambil Londo menata dagangannya.
Mamat membetulkan rak – rak kain.
“Iya, aku tadi ketemu ibunya Zuher melas gitu di gerbang luar.”
“Emang kenapa?”
“Biasaa, pungli,”
“Astaghfirullah,, Tega – teganya mereka.”
“Sekarang zamannya udah berubah, Ndo. Nggak kayak zamannya Tuan Wangde dulu.”
“Iya, Sekarang dikit – dikit uang. Orang – orang jadi males berdagang di Banadis.”
“Lha apa kamu nggak pindah aja, Ndo?”
“Pindah mana, Mat? Ini tempat yang paling dekat dari rumahku. Mau ke Darmasih kejauhan.”
“Lha ntar kamu kalo gini kan bisa rugi, Ndo?”
“Aku jalani dululah, Kalo kelihatannya udah rugi banget baru aku pindah.”, ucap Londo.
V
Di dekat gazebo istana Tuan Rakat,
“Bang Tuwang,, Bang Tuwang,”, panggil seseorang, sambil melangkah cepat.
Menoleh. Laki – laki berselempang hitam itu menghentikan langkahnya.
“Ada apa, pak Rusan?”
“Begini bang,, Saya tadi denger kalo penjaga gerbang melakukan pungli.”
Tuwang menghela nafas. “Iya, saya juga sudah tau.”
“?? Kok nggak ada tindakan apa – apa, bang?”, tanya Rusani, menyerngitkan dahi.
“Katanya Tuan Rakat nggak usah, Menghabis – habiskan anggaran.”
“Yahh, masak untuk pembenahan organisasi menghabis – habiskan anggaran?”
“Nggak tahu, Kamu tanya saja langsung ke Tuan Rakat.”
“Lha trus para penjaga gerbang itu gimana, bang?”
“Anggep aja kita tidak tau.”
Raut kecewa terpancar dari wajah Rusani.
Dengan tidak greget dirinya berjalan bersama teman sekerjanya itu.
VI
Suatu malam,
Saat itu sang dewi tampak tersenyum kecil di angkasa.
Udara terasa sedingin besi.
Juga kesunyian menyelimuti lokasi perdagangan nan termasyhur itu.
Tampak dari kejauhan sebuah karavan mendekati Banadis.
Dengan perlahan – lahan karavan itu menggendong barang dagangan.
Hanya berbekal lampu minyak penunggang karavan melajukan kereta dagang itu.
Sesampainya di gerbang Banadis,
Beberapa penjaga telah menunggu karavan itu.
Mendekati penunggang karavan. “Mau kemana?”, tanya seorang penjaga.
“Toko kain Sofi, pak.”
“Kamu angkut berapa kodi?”
“Ada tiga kodi, pak.”
“Ohh, Simpan di gudang barat.”
“?? Tapi, pak,, bukannya kalo cuma tiga kodi aja bisa langsung diantarkan?”
“Udahh,, Jangan mbantah! Bawa ke gudang barat,!”
“I, iya, pak,”, sahut penunggang itu.
VII
Esok harinya,
Londo tampak bersungut – sungut.
Sepanjang perjalanan dirinya meluapkan sumpah serapah.
Sungguh laki – laki itu tidak mengira jika dagangannya akan dimasukkan ke gudang penyimpanan Tuan Rakat.
Apalagi para petugas gudang sangat tidak bertanggung jawab dalam melakukan tugas bongkar muatnya.
“Astaghfirullah,, aku bakal rugi besar kalo gini.”
Londo juga teringat biaya pengeluaran barang dari dalam gudang yang tinggi.
“Habis dah aku,! Habis,!”
“Bakal bangkrut kayaknya aku.”
Menyadari sebuah fakta banyak toko yang gulung tikar di Banadis. Termasuk toko sembako Yodi yang bertahun – tahun menguasai perdagangan barang kelontong di kerajaan itu.
Ruang administrasi gudang,
Tampak sepi, dan hening ruangan itu.
Hanya terlihat beberapa orang petugas yang sedang santai – santai.
Bahkan beberapa petugas tampak sedang mengadu kartu di sudut ruangan itu.
“Permisi, pak,, Mau ambil barang,”
“Ya, ntar,,”, sahut seorang petugas, masih bermain kartu.
Menghela nafas. Londo melangkah ke meja administrasi. Lalu duduk di sebuah kursi.
“Kayaknya masih lama nih dilayaninya.”, gumam dirinya.
Terlihat oleh mata, petugas gudang itu masih memegang banyak kartu.
