XIII
Beberapa tahun kemudian,
Ternyata keluarnya Tuwang dari Banadis membuat kerajaan itu terjerembab dalam kemalangan.
Korupsi semakin meraja lela.
Suap menyuap telah membudaya hampir di semua lini.
Juga kerajaan itu ditinggalkan oleh pedagang – pedagang yang sangat tersohor.
Eksistensi Banadis menjadi reruntuhan yang kelam.
Peminum, pecandu, Juga pezina mengisi setiap sudut reruntuhan.
Pelacuran menjadi komoditas yang luar biasa berkembang setelah pasar gelap.
Sekarang Banadis dikenal sebagai markas pemburu bayaran.
Bagi mereka yang ingin menghancurkan musuhnya atau melakukan suatu pekerjaan secara tidak legal maka Banadis adalah jawaban dari permasalahan tersebut.
“Tok, tok, tok,” Suara pintu diketuk.
“Tuan Rakat,,”, panggil laki – laki bertato.
Sekali lagi. “Tok, tok, tok,”
“Ceklek,” Pintu kayu itu terbuka.
“Apa?” Tuan Rakat tampak terkantuk – kantuk.
“Ki Lanang datang, tuan.”
“Hm, Suruh tunggu.” Masuk lagi ke dalam kamar.
“Baik, tuan.”, sahut laki – laki bertato seram, meninggalkan ambang pintu.
Aula utama markas Tuan Rakat,
Seorang laki – laki bertampang alim tengah duduk pada sebuah sofa.
Tampak aura kelicikan terpancar dari mimiknya.
Dengan ditemani beberapa pengawal, laki – laki alim itu menunggu Tuan Rakat menemuinya.
Sungguh siapapun tidak akan mengira jika mereka adalah komplotan penjual perempuan – perempuan muda.
Atribut keagamaan yang mereka kenakan benar – benar menyamarkan identitas asli para pemburu kenikmatan itu.
Mereka juga tidak menggunakan senjata fisik sebagai alat untuk membela diri karena para manusia laknat itu menggunakan mantra untuk melawan musuh – musuhnya.
Dalam dunia persihiran komplotan itu terkenal dengan ilmu pengasihannya.
“Selamat datang, Ki Lanang,, Selamat datang,”
Segera laki – laki alim itu menyambut keramahan Tuan Rakat.
“Maaf kalo Ki Lanang harus menunggu lama.”
“Haha,, Tidak mengapa, Tuan Rakat. Saya yakin pasti anda sibuk.”
“Hahaha,, Begitu lah, Ki Lanang,”
“Oh ya, Bagaimana kiriman saya yang kemarin itu? Puas?”
“Wuhh,, puas, Ki lanang. Puas,, Saya coba satu masih rapet.”
Sambil terkekeh – kekeh. “Untuk Tuan Rakat pasti saya kasih yang masih seger – seger.”
“Iya, Ki Lanang, Iya,,” Merasa beruntung.
“Begini, Tuan Rakat,, Saya kemari minta dikirimi bibit – bibit pengasihan.”
“Ohh, Ya, ya,, Nanti anak buah saya akan mencarikan.”
Segera pengawal Ki Lanang menyerahkan sebuah amplop tertutup.
“Itu bibit – bibit yang harus dicarikan beserta uang belanjanya dulu.”, ucap Ki Lanang.
“Oh, siap,, Terima kasih, Ki Lanang. Terima kasih,,”
Dengan tatapan nan serius. “Kalo nanti Tuan Rakat bisa mendapatkan mani gajahnya saya kasih gratis buat Tuan Rakat, sekalian dengan mantranya.”
Menjadi sangat terkejut. “Hmm,, Hmm,, Memang saya mengharapkan itu dari Ki Lanang.”
“Hahaha,, Itu janji saya Tuan Rakat.”
“Hmm,, Hmm,, Baiklah, Ki Lanang,”, sahut Tuan Rakat, saling berjabat tangan.
XIV
Setelah Ki Lanang meninggalkan Banadis,
Tuan Rakat memanggil tangan kanannya.
“Siap, tuan!” Dalam sekejap seorang laki – laki bertato ada di hadapan bosnya.