Londo menunggu dengan gelisah.
Karena dirinya juga harus membuka toko.
Sepuluh menit kemudian,
“Huuhh,, sial! Kalah lagi aku, Kalian main curang ya,!”
“Main curang apanya? Nasib kamu aja yang kurang beruntung.”, sahut seorang petugas berikat kepala.
“Huh, sial! Mati nih aku,! Mati,! Bakal diomelin istriku nih,”
“Haha,, sama istri kok takut,”
“Iya lah, takut,, Orang pernah diusir dari rumah.”, imbuh seseorang berbadan besar.
Sambil petugas berselempang mengocok kartu lagi. “Udahh, tu orang dilayani dulu, Siapa tahu punya koin banyak,”
Menjadi bersemangat. “Betul juga ya,”
Petugas gudang itu beranjak dari tempat bermain kartu.
VIII
Toko kain Sofi,
Mamat melihat Londo sedang merapikan dagangannya. “Astaghfirullah,, Kenapa kain – kain ini, Ndo?”
Tampak berkaca – kaca. “Ini gara – gara petugas gudang itu.”
“Kenapa dengan petugas gudang itu?”
“Biasalah, mereka kan nggak profesional gitu kerjanya.”, ucap Londo sambil membersihkan bagian kain yang terlihat kotor.
“Astaghfirullah,, padahal ini kain mahal – mahal, Ndo.”
“Aku bakalan bangkrut kayaknya. Udah rugi banyak banget nih aku.”
“Mending kamu pindah aja deh sekarang. Mumpung modal kamu masih ada.”, ucap Mamat, merasa kasihan.
“Kayaknya iya, Mat. Mungkin besok aku bakal jualan di tempat aku dulu.”
“Apa tempat kamu itu terjamin keamanannya, Ndo?”
“Ya nggak tau, Aku juga bingung, Mat.”
“Mending kamu langsung ke Darmasih aja. Aku ada kenalan di sana.”
Tidak menyahut. Londo tampak gamang.
“Kalo masalah modal ntar aku pinjamin deh, Aku ada sedikit.”
“Iya, Mat,, Makasih,, Makasih banyak,”, ucap Londo, merasa bersyukur dengan niat temannya.
“Iya, Ndo,, Iya,, Kamu yang kuat aja,”
IX
Suatu hari,
Ketika korupsi semakin meraja lela.
Tuwang tampak gamang.
Sepasang matanya tidak bisa lepas dari lembaran kertas di atas meja.
Terlihat sedang berpikir laki – laki itu.
Seolah – olah hal yang buruk akan terjadi tidak lama lagi.
“Gimana aku laporannya ke Tuan Rakat?”
Terus mengamati lembaran kertas itu.
Berharap, tiba – tiba semua nominal itu bisa berubah.
Tuwang kembali menghitung pos – pos anggaran.
Saat Tuwang sedang menulis ulang kertas – kertas itu,
“Tok, tok, tok,” Suara pintu diketuk.
“Bang,, Bang Tuwang,”
“Masuk, pak Rusan.”, sahut laki – laki itu.
Dengan segera seseorang itu mendekati meja Tuwang.
Duduk di hadapan temannya. “Huuhh,, kacau nih, Aku minta tolong dihitungkan pembukuan ini.”
“Ini pembukuan apa, pak Rusan?”
“Ini administrasi pengadaan barang dan jasa properti.”
“Aduuhh,, Maaf, pak Rusan,, Saya juga lagi pusing nih. Keuangan kerajaan ini sedang kacau balau juga.”
“Aduuhh, gimana nih, bang? Saya laporannya ke Tuan Rakat gimana?”
Menghela nafas. “Saya juga bingung mau laporan kayak gimana.”
X
Di dekat alun – alun Banadis,
Sekelompok orang sedang menyuarakan kekesalan.
Mereka tampak berkobar – kobar aura marahnya.
Dengan membawa obor dan garpu rumput kerumunan orang itu menghendaki sebuah perubahan sistem pengenaan pajak dan tarif berdagang.
Di hadapan mereka, ratusan penjaga bersenjata lengkap membuat pagar betis guna menghalau para pendemo yang hendak menerobos ke istana Tuan Rakat.
Tak pelak,
Tempat yang biasanya digunakan untuk festival budaya, berubah fungsi menjadi tempat demonstrasi.
Keindahan taman di sekitar alun – alun luluh lantah karena terinjak – ingak para pendemo.
Pilar – pilar batu yang menghiasi tepi panggung kesenian porak poranda terkena terjangan kemarahan.
Sungguh tempat yang dulunya menjadi sebuah ikon peradaban Banadis seketika berganti menjadi simbol perlawanan sipil.
Saling berhadap – hadapan,
Para penjaga dan ratusan pengunjuk rasa.
Pedang, tombak, panah beradu dengan obor dan garpu rumput.
Tinggal menunggu siapa yang memulai perseteruan.
Tinggal menanti siapa saja yang akan menjadi korban unjuk rasa itu.
XI
Di dalam istana Tuan Rakat,
“Apa – apaan ini!? Mereka berani melawan seorang raja?!” Aura Tuan Rakat tampak berkobar – kobar.
Tampilannya menjadi garang.
Tuwang menjadi takut menghadapi laki – laki itu.
“Apa mereka tidak berpikir siapa yang telah memberikan mereka penghidupan yang layak?, Memberi mereka kesempatan berdagang di tempat ini, Mendapatkan perlindungan dari para perampok, Kenapa mereka begitu tidak tahu diri?”
Memberanikan diri. Tuwang berucap,
“Mungkin mereka hanya ingin pengenaan pajak yang wajar, tuanku.”
Mendengar perkataan itu Tuan Rakat keheranan.
“Pajak yang wajar? Apa selama ini saya berlebihan menarik pajak?”
“Menurut pendapat saya, memang pajak yang tuanku bebankan tidaklah terlalu besar, Namun pungutan – pungutan yang dilakukan seolah – olah tidak berdasar.”
“Apa,? Tidak berdasar? Pikiran konyol dari mana itu?” Tuan Rakat gagal paham.
“Apa mereka tidak ingin berbagi keuntungan dengan istana? Dengan menyebut pengenaan pajak dan tarif itu tidak berdasar.”
“Mungkin tuanku perlu mengecek secara langsung pengenaan tarif dan pajak yang sebenarnya terjadi di lapangan.”
Merasa tersinggung. “Apa?! Berani kamu menyuruh saya berbuat sesuatu yang tidak penting seperti itu?, Lalu tugas kamu apa sebagai petugas keuangan?”
“Maafkan saya, tuanku,, Kalo saya sudah berkata lancang.”
“Huuhh,, Pusing saya,!” Sambil Tuan Rakat mengangkat kedua lengannya ke atas.
“Sudah,! Umumkan saja pengenaan pajak dan tarif itu tetap berlaku, Kalo masih membangkang penjarakan saja mereka!”
“Siap, tuanku,, Perintah tuanku akan saya laksanakan.” Tuwang segera berlalu dari ruangan Tuan Rakat.
XII
Setelah maklumat itu diumumkan,
Tuwang tampak meratap di ruangannya.
Laki – laki berumur itu begitu terbebani dengan maklumat Tuan Rakat.
Terlihat Tuwang memandangi foto Tuan Wangde, raja Banadis sebelumnya.
Teringat saat itu,
Ketika Tuan Wangde sakaratul maut.
Sebagai seorang teman dekat, Tuan Wangde meminta sesuatu kepada Tuwang.
Sambil menggenggam telapak tangan temannya. “Wang, aku mohon padamu,, Bimbinglah anakku, Rakat,, Aku tahu anakku itu senang berfoya – foya dan tidak pandai mengatur uang, tapi kamu jangan kesal ya, Wang.”
“Bantulah anakku mengatur Banadis.”, ucap Tuan Wangde.
Terisak – isak. “Iya, Ang,, Iya,, Aku akan membimbing anakmu menjalankan kekuasaannya.”
“Terima kasih ya, Wang,, Terima kasih,,”
Tampak Tuan Wangde semakin dekat meregang nyawa.
“Ya tuhan,, Aku sudah siap menemui Mu. Cabutlah nyawa ini, wahai roh kudus.”
Seketika isak tangis pecah di ruangan itu.
Tuwang menangis sejadi – jadinya ditinggal teman karibnya.
Masih menatap foto teman karibnya. “Ang,, Bagaimana lagi aku harus membantu anakmu menjalankan kekuasaannya ini?, Aku sudah kewalahan dengan sikap anakmu yang senang berfoya – foya.”
“Bahkan anakmu memungut pajak begitu besar terhadap orang – orang di Banadis ini.” Merasakan dilema yang teramat sangat.
“Sungguh aku tidak bisa lagi membantu anakmu itu, temanku. Aku sungguh tidak mampu lagi membantunya.” Tangis Tuwang menjadi – jadi.