“Tayar, segera kumpulkan beberapa orang di gudang barat.”
“Siap, tuan!”, sahut laki – laki itu, segera melaksanakan tugasnya.
Terlihat oleh mata, Tayar memanggili anak buahnya yang tengah bersantai.
Gudang barat,
Tempat yang hening.
Dengan penjagaan paling ketat.
Juga lokasi penjaga nan tersadis di Banadis.
Barang siapa mencuri sesuatu apapun, sekecil apapun dari dalam gudang,
Maka tanpa ada keadilan dan rasa ampun, pencuri itu akan dipenggal dan kepalanya akan digantung pada sebuah pohon di dekat lapangan hukuman.
Sedangkan tubuh tanpa kepala itu akan dilemparkan begitu saja di sebuah cekungan pada sisi kanan lapangan hukuman.
Tak pelak lokasi itu semerbak aroma kematian.
Tampak oleh mata beberapa orang tengah berkumpul di samping gudang.
Mimik wajah mereka tampak garang, Juga berdarah dingin.
Dengan penampilan layaknya preman jalanan.
Tidak ada ramah – ramahnya aura kelaki – lakian para penjahat itu.
Tuan Rakat tiba di tempat itu.
Segera anak buah Tayar berdiri, dan berbaris.
Melihat pohon tengkorak. Tuan Rakat terkejut. “Apa ada yang habis maling di gudang?”
Tampak oleh mata laki – laki itu hasil penggalan masih meneteskan darah.
“Siap,! Iya, tuanku,,”
“Siapa?”
“Siap,, Ndlosor, tuanku.”
“?? Ndlosor,?”
“Iya, tuanku,, Dia ketahuan ngambil daun ganja.”
Menghela nafas. “Dasar bodoh,”
“He, Perhatian,! Ingat – ingat lagi, Jangan coba – coba nyuri di gudang ini. Lihat tuh akibatnya, Ngerti?!”
“Siap, tuanku! Ngerti,!”
“Kalian masih pingin punya kepala kan?”
“Siap, tuanku! Masih,!”
“Makanya kalo masih, Jangan coba – coba mencuri di gudang ini. Paham?!”
“Siap, tuanku! Paham,!”
“Baguss,, Sekarang saya akan beritahukan apa tugas kalian. (mengambil secarik kertas) Dengarkan baik – baik!”
Dengan segenap fokus mereka mendaratkan telinga pada arahan Tuan Rakat.
XV
Barak anak buah Tayar,
“Huuhh,, A**uk! Bos Tayar ki emang se**ak og. Meh kawin mbek Cempluk, malah kon tugas.” Sambil Jondrong mengenakan seragam PDL.
“Sabar lah, Jon. Nanti kamu kan bakal ketemu Cempluk lagi.”, sahut Cempe, menajamkan beberapa belatinya.
“Halah, Selak bulanan.”
“Bulanan sih pirang dina, Jon?”, sela Ubyek.
“Masalahe nek bar bulanan, mesti ki akeh sing ngantri Cempluk, Ek.”
“Oh, Haha,, Sampeyan cari sih yang liya, Kan ana Gendis sih.”
“Halah, Gendis gak iso main. Gak iso diajak banter.”
“Jonn, Jon,, Pikiranmu ki emang wedokan tok.”
Tiba – tiba, “Nopo, Jon? Gak gelem mangkat?”
Sontak Jondrong terdiam. “Siap, bos! Mau, bos,, Mau,”
“Jare meh kawen karo Cempluk sek?”
“Enggak, bos,, Enggak,, Sampun cekap,”
“Ohh, Yo wes,, berarti aku meh ning Cempluk sekk,”
Terbengong – bengong. Jondrong membatin, “Se**ak,”
“Wkwkwk,,”
Teman – teman Jondrong terbahak – bahak.
“Makane sampeyan ndang dadi bos sih,”
“Sabar ya, Jon,, Sabar,, Jadi anak buah memang sakit rasanya.”, ejek Cempe.
XVI
Suatu hari,
Ketika gelombang perlawanan mulai membesar.
“Tok, tok, tok,” Pintu diketuk.
“Masuk,”, sahut Tuan Rakat.
“Permisi, tuan,”
“Ada apa, Yar?”
“Izin melapor, tuan.”, ucap Tayar.
“Ya,” Menghentikan aktifitasnya.
Tayar menggelar sebuah peta besar di atas meja bundar.
“Begini, tuan,,” Laki – laki itu menjelaskan situasi pengiriman kargo.
Mendengar kabar itu, Tuan Rakat menjadi marah.
“Emang orang – orang Darmasih itu memang harus dihancurkan,”
“Tuan hendak memerintahkan apa? Kami siap,!”
“Segera kamu kumpulkan orang – orang kita di setiap distrik.”
“Siap , tuanku!”, sahut Tayar, segera berlalu.
XVII
Menjelang tengah malam,
Ruangan Tuan Rakat penuh dengan manusia.
Suasana terdengar riuh. Sekaligus terlihat cerah.
Perempuan – perempuan seksi hilir mudik di tempat itu.
Mereka menuangkan minuman ke dalam gelas.
Sekaligus menemani bos – bos distrik minum – minum.
Sesekali terdengar canda mereka nan centil.
Membuat bos – bos distrik gemas, ingin asmara.
Riuh kelekatan itu terdengar hingga ke lorong markas.
Tiba – tiba, “Selamat malam,,”, ucap seseorang, memasuki ruangan.
Sontak bos – bos distrik berdiri. “Malam, tuanku,”
Perempuan – perempuan seksi itupun meninggalkan ruangan.
Tuan Rakat menempatkan diri pada sebuah kursi empuk. “Silakan duduk,”
Serentak para bos distrik itu kembali duduk.
Suasana serius pun mulai menyelimuti ruangan.
“Selamat malam, Terima kasih teman – teman distrik sudah mau datang ke tempat saya. Karena malam ini, dini hari ini kita akan membicarakn hal yang sangat penting.,”
Dengan sangat detail laki – laki garang itu menceritakan apa yang terjadi.
Setelah Tuan Rakat menutup ceritanya,
“Begini saja, tuan,, kita nonaktifkan saja rute itu.”
“Oh, maaf, bos Alap – Alap itu nggak bisa. Kalo itu dinonaktifkan pengiriman ke arah tenggara bakal terhambat.”
“Tapi di wilayah bos Jedeng kan transaksinya sedikit.”
“Meskipun sedikit tapi kan saya punya hasil.”
“Apa kita kamuflasekan saja, tuan?”
“Jelaskan maksud kamu, bos Jingkrak,,”
“Jadi karavan kita intinya kita beri label kerajaan Darmasih.”
“Apa nggak terlalu riskan? Nanti malah timbul kerancuan mana yang asli karavan kita sama yang punya kerajaan Darmasih.”
“Ya nanti kita tambahi kode – kode tertentu, bos Jabrik.”
“Kayaknya ide itu bagus juga.”
Tayar tampaknya kurang setuju. “Tapi, tuan,, harap juga dipikirkan resiko jika kita lewat langsung di sekitar Darmasih, Soalnya penjaga – penjaga di kerajaan itu sangat jeli penglihatannya.”
“Iya, Tuan Rakat,, berkali – kali saya mesti bentrok dengan penjaga Darmasih.”, imbuh bos Jabrik.
Dengan sopan bos Alap – Alap berucap, “Iya, tuan,, Mohon petunjuknya,”
“Bos Jedeng,, Berapa pemasukan kamu dari rute di bagian tenggara?”
“Kira – kira dua karung emas, tuan.”
“Kalo kamu tak pindah ke selatan gimana, bos Jedeng?”
“Mampus, daerah tandus,”, celetuk bos Nawang.
“Yaa, gimana ya, tuan? Saya minta dikasih dobel kalo dipindah ke sana.”
“Ok, Saya kasih dobel, dan daerah operasi kamu akan diperluas sampai Jegrek.”
Bos Jedeng terkejut. Tidak menyangka. “?? Tuan?”
“Enak banget, tuan,, sampe Jegrek.”, sela bos Nawang.
“Lha gimana ada yang mau pindah ke selatan buat babat alas?”
“Waduh, kalo pake babat alas segala, Terima kasih aja, tuan. Sudah cukup saya di Bengkolan.”
“Gimana, bos Jedeng? Mau?”
“Ok, tuan,, Mau,”, sahut bos Jedeng, mantap.
“Ok, masalah rute di bagian tenggara sudah selesai dan mulai seminggu ke depan rute tersebut akan dinonaktifkan. Tolong, para pelanggan diberi tau.”
Para bos tampaknya sudah bulat menerima keputusan tersebut.
“Ada lagi yang mau ditanyakan?”
Bos Jingkrak mengangkat jari.
“Maaf, tuan,, Di distrik Gebyah kami sering kecolongan sama sempalan pasukannya Tuan Rakat.”
“?? Pasukan saya yang mana ya?”
“Itu tuan, Panji Gandrung.”
“Oo,, masih hidup to Panji Gandrung?, Ok lah,, ntar saya kasih mampus mereka semua.”, sahut Tuan Rakat.
“Siap, tuan,, Terima kasih,”
“Ok, Ada lagi?”
Tampaknya para bos sudah mencukupkan diri.
“Kalo begitu, Silakan bersenang – senang lagi.”, ucap Tuan Rakat. Lalu beranjak dari kursi empuk itu.
Para bos pun ikut berdiri.
XVIII
Markas bos Jedeng,
Duduk pada sebuah kursi sambil Jedeng melihat peta.
Tampak di hadapan laki – laki itu, luas daerah operasinya akan bertambah dua kali lipat.
Jedeng sangat senang mengetahuinya.
“Tapi gimana aku mulainya?”
Saat sedang menaksir biaya pembukaan lahan,
“Siang, bos,,”, sapa seseorang.
Menoleh. “Oo, kamu, Kas,, Ada apa?”
“Hehe,, ambil bonusan, bos.”
“Oh ya,” Jedeng beranjak dari kursi.
Dekas melihat – lihat peta. “Ini apaan, bos?”
“Itu daerah operasional kita yang baru.”
Memfokuskan penglihatan. “Bos,, Bukannya ini bukit Berau?”
“Iya, itu bukit Berau, Kenapa?” Sambil Jedeng menghitung koin emas.
“Ini kan jauh banget sama markas kita sekarang.”
“Iyaa,, Kan saya udah bilang, Itu daerah operasional kita yang baru.”
“Maaf, maaf,, Ya, bos,, Daerah bukit Berau itu kan tandus. Mau ngapain kita di daerah tandus gitu?”
“Ah, kamu nggak lihat big plan nya sih,”
Jedeng menghampiri anak buahnya sambil membawa sekantong koin emas.
Membatin, “Big plan apaan sih?”
“Ini apa?” Sambil Jedeng menunjuk suatu lokasi di peta.
“Pelabuhan Sinter.”
“Goodd,, Dari bukit Berau ke Sinter jauh nggak?”
“Enggak sihh,”
“Nha itu planningnya,”
“?? Sorry, bos,, Otak saya kecil masih nggak mudeng.”
Menghela nafas. “Intinya kita rencananya buka jalan buat ke Sinter.”
“Whatt?? Babat alas, bos?”
“Iya, Kenapa? Nggak mau?”
“Bukannya nggak mau, bos. Tapi untungnya kita babat alas apa?”
“Ya ampun, Kass,, Kita kan nantinya bisa nguasai Pelabuhan Sinter. Gimana sih?”
“Tapi kan itu butuh waktu berbulan – bulan, bos. Kalo kita fokus babat alas gimana kita dapet bonusnya?”
“Haha,, Tenang aja,, Tuan Rakat kemarin janji mau menambah bonusan kita.”
“Bonusan kita ditambah, bos?”
“Iya, ditambah dua kali lipat.”
“?? Tapi, bos,, rute kita ngirim kargo nya jadi tambah jauh dong,”
“Iya sihh,, Tapi kan kita bisa aman dari patrolinya Darmasih.”
“Betul juga ya,”
“Gimana? Nyenengke to?”
“Siap,, Iya ajalah,”, sahut Dekas, ikut senang.
Setelah menerima bonusan, Dekas meninggalkan ruangan kerja Jedeng